24/03/16

TANYA JAWAB - NOTARIS PPAT dan Permasalahannya



Unsur  Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya
Rabu, 19 Januari 2011

Unsur-unsur dan/atau aspek-aspek pidana apa sajakah yang dihadapi oleh seorang notaris dalam menjalankan jabatannya?
 
Jawaban :
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) tidak memuat ketentuan pidana bagi notaris. Tapi, hal itu tidak berarti notaris kebal hukum ketika melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan jabatannya.
Dari pemberitaan di hukumonline.com, diketahui bahwa dalam menjalankan jabatannya notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di antaranya:
1.      Pemalsuan dokumen atau surat (pasal 263 dan pasal 264 KUHP).
Contoh 1: Pemalsuan surat setoran bea (SSB) perolehan hak atas tanah dan bangunan (“BPHTB”) dan surat setoran pajak (SSP). Lebih jauh simak artikel Dirjen Pajak Lakukan Pembersihan terhadap Notaris Nakal
 Contoh 2: Membuat akta padahal mengetahui syarat-syarat untuk membuat akta tersebut tidak dipenuhi. Misalnya, dalam pembuatan perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta perjanjian tersebut, meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah. Konsekuensi pembuatan akta seperti itu oleh notaris bisa menyebabkan seseorang hilang hak. Lebih jauh simak artikel Ketika Notaris Dipanggil Polisi)

2.      Penggelapan (pasal 372 dan pasal 374 KUHP). Misalnya, penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien. Lebih jauh simak artikel Tak Ada Hukuman Buat Notaris Nakal).
 3.      Pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modusnya, pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk memindahkan uang. Jika berbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan menjadi sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku tindak pidana. Karenanya, notaris sebagai profesi bertugas membuat akta pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai kemungkinan terjadinya pencucian uang. Lebih jauh simak artikel-artikel Organisasi Notaris Harus Buka Akses Luas kepada PPATK dan Notaris Diminta Waspadai Pencucian Uang Lewat Pembelian Saham.

4.      Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (pasal 242 KUHP). Contohnya, kasus keterangan palsu yang diberikan seorang notaris di Jawa Timur yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana. Lebih jauh simak artikel Majelis Pengawas Notaris Pusat Putuskan Perkara Pertama.

Dasar hukum:


Penyitaan Akta Notaris
Rabu, 03 Maret 2010

Apakah penyitaan Akta Notaris oleh Kepolisian bisa dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan?

Jawaban :

Minuta Akta adalah asli Akta Notaris. 
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (pasal 1 angka 16 KUHAP). Adapun benda yang disita hanyalah benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 39 KUHAP. 

Pasal 43 KUHAP menentukan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris merupakan pejabat yang menyimpan Minuta Akta dan berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatannya berdasarkan undang-undang, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 
Dalam hal ini, penyitaan Minuta Akta Notaris harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Sebagai tambahan, menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya "Hukum Perseroan Terbatas" penyitaan Akta Notaris berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986 dan pasal 43 KUHAP. 

Adapun dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta dapat dilakukan dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) di wilayah mana Notaris yang bersangkutan berkedudukan. 
Pasal 8 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 mengatur bahwa Penyidik untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk membawa Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada MPD dengan memuat alasannya; tembusan permohonan disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tata cara tersebut berlaku pula untuk pengambilan fotokopi Minuta Akta Notaris berdasarkan pasal 2  Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
Untuk syarat pengambilan fotokopi Minuta Akta diatur dalam pasal 3 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a)  ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b)  belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
 Untuk syarat pengambilan Minuta Akta diatur dalam pasal 9 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a)  ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b)  belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
c)     ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d)     ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
e)     ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).
Persetujuan MPD atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta diberikan setelah MPD mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan (pasal 4 jo. pasal 10 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari (kerja) sejak tanggal diterimanya permohonan dimaksud; dan apabila jangka waktu terlampaui MPD dianggap menyetujui (pasal 6 jo. pasal 12 Permenkumham Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007).

 Pemberian fotokopi Minuta Akta kepada Penyidik disertai dengan berita acara serah terima (pasal 7 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Sedangkan untuk Minuta Akta, Penyidik hanya dapat meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/atau cap jempol pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan belum selesai maka Notaris membawa kembali Minuta Aktanya untuk diperiksa kembali pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan telah selesai maka Minuta Akta diserahkan kembali kepada Notaris yang bersangkutan (pasal 13 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007).

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3.      Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris


Bolehkah Notaris/PPAT Membuat Akta Untuk Keluarganya
Selasa, 01 Oktober 2013

Dalam  menjual kapling tanah, pembelinya berkeinginan proses ke notarisnya dengan notaris yang ternyata istrinya.

Pertanyaannya :
bolehkah notaris memproses jual beli kapling yang diajukan oleh suaminya?
bolehkah notaris di Solo memproses jual tanah kapling di Yogyakarta.

Jawaban :
Dalam pertanyaan, tidak dijelaskan apakah Notaris ini hanya bertindak sebagai Notaris atau juga merupakan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Untuk itu kami mengasumsikan bahwa Notaris di sini juga merupakan PPAT.

Pertama, kami ingin menginformasikan bahwa berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP No. 37/1998”), yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah PPAT.

Mengenai jual beli yang dilakukan oleh suami si Notaris sendiri, berdasarkan Pasal 23 ayat (1) PP No. 37/1998, Notaris tersebut (dalam kapasitasnya sebagai PPAT) dilarang membuat akta jual beli kapling tersebut karena jual beli tersebut melibatkan suaminya sebagai salah satu pihak.

Pasal 23 ayat (1) PP No. 37/1998
PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
Sebagai notaris pun, dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU No. 30/2004”), terdapat larangan untuk membuat akta untuk suami atau istri ataupun keluarga.

Pasal 52 ayat (1) UU No. 30/2004
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

Pembuatan akta untuk pihak-pihak yang disebutkan di atas oleh seorang notaris akan berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan (Pasal 53 ayat [3] UU No. 30/2004).
Selanjutnya, mengenai apakah notaris/PPAT di Solo boleh mengurus jual beli tanah di Yogyakarta, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kebupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, notaris/PPAT tersebut tidak boleh membuat akta jual beli untuk tanah di Yogyakarta karena daerah kerjanya adanya di Solo yang berada di provinsi yang berbeda.