25/03/16

Subyek Hukum dalam hal hak, kewenangan serta ketidakwenangannya - BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG) | Dr. Habib Adjie

BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG)

Pasal 1 – 3 KUHPerdata tiap-tiap manusia itu berstatus orang dalam hukum, artinya tiap-tiap manusia berwewenang untuk mempunyai hak-hak, khususnya berwewenang untuk mepunyai hak-hak keperdataan.

Pasal 1 KUHPerdata : Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan.
Bahwa semua orang baik yang alami (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama, baik mengenai luasnya maupun kewenangannya.
 

Hak-hak Keperdataan dimulai sejak kelahirannya dengan pengecualian yang dinyatakan dalam Pasal 2 KUHPerdata.
Anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap memenuhi isi Pasal 2 KUHPerdata, kalau memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Dilahirkan hidup.
2. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta/peristiwa hukum itu    

    terjadi. Dan hak-hak keperdataan akan berakhir pada saat kematiannya.

Pasal 3 KUHPerdata bahwa tiada suatu pidana pun (hukuman) yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya hak-hak keperdataan atas seseorang.


Hak-hak keperdataan subjek hukum (orang) yang masih hidup hanya dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan umum.


Subjek hukum (orang) yang dipidana (berada dalam tahanan/penjara) tidak hilang hak-hak perdatanya.


Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke Lembaga Pemasyarakatan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut.


Jika subjek hukum (orang) orang dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke rumah sakit yang bersangkutan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan dokter yang merawatnya, dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut. Untuk meminta pendapat dokter secara fisik dan nonfisik masih bisa berkomunikasi atau tidak, kalau tidak bisa lagi Notaris/PPAT meminta kepada keluarganya untuk dilakukan dengan Pengampuan dengan Penetapan Pengadilan.


Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara dalam kasus-kasus tertentu (tindak pidana korupsi) yang ternyata berdasarkan keputusan pengadilan semua harta bendanya disita, baik harta benda yang disita tersebut dicantumkan dalam amar putusan atau tidak disebutkan (tidak disita), sangat dianjurkan (atau tidak dipenuhi) untuk Notaris/PPAT tidak melayani yang bersangkutan jika ingin menjual harta bendanya meskipun tidak disita. Jika hal ini dilakukan oleh Notaris/PPAT, maka Notaris/PPAT dapat dikategorikan pihak yang membantu menyamarkan atau menyembunyikan (atau sebagai nexus) hasil tindak pidana korupsi atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) -UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


CATATAN :
berdasarkan Pasal 106 huruf a UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa Buku Kesatu Bab Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia, Staatblad 1847 : 23, - dicabut dan dinyatakan tidak berlaku).
Bahwa meskipun eksistensi Kitab undang-undang Hukum Perdata untuk bagian-bagian tertentu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena telah ada undang-undang lain yang mengaturnya, ataupun ada beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963, tapi bagian-bagian tertentu masih dapat dipergunakan sebagai pedoman, meskipun tidak mengikat (dalam SEMA) disebutkan bahwa BW tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis). Dan tentang SEMA itu sendiri menurut Achmad Ali bahwa "Sekalipun secara hirarki perundang-undangannya kaum positivis sebuah SEMA tidak mungkin menghapuskan suatu undang-undang, apalagi kitab undang-undang, tetapi di dalam kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan", 


Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya),Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 25.

Indonesia Notary Community (INC)
January 8 at 7:09am

Apakah Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum Dapat Dipidana



Apakah Badan Hukum Dapat Dipidana

Kamis, 29 Desember 2011

Pertanyaan :
Apakah Badan Hukum Dapat Dipidana?
Apakah badan hukum sebagai subjek hukum dapat dijatuhi pemidanaan?  

Jawaban :
Meminjam penjelasan artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu badan hukum (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons
Berbeda permasalahannya dalam hukum pidana. Dalam ilmu hukum pidana, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader). Sedangkan, perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen).
Permasalahan lainnya, menurut Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bismar Nasution dalam tulisannya “Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya” yang dimuat dalam blog bismar.wordpress.com, banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa Badan Hukum sebagai suatu korporasi (perusahaan) yang  wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Di samping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan. Terlebih lagi, pengaturan mengenai pemidanaan terhadap badan hukum sebagai subjek hukum tidak dapat kita temui dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (“KUHP”).  
Masih menurut Bismar, di dalam KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Sehingga, KUHP saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.
Hal ini, terang Bismar, bisa kita lihat dalam Pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan.
Akan tetapi, pada perkembangannya Badan Hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum.
Bismar menjelaskan, korporasi mulai diposisikan sebagai subjek hukum pidana dengan ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian, bermunculan pengaturan tentang kejahatan korporasi yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti di antaranya:
1.     Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Menurut Bismar, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) UU Jalan
Kemudian, dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU Tipikor dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik pada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam Pasal 20 ayat (1) UU Tipikor. Demikian menurut Bismar Nasution.
Dari penjelasan di atas kiranya dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini badan hukum sebagai subjek hukum dapat dijatuhi pemidanaan.
Dasar hukum:
3.  Undang-Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

SUBJEK HUKUM PERDATA dan PIDANA


SUBJEK HUKUM  

Subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.
      Menurut Algra Subjek Hukum (Rechts Subyek) adalah setiap orang mempunyai hak dan
            kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid)
Subyek hukum adalah Manusia (Naturlijke Person) dan Badan Hukum (Vicht Person).

