25/07/16

PERJANJIAN BANGUN BAGI vs PERJANJIAN BANGUN SERAH vs PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN/HAK PAKAI DI ATAS TANAH MILIK vs PERJANJIAN KERJASAMA vs TUKAR MENUKAR vs PELEPASAN HAK KEPEMILIKAN

Seri Perjanjian.

Hukum berkembang & tumbuh berkembangbiak dalam masyarat mengikuti perkembangan peradaban manusia, akan tetapi disisi lain Hukum itu dibuat berdasarkan keputusan politik yg dilakukan pada saat sebuah pemerintahan berkuasa. Dahulu hanya dikenal beberapa "perbuatan hukum keperdataan" dalam masyarakat maupun dalam hukum keperdataan yg berlaku. Perbuatan2 hukum keperdataan pada awalnya diatur dlm hukum kebiasaan atau hukum adat yg disepakati dalam masyarakat, kemudian di Indonesia perbuatan hukum keperdataan tsb lebih banyak "mengacu" pada ketentuan2 yg diatur dlm KUH Perdata, pada hal "secara hukum" ketentuan pasal 131 & 163 IS peninggalan penjajahan Belanda yg masih berlaku hingga saat ini (2016) menetapkan bahwa KUHPerdata "hanya berlaku" bagi "Golongan Eropa" & " Golongan Timur Asing Tionghoa" serta "Golongan Kependudukan hukum lainnya yg menundukan diri pada KUH Perdata, sedangkan "ketentuan hukum ttg penundukan diri" sudah ducabut & dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Agung.

Ada beberapa perbuatan hukum yg lazim dikenal pada awal nya yaitu :
1. Perikatan/perjanjian/kerjasama;
2. Jual beli
3. Tukar menukar
4. Hibah
5. Inbreng/pemasukkan ke dalam perusahaan/perseroan
6. Wasiat
7. Kuasa
8. Pembagian hak bersama
9. Pelepasan hak kepemilikan, dll
Kemudian berkembang & muncul perbuatan2 hukum baru dg istilah2 hukum baru dlm masyarakat al :
1. Pembebasan tanah
2. Franchase/Waralaba
3.  Joint venture = kerjasama
4. Sindikasi & Konsursium = pembiayaan bersama
5. Board Of Tranfer/BOT/Bangun Guna Serah
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Tanah Milik
7. Bangun Bagi
8. dll bentuk2 perjanjian & perbuatan hukum lain nya yg hidup & berkembang dlm masyarakat khusus nya dlm dunia bisnis tata niaga d perekonomian.
Hukum lebih banyak "terlambat" dibuat aturan hukum tertulis nya dibandingkan dg maju & laju pesat nya "transaksi & perbuatan" bisnis, perdagangan, keuangan, pembangunan & perekonomian yg dg sendirinya transaksi & perbuatan dlm masyarakat itu "berlaku & membentuk hukum secara otomatis & langsung berlaku, mengikat & ditaati oleh pihak2 yg melakukan transaksi & perbuatan itu sendiri yg lebih dikenal dg istilah "Hukum Kebiasan" atau "Hukum Adat".

Saat muncul & berkembangnya transaksi "Board Of Tranfer/BOT" ketentuan hukum keperdataan dlm KUHPerdata "sempat kelabakan" utk mencantolkan pasal2 dlm KUHPerdata dg transaksi/perbuatan hukum BOT, kemudian dlm "Hukum Pertanahan" dimunculkanlah perbuatan hukum "Pemberian HGB/HP Diatas Tanah Milik" sebagai kesepadanan utk perbuatan hukum BOT tsb yg dg Perkaban 8/2012 kemudian PPAT diberi kewenangan utk membuat "Akta PPAT Pemberian HGB/HP Di atas Tanah Milik" akan tetapi "kebiasaan" utk bertransaksi dg perbuatan hukum BOT tetap berjalan dan akta nya dibuat dg Akta Notaris "Perjanjian Board Of Transfer/Bangun Guna Serah". 

Pertanyaan : 
Adakah korelasi & hubungan antara "Perjanjian Board Of Tranfer (BOT)/Bangun Guna Serah" yg akta nya dibuat dg dibawahtangan atau dg Akta Notaris dengan "Perjanjian Pemberian HGB/HP Di atas Tanah Milik" ? 

Pada dasarnya kedua perbuatan hukum tsb adalah mempunyai prinsip transaksi/perbuatan hukum yg berbeda secara pinsip krn dlm BOT pd akhir BOT diberi opsi boleh memilih utk memiliki atau tidak memiliki obyek BOT, sedangkan pada Perjanjian Pemberian HGB/HP Diatas Tanah Milik merupakan "pembebanan hak atas tanah" dimana suatu hak atas tanah dibebankan di atas suatu hak atas tanah lain nya.

Dengan muncul & berkembangnya BOT, kemudian dlm "pemanfaat & penggunaan tanah" muncul pula bentuk perbuatan hukum baru yaitu perbuatan hukum "BANGUN BAGI", dimana perjanjian Bangun Bagi terjadi dg pemilik tanah memberi "hak & kewenangan" kpd pihak ketiga/pihak lain utk membangun bangunan2 di atas tanah milik pemilik tanah, yg mana setelah selesainya pembangunan bangunan tsb, atau dari awal sdh disepakati bagian masing2 pihak utk memiliki tanah & bangunan yg dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak yg "perjanjian" nya dpt dibuat secara dibawah tangan maupun dg akta notaris. 

Menjadi pertanyaan :
Pada saat akan dilakukan "serah terima kepemilikan" atas bagian tanah & atas bangunan yg sdh terbangun di atas tanah tsb berdsrkan perjanjian Bangun Bagi, perbuatan hukum apa yg "cocok/pantas secara hukum keperdataan" & kalau Notaris/PPAT diminta membuat akta nya maka akta apa yg akan dibuat oleh Notaris & PPAT ?

Secara kenotariatan dg berdasarkan "Perjanjian Bangun Bagi" yg telah dibuat, pada saat pembagian & penyerahan bagian atas tanah & bangunan thd bagian masing2 pihak dlm Perjanjian Bangun Serah lazim nya dilakukan dg dibuat (surat atau akta) "Berita Acara Pembagian & Serah Terima" thd bgn masing2 pihak, akan tetapi cara tsb tdk dpt dipergunakan utk "melakukan peralihan hukum terhadap hak atas tanah" nya. Dalam hal dmkn kemampuan, kecermatan & keahlian serta penguasaan materi hukum seorg PPAT akan diuji utk dpt membuat Akta PPAT yg sesuai dg "perbuatan hukum Bangun Bagi" utk pembagian & penyerahan bagian hak masing pihak dlm perjanjian Bangun Bagi terhadap hak atas tanah utk dibuatkan "akta PPAT ttg peralihan hak atas tanah" yg sesuai dg hukum yg berlaku & sesuai dg realita transaksi & perbuatan hukum yg terjadi & dilakukan oleh para pihak. Tukar Menukar dapat merupakan salah satu jawabannya.

sumber MJ. Widijatmoko
pemerhati hukum pada MjWinstitute Jakarta
Jakarta, 26 juli 2016

20/07/16

Poin Perubahan PP Pejabat Pembuat Akta Tanah

Mulai dari usia jabatan, daerah kerja, tata cara pindah hingga pengangkatan.
RED
Pada 22 Juni 2016 lalu, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perubahan dilakukan untuk meningkatkan perananan PPAT dalam melayani masyarakat atas pendaftaran tanah.

