TANYA JAWAB HAK TANGGUNGAN
Sumber : http://www.hukumonline.com
1. Pertanyaan : Bolehkah Menjual Tanah yang Dibebani Hak
Tanggungan?
Apakah tanah yang
dibebani hak tanggungan boleh dijual oleh si pemilik
tanah (pemberi hak
tanggungan).
Jawaban :
Pada
dasarnya, hak tanggungan merupakan hak kebendaan, yang mana salah satu ciri hak
kebendaan adalah hak tersebut mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda
tersebut berada (droit de suite). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
7 Undang-Undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah (“UU Hak
Tanggungan”), yang berbunyi:
“Hak Tanggungan tetap mengikuti
obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Hak
Tanggungan dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus
bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat
menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
Ini berarti pada dasarnya tidak menjadi masalah jika
hak tanggungan tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah)
kepada orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang
dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan ke
Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah lahir).
Akan tetapi, pada praktiknya
penerima hak tanggungan seringkali memperjanjikan bahwa pemberi hak tanggungan
tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan, serta diperjanjikan pula bahwa
sertifikat tanah yang dijaminkan akan dipegang oleh penerima hak tanggungan.
Janji bahwa pemberi hak tanggungan
tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 11
ayat (2) huruf g UU Hak Tanggungan. J. Satrio dalam bukunya berjudul
Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku 2) (hal.
103), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa dengan dimuatnya klausula
tersebut, pemberi hak tanggungan terikat untuk tidak melakukan tindakan atau
mengambil sikap yang bisa mengakibatkan beralihnya pemilikan objek hak
tanggungan kepada pihak lain tana persetujuan pemegang hak tanggungan.
Sedangkan, janji bahwa penerima hak
tanggungan akan memegang sertifikat tanah (Pasal 11 ayat [2] huruf k jo.
Pasal 14 ayat [4] UU Hak Tanggungan) akan berakibat bahwa pemberi hak
tanggungan (pemilik tanah) tidak dapat menjual tanah yang dijaminkan. Ini
karena untuk melakukan jual beli tanah dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
("PPAT"), PPAT akan meminta sertifikat asli atas tanah tersebut (Pasal
39 ayat [1] Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Jadi, pada dasarnya pemberi hak
tanggungan (pemilik tanah) tetap dapat menjual objek hak tanggungan. Akan tetapi, harus dilihat
terlebih dahulu hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan.
Selain itu, pada umumnya karena hak tanggungan tetap mengikuti objek hak
tanggungan di tangan siapapun tanah tersebut berada, maka jarang ada pembeli
yang ingin membeli tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan, kecuali dalam
jual beli tersebut diperjanjikan hal-hal guna melindungi kepentingan pembeli.
Dasar Hukum:
2. Pertanyaan : Bisakah Mengganti Objek
Hak Tanggungan?
Apakah bisa objek
yang dijaminkan oleh debitur diganti dengan objek lain?
Misal sertifikat
tanah milik si A diganti dengan sertifikat tanah milik debitur?
Jawaban :
Mengenai pembebanan jaminan kredit
atas tanah dilakukan dengan hak tanggungan, yang diatur dalam Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Dalam UU Hak Tanggungan, tidak ada
ketentuan yang mengatur mengenai penggantian benda jaminan hak tanggungan. Akan
tetapi, hal tersebut dimungkinkan dengan melihat ketentuan Pasal 18 ayat (1)
huruf b UU Hak Tanggungan:
Pasal 18 UU Hak Tanggungan:
1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal
sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan
Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh
pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan.
Lebih lanjut, dalam Pasal 18 ayat
(2) UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa hapusnya hak tanggungan karena
dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan
kepada pemberi hak tanggungan.
J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum
Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2 (hal. 259-260),
mengatakan bahwa dalam Pasal 18 ayat (2) UU Hak Tanggungan tidak disyaratkan
adanya suatu akta otentik, baik notariil maupun PPAT, dan karenanya cukup
dengan akta di bawah tangan saja. Yang penting adalah kehendak dari pemegang
hak tanggungan untuk itu tampak jelas dan tidak meragukan.
Perlu diperhatikan juga bahwa dengan
dilepaskannya hak tanggungan, tidak berarti bahwa utangnya menjadi lunas.
