07/01/17

Sinkronisasi Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Hukum Pajak Sebagai Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Di Indonesia - Pidato Gubes Prof. Djamal Wiwoho

Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof.Djamal Wiwoho
Sebagai Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
17 Nop 2010, www.jamalwiwoho.com

Sinkronisasi Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Hukum Pajak Sebagai Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Di Indonesia[1]
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial (social control) terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan (profit) dari usahanya, melainkan juga mereka memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya yang diwujudkan melalui Corporate Social Responsibility (CSR).

Schermerhorn, memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan public eksternal. CSR merupakan pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan

Nama lain yang memiliki kemiripan atau diidentikkan dengan CSR adalah :
1.       Pemberian/ Amal Perusahan (Corporate Giving/Charity)
2.       Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy)
3.       Relasi Kemasyarakatan Perusahan (Corporate Community/Public Relations)
4.       Pengembangan Masyarakat (Community Development)
Sementara itu Konsep Piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol,
CSR adalah puncak piramida yang erat terkait, dan bahkan identik dengan tanggung jawab filantropis. yang meliputi :
1.       Tanggung jawab Ekonomi, dengan kata kunci make a profit
2.       Tanggung jawab legal, kata kuncinya obey the law
3.       Tanggung jawab etis, kata kuncinya Be ethical
4.       Tanggung jawab filantropis, kata kuncinya nonfiduciary responsibility

Adapun faktor-faktor pendorong utama bagi perusahaan mengapa perusahaan harus mengimplementasikan CSR adalah :
1.       Terjadinya perubahan nilai-nilai (values)
2.       Strategy perusahaan
3.       Public pressure

Sebagai sebuah Corporate Philantrophy kita mengenal empat model yaitu :
1.       Keterlibatan langsung, contohnya adalah SCTV peduli, Peduli Indosiar dll.
2.       Melalui yayasan, contohnya Yayasan Coca-cola Company, Yayasan Dharma Bakti ASTRA dll
3.       Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium, Contohnya Yayasan Mitra Mandiri
4.       Bermitra dengan pihak lain, sebagai contoh Pertamina memberikan bantuan kepada UNS sebesar satu milyar rupiah untuk penyempurnaan perpustakan UNS

Ditinjau dari sudut pandang hukum pajak, program CSR yang dilaksanakan di perusahaan-perusahaan dapat terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya:
1.       Dalam bidang Lingkungan Hidup,
Hal ini berkaitan dengan biaya pengolahan limbah
2.       Pada hasil produk dan konsumen,
Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan produknya secara gratis kepada masyarakat, meningkatkan kepuasaan pelanggan dengan memberi pelayanan setelah penjualan, dll
3.       Dalam bidang ketenagakerjaan
Berkaitan dengan program pelatihan-pelatihan,pemberian tunjangan,mutasi dan promosi pada para karyawan
4.       CSR dalam bidang kesehatan
Hal ini berkaitan dengan program pemberian sarana dan prasarana kesehatan, misalnya puskesmas, khitanan massal, imunisasi, dll
5.       Dalam bidang pendidikan
Hal ini berkaitan dengan program beasiswa kepada siswa yang berprestasi dan siswa yang tidak mampu, atau sumbangan untuk sarana dan prasarana sekolah

Kegiatan CSR dan pembayaran pajak bagi perusahaan mestinya bersifat komplementer sebab kebijakan CSR dan hukum pajak di Indonesia saat ini masih bersifat sektoral dan belum ada sinkronisasi baik secara horizontal maupun vertikal. Idealnya kedua kebijakan itu saling menyempurnakan yang pada akhirnya dapat menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Sebagai ilustrasi di Kanada, policy CSR dengan hukum pajak telah ada sinkronisasi dan saling melengkapi. Setiap orang yang tinggal di Kanada harus mempunyai Social Insurance Number (SIN). Kartu SIN merangkap fungsi KTP dan NPWP, dengan SIN pemerintah memonitor kesejahteraan masyarakat. Pajak yang dibayar oleh pemberi kerja disetor dengan menyebutkan SIN pekerja, dan pihak bank juga akan menerima transfer pembayaran gaji dari pemberi kerja dengan menyertakan SIN. Setiap penduduk wajib menyerahkah tax return atau semacam “nisab harta tahunan”. Kemudian dikurangi dengan biaya hidup dan tanggungan keluarga setahun. Besarnya biaya hidup ditentukan negara, bila sisa harta kurang dari jumlah yang ditentukan maka tergolong miskin, dan tidak wajib membayar pajak.