Dikutip dari laman resmi setkab.go.id, PP Nomor 24 Tahun 2016 itu menjelaskan mengenai syarat-syarat menjadi PPAT. Syarat tersebut antara lain, warga negara Indonesia, berusia paling renda 22 tahun (dalam PP sebelumnya berusia 30 tahun), berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat kepolisian setempat.

Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih (PP sebelumnya tidak ada ketentuan 5 tahun) dan sehat jasmani rohani.

Kemudian, berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan atau lulusan program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan agraria/pertanahan (PP sebelumnya tidak ketentuan sarjana hukum dan lulus jenjang strata dua).

Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/ pertanahan.Telah menjalani magang atau telah bekerja sebagai karyawan pada kantor PPAT paling sedikit satu tahun, setelah lulus pendidikan kenotariatan (PP sebelumnya ketentuan ini tidak ada).

“PPAT dapat merangkap jabatan sebagai notaris di tempat kedudukan notaris,” demikian bunyi Pasal 7 ayat (1) PP ini.

Pada PP sebelumnya,PPAT  dapat merangkap jabatan sebagai notaris, konsultan atau penasihat hukum. Namun dalam PP yang baru, PPAT dilarang merangkap jabatan atau beberapa profesi. Mulai dari advokat, konsultan atau penasihat hukum, pegawai negeri, pegawai badan usaha milik negara, pegawai badan usaha milik daerah, pegawai swasta, pejabat negara atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), pimpinan pada sekolah, perguruan tinggi negeri, atau perguruan tinggi swasta, surveyor berlisensi, penilai tanah, mediator dan jabatan lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

PP ini juga menegaskan, bahwa PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena meninggal dunia, telah mencapai usia 65 tahun dan diberhentikan oleh menteri sesuai ketentuan dalam PP ini. Terkait batasan usia 65 tahun, menurut PP ini, dapat diperpanjang paling lama dua tahun sampai dengan usia 67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Pindah Tempat
PPAT yang merangkap jabatan sebagai notaris di kabupaten/kota selain pada tempat kedudukan sebagai PPAT, menurut PP ini, wajib mengajukan pindah tempat kedudukan PPAT pada tempat kedudukan notaris atau berhenti sebagai notaris pada tempat kedudukan yang berbeda tersebut.

Sementara pada PP sebelumnya disebutkan, PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT karena diangkat dan mengangkat sumpah jabatan notaris di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya, dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II tempat kedudukannya sebagai notaris, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

PP ini juga menyebutkan, PPAT diberhentikan dengan hormat karena permintaan sendiri, tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri/Kepala atau pejabat yang ditunjuk,merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari tiga tahun.

Ditegaskan dalam PP ini, bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi (sebelumnya Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya). Selain itu PPAT mempunyai tempat kedudukan di kabupaten/kota di provinsi yang menjadi bagian dari daerah kerja. PP ini juga menegaskan, bahwa PPAT dapat berpindah tempat kedudukan dan daerah kerja.

“Dalam hal PPAT akan berpindah alamat kantor yang masih dalam kabupaten/kota tempat kedudukan PPAT, wajib melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan kabupaten/kota tempat kedudukan PPAT,” bunyi Pasal 12B ayat (2) PP.

Selain itu, PPAT wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. PPAT yang merangkap jabatan sebagai notaris, harus berkantor yang sama dengan tempat kedudukan notaris. “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada tanggal 27 Juni 2016 itu. 

Sumber : hukumonline.com/Selasa,12/07/2016

Pro Kontra PPAT Soal PP No. 24 Tahun 2016

Mulai dari batasan usia 22 tahun hingga perubahan wilayah kerja PPAT.
FAT/M-25
Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam PP itu, sejumlah substansi baru resmi diterapkan. Namun, sebagai pihak terkait, sejumlah PPAT mengemukakan pandangannya terkait substansi dari PP ini.

Sebut saja Ketua Majelis Kehormatan Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Winanto Wiryomartani. Menurutnya, sejumlah substansi baru dalam PP hampir mendekati substansi dari UU No. 30 Tahun 2004 jo UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (JN), khususnya mengenai wilayah kerja PPAT.

“Saya kira sudah lebih baik ya, ada kepastian wilayah kerja, saya kira lebih mengarah kepada UU JN,” kata Winanto kepada hukumonline, Selasa (12/7).

Ia tak menampik, salah satu hal yang menjadi perdebatan panjang adalah mengenai lebih rendahnya usia untuk menjabat sebagai PPAT. Dalam PP sebelumnya, usia 30 tahun baru bisa menjabat PPAT, namun di PP yang baru cukup berusia 22 tahun. Menurutnya, permasalahan usia ini menyusul dari rencana pengelompokkan usia dalam Peraturan Menteri Agararia dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

“Sekarang minimal 22 tahun, kan tidak mungkin harus melalui notaris dulu, notaris saja kan MKN, saya kira karena ada peraturan menteri susulan itu kan PP,” ujarnya.

Pandangan lain diutarakan notaris dan PPAT, Irma Devita. Dikutip dari irmadevita.com, ia menilai bahwa hal yang paling krusial dari PP baru itu terkait dengan perubahan wilayah kerja PPAT. Menurutnya, persoalan ini sudah hangat diperbincangkan dan dan didebatkan profesi PPAT sejak tahun 2015.

“Kabarnya awal tahun 2016 akan diberlakukan namun baru pada akhir juni 2016 baru diundangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2016 tersebut,” tulis Irma.

Ia tak menampik bahwa substansi ini memicu pro dan kontra dari PPAT. Namun, Irma menegaskan, persoalan ini bisa dilihat sebagai berita baik atau buruk bagi profesi PPAT tergantung dari cara pandangnya. Jika dilihat dari sudut pandang possibility dan meluasnya ruang kerja PPAT, maka untuk PPAT dalam suatu wilayah kerja tertentu sudah tidak usah lagi harus “lintas jabatan”.

Artinya, lanjut Irma, secara sempit merupakan rezeki bagi para PPAT dengan semakin luasnya wilayah jabatannya tersebut. Namun di sisi lain, bagi PPAT yang masih “junior” hal ini dianggap semakin mempersempit kesempatan untuk mendapatkan rezeki dengan semakin luasnya ruang gerak PPAT “senior” yang sudah memiliki banyak relasi.

Irma mengatakan, jika dilihat dari tanggal ditandatanganinya PP, yakni 26 Juni 2016, maka PPAT sudah bisa membuat akta untuk tanah-tanah di dalam satu provinsi. Namun, hal ini baru akan lebih jelas setelah diterbitkannya petunjuk teknis (juknis) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak)-nya.

“Jangan buru-buru ‘melebarkan sayap’, kita nikmati dulu suasana lebaran di kota anda masing-masing sambil menunggu juklak dan juknisnya,” tutup Irma.

Notaris Senior/PPAT Hapendi Harahap mengatakan secara umum PP ini merupakan upaya pemerintah untuk mempermudah masyarakat mendapat pelayanan dari PPAT. Namun, pandangan lain khususnya yang berkaitan dengan minimal usia 22 tahun, ia menilai sebaliknya.

“Rasio yang dipakai 22 tahun ini kelihatannya kita belum mendapat kejelasan, secara profesional usia 22 tahun itu belum matang, karena tidak berbanding lurus kecerdasan seseorang menyelesaikan studinya dengan pengalaman praktik di lapangan,” kata Hapendi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar IPPAT ini.