Utangnya bisa tetap ada, tetapi sekarang tidak dijamin dengan hak tanggungan
yang dilepaskan itu.
Setelah hak tanggungan dilepaskan
maka, berdasarkan Pasal 22 ayat (4) UU Hak Tanggungan, pihak yang
berkepentingan (pemberi hak tanggungan) melakukan permohonan pencoretan hak
tanggungan dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan yang telah diberi
catatan oleh kreditur bahwa hak tanggungan hapus karena kreditur melepaskan hak
tanggungan yang bersangkutan. Kemudian, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak
tanggungan (roya) tersebut pada buku tanah hak atas
tanah dan sertifikatnya (Pasal 22 ayat [1] UU Hak Tanggungan).
Dengan begitu terlihat bahwa
dimungkinkan untuk mengganti objek jaminan kredit tersebut dengan melepaskan
objek hak tanggungan yang pertama (tanah milik si A) dan membebankan hak
tanggungan pada tanah debitur sendiri. Biasanya atas perubahan jaminan dalam
perjanjian kredit tersebut, kreditur akan melakukan perubahan pada perjanjian
kredit. Mengenai pembebanan dengan hak tanggungan dapat Anda baca dalam artikel
yang berjudul APHT (Akte
Pemberian Hak Tanggungan).
Dasar Hukum:
3. Pertanyaan :
Dapatkah Satu Objek Dibebankan Dua
Hak Tanggungan?
Apakah diperbolehkan untuk objek
jaminan kredit dibebankan dua Hak Tanggungan (HT 1 dan 2) dengan debitur dan
kreditur yang sama (hanya 1 debitur dan 1 kreditur)?
Apabila terjadi lelang eksekusi
terhadap objek jaminan tersebut, bagaimana teknis pelaksanaannya?
Untuk pelunasan HT yang ada, apakah
kreditur dapat langsung melakukan lelang eksekusi untuk HT 1 dan 2 secara
bersama-sama mengingat hanya ada satu kreditur?
Apakah hal tersebut melanggar aturan
perundangan-undangan tentang perbankan?
Jawaban :
Seperti kita ketahui, objek yang
dapat dijadikan jaminan dengan hak tanggungan adalah hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Demikian
ketentuan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Berdasarkan Pasal 5 UU Hak
Tanggungan, atas suatu objek tanah dapat dibebani lebih dari satu hak
tanggungan untuk menjamin lebih dari satu utang. J. Satrio dalam
bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,
Buku 1 (hal. 196-197), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa melihat
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Tanggungan dapat terjadi atas suatu
objek hak tanggungan yang sama, bisa diletakkan lebih dari satu beban hak
tanggungan untuk satu utang yang sama. Hak tanggungan tersebut masing-masing
harus dituangkan dalam akta pemberian hak tanggungan sendiri-sendiri.
J. Satrio mencontohkan misalnya ada
kredit per rekening koran sebesar Rp10.000.000,- yang dijaminkan dengan suatu
tanah. Atas tanah tersebut dipasang beban hak tanggungan sebesar
Rp12.000.000,-. Setengah tahun kemudian, debitur meminta tambahan kredit
sebesar Rp5.000.000,- dan atas tanah yang sama tersebut, dipasang hak
tanggungan kedua sebesar Rp6.000.000,-.
Di sini terlihat bahwa adanya satu
objek hak tanggungan yang dibebani lebih dari satu hak tanggungan, untuk
menjamin satu utang yang sama (yang timbul dari perjanjian yang sama).
Selain itu, J. Satrio juga (ibid,
hal 198) menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Tanggungan, satu
objek jaminan yang sama bisa dipakai untuk menanggung lebih dari satu utang. Beberapa
utang tersebut bisa datang dari kreditur yang sama, tetapi mungkin juga
dari 2 (dua) utang dari 2 (dua) kreditur yang berlainan.
Mengenai apakah kreditur dapat
langsung melakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan I dan hak tanggungan II
secara bersama-sama karena yang menjadi kreditur dari kedua hak tanggungan
tersebut adalah kreditur yang sama, pada dasarnya eksekusi objek jaminan hak
tanggungan dapat dilakukan jika debitur wanprestasi (Pasal 20 ayat [1] UU
Hak Tanggungan). Mengenai teknis pelaksanannya, Anda dapat melihat dalam
artikel yang berjudul Jaminan dan
Penagihan Utang.