Si miskin yang telah membayar pajak dari upah yang dia terima dan semua pajak dari barang konsumsi selama setahun, maka ia berhak mendapatkan pengambalian atas pajak yang dipungut. Bahkan pemerintah memberikan skema subsidi untuk penduduk penghasilan rendah, seperti subsidi perumahan. Yang menarik adalah kedudukan transasksi harta yang bersifat non ekonomi seperti hibah, shodaqoh, infaq yang dikelola oleh lembaga khusus. Lembaga ini menerima sumbangan dari perusahan dan orang kaya, dan tiap tahun harus melaporkan laporan keuangannya kepada negara. Bukti penyumbang dari lembaga tersebut dapat digunakan sebagai pengurang pendapatan sebelum dikenai pajak.

Dalam pandangan Prof. Djamal Wiwoho, sistem CSR dan perpajakan yang dijalankan di atas mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan di dalam agama.
1.    Pertama adalah konsep tentang peran Negara dalam mengatur perekonomian rakyat di mana Negara bertugas menciptakan pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat.
2.      Kedua adalah konsep sodaqoh. 
     Di samping zakat yang wajib, agama menganjurkan masyarakat untuk beramal di luar zakat, seperti shodaqoh dan infaq. Shodaqoh yang tidak disiarkan kepada khalayak adalah yang terbaik sebab tidak tercampur unsur riya’/pamer. Tetapi adakalanya shodaqoh harus dipaparkan kepada masyarakat untuk keperluan transparansi dan akuntabilitas. Itulah mengapa shodaqoh terang terangan tetap dipuji di dalam AlQur'an.
3.       Ketiga adalah konsep hisab atas harta yang akan dijalani oleh semua manusia kelak di akhirat. 
     Hisab harta manusia adalah pemeriksaan mengenai dari mana dan bagaimana manusia memperoleh harta, serta bagaimana ia membelanjakan/menggunakan harta tersebut. 
     Dari pemeriksaan tersebut akan tampak apakah perolehan dan pembelanjaan harta manusia selama hidup di dunia sudah sesuai dengan tuntunan atau tidak; ada kedzaliman atau tidak. Jika kita sudah terbiasa dengan hisab harta sejak di dunia ini, maka insya Allah kelak di akhirat kita akan dengan mudah melewati hisab harta dan segera bisa sampai ke surga.



[1]  Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof.Djamal Wiwoho, Sebagai Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 17 Nop 2010, www.jamalwiwoho.com

Analisis Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

 Analisis Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
  Mata Kuliah                                 :   Hukum dan Ekonomi 
  Pengampu                                    :   Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.
  Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


Pembangunan hukum harus meminimalisasi pemberlakuan dan penerapan norma hukum yang terkadang justru menimbulkan ketidakadilan serta ketidakefektifan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang telah menyiapkan orientasi pembangunan hukum ekonominya seiring dengan konsep pembangunan ekonomi negaranya ke depan, serta mampu memprediksi ke depan dan menyediakan berbagai aspek yang dibutuhkan oleh waga negaranya dalam rangka menyongsong perubahan-perubahan dunia ke depan. Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum. Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah secara sadar dan mendasar sistem hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘neo-liberal’ dan dibawah kendali negara-negara maju menjadi system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau kerakyatan, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, Pasal 33 UUD 1945. Sistem hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan sistem ekonomi Pancasila.[1] Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga memerhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi yg berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi memerhatikan aspek yang lain.[2]
Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah mengadopsi kebijakan ala neo-liberal yang sangat pro-pasar bebas (free-market) bukan pro-rakyat. Di Sektor UMKM, muncul Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang cenderung terkesan lebih pro-pasar dibanding mewadahi aspirasi kepentingan ekonomi rakyat. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disebut LKM, [3] merupakan lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat skala mikro berupa pemberian pinjaman atau pembiayaan serta pengelolaan simpanan. Dengan salah satu dasar nilai filosofi[4] pembentukanya adalah menumbuh kembangkan perekonomian rakyat menjadi tangguh, berdaya, dan mandiri yang berdampak kepada peningkatan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, serta menimbang dari Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Suatu perundangan juga harus memperhatikan nilai ekonomis yaitu substansi peraturan perundangan hendaknya disusun dengan memperhatikan efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan perundangan.UU LKM pada hakekatnya mempunyai semangat tujuan awal yang mulia yaitu untuk mengakomodir nuansa yang  berkembang di lapangan yang diselimuti keinginan serta  perwujudan tujuan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dengan tetap berwawasan kearifan lokal sehingga diharapkan mampu menyentuh masyaarakat lapisan bawah. Namun substansinya ada beberapa hal yang bisa menimbulkan multi tafsir dan tumpang tindih.


Teori Richard Posner
Economic Theory of Law atau analisis ekonomi terhadap hukum (The Economic Analysis of Law) merupakan  sebuah pendekatan terhadap hukum atau studi kritis terhadap hukum melalui pendekatan ekonomi (Critical Legal Studies with the antecedents of economic approach). Teori ini  sudah muncul oleh kalangan utilitarianisme seperti Jeremy Bentham dan John Stuarth Mill.[5]
“... economics is the science of rational choice in a world-our world-in which resources are limited in relation to human wants. The taskof economics is to explore the implications of assuming that man is a rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions which are attended for the regulation of the bevaviour of personswhose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions,as measured in economic terms. Law is, therefore, created andapplied primarily for the purpose of maximizing overall social utility”.[6]
Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness).
Pendekatan ini erat kaitannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economictools untuk mencapai maximization of happiness.[7] Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan tidak menghilangkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia. Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang dikembangkan oleh Posner kemudian dikenal dengan the economic conception of justice, artinya hukum diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan umum seluas-luasnya (maximizing overall social utility).[8]
Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi, jika hukum itu lebih diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Posner mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way than human satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay for goods an  services is maximized”.  Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). Implementasinya dalam  hukum di Indonesia adalah dengan mengkritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan dan enforcement  dari peraturan perundang-undangan. Efisiensi menurut pandangan Posner berkaitan dengan peningkatan kekayaan seseorang tanpa mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Berkaitan dengan hal itu, analisis ekonomi dalam hukum seperti ini dikenal dengan ide wealth maximization atau dalam istilah Posner “Kaldor-Hics”, di mana perubahan aturan hukum dapat meningkatkan efisiensi jika keuntungan pihak yang menang melebihi kerugian pihak yang kalah dan pihak yang menang dapat memberikan kompesasi kerugian bagi pihak yang kalah sehingga pihak yang kalah tersebut tetap menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, Posner menilik salah satu segi keadilan yang mencakup bukan sekadar keadilan distributif dan korektif. Posner menekan “pareto improvement” di mana tujuan dari pengaturan hukum dapat memberi masukan berharga bagi keadilan dan kesejahteraan sosial. [9]
Mengutip pendapat Posner, Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi menyatakan bahwa :
“… ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan.” [10]
Pada dasarnya hukum dan ekonomi adalah dua disiplin ilmu yang berbeda, memiliki paradigma dan tradisi keilmuan yang berbeda. Hukum dan ekonomi pada dasarnya mengacu pada sebuah bidang studi yang mempelajari penerapan metode-metode ilmu ekonomi guna mengatasi problematika hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Termasuk dalam ruang lingkup studinya adalah penggunaan konsep-konsep ekonomi guna mengkaji dan menjelaskan efek dan akibat penerapan aturan hukum tertentu, apakah penerapan hukum yang dimaksud efisien secara ekonomi, dan memprediksi hukum seperti apa yang perlu untuk diundangkan, yang menyajikan manfaat yang paling maksimal bagi masyarakat tanpa mengorbankan fungsi hukum yang sesungguhnya.

Teori Stufenbau Hans Kelsen
Menurut teori Stufenbau dari Hans Kelsen bahwa sistem hukum itu merupakan suatu hirarkhi atau sistem pertanggaan kaidah.[11] Suatu perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah harus memiliki dasar pada kaidah hukum yang lebih tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum harus mencerminkan adanya sistem pertanggaan semacam ini demikian seterusnya ke atas.
Kelsen berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm).[12] Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tpi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.
Sinkronisasi berperan penting dalam penyelarasan berbagai peraturan perundangan yang terkait antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya, baik secara vertikal dengan peraturan diatasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara. Sinkronisasi hukum bertujuan untuk mewujudkan landasan pengaturan bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum secara efisien dan efektif , serta agar substansi dalam suatu perundangan tersebut tidak tumpang tindih namun saling melengkapi, saling terkait satu sama lain. Selain hierarki peraturan perundangan, dalam sinkronisasi vertikal harus diperhatikan pula kronologis tahun dan urutan nomor penetapan peraturan perundangan yang bersangkutan.sedangkan sinkronisasi horizontal melihat urutan waktu ditetapkannya peraturan perundangan tersebut.



Menurut Purnadi Purbacaraka, asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain ialah: [13]  
1.    Undang-undang tidak berlaku surut
2.    Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superiore derogat lex inferiore)
3.    Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum (lex speciale derogat lex generale)
4.    Undang-undang yang belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu (lex posterior derogat lex priori)
5.    Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Pinciples of Legality - Lon L. Fuller
Fuller menjelaskan 8 asas dalam pembuatan perundang-undangan, yaitu: [14]
1.    Suatu sistem hukum harus mengandung aturan-aturan, artinya tidak boleh sekedar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2.    Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3.    Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, karena akan merusak integritas peraturan sebagai pedoman yang ditujukan untuk waktu yang akan datang.
4.    Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti.
5.    Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.    Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7.    Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi.
8.    Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Suatu peraturan perundang-undangan idealnya mengandung asas pembentukan dan asas materi muatan yang baik sehingga memiliki keselarasan dan keharmonisan antara ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perundangan yang satu dengan lainnya.

Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 1 UU nomor 1 tahun 2013, disebutkan bahwa LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiyaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.[15]
Sehingga, secara yuridis semua LKM, termasuk yang berbadan hukum dan koperasi tunduk dalam UU LKM ini, padahal telah banyak Lembaga Keuangan yang telah berdiri sebelum UU LKM tersebut ada. Lalu bagaimana dengan LKM lokal dan informal dengan dukungan dana hibah atau subsidi yang lebih bersifat kekeluargaan, kegotong-royongan pada umumnya yang umumnya tidak tertarik untuk memformalkan lembaganya atau pada aturan yang terkesan berbelit-belit, seperti bank yang dianggap akan menjauhkan pelayanan keuangan mikro bagi keluarga miskin. Nilai dan aturan lokal dianggap sudah memadai untuk mengoperasionalkan LKM berbasis kearifanlokal. Pendekatan yang lebih condong kepada pengertian LKM sebagai pranata sosiokultural, dimana layanan keuangan mikro lebih fokus kepada motif sosial seperti kebutuhan dana untuk upacara adat, kenduri, pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana adat, musibah anggota masyarakat karena penyakit atau kematian dan sejenisnya. Pada umumnya masyarakat keluarga miskin tidak menyukai proses yang rumit dan formal, terkesan takut atau minder untuk datang ke lembaga yang terkesan formal karena suasana yang kurang bersahabat dengan penampilan mereka atau dipandang sebelah mata. Lalu, apakah pilihan mereka juga harus terpangkas ketika memerlukan dana mereka harus pergi kepada suatu lembaga dengan nama tertentu dan diatur dengan formalitas tertentu,bukankah seharusnya suatu kebijakan lebih mengayomi atau berfungsi sebagai payung hukum keberadaan mereka sehingga menciptakan kesejahteraan serta mengangkat masyarakat miskin dari jurang kemiskinan. Kemudian bagaimana dengan Lembaga Keuangan yang sudah ada dilapangan, jika tidak sesuai dengan pengertian UU LKM tersebut, apakah tidak bisa dikategorikan sebagai LKM di Indonesia.

Tumpang Tindih, Rentan akan Kepentingan Politik dan Intervensi Pemerintah
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM, bahwa pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi persyaratan berbadan hukum, permodalan dan mendapat izin usaha yang tata caranya diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 5, Selanjutnya bentuk badan hukum yang dimaksud dalam Pasal 4 tersebut harus memenuhi persyaratan pelaksana LKM harus berbadan hukum yaitu koperasi (harus jenis koperasi jasa bukan KSP) dan PT (Perseroan Terbatas),[16] yang sahamnya harus dimiliki pemerintah daerah kab/kota sebesar 60% sisanya bisa milik perorangan WNI atau lembaga koperasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 tersebut, bhawa secara yuridis yang berbadan hukum koperasi dengan sendirinya akan berada dibawah dua macam perundangan yaitu UU Koperasi dan UU LKM. Dualisme pengaturan hukum ini berimplikasi pada terjadinya tumpang tindih kewenangan, inkonsistensi dan kontradiksi dalam pengaturan, pengawasan dan pembinaan terhadap Koperasi.
Kewajiban keikutsertaan pemerintah daerah setempat sebagai pemilik saham mayoritas, dapat membuka peluang LKM menjadi rentan terhadap niat politisasi dan intervensi dari penguasa daerah/lokal, ataupun sarat akan kepentingan Partai Politik karena Bupati/Walikota dan DPRD sangat powerfull. Hal tersebut juga akan melumpuhkan keswadayaan masyarakat karena akan terbentuk ketergantungan kepada pemerintah yang begitu tinggi, karena seharusnya yang dapat dikembangkan adalah suatu Lembaga Keuangan Mikro yang independen, bebas intervensi serta bercirikan ekonomi kerakyatan yang berbasis UUD 1945 dan Pancasila dengan penuh semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan sehingga mampu mengangkat masyarakat kecil ekonomi lemah menjadi masyarakat yang maju dan lepas dari kemiskinan sehingga tidak tercekik oleh jerat Globalisasi.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM Koperasi) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM,  bahwa sebelum menjalankan kegiatannya LKM harus memperoleh ijin dari OJK dengan memenuhi pesyaratan paling sedikit meliputi susunan organisasi dan kepengurusan, kepemilikan, permodalan dan kelayakan rencana kerja.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM, bahwa pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan OJK (POJK), membuat LKM berbadan hukum koperasi, bukan hanya harus tunduk pada Kementrian Koperasi dan membuat kondisi yang kurang relevan pada praktek di lapangan serta terkesan tumpang tindih  peraturan, adanya aturan yang mengatur mengenai Koperasi yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi yang tentunya jauh lebih rinci mengatur mengenai Koperasi yang berasaskan kekeluargaan. Tampak dalam hal pendiriannya, semangat mempermudah pendirian koperasi justru terkesan menjadi semakin rumit dan tidak berpihak pada masyarakat kecil yang hanya menginginkan suatu lembaga keuangan yang simpel dan tidak terlalu rumit. Sehingga membuat adanya kecenderungan suatu peraturan menjadi tidak dilaksanakan di masyarakat.
Pasal 16 mengenai pembatasan wilayah usaha sebuah LKM, hanya pada satu wilayah kabupaten/kota, atau harus bertransformasi menjadi bank apabila melakukan kegiatan usaha yang melebihi satu wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM.[17]  Dari pernyataan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa skala usahanya tidak akan sebesar sebuah bank yang cakupan operasinya lintas kabupaten, lintas provinsi bahkan lintas negara. Tentunya kita tidak pernah berharap LKM menjadi suatu lembaga yang tetap kecil atau terbonsai karena suatu aturan, namun mampu menjadi besar dan kuat asal sesuai dengan fungsinya karena semakin besar suatu LKM, karena dengan  menjadi semakin kuat LKM dapat melayani semakin banyak kelompok masayarakat yang berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro termasuk petani dan masyarakat desa yang harus diperhatikan kesejahteraannya, yang nantinya mereka mampu mencapai tingkat kesejahteraan yang baik dan bersaing dengan karakteristik kekeluargaan yang kuat menghadapi terjangan arus global dan pasar bebas yang kian masuk. Yang  perlu untuk dibatasi disini adalah bukan pada hal batasan wilayah namun batasan pembiayaannya.
Pasal 28 ayat (3)  UU LKM, bahwa OJK mendelegasikan tugas pembinaan dan pengawasan LKM tersebut kepada pihak pemerintah daerah kabupaten/kota. Kehadiran OJK, berawal dari keinginan menciptakan kehidupan indusri keuangan yang lebih professional yang tidak mudah diintervensi pejabat pemerintah, sehingga dapat dibedakan antara fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan/pengendalian lembaga keuangan, karena itu dibentuklah OJK sebagai institusi khusus pengawasan/pengendalian lembaga keuangan yang berstatus independen, tidak merupakan unit organisasi pemerintah (eksekutif) dan bebas campur tangan dari pemerintah termasuk dari BI dan Kementerian Keuangan. Semua fungsi pengawasan LKM dari lembaga pemerintah dilepaskan dan dilebur kepada OJK yang independen tersebut. Maka, pernyataan pendelegasian kewenangan OJK dalam LKM kepada pihak pemerintah dapat memunculkan  pertanyaan seperti jika pemerintah dan pemerintah daerah terlibat lagi dalam pengawasan lembaga keuangan, apakah masih sejalan dengan semangat pengawasan oleh lembaga independen. Dimana selama ini pihak pemerintah telah melimpahkan kewenangan pengawasan LKM kepada OJK, sehingga menjadi sangat aneh jika pihak OJK mendelegasikan kembali urusan LKM kepada pemerintah. Sehingga LKM tentunya akan tak dapat lepas dari intervensi pemerintah, bukan dengan maksud lepas dari pengawasan pemerintah namun besar harapan untuk terwujudnya suatu LKM yang pro rakyat kecil, kekeluargaan sehingga Pemerintah adalah lebih berfungsi sebagai Pengawas serta Pembina tanpa harus masuk dan terkesan menekan. Dan hal tersebut akan membelenggu asas kemandirian LKM Koperasi. Sehanrusnya, Pembinaan dilakukan oleh Kemenkop, pengaturan oleh Pengurus dan Pengawasan oleh organ Pengawas Koperasi tersebut sendiri.

Potensi Moral Hazard
Pada bagian akhir UU LKM disebutkan LPD dan Lumbung Pitih Nagari diakui sebagai LKM berbasis adat dan tidak tunduk kepada UU LKM ini; [18] padahal dalam batang tubuhnya tidak pernah ada penjenisan LKM berbasis hukum adat dan atau berbasis hukum bisnis, dengan istilah LKM berbasis hukum adat seperti ini bebas dari aturan UU LKM, maka tidak tertutup sikap moral Hazard [19] dari berbagai pihak untuk membentuk LKM dengan mengatas namakan kepentingan adat istiadat aneka suku di Indonesia dengan tujuan agar tidak tunduk pada UU LKM. Selain itu UU LKM dapat dianggap bersifat diskriminatif dan membuka peluang moral Hazard dari masyarakat.
Kesimpulannya adalah berdasarkan uraian diatas bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro secara yuridis-normatif menyisakan ketidak pastian khususnya pada LKM Koperasi serta banyak substansinya yang masih belum sinkron dengan Undang-Undang Perkoperasian dan belum harmonis dengan keadaan riil masyarakat. UU LKM belum dapat mencerminkan serta memberi solusi  LKM berparadigma Pancasila, yang bersifat memberi kemudahannya, kerakyatan, kekeluargaan serta kegotong-royongan didalam substansinya sehingga UU LKM belum dapat secara maksimal memayungi masyarakat berpenghasilan rendah, masyarakat desa dan para penggerak LKM. Kemudian minimnya pembinaan, pengawasan dan otoritas pemerintah yang sangat besar belum lagi jika masyarakat/pelaku LKM menyimpang dari aturan yang terdapat dalam UU LKM harus berhadapan dengan sanksi yang sangat berat, seperti kurungan, denda minimal Rp.50.000.000,- dan maksimal Rp.1.000.000.000,- yang tentunya akan memberatkan bahkan membuat enggan masyarakat miskin. Dalam koperasi Undang-Undang tidak memberikan ancaman ataupun sanksi-sanksi yang sangat berat sehingga LKM Koperasi mampu diberdayakan dan diberikan kelonggaran sehingga mampu untuk tumbuh dan berkembang. Seharusnya UU LKM ini mampu berperan sebagai payung hukum yang melindungi serta membuat perekonomian masyarakat menengah kebawah dan petani pedesaan menjadi terbantu dengan kepastian hukum suatu lembaga keuangan yang bernafaskan kerakyatan, kekeluargaan sehingga dapat mencapai tujuan kesejahteraan, kepastian hukum serta keadilan.  
Seharusnya perundangan yang dilahirkan adalah membidik keadaan LKM dengan memberikan hukum yang bersifat mendidik, membina dan melindungi model LKM seperti koperasi, bukan terkesan menindas.sehingga peraturan tersebut menjadi berpotensi untuk menjadi tidak dipatuhi oleh masyarakat. [20]


[1] Adi Sulistyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Cetakan I,  Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, hal 74.
[2]  Ibid, hal 75.
[3]  Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro).
[4] Nilai Filosofi adalah nilai yang merupakan latar belakang substansi peraturan perundangan dibuat.
[5] Teori Utilitas mengutamakan asas kebergunaan sesuatu/tool. Jadi sesuatu/esse harus memberikan manfaat/nilai utilities bagi esse yang lain (social welfare) lihat Gregory  S. Crespi, Teaching The New Law and Economics, University of Toledo Law Review Vol. 25 No. 3, hal. 715-717, dikutip Erman Radjagukguk, Filsafat Hukum, Modul Kuliah, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal 144.
[6] Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York,U.S.A., h. 3, 249-256 dalam  
   Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan
   Ekonomi,Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, hal 16
[7] Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument,University of Westminster,
   2007, h.1 dalam Fajar Sugianto, hal 17
[8] Posner, R.A., dalam Fajar Sugianto, hal 17
[9]   Nicholas Mercuro dan Steven G Medumo, Economic and The Law: From Posner to Post-modernism, New   
     Jersey: Princenton University Press, 1999, hal 58 – 59.
[10]  Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No.  
     28, Tahun VIII, Maret, 1997, Jakarta, hal 4.
[11]  Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni)¸ alih bahasa oleh Raisul Muttaqien, Cet.VI, Nusa  
     Media, 2008, hal 243-244
[12]  Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih
     lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen,
     Knokville, The University of Tennesse, 1964, hal 3-5
[13]   Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Alumni, Bandung,
     1979, hal 55.
[14]   Fuller, Lon. L. Morality of Law, New Haven. Conn: Yale University Press, 1971, hal 39 - 91
[15]   Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
[16]  Lihat Pasal 5 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.
[17]  Lihat Pasal 27 huruf a Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM.
[18] Lihat Pasal 27 huruf a Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang LKM.
[19] Moral Hazard, secara harfiah dalam Bahasa Indonesia adalah Jebakan Moral, yang faktor resiko adalah sebagai tesis utamanya. Menurut manajemen resiko, Moral Hazard adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan telah mengetahui dampak kerugiannya, seperti telah direncanakan.
[20]  Menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Hukum dan Masyarakat Perkembangan dan Masalah, Cet-2, Bayu Media, Publishing, Malang, 2008, hal 21 bahwa hukum positif yang telah terwujud dalam bentuk Undang-Undang namun tidak sesuai dengan hukum rakyat berkemungkinan tidak akan dipilih warga masyarakat sebagai petunjuk perilakunya.