Ia mengatakan, selain kecerdasan, jauh lebih diutamakan adalah integritas dan kematangan berpikir. Hal ini yang dinilai Hapendi luput dari pertimbangan Kementerian ATR/BPN dalam menetapkan usia minimal 22 tahun. Menurutnya, dalam penjelasan pasal pun tidak ditemukan kejelasan pertimbangan usia 22 tahun diberikan.

Menurut Hapendi, di beberapa negara yang memiliki pejabat umum seperti PPAT di Indonesia, jauh lebih sulit dan berusia lebih tua. Misalnya di Belanda, notaris harus magang beberapa tahun dulu setelah lulus dari sarjana hukum dan kuliah spesialis notariat. Menurutnya, kematangan cara berpikir akan berdampak kepada profesi PPAT itu sendiri.

“Usia ini terutama bagi kita yang senior bukan memikirkan materi, tapi bagaimana profesi ini tahan lama di bumi Indonesia tidak tergerus dari globalisasi, kita yang peduli kepada harkat profesi ini dan tetap dicintai masyarakat dan dicintai pemerintah karena bisa menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Ini kita agak sedikit risau dengan pengangkatan masih terlalu muda ini,” tutupnya.

sumber : hukumonline.com/Selasa,12/07/2016

Bolehkah seorang Notaris/PPAT Membuat Akta Untuk Keluarganya?

Saya ingin menjual kapling tanah, pembelinya berkeinginan proses ke notarisnya dengan notaris yang ternyata istrinya. 

Pertanyaannya : 
bolehkah notaris memproses jual beli kapling yang diajukan oleh suaminya? 
Kemudian, bolehkah notaris di Solo memproses jual tanah kapling di Yogyakarta. Jawaban:
Intisari: 
Yang berwenang membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah adalah PPAT. PPAT dilarang membuat akta jual beli kapling tersebut karena jual beli tersebut melibatkan suaminya sebagai salah satu pihak.
Selanjutnya, mengenai apakah PPAT di Solo boleh mengurus jual beli tanah di Yogyakarta, perlu diketahui bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi. Oleh karena itu, PPAT tersebut tidak boleh membuat akta jual beli untuk tanah di Yogyakarta karena daerah kerjanya adanya di Solo yang berada di provinsi tersebut.

Ulasan:
Dalam asumsi bahwa Notaris di sini juga merupakan PPAT.
Pertama, bahwa berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP No. 37/1998”), yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah PPAT.
Mengenai jual beli yang dilakukan oleh suami si Notaris sendiri, berdasarkan Pasal 23 ayat (1) PP No. 37/1998, Notaris tersebut (dalam kapasitasnya sebagai PPAT) dilarang membuat akta jual beli kapling tersebut karena jual beli tersebut melibatkan suaminya sebagai salah satu pihak.

Pasal 23 ayat (1) PP No. 37/1998:
PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
Sebagai notaris pun, dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU No. 30/2004”), terdapat larangan untuk membuat akta untuk suami atau istri ataupun keluarga.

Pasal 52 ayat (1) UU No. 30/2004:
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

Pembuatan akta untuk pihak-pihak yang disebutkan di atas oleh seorang notaris akan berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan.[1]
Selanjutnya, mengenai apakah notaris/PPAT di Solo boleh mengurus jual beli tanah di Yogyakarta, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi. Oleh karena itu, notaris/PPAT tersebut tidak boleh membuat akta jual beli untuk tanah di Yogyakarta karena daerah kerjanya adanya di Solo yang berada di provinsi yang berbeda. Solo adalah salah satu kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Yogjakarta adalah salah satu kota di provinisi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengaturan serupa juga terdapat dalam Pasal 18 UU No. 30/2004 sebagai berikut:

Pasal 18 UU No. 30/2004:
(1)  Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2)  Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.

 Jadi, notaris/PPAT tersebut tidak berwenang untuk membuat akta jual beli tanah tersebut.
 Dasar Hukum:



[1] Pasal 53 ayat (3) UU No. 30/2004
Jumat, 15 Juli 2016 - hukumonline.com

NOTARIS PPAT & STANDAR KOMPETENSI, KOMPETENSI, UJI KOMPETENSI, SERTIFIKASI PROFESI

oleh bp. mj widijatmoko
pemerhati hukum dalam MjW institute
jakarta 8 juni 2016

Perlukan dilakukan Uji Kompetensi & Sertifikasi Profesi/Jabatan Terhadap Jabatan Notaris PPAT ?

I. PENDAHULUAN

Marak nya berita, info dan pidato serta pembahasan tentang "Sertifikasi Profesi & Uji Kompetensi Profesi/Jabatan" terhadap Notaris PPAT saat ini cukup menggugah adrenalin para praktisi Notaris PPAT dalam pembahasan, diskusi, berpendapat bahkan perdebatan di forum medsos & media sosial lainnya. Rupa nya berita "Sertifikasi & Uji Kompetensi Profesi" tidak hanya akan diberlakukan terhadap Notariss PPAT tetapi bahkan sudah diberlakukan terhadap profesi Advokad dan mendapat tentangan penolakan yg lumayan rame pula. Oleh karena ini penulis mencoba menulis dan mengulas hal-hal yg terkait dengan NOtaris PPAT & Seritifikasi Profesi serta Uji KOmpetensi Profesi dalam tulisan ini agar setidaknya dapat memberi gambaran singkat tentang tugas, fungsi, peran Notaris PPAT & fungsi, peran manfaat Sertifikasi Profesi & Uji KOmpetensi Profesi secara terukur sesuai dengan status & kedudukan yg sebenarnya & sebagaimana mestinya. 

Untuk menjawab tantangan & permintaan jaman saat ini (2016) yg menghendaki dalam pelaksanaan suatu profesi dan sebuah jabatan saat ini dituntut harus dilakukan oleh seorang profesional yg bekerja, bertindak & bersikap profesional dengan menjalankan tugas, fungsi, kewenangan dan hak secara profesional yg berkemampuan dg pengetahuan, ketrampilan & sikap kerja sesuai standar profesional, maka tidak dapat lagi dihindari adanya Standar Kompetensi, Uji Kompetensi & Sertifikasi Kompetensi terhadap suatu profesi mapun terhadap seseorang sebelum menjalankan jabatan yg ditugaskan kepadanya. Hal ini pun akhirnya masuk ke dalam ranah dunia Notaris PPAT yg dituntut harus menjalankan jabatan secara profesional berdasarkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yg profesional, dg berkemampuan pengetahuan yg mumpuni, mempunyai ketrampilan yg pantas dan sikap kerja yg etis yg dipadukan dengan ketentuan jabatan Notaris, jabatan PPAT, Kode Etik Notaris & Kode Etik PPAT. 

II. STANDAR KOMPETENSI, UJI KOMPETENSI, KOMPETENSI & SERTIFIKASI PROFESI.

Pasal 35 ayat 1 UU 20/2003 ttg Pendidikan Nasional menetapkan bahwa Standar Nasional pendidikan terdiri dari standar isi, proses, "kompetensi" lulusan, tenaga pendidikan, sarana & prasarana, pengelolaan, pembiayaan, & penilaian pendidikan yg harus ditingkatkan secara berencana & berkala.
Penjelasan pasal 35 ayat 1 menjelaskan "... Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yg mencakup :
a. sikap,
b. pengetahuan, &
c. keterampilan
sesuai dengan Standar Nasional yg telah disepakati.