Sebelum menjelaskan mengenai perbedaan subjek hukum dalam hukum perdata dan subjek hukum dalam hukum pidana, terlebih dahulu kami akan menyebutkan subyek hukum tersebut satu-persatu di bawah ini:

Subjek Hukum Perdata

1.    Orang
Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21) mengatakan bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya dalam hal waris), dapat dihitung sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan dalam keadaan hidup.

 Dua alasan secara yuridis, yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu :
a.       Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif.
b.    kedua, kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUHPerdt), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk wenang berbuat atau bertindak melaksankan hak dan kewajiban yang dimilikinya dibutuhkan adanya syarat kecakapan.

Syarat-syarat seseorang yang Cakap Hukum :
1)      Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun).
2)      Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah.
3)      Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum.
4)      Berjiwa sehat dan berakal sehat.
Walaupun menurut hukum, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya. 
Maka dari itu, mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. 
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
1)    Orang yang belum dewasa
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 330 Ayat 1 yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa (masih dibawah umur) adalah seseorang yang usianya belum mencapai 21 tahun, terkecuali yang tercantum pada Ayat 2 bagi seseorang yang walaupun belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah maka orang tersebut dapat dianggap dewasa dan dapat melakukan perbuatan hukum, namun apabila pada usia 21 tahun orang tersebut bercerai maka orang tersebut dianggap sebagai orang yang belum dewasa (masih dibawah umur).
2)    Orang yang ditaruh dibawah pengampuan atau pengawasan (curatele)
Mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau pengawasan, menurut Pasal 430 KUHP, ada 3 alasan untuk pengampuan atau pengawasan yaitu:
-  Keborosan
-  Lemah akal budinya, misalnya imbisil atau debisil
-  Kekurangan daya berpikir : sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai mengamuk
-  Seorang wanita yang bersuami (para istri)
      
 Menurut KUHP, seorang wanita yang telah menikah tidak diperkenankan bertindak sendiri didalam lalu lintas hukum tetapi wanita tersebut harus dibantu oleh suaminya karena wanita telah memiliki suami dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum. 

Beberapa pasal KUHP yang membedakan antara kecakapan seorang pria dan wanita yaitu:
-  Wanita dapat menikah jika telah berusia 15 tahun dan pria berusia 18 tahun.
-  Wanita tidak diperbolehkan menikah sebelum lewat dari 300 hari setelah pernikahannya diputuskan, sementara untuk pria tidak memiliki larangan.
-  Seorang pria dapat mengakui anaknya apabila telah berusia minimal 19 tahun sedangkan wanita tidak memilik batasan usia.

Namun untuk saat ini, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 31 Ayat 2 UU Perkawinan menentukan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

2.    Badan Hukum
Subekti (Ibid, hal 21) mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.

Pada sumber lain, penjelasan dalam artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia mengatakan bahwa dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.

Lebih lanjut dikatakan dalam artikel itu bahwa badan hukum perdata terdiri dari beberapa jenis, diantaranya perkumpulan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”); Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas); Koperasi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian); dan Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Yayasan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004).

Badan hukum menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut:
suatu badan yang di damping menusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain.”
Sarjana lain mengatakan:
badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang dipisahkan untuk tujuan tertentu(yayasan).”
 
Sri soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan:
baik perhimpunan maupun yayasan kedua-duanya berstatus sebagai badan hukum, jadi merupkana person pendukung hak dan kewajiban.”

Kalau dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena:
a.       Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri
b.      Sebagai pendukung hak dan kewajiban
c.       Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
d.      Ikut serta dalam lalu lintas hukumĂ  bias melakukan jual beli
e.      Mempunyai tujuan dan kepentingan.

Semuanya ini dilakukan oleh para pengurusnya. Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk :
a. Badan hukum publik
    Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau
    yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya     
b. Badan hukum privat
    Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum sipil atau 
    perdata  yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu.

Sebagai subyek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu: (Teori Kekayaan bertujuan)
  1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya.
  2. Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.

Subjek Hukum Publik (Pidana)

1.    Orang

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 59) mengatakan bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.

2.    Badan Hukum (Korporasi)
Masih bersumber pada artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam ilmu hukum pidana, gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader).

Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan kejahatannya itu secara fisik.

Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen), maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang pelaku fungsional (functionele dader).

KUHP belum menerima pemikiran di atas dan menyatakan bahwa hanya pengurus (direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability). Namun, pada perkembangannya korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PERBEDAAN
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa baik hukum perdata maupun hukum pidana, subjek hukum terdiri dari orang dan badan hukum. Dalam hukum perdata dan hukum pidana keduanya mengakui bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang. Hal ini karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia.
Selain itu, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dalam hukum pidana, karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi), maka pelimpahan pertanggungjawaban pidananya terdapat pada manusia, dalam hal ini diwakili oleh direksi.

Perbedaannya, dalam KUHP tidak diatur mengenai pertanggungjawaban Direksi, hanya pertanggungjawaban individual.
Akan tetapi, pada perkembangannya, dalam peraturan perundang-undangan dikenal juga tindak pidana korporasi.

Dasar hukum:
       sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004);

Referensi:
1.  Subekti.2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
2.  Wirjono Prodjodikoro.2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika   
     Aditama.

Sumber :