Wanprestasinya debitur atas salah
satu perjanjian utang yang berakibat dieksekusinya hak tanggungan, pada
akhirnya juga akan mengakibatkan dibayarnya utang-utang lain yang juga
dijaminkan dengan objek tersebut dari hasil eksekusi objek tersebut.
Jadi eksekusi salah satu hak
tanggungan, akan memberikan pembayaran atas utang lainnya yang juga dijaminkan
dengan objek hak tanggungan tersebut.
Dalam peraturan perundang-undangan
perbankan tidak mengatur secara rinci mengenai jaminan. Penjelasan Pasal 8
ayat (1) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hanya dikatakan bahwa jika berdasarkan unsur-unsur
lain (watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur)
telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan
utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang
dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan
berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang
lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Sehingga ketentuan perbankan
tersebut hanya melihat dari segi kemampuan debitur dalam memenuhi pelunasan
utangnya dan jaminan yang diberikan dinilai cukup untuk mengamankan posisi Bank
dalam mendapatkan pelunasan utang jika terjadi debitur wanprestasi. Mengenai
hal lain, tetap merujuk kepada peraturan-peraturan yang berlaku yang mengatur
mengenai jaminan-jaminan tersebut.
Dasar Hukum:
4. Pertanyaan :
Menyita Agunan atas Tanah yang
Dijaminkan
Perusahan saya begerak dalam bidang retail
barang-barang yang dikreditkan (dibayar dalam jangka waktu 1 tahun) kepada
konsumen yang memberikan jaminan/agunan aset mereka berupa surat-surat
tanah/bangunan (Girik/Akte Jual-Beli/Sertifikat/HGB). Dalam melakukan ikatan
ini, telah dibuatkan juga Surat Perjanjian Jual Beli dengan Angsuran, yang
didalamnya juga terdapat pasal yang memberitahukan atas penguasaan atas jaminan
tersebut bila, customer/pengangsur telah lalai dan atau tidak mampu melunasi
hutangnya dalam kurun waktu maksimal 3 bulan, terhitung 1 tahun dari batas
akhir Surat Perjanjian dengan Angsuran tersebut.
Yang menjadi pertanyaan saya;
a. Apakah perusahaan berhak melakukan
penjualan/balik nama agunan tersebut, tanpa
harus mengkonfirmasi kepada
customer/pengangsur yang lalai tersebut?
b. Apa yang harus kami lakukan, bila
agunan tersebut ternyata milik ortu pengangsur ?
Jawaban :
a. Untuk tanah, hanya dapat dijadikan
jaminan dengan Hak Tanggungan (HT). Ini sesuai dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria jo. Undang-Undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT), bahwa Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha dan Hak Pakai bisa dijadikan jaminan atas utang dengan dibebani
Hak Tanggungan.
Pasal 6 UUHT mengatur bahwa apabila debitur wanprestasi, maka
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Dalam pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan
atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang
telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia
tetap melalaikannya. Oleh karena itu, sebelumnya perusahaan harus menyatakan
terlebih dahulu pada debitur bahwa yang bersangkutan telah lalai memenuhi
kewajibannya.
Jadi, apabila debitur wanprestasi, maka kreditur
(dalam hal ini perusahaan) berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
tersebut dan mengambil pelunasan piutangnya.
b. Dalam pembebanan Hak Tanggungan,
harus dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Jadi, silakan cek dokumen Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Anda. Apakah orangtua si pengangsur
(sebagai pemegang hak atas tanah) ikut menandatangani APHT tersebut? Jika ya,
maka artinya Hak Tanggungan tersebut adalah sah dan perusahaan dapat
mengeksekusi objek Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi.
Dasar hukum:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie, Staatsblad
1847 No. 23)
2. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah
5. Pertanyaan :
Mengajukan Permohonan Kredit dengan
Jaminan SHM Pihak Lain
Bolehkah pemohon/debitur mengajukan
kredit dengan menggunakan sertifikat tanah atas milik kakak iparnya? Hal ini
pemilik SHM sudah menyetujuinya.
Jawabannya adalah Boleh.
Dengan syarat, pihak si debitur (si berutang)
menandatangani Surat Kuasa Menjamin Hak Tanggungan di depan pejabat banknya
sendiri bersamaan dengan si pemberi kuasa yang dalam hal ini adalah si pemilik
Sertifikat Hak Milik (“SHM”). Hal ini karena si penjamin bukanlah debitor
langsung, karena tanah tersebut milik si penjamin (si pemilik SHM). Ini
bertujuan untuk menghindari sengketa jika kreditnya macet dan harus
dilaksanakan eksekusi terhadap jaminan.
Pasal 1792 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa, “Pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan “.
Jadi secara
hukum, diperbolehkan apabila si debitor hendak mengajukan kredit dengan jaminan
sertifikat orang lain, asalkan harus ada surat kuasa menjamin yang dibuat
dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2) UU No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah(“UU
4/1996”) menyebutkan:
(1) Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan
perbuatan hukum lain dari pada membebankan HT ;
b. Tidak memuat kuasa substitusi ;
c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan,
jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor
apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa
untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat
berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah
dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4)
Pasal 1 angka 1 UU 4/1996 menyebutkan Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut
Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.
Kemudian, perlu diketahui juga bahwa
apabila hendak mengajukan kredit dengan menggunakan SHM milik orang lain,
langkah yang baik adalah membuat perjanjian tertulis, supaya mengikat bagi para
pihak dan menjadi dasar bukti yang kuat jika suatu hari terjadi suatu sengketa.
Dasar hukum:
6. Pertanyaan :
Pemberi SKMHT Meninggal
Untuk kredit tertentu (misal Kredit
Mikro kurang dari 50 juta), adakalanya pengikatan jaminan hanya sebatas SKMHT
tanpa ditingkatkan ke APHT, hingga berakhirnya masa kredit. Dalam hal jaminan
atas nama orang lain (misal debitur A, pemilik jaminan B), dan dalam
perjalanannya si B (atau pasangannya) meninggal, apakah SKMHT-nya masih berlaku
dan masih bisa di APHT-kan? Bagaimana juga apabila SKMHT atas nama jaminan
milik istri/suami dan dalam perjalanannya suami/istrinya meninggal, apakah
SKMHT-nya masih berlaku dan masih bisa di-APHT-kan?
Jawaban :
Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah (“UUHT”) mengatur
bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) bersifat tidak dapat
ditarik kembali dan tidak berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali
karena telah dilaksanakan atau karena habis masa berlakunya.
“Kuasa Untuk Membebankan Hak
Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab
apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah
habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”
Selanjutnya, apabila kita lihat pada
pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UUHT, diatur bahwa SKMHT wajib
diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT):
1.
Untuk tanah yang telah terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah pemberian
SKMHT;
2.
Untuk tanah yang belum terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah pemberian SKMHT.
Pengecualian dari ketentuan pasal 15
ayat (3) dan ayat (4) adalah untuk jenis-jenis kredit tertentu (pasal 15
ayat [5] UUHT). Jenis-jenis kredit ini sendiri diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas
Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin
Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu (“Permen Agraria”). Salah satu jenis
kredit yang dikecualikan menurut Permen Agraria ini adalah Kredit produktif
yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit
tidak melebihi Rp50 juta. Untuk kredit jenis ini, SKMHT berlaku sampai
berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan.
Merujuk pada uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa untuk kasus Anda (kredit dengan plafonnya kurang dari Rp50
juta) berlaku pengecualian sebagaimana diatur dalam Permen Agraria tersebut.
Dengan demikian, SKMHT-nya berlaku sampai berakhirnya
masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan, dan masih dapat di-APHT-kan
walaupun pemberi APHT meninggal dunia.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah
2.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun
1996 tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu
7. Pertanyaan :
Apakah Hak Tanggungan Tetap Berlaku
Jika Tanah Disengketakan?
Ada perkara pertanahan dimana
perkara ini telah diputus oleh hakim. Hakim memenangkan pihak penggugat yang
menyatakan tanah tersebut sah milik penggugat. Namun sebelum perkara ini masuk
pengadilan, tergugat telah menjaminkan tanah tersebut ke bank.
Apakah tanah yang dijaminkan ke bank
bisa dieksekusi pengadilan karena perkara lain? Bagaimana juga kedudukan tanah
penggugat bila tergugat lalai melunasi hutangnya ke bank dan tanah tersebut
dieksekusi karena perintah bank?
Jawaban :
Intisari
Berdasarkan pendapat pakar hukum dan putusan
Mahkamah Agung, atas tanah yang sudah dijadikan jaminan tidak dapat
diletakkan sita jaminan maupun sita eksekusi. Dengan demikian, kreditor
pemegang jaminan memiliki hak didahulukan atas tanah tersebut.
Tapi dalam
putusan Mahkamah Agung lain, pihak yang benar-benar merasa berhak dan
memiliki bukti kuat dapat dimenangkan dan di saat bersamaan hak tanggungan
yang dipegang kreditor menjadi gugur demi hukum.
Penjelasan
lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.
|
Ulasan
Lebih
lanjut, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (Ibid, hal. 42) memberikan
contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indone
Berdasarkan penjelasan Anda, kami mengambil kesimpulan
bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut pada awalnya adalah atas nama
Tergugat (dalam sertifikat), kemudian setelah proses peradilan dan ada putusan
Hakim, yang berhak atas tanah tersebut adalah Penggugat.
Pada
dasarnya yang dapat membebankan suatu tanah dengan hak tanggungan adalah
pemilik tanah itu sendiri. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
(1) Pemberi
Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
(2) Kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Jika si
Tergugat adalah pemilik tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah yang ada
pada waktu itu, maka Tergugat memang berhak untuk membebankan tanah tersebut
dengan hak tanggungan.
Jika
kemudian tanah tersebut disengketakan dan Tergugat dinyatakan bukan sebagai
orang yang berhak (pemilik) atas tanah tersebut, maka itu merupakan
permasalahan lain. Mengenai apakah atas tanah tersebut dapat dieksekusi oleh
pengadilan, pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan itu sendiri tidak diatur. UU
Hak Tanggungan hanya mengatur bahwa hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya
dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (Pasal 7 UU Hak Tanggungan).
Ini merupakan sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite. Mengenai droit
de suite, Anda dapat membaca artikel Arti Droit
De Suite.
Akan tetapi,
Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam bukunya Hak Tanggungan:
Asas-asas Ketentuan- tidak dapat diletakkan sita (sita jaminan maupun sita
eksekusi). Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenalkannya) hak jaminan
pada umumnya dan khususnya hak tanggungan itu sendiri. Tujuan dari hak
tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi
pemegang hak tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila
terhadap hak tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti
pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari
kreditor pemegang hak tanggungan.
sia No.
394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985, yang berpendirian bahwa barang-barang yang
sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara) tersebut adalah jaminan utang
kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik sehingga tidak dapat dikenakan sita
jaminan.
Akan tetapi,
ini kembali lagi kepada pertimbangan hakim. Sebagai contoh, dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007, Penggugat dan Tergugat I awalnya adalah pasangan
suami istri, yang pada saat perkawinan masih berlangsung, keduanya membeli
sebuah tanah. Pada saat perceraian, keduanya belum membagi harta bersama di
antara mereka. Tergugat I kemudian mengganti buku dan mengukur ulang tanah
tersebut karena buku yang lama telah penuh, yang mana nama pemiliknya tetap
Tergugat I. Tergugat I kemudian menjual tanah tersebut kepada Tergugat II. Tergugat
II kemudian menjaminkan tanah tersebut kepada bank. Dalam perkara ini, hakim
memutuskan salah satunya menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu, jika Penggugat benar-benar merasa
berhak atas tanah tersebut sebaiknya Penggugat juga meminta ketentuan Pokok
dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang
Hak Tanggungan) (hal. 40-41), memberikan pendapat bahwa seharusnya menurut
hukum terhadap hak tanggungan pembatalan hak tanggungan yang berada di atas
tanah tersebut kepada pengadilan.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sutan Remy
Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan
Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan). Bandung: Alumni.
8. Pertanyaan :
Bolehkah Membangun Rumah Di Atas
Tanah yang Dijaminkan?
Saya memiliki rencana membangun rumah di atas tanah
yang orang tua saya miliki untuk dibangun rumah kost-kostan. Karena tak
memiliki modal saya ingin menjaminkan sertifikat tanah orang tua saya ke pihak
bank dan apabila disetujui pihak bank di atas tanah tersebut akan saya dirikan
rumah kost-kostan.
Pertanyaannya bisakah dibenarkan
secara hukum tanah yang sedang diagunkan ke pihak bank namun didirikan suatu
bangunan?
Jawaban
:
Pada
dasarnya tidak ada larangan untuk membangun bangunan di atas tanah yang
dijaminkan dengan hak tanggungan. Akan tetapi Anda harus membicarakan kembali
hal ini dengan pihak bank.
Ini
karena sebagaimana dikatakan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (“APHT”) dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
a. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka
waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b.
janji yang membatasi kewenangan
pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak
Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
c.
janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan
untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan undang-undang;
e.
janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan
apabila debitor cidera janji;
f.
janji yang diberikan oleh pemegang Hak
Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan;
g.
janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak
akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis
lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h.
janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i.
janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi
Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan
diasuransikan;
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan
obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k.
janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4) UU Hak Tanggungan.
Pasal
14 ayat (4) UU Hak Tanggungan:
“Kecuali
apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.”
Melihat
pada janji-janji yang mungkin dituangkan dalam APHT, maka pembangunan kos-kosan
di atas tanah tersebut mungkin dapat dilakukan atau mungkin juga tidak. Jika
ada janji sebagaimana disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b UU Hak
Tanggungan, pemberi hak tanggungan harus meminta persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari pemegang hak tanggungan (bank).
Menurut
J. Satrio, dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan
Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2 (hal 40), janji-janji seperti itu
dimungkinkan demi untuk melindungi kepentingan pemegang hak tanggungan terhadap
kemungkinan kerugian, berupa turunnya nilai objek jaminan sebagai akibat dari
ulah dan perbuatan pemberi hak tanggungan. Bagaimanapun harus diperhitungkan
bahwa nilai suatu bangunan sedikit banyak bergantung dari design bangunan dan
pengaturan tata susunan (ruangan-ruangan) suatu bangunan.
Yang
perlu diperhatikan juga adalah bahwa dalam hal ini yang menjadi pemberi hak
tanggungan bukanlah Anda selaku debitur, melainkan orang tua Anda selaku
pemilik tanah tersebut. Jika dalam membuat bangunan kos-kosan tersebut, Anda
tidak meminta izin terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan padahal
ketentuan tersebut diperjanjikan dalam APHT, maka ada kemungkinan orang tua
Anda juga akan dianggap melakukan pelanggaran. Ini karena perjanjian penjaminan
hak tanggungan tersebut merupakan perjanjian antara bank dan orang tua Anda
(sebagai pemilik tanah).
Jadi, pada dasarnya Anda
harus membicarakan hal ini dengan pihak bank. Dan jika memang ada ketentuan
tersebut dalam APHT, Anda harus meminta persetujuan tertulis dari bank sebelum
membangun kos-kosan.
Dasar
Hukum:
Referensi:
J. Satrio. 1998. Hukum
Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
9. Pertanyaan :
Eksekusi Hak Tanggungan Atas
Sertifikat Hak Guna Bangunan yang Habis Masa Berlakunya
Apakah SHGB yang habis masa
berlakunya tetapi menjadi barang jaminan hutang dapat dilelang (untuk pelunasan
hutang kepada negara)?
Jawaban :
Intisari:
Dalam hal Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut
telah berakhir masa berlakunya, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi
hapus. Jika hak tanggungan hapus, maka kreditur tidak punya hak untuk didahulukan
dengan melelang tanah tersebut.
Penjelasan lebih lanjut, silakan
baca ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Bagi tanah bersertifikat, untuk penjaminannya
digunakan hak tanggungan. Mengenai hak tanggungan ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Hak
atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah: (lihat Pasal 4
UU Hak Tanggungan)
a.
Hak Milik;
b.
Hak Guna Usaha;
c.
Hak Guna Bangunan;
d.
Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.
Perlu diketahui bahwa Hak Tanggungan hapus karena
hal-hal sebagai berikut: (Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan)
a.
hapusnya utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan;
b.
dilepaskannya Hak Tanggungan oleh
pemegang Hak Tanggungan;
c.
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.
hapusnya hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan.
Hak
atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam
Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Pokok
Agraria”) atau peraturan perundang-undangan lainnya (Penjelasan Pasal 18
ayat (1) UU Hak Tanggungan).
Berdasarkan
Pasal 40 UU Pokok Agraria, Hak guna-bangunan (sebagaimana yang Anda
tanyakan) dapat hapus karena:
a.
jangka
waktunya berakhir;
b.
dihentikan sebelum jangka waktunya
berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir;
d.
dicabut untuk kepentingan umum;
e.
ditelantarkan;
f.
tanahnya musnah;
g.
ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
Ini
berarti dalam hal Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut telah berakhir masa
berlakunya, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus.
Jika
hak tanggungan hapus, maka kreditur tidak punya hak untuk didahulukan dengan
melelang tanah tersebut.
Walaupun
hak tanggungan tersebut hapus, perlu diketahui bahwa utang yang dijamin dengan
hak tanggungan tersebut tetap ada (lihat Pasal 18 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
Dasar Hukum:
10. Pertanyaan :
Apakah Bank Boleh Menyita Rumah
Beserta Isinya?
Apakah bank boleh menyita rumah
beserta seluruh isi rumah beserta tanah yang dijadikan Hak Tanggungan atau
hanya bangunan dan tanah saja?
Jawaban :
Sebelumnya,
kita harus melihat arti Hak Tanggungan itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka
1 Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):
“Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Menurut
Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan
pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut asalkan
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Ini
berarti mengenai pembebanan benda-benda yang melekat pada tanah juga harus
diperjanjikan dengan tegas. Ini karena adanya asas pemisahan horizontal pada
Hak Tanggungan (Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan).
Mengenai
apa yang dimaksud dengan benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, J.
Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan,
Hak Tanggungan, Buku 1 (hal. 83) berpendapat bahwa kata-kata “merupakan
satu kesatuan” memberikan gambaran bahwa benda-benda tersebut harus bersatu
dengan erat sekali dengan tanahnya.
Lebih
lanjut, J. Satrio mengatakan bahwa dalam bahasa sehari-hari, merupakan satu
kesatuan berarti “menjadi satu”. Pot-pot bunga, sepeda dan gerobak yang ada di
atas tanah, tidak dapat dikatakan bersatu dengan tanahnya dan karenanya tidak
termasuk dalam ruang lingkup Hak Tanggungan, kalau tanah, di atas mana
benda-benda itu berdiri dijaminkan dengan Hak Tanggungan.
J.
Satrio (ibid, hal. 82), sebagaimana kami sarikan, juga memberikan contoh
dalam hal mesin pabrik. Hak Tanggungan hanya mungkin meliputi mesin-mesin yang
dudukannya disatukan dengan tanah di atas mana mesin itu berdiri dan tanahnya
dijaminkan (maksudnya dudukan mesin, alas/kaki mesinnya diberi pondasi yang
disemen dengan tanahnya). Untuk mesin-mesin yang lain, sekalipun dimaksudkan
untuk dipakai untuk jangka waktu yang lama dalam pabrik yang bersangkutan,
tetap harus dijaminkan dengan gadai atau fidusia.
Mengenai
apa yang dapat dieksekusi oleh bank, Anda harus melihat pada perjanjian Hak
Tanggungan itu sendiri, apa yang termasuk dalam objek Hak Tanggungan. Apakah
hanya tanah saja, atau tanah beserta bangunannya. Pada umumnya, yang
diperjanjikan sebagai objek jaminan Hak Tanggungan adalah tanah dan bangunan.
Jika
tanah dan bangunan yang diperjanjikan sebagai objek Hak Tanggungan dalam
perjanjian Hak Tanggungan, maka kreditur atau Bank dapat mengeksekusi objek jaminan
tersebut dalam hal debitur wanprestasi (Pasal 6 UU Hak Tanggungan). Akan
tetapi, Bank tidak boleh ikut menyita seluruh isi rumah yang berada dalam
bangunan yang dijadikan objek Hak Tanggungan karena isi rumah tidak termasuk ke
dalam benda yang dijadikan objek jaminan Hak Tanggungan dan tidak dapat
dijaminkan juga dengan Hak Tanggungan.
Dasar Hukum:
Referensi:
J.
Satrio. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1. PT
Citra Aditya Bakti.