Pasal 61 UU 200/2003, menetapkan :
1. Sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat kompetensi.
2. ijasah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestas belajar dan atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yg diselenggarakan oleh satuan pendidikan yg terakreditasi.
3. Seritifikasi Kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan & lembaga pelatihan kepada peserta didik & warga masyarakat sebagai "pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah uji kompetensi yg diselenggarakan oleh satuan pendidikan yg terakreditasi atau lembaga sertifikasi. 

menurut UU 13/2003 ttg Ketenagakerjaan, Kompetensi Kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yg mencakup aspek pengetahuan, keterampilan & sikap kerja yg sesuai dengan standar yg ditetapkan. Dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional, dijelaskan bahwa "Berdasarkan estimologi, Kompetensi diartikan sebagai kemampuan yg dibutuhkan untuk melakukan atau melaksanakan pekerjaan yg dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan & sikap kerja. Sehingga dapatlah dirumuskan bahwa, Kompetensi diartikan sebagai kemampuan seseorang yg dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan & sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yg ditetapkan.
Untuk memperoleh Kompetensi Kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu " Standar Kompetensi" yaitu suatu ukuran yg disepakati untuk melakukan uji kompetensi yg diperlukan dalan suatu bidang pekerjaan oelh seluruh "stakeholder" di bidangnya, dengan kata lain Standar Kompetensi adalah perumusan tetntang kemampuan yg harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yg didasari atas pengetahuan, keterampilan & sikap kerja sesuai dengan unjuk kerja yg dipersyaratkan. 

Dengan dikuasainya Standar Kompetensi oleh seorang pekerja, maka diharapkan ybs akan mampu :
1. mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan.
2. mengorganisasikan agar tugas atau pekerjaan tsb dapat dilaksanakan.
3. mengerti dan dapat mengambila solusi apabila terjadi sesuatu yg berbeda dari rencana semula.
4. dapat menggunakan kemampuan yg dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dg kondisi yg berbeda.
5. dapat menyesuaikan kemampuan yg dimiliki bila bekerja pada kondisi & lingkungan yg berbeda.
Oleh karena itu suatu Standar Kompetensi harus memiliki kemampuan ukut yg akurat, dan karenanya Standar Kompetensi harus :
1. terfokus pada apa yg diharapkan dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja.
2. memberi pengarahan yg cukup untuk pelatihan & penilaian.
3. memperlihatkan dalam bentuk hasil akhir yg diharapkan.
4. selaras dengan peraturan perUUan terkait yg berlaku, standar produk & jasa yg terkait serta kode etik profesi (bila ada).
Dengan adanya Kompetensi & Sertifikasi akan diperoleh suatu "Kualifikasi Kerja" yg dapat dilakukan oleh seseorang. Dalam KKNI, dijelaskan bahwa Diskripsi Kualifikasi pada KKNI adalah merefleksikan capaian pembelajaran (learning outcomes) yg diperoleh seseorang melalui jalur a) pendidikan, b) pelatihan, c) pengalaman kerja & d) pembelajaran sendiri.

III. NOTARIS PPAT & STANDAR KOMPETENSI, UJI KOMPETENSI, KOMPETENSI, SERTIFIKASI PROFESI.

Notaris adalah pejabat umum yg berwenang membuat akta otentik & memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN (UU30/2004 & UU 2/2014) atau berdasarkan UU lainnya, demikian "pengertian Notaris" dalam UUJN. sedangkan PPAT adalah pejabat umum yg diberi kewenangan membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, demikian "pengertian PPAT" dalam PP 37/1998 & Perkaban 1/2006.

Menjadi pertanyaan : apakan Notaris PPAT itu adalah profesi ?
Adanya kata "Profesi" terhadap Notaris terbaca & terlihat dalam konsideran "Menimbang" UU 2/2014, tertulis kalimat bahwa "Notaris sebagai pejabat umum yg menjalankan 'profesi' dalam memberi jasa hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum" & pasal 1 angka 5 yg mendefinisikan "Organisasi Notaris adalah organisasi 'profesi' jabatan Notaris yg berbentuk perkumpulan berbadan hukum". Akan tetapi apabila kita dalami UU 30/2014 & UU 2/2014 mengatur & menetapan tentang "Jabatan Notaris" sebagai "pejabat umum" yg diberi tugas dan kewenangan oleh UU untuk melaksanakan pembuatan suatu akta otentik dengan syarat2 & ketentuan sebagaimana yg diatur dalam UUJN & UU lainnya.
Sedangkan dalam PP 37/1998, Perkaban 1/2006 & Perkaban 23/2008 dengan tegas dinyatakan bahwa PPAT adalah "pejabat umum" tanpa ada penggunakan kata 'profesi' terhadap PPAT.

Menurut Wikipedia, "profesi" adalah  kata serapan dari sebuah kata bahasa inggris "profess" yang bermakna  "janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen; Profesi juga sebagai pekerjaan yg membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Profesi dapat pula diartikan sebagai pekerjaan atau bidang pekerjaan yg menuntut pendidikan keahlian intelektual tingkat tinggi & tanggung jawan etis yg mandiri dalam prakeknya. Seorang yg berkompeten di suatu profesi tertentu disebut "profesional". Walaupun demikian, istilah "profesional" juga dipergunakan untuk suatu aktifitas yg menerima bayaran. Profesional juga diartikan sebagai orang yg menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yg dilakukan dg keahlian/ketrampilan yg tinggi.
Sedangkan "jabatan" adalah kedudukan yg menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang & hak seseorang dalam kerangkan suatu satuan organisasi.  "Jabatan" dapat [ula diartikan sebagai sekumpulan pekerjaan yg berisi tugas2 yg sama atau berhubungan satu dg yg lain, dan yg pelaksanaannya meminta kecakapan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yg juga sama meskipun tersebur di berbagai tempat. Menurut Wikipedia, "Jabatan adalah sebahagian  atau cabang dari suatu organisasi yg besar yg mempunyai tanggungjawab dan fungsi yg spesifik".

Dari hukum positif yang berlaku yang mengatur ttg Notaris & PPAT, UU 30/2004 & UU 2/2014 dengan tegas & jelas menetapkan & mengatur bahwa Notaris adalah "jabatan" yaitu jabatan pejabat umum yg dinamakan "Notaris", demikian pula PP 37/1998, Perkaban 1/2006 & Perkaban 23/2008 juga dengan tegas & jelas menetapkan bahwa PPAT adalah "jabatan" yaitu pejabat umum yg dinamakan "Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)". Notaris & dan PPAT berdasarkan hukum positif bukan lah sebuah profesi. fungsi, tugas, peran, kewenangan dan kewajiban Notaris PPAT adalah menjalankan "jabatan" sebagai pejabat umum yg berwenang membuat akta otentik yg ditetapkan dalam undang-undang, sehingga Notaris PPAT tidak dapat & tidak mempunyai kewenangan dalam menjalankan tugas & jabatan selain melaksanakan hal2 & kentuan2 yg ditetapkan dan diperintahkan dalam suatu undang- undang.

Menjadi pertanyaan : apakah terhadap Notaris PPAT perlu dilakukan Uji Kompetensi & Sertifikasi Profesi ?
Seperti telalh diuraikan diatas, bahwa Uji Kompetesi & Sertifikasi profesi/jabatan adalah dilakukan untuk memperoleg seseorang yang mempunyai pengetahuan, keterampilan & sikap kerja yg profesional, maka "Pelaksanaan Uji Kompetensi & Sertifikasi Profesi/Jabatan" terhadap Notaris PPAT sudah barang tentu pelaksanaannya adalah dilakukan terhadap seseorang yang akan menjadi Notaris/PPAT. Oleh karena ini, saat ini sudah selayaknya disusun terlebi dahulu "Standar Jabatan Notaris" & "Standar Jabatan PPAT" sebagai dasar untuk dilakukan "Uji Kompetensi" terhadap seorang " Calon Notaris" & seorang "Calon PPAT" agar kita dapat memperoleh "Qualifikasi" Calon Notaris & Calon PPAT yg berkaulitas & profesional dalam menjalankan tugas & jabatan selaku Notaris PPAT yg berdasarkan ukuran profesional yg memiliki pengetahuan, keterampilan & sikap kerja yg beretika.

Akhirnya dapat saya ambil sebuah kesimpulan, bahwa saat ini karena tuntutan dan perkembangan jaman untuk terwujudnya Notaris PPAT yg profesional, maka Uji Kompetensi & Sertifikasi Jabatan Notaris PPAT adalah dilakukan terhadap Calon Notaris & Calon PPAT selain berbekal Ijasah sebagai Sarjana Magister (S2) dari Program Studi Kenotariatan, untuk menjadi seorang Notaris PPAT yg memenuhi syarat profesional, wajib mengikuti "Uji Kompetensi Jabatan Notaris PPAT" untuk mendapatkan "Sertifikat Kelayakan Menjalankan Jabatan Notaris PPAT" yang diselenggarakan oleh "Organisasi/Lembaga/Badan Yg Terakreditasi" sesuai peraturan perUUan yg mempunyai kewenangan untuk melakukan Uji Kompetensi dan mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan & menerbitkan "Sertifikat Kelayakan Menjalankan Jabatan Notaris/PPAT".
Uji kompetensi & Sertifikasi Profesi/Jabatan adalah dilakukan untuk memeperoleh seseorang yg layak & profesional dalam menjalankan profesi atau sebuah jabatan agar diperoleh seseorang yg memiliki pengetahuan, berilmu, berkemampuan, terampil dan bersikap kerja etis dalam menjalankan sebuah profesi atau sebuah jabatan.

III. PENUTUP.

Demikian tulisan & ulasan singkat saya sebagai sebuah pemikiran dan gagasan ide konsep mengenai Uji Kompetensi & Sertifikasi terhadap Jabatan Notaris & Jabatan PPAT agar dapat diperoleh dan terwujud bahwa seorang Notaris PPAT adalah seorang profesional yg memiliki pengetahuan, ilmu, kemampuan, ketrampilan dan bersikap kerja etis dalam menjalankan jabatan Notaris & jabatan PPAT sesuai tuntutan dan perkembanagan jaman saat ini.

Semoga bermanfaat & dapat menjadi masukan dan referensi dalam menyusun dan menetapkan sebuah kebijakan & peraturan yg terkait dengan uji kompetensi & sertifikasi dalam dunia Notaris & dunia PPAT.

MEMBANGUN HUKUM KEPERDATAAN & HUKUM PERORANGAN DI INDONESIA

oleh mj. widijatmoko
Pemerhati Hukum MjWinstitute Jakarta
Jakarta, 15 juni 2016

"Rekonstruksi Hukum Keperdataan & Hukum Perorangan Akibat Benturan Hukum Pasal 131 & 163 IS dg Hukum Agama & dg Hukum Nasional Pasca Reformasi".

Pasal 131 & 163 Indische Staatregeling ttg penggolongan kependudukan hukum di Indonesia belum/tidak pernah dicabut/dibatalkan/dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan ps 131 & 163 IS tsb golongan kependudukan di Indonesia secara hukum ada 3 golongan yi :
1. Golongan Eropa, tunduk pd hkm nya KUH Perdata.
2. Golongan Timur Asing (TA) ada 2 yi :
     A. Golongan TA Tionghoa, tunduk pd KUH Perdata.
     B. Golongan TA Non Tionghoa, tunduk pd Hukum Adat Suku/Ras/Golongan ybs.
3. Golongan Bumi Putra/Indonesia Asli, tunduk pd Hukum Adat Suku/Ras/Golongan yg ybs.

Golongan TA Non Tionghoa & Golongan Bumiputra "dapat menundukkan diri" pd KUH Perdata.

Saat ini berlaku pula "Hukum Agama" utk penduduk Indonesia berdasarkan agama/kepercayaan yg dianut. Hal ini bila dikaitkan & dihubungkan dg ps 131 & 163 IS akan terjadi "benturan/tabrakan hukum" dlm penerapan praktek hukum di Indonesia. 
Menjadi pertanyaan & pemikiran ku nih ... APA DASAR HUKUM MEMBERLAKUKAN HUKUM AGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA DALAM MELAKUKAN "PERBUATAN HUKUM KEPERDATAAN" DI INDONESIA ?

Pasca Reformasi telah ditetapkan & diberlakukan UU Administrasi Kependudukan & UU Kewarganegaraan yg telah merevisi UU yg lama, yg mengatur bahwa "Penduduk Indonesia" hanya terdiri dari :
1. WNI, &
2. WNA
tidak lagi membedakan penduduk Indonesia spt yg diatur dlm ps 131 & 163 IS juga tidak membedakan penduduk Indonesia dg agama/kepercayaan yg dianut/dipercaya oleh tiap2 penduduk di Indonesia.

Dalam pembelajaran hukum & praktek hukum di Indonesia, para pelaku hukum, baik aparat hukum, praktisi hukum & ahli hukum termasuk Notaris, PPAT, Advokat & Hakim di Indonesia "menerapkan" KUH Perdata sebagai dasar hukum/acuan hukum dalam menyelesaikan masalah hukum & dlm peneran hukum utk "perbuatan hukum keperdataan" di Indonesia bagi seluruh penduduk di Indonesia, kecuali dlm perbuatan hukum tertentu yg sdh diatur dg UU produk DPR RI pasca kemerdekaan RI. Pada hal bila konsekwen, ketentuan KUH Perdata berdasarkan ps 131 & 163 IS "hanya berlaku" bagi :
1. Gologan Eropa,
2. Golongan Timur Asing Tionghoa, &
3. Mereka yg nyata tegas menyatakan penundukkan diri pd ketentuan KUHPerdata. (MASIH ADA & BERLAKU KAH "LEMBAGA/PROSEDUR HUKUM "PENUNDUKAN DIRI DI INDONESIA ?)

Kompleksitas kekacauan, benturan/tabrakan hukum dalam Hukum Keperdataan di Indonesia hingga saat ini belum juga pernah dilakukan "penataan kembali" & dibiarkan dg "pembiaran" yg berlanjut sehingga menambah rumit & kekacauan penggunaan dasar hukum dlm penerapan hukum keperdataan & penyelesaian masalah hukum keperdataan di Indonesia. Sedangkan "nasib" rencana revisi KUH Perdata atau pembuatan "Hukum Keperdataan Indonesia" yg sudah bergulir sejak th 70an saat ini tidak pernah lagi terdengar, terpikirkan & tergarap dg baik dlm sebuah koordinasi & sinkronisasi yg terstruktur systematis & terukur dg baik. 
MASIH PERLUKAN MEMBANGUN "HUKUM KEPERDATAAN" DI INDONESIA YG TERKOORDINASI, TERSINKRONISASI & TERKODIFIKASI MENJADI SATU KESATUAN SEPERTI HALNYA YG TERMUAT DALAM KUH PERDATA ?

Saat inipun belum pernah ada sebuah penelitian & pernyataan resmi tentang "pasal-pasal mana saja dalam KUHPerdata yg masih berlaku" sebagai akibat pemberlakuan berapa UU produk DPR RI pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi ?

Tidak mustahil, hal ini membawa dampak hukum, dalam pembelajaran hukum & praktek hukum akan dapat menggunakan pasal-pasal KUHPerdata yg sdh dicabut d tidak berlaku akibat dicabut oleh UU produk DPR RI yg pd akhirnya akan dapat menimbulkan perkara hukum & ketidakpastian hukum dlm hukum keperdataan di Indonesia.

Semoga dg kondisi ini & tulisan ini, pemerintah, DPR RI, BPHN, akademisi, praktisi hukum & para ahli hukum keperdataan di Indonesia bangun siuman dari tidur nyenyak untuk mau membangun kembali HUKUM KEPERDATAAN INDONESIA YG TERKOORDINIR, TERSINKRONISASI, REINTEGRASI & TERKODIFIKASI dg baik & terukur untuk terciptanya kepastian hukum & menghapus "benturan/tabrakan hukum" dalam bidang hukum keperdataan di Indonesia.

19/07/16

BUMDes & ASET DESA/TANAH DESA

oleh Bp. MJ Widijatmoko
Pemerhati hukum pada MJW Institute
Jakarta 6 maret 2016

Bolehkah Tanah Bengkok/Tanah Desa/Aset Desa dijadikan "Penyertaan Modal Pemerintah Desa ke dlm BUMDesa" ?

untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dibuka dulu aturan hukum ttg Pengelolaan Aset Desa sbgmn diatur dlm PERMENDAGRI 1/2016 sbb :

ps 25 Permendagri 1/2016 mengatur bhw : Bentuk pemindahtanganan aset desa meliputi :
1. Tukar menukar
2. Penjualan
3. Penyertaan modal Pemerintah Desa.
Pemindahtanganan aset desa berupa Tanah dan atau Bangunan milik desa hanya dilakukan dg tukar menukar & penyertaan modal.

ps 27 Permendagri 1/2016 dg tegas mengatur bhw : penyertaan modal pemerintah desa atas aset desa dilakukan dlm rangka pendirian, pengembangan & peningkatan kinerja BUMDesa. Penyertaan modal tsb beruba Tanah Kas Desa. 

ps 1 angka 5 & angka 26 Permendagri 1/2016 menjelaskan bhw : "Aset Desa" adl brg milik desa yg berasal dr kekayaan asli milik desa, dibeli/diperoleh atas beban APBDesa/perolehan hak lainnya yg sah. "Tanah Desa" adl tanah yg dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah desa sbg salah satu sumber pendptan asli desa dan atau kepentingan sosial.

Dari ketentuan tsb diatas secara tegas terbaca bhw aset desa baik itu yg berupa Tanah Desa dpt dipindahtangankan dg cara Tukar Menukar & Penyertaan Modal. Dlm pendirian BUMDesa, penyertaan modal pemerintah desa dpt berupa aset desa atau Tanah Desa. Dengan demikian Tanah Bengkok atau aset desa atau Tanah Desa dpt menjadi milik BUMDes dg cara "penyertaan modal" pemerintah desa ke dlm BUMDesa.

MENJADI PERSOALAN HUKUM DALAM PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DESA KE DALAM BUMDesa, BAGAIMANA CARA MELAKUKAN NYA DAN DENGAN AKTA APA PERBUATAN HUKUM PENYERTAAN MODAL TSB DILAKUKAN ?

Dalam Perkaban 8/2012, salah satu akta yg menjd kewenangan PPAT adalah "membuat & menandatangani AKTA PEMASUKKAN KE DALAM PERUSAHAAN". 
Apakah "penyertaan modal" pemerintah desa ke dlm BUMDesa termasuk perbuatan hukum yg akta nya diatur dlm Perkaban 8/2016 ... ?
Apakah penyertaan modal pemerintah desa ke dlm BUMDesa dpt dilakukan dg Akta PPAT tsb diatas ... ? 
Apakah BUMDesa tergolong dlm kata "Perusahaan" yg dimaksud dlm Perkaban 8/2012 ... ?
Apakah pemerintah desa termasuk subyek hukum yg akta nya boleh dibuat oleh PPAT ataukah oleh PPAT Khusus ...?

untuk menjawab hal tsb, sudah semestinya Kementeria ATR/BPN segera dpt menerbitkan "peraturan & hukum" yg khusus mengatur ttg hal tsb. Akan tetapi sebelum terbitnya aturan hukum utk hal itu, saya, penulis berpendapat bahwa "perbuatan hukum penyertaan modal pemerintah desa ke dlm BUMDesa merupakan perbuatan hukum keperdataan", oleh karena nya penyertaan modal pemerintah desa tsb thd aset desa berupa Tanah Desa oleh pemerintah desa merupakan subyek hukum & obyek hukum yg diatur dlm Perkaban 8/2016 yg akta nya dibuat oleh PPAT, tinggal sekarang apakah Kementerian ATR/BPN akan menugaskan pembuatan akta penyertaan modal pemerintah desa ke dlm BUMDesa akan diberikan kpd PPAT secara umum ataukah akan diberikan kpd PPAT Khusus saja. Kita tunggu saja apa yg akan diatur selanjutnya.

APAKAH BUMDesa BOLEH MENJADI PENDIRI/PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS ?

Dalam UU 6/2014, PP 43/2014 & Permen Desa PDTT 4/2015 (ps 7 & ps 8) sdh tegas diatur bhw BUMDesa dpt mempunyai & mendirikan "unit2 usaha berbadan hukum" berupa "Perseroan Terbatas & Lembaga Keuangan Mikro". Dg demikian adalah "tidak benar" apabila ada yg berpendpt bhw BUMDesa tdk bisa menjadi pendiri/pemegang saham PT. Krn BUMDes boleh mendirikan unit usaha berbadan hukum sesuai Permen Desa PDTT 2/2015, berarti secara hukum "BUMDesa adalah badan hukum", krn secara hukum, yg dpt penjd pendiri d pemegang saham dlm PT adlh org perseorgan & badan hukum, maka dg demikian tdk perlu lg diragukan status hukum dr BUMDesa sbg badan hukum dan oleh karenanya secara hukum pula terjawab bhw BUMDesa adalah SUBYEK HUKUM YG DAPAT MENJADI PENDIRI/PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS. 

Oleh karena itu, menjadi tugas & kewajiban Notaris PPAT & INI + IPPAT memberi penjelasan hukum dan membicarakan serta mendiskusikan hal tersebut dg Kementerian ATR/BPN & Kementerian HUKUM & HAM agar penerapan & pelaksaanaan suatu aturan hukum yg berlaku dapat diterapkan dijalankan & dilakaanakan sebagaimana mesti nya sesuai aturan hukum nya.

PERAN NOTARIS DALAM PENDIRIAN BUMDesa

oleh Bp. MJ Widijatmoko
pemerhati hukum pada MJW Institute
Jakarta 6 maret 2016

BUMDesa ada 2 macam yi :
1. BUMDesa, yg didirikan oleh 1 desa.
2. BUMDesa Bersama, yg didirikan oleh lebih dr 1 desa.
Disamping itu BUMDesa dpt melakukan kerjasama antar BUMDesa.

Pendirian BUMDesa diatur dlm Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertingal & Transmigrasi nomor 2 Tahun 2015 (Pemen Desa PDTT 2/2015) sbg pengganti Permemdagri 39/2010, sbg peraturan pelaksanaan ps 87 sd ps 90 UU 6/2014 & PP 43/2014 ps 132 sd ps  142, yg mengatur bhw pendirian & AD ART BUMDesa dibicarakan & disepakati dalam "MUSYAWARAH DESA" yg kmdn dituangkan dlm "Berita Acara Musyawarah Desa" utk selanjutnya ditetapkan & disahkan dg "PERATURAN DESA" yg memuat & mengatur ttg Pendirian, AD ART BUMDesa yg kmdn diumumkan dlm "BERITA DESA".

Pendirian, AD ART BUMDesa tdk lagi menggunakan akta Notaris, akan tetapi dg "Peraturan Desa". Pembahasan & keputusan Musyawarah Desa ttg pendirian, AD ART BUMDesa dibuat berita acara secara tertulis, yg dpt dibuat secara dibawah tangan maupun dg akta Notaris. 

berdsrkan ps 136 PP 43/2014, sekalipun Permen Desa PDTT 4/2015 tdk mengatur, AD & ART BUMDesa memuat sedikit nya sbb :
1. AD BUMDesa, sedikitnya memuat :
    a. Nama BUMDesa
    b. Tempat keddkan BUMDesa
    c. Maksud & tujuan BUMDesa
    d. jangka waktu berdirinya BUMDesa
    e. Organisasi Pengelola BUMDesa
    f. Tata cara penggunaan & pembagian
       keuntungan BUMDesa.
2. ART BUMDesa, sedikitnya muat :
    a. Hak & kewajiban
    b. Masa bhakti
    c. Tatacara pengangkatan & Pemberhentian personel organisasi pengelola 
    d. Penetapan jenis usaha
    e. Sumber modal.

APAKAH PENDIRIAN, AD ART BUMDesa YG DITETAPKAN DENGAN PERATURAN DESA DAPAT DIBUATKAN & DIMUAT DALAM AKTA NOTARIS ?

BUMDesa yg pendiriannya ditetapkan dlm Perdes merupakan "Badan Usaha yg berbadan hukum" krn dlm ps 7 & 8 Permen Desa PDTT 2/2015 ditetapkan BUMDesa dpt membentuk "Unit-Unit Usaha yg berbadan hukum". Dg dmkn BUMDesa adalah Badan Usaha yv berbadan hukum publik krn pendiriannya ditetapkan dg Perdes & bukan merupakan badan hukum private/keperdataan. Krn BUMDesa merupakan badan usaha yg berbadan hukum publik maka tidak perlu pendirian, AD ART BUMDesa dibuat dlm akta notaris. Akan tetapi apabila pihak yg berkepentingan menghendaki AD ART BUMDesa ingin dimuat dlm akta notaris, apakah notaris berwenang membuat akta nya ? Ps 15 UU 2/2014 memberi kewenangan kpd notaris utk membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian & penetapan yg diharuskan oleh peraturan perUUan dan/atau dikehendaki oleh yg berkepentingan utk dinyatakan dlm akta otentik, sehingga bila dikehendaki notaris dpt membuat akta notaris yg memuat AD ART BUMDesa yg ditetapkan dg Perdes. Adapun jenis akta notaris yg memuat AD ART BUMDesa tsb adalah Akta Partij/akta pihak yg merupakan "pernyataan kehendak pihak yg berkepentingan yg menghendaki pembuatan akta notaris yg ingin memuat AD ART BUMDesa dlm akta otentik". 

Disamping hal tsb diatas, peranan notaris dlm BUMDesa yg lain adalah :
1. Membuat akta pendirian unit2 usaha BUMDesa yg berbadan hukum, berupa Perseroan Terbatas & Lembaga Keuanga  Mikro.
2. Membuat perjanjian kerjasama antar BUMDesa bila dikehendaki dlm bentuk akta notaris.
3. Membuat perjanjian kerjasama antara BUMDesa dg pihak ketiga lainnya bila dikehendaki dlm bentuk akta notaris.
4. Membuat berita acara rapat2 dlm BUMDesa bila dikehendaki dlm bentuk akta notaris. 
5. Membuat akta notaris yg terkait dg kegiatan usaha BUMDesa maupun unit2 usaha BUMDesa yg berbentuk badan hukum maupun badan usaha non badan hukum. 
6. Membuat akta notaris yg di kehendaki pihak yg berkepentongan dlm BUMDesa dll yg tdk melanggar peraturan perUUan yg berlaku.

jadi dg demikian, peranan notaris dlm pendirian & pembuatan AD ART BUMDesa serta kegiatan usaha BUMDesa sangatlah besar sebagai perwujudan ps 15 (2.e) dimana NOTARIS BERWENANG PULA MEMBERI PENYULUHAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT. Oleh karena itu pd tiap2 Notaris saat ini wajib mempunyai wawasan luas dan pemikiran yg ilmiah berdasarkan ilmu & pengetahuan, bukan lagi cuma mengandalkan catatan kuliah dan copy paste kebiasaan yv telah pernah dibuat oleh para senior notaris serta dlm berpikir & berpendpt tdk lagi menggunakan kaca mata kuda utk mengkaji meneliti d menalah suatu ketentuan d penerapan hukum.

Akhir kata, semoga tulisan ku ini dpt membuka wacana & wawasan berpikir para notaris utk berperan serta dlm kehidupan nyata yg patuh pada aturan hukum yg berlaku dan berani berpendapat dg didasari pengetahuan d aturan hukum yg berlaku dan berbuat yg benar.

PENGALIHAN SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS

oleh Bp. MJ Widijatmoko
pemerhati hukum pada MjW institute
jakarta, 10 juni 2016
MKn (Notaris) Community 10/07/2016

Dalam UU PT tatacara/prosedur "Pengalihan Saham" di tetapkan ada 2 macam cara yg dapat dipilih & "harus" diatur dalam AD PT yaitu :
1. dengan cara "Penawaran"
2. dengan cara "Persetujuan"
akan tetapi dalam praktek pembuatan AD PT ada 1 cara lagi yaitu dengan cara "gabungan penawaran & persetujuan".

Pengalihan Saham dengan cara "Penawaran" dilakukan dg tahapan sbb :
1. pemegang saham yg hendak menjual saham wajib "menawarkan" saham yg hendak dijual kepada pemegang saham yg ada/p.shm eksisting, dapat dilakukan dg cara :
a. ditawarkan secara langsung kepada pemegang saham yg ada/p.shm eksisting, atau
b. ditawarkan kepada p.shm eksisting melalui Direksi PT.
dengan surat penawaran tertulis & dengan tanda terima penawaraan penjualan saham.
2. Pemegang saham yg ada/p.shm eksisting yang berminat membeli saham yg dijual, kemudian mengajukan penawaran pembelian saham tsb secara tertulis dengan cara :
a. baik secara langsung kepada pemegang saham yg hendak menjual sahamnya tsb, atau
b. melalui Direksi PT.
3. - Dalam hal semua saham yg hendak dijual terbeli oleh p. shm eksisting maka "dibuat" akta/jual jual beli saham, atau akta pengalihan saham sebagai alat bukti pengalihan saham, akan tetapi bila masih ada sisa saham yg dijual belum terbeli, maka dapat ditawarkan kembali kepada p.shm eksisting lagi, atau dapat ditawarkan kepada "pihak ketiga" yang berminat membeli & kemudian dibuat akta/surat jual beli saham nya. 
- Apabila seluruh pemegang saham eksisting tidak berminat membeli saham yg dijual, maka penjualan saham tsb dapat ditawarkan kepada "pihak ketiga" baik secara langsung maupun melalui Direksi PT dan setelah mendapat pembeli saham, maka dapat dilakukan jual beli saham & dibuat akta/surat jual beli saham, sbg bukti penjual saham.
4. setelah seluruh saham terjual & telah dibuat akta/surat jual beli saham, maka jual beli saham tsb "wajib" didaftarkan pada "DAFTAR PEMEGANG SAHAM & DAFTAR KHUSUS" oleh Direksi PT, selanjutnya "diberitahukan/melaporkan" pengalihan saham/jual beli saham tsb kepada Menkumham melalui SABH dg melampirkan "akta/surat jual beli saham atau akta/surat pengalihan saham".

Sedangkan cara pengalihan saham "Persetujuan", dalam UUPT ketentuannya diberikan kebebasan kepada pendiri PT/pemegang saham PT untuk mengatur & menetapkan "cara persetujuan" pengalihan saham dalam AD PT. Adapun cara "Persetujuan" ini, dapat diatur dlm AD PT sbb "
1. dengan cara Persetujusn RUPS, dan/atau
2. dengan cara Persetujuan Rapat Komisaris, atau seorg/lebih anggota Komisaris, dan/atau
3. dengan cara Persetujuan Rapat Direksi, atau seorg/lebih anggota Direksi.
Kelaziman yg ada cara persetujuan ini "kebanyakan" dalam AD PT diatur & ditetapkan dengan cara "Persetujuan RUPS", akan tetapi ada pula AD PT yg mengatur tatacara/prosedur pengalihan saham dalam AD PT nya tidak dengan cara persetujuan RUPS akan tetapi menggunakan cara "Persetujuan Lain" seperti yg diuraikan di atas, karena hal tsb dimungkinkan/diperbolehkan dalam aturan UU PT sebagai pilihan cara yg wajib ditetapkan oleh pendiri PT/pemegang saham PT untuk mengatur/diatur dalam AD PT ybs.

Sedangkan cara pengaturan dalam AD PT dengan cara "Gabungan Penawaran & Persetujuan", banyak pula dipergunakan & diatur dalam praktek penyusunan pembuatan AD PT, cara ini kebanyakan dipergunakan dalam PT Tbk, atau PT yg besar/multi nasional, atau pada PT yg bernaung dalam Group PT korporasi, dll.

Selain itu Dalam UUPT, pengalihan saham dalam PT, juga ditetapkan dalam 2 sistem yaitu :
1. pengalihan saham non pengambilalihan/non akusisi,
2. pengalihan saham dg pengambilalihan/akuisisi.

pengalihan saham dengan "pengambilalihan/akuisisi" wajib dipenuhi & dilakukan, apabila pengalihan saham tsb menyebabkan "beralihnya pengendalian PT" oleh pembeli saham, sedangkan pengalihan saham "tanpa melalui pengambilalihan/akuisisi" "dapat" dilakukan apabila tidak menyebabkan terjadinya pengalihan pengendalian PT.
Pengalihan saham dengan cara pengambilalihan/akuisisi maupun dengan non pengambilalihan/non akusisi tetap dibuat akta/surat jual beli, atau akta/surat
pengalihan saham sebagai bukti tertulis telah dilakukan pengalihan saham, dan "wajib" dicatat terlebih dahulu oleh Direksi PT dalam "DAFTAR PEMEGANG SAHAM PT & DAFTAR KHUSUS" yg oleh UU PT wajib diadakan/dibuat dalam administrasi PT.

Selain tatacara/prosedur & sistem pengalihan saham tsb diatas, masih ada sistem pengalihan saham yg diatur dl UU PT yaitu :
1. dengan sistem Penggabungan PT/Marger; atau
2. dengan sistem Peleburan PT/Konsolidasi.
Dalam Penggabungan/Merger , dilakukan dengan PT yg satu menggabung me dalam PT yg lain, dan kemudian PT yg menggabungkan diri tsb menjadi bubar, sedangkan dalam Peleburan/Konsolidasi, dilakukan dengan PT-PT yang melakukan peleburan/konsolidasi membubarkan diri kemudian membentuk PT baru.

MENJADI PERSOALAN.
1. kebanyakan/banyak PT yg tidak membuat/mengadakan "DAFTAR PEMEGANG SAHAM (DPS PT) & DAFTAR KHUSUS (DK PT)" yg diwajibkan dalam UU PT & bila terjadi pengalihan saham dengan sendirinya karena "tidak ada" DPS PT & DK PT maka pengalihan saham tsb tidak dicatatkan dalam DPS PT & DK PT dalam administrasi PT ybs oleh Direksi PT, & para Notaris saat melaporkan pengalihan saham PT kepada Menkumham melalui SABH tidak pula memperhatikan hal tsb & tidak melampirkan DPS PT & DK PT yg telah mencatat pengalihan saham tersebut, bagaimana "keabsahan" pengalihan saham yg tidak dicatatkan dalam DPS PT & DK PT karena kewajiban pencatatan pengalihan saham dalam DPS PT & DK PT adalah kewajiban yg ditetapkan dalam UU PT ?

2. Dalam pendaftaran di SABH & dalam praktek pengalihan saham yg dilakukan dihadapan Notaris, pengalihan saham "dihapalkan" oleh "kebanyakan orang" harus dilakukan melalui "Persetujuan RUPS", bahkan untuk pengalihan saham "tidak dibuat" akta/surat pengalihan saham atau akta/surat jual beli saham nya. persoalan hukum akan muncul, apabila "pengalihan saham tidak dilakukan dengan cara & sistem yg diatur & ditetapkan dalam ketentuan AD PT" yg mengatur pengalihan saham "tidak dengan tatacara & sistem tanpa persetujuan RUPS"  seperti sebagaimana diuaraikan diatas yang akan menyebabkan "pengalihan saham menjadi tidak sah" karena "tidak mengikuti tatacara & sistem yg ditetapkan dalam ketentuan AD PT. Bagaimana tanggung jawab notaris yg membuat akta-akta yang berkaitan dengan terjadinya pengalihan saham yg tidak mengikuti & mematuhi tatacara & sistem pengalihan saham yg ditetapkan dalam AD PT ?

Secara hukum formal, segala pengalihan saham yg tidak mematuhi, mengikuti dan tidak sesuai dengan ketentuan UU PT & ketentuan AD PT sudah pasti adalah "Melanggar Ketentuan UU PT & AD PT" adalah "cacad hukum" & dapat "batal demi hukum" atau "dibatalkan". Dalam hal terjadi kerugian karena kesalahan tatacara & sistem yg dipergunakan dalam pengalihan saham yg tidak sesuai dengan ketentuan UU PT & AD PT yg mana pengalihan saham nya dilakukan dihadapan Notaris, sudah barang tetu akan menjadi melibatkan Notaris dan dapat menjadikan Notaris menjadi merugikan para pihak. 

Oleh karena itu, marilah para Notaris mulai melakukan "Revolusi Mental" dalam menjalankan praktek, tugas, & kewenangan Notaris agar tidak melanggar UU PT & AD PT yang dapat menimbulkan "masalah/perkara hukum" dikemudian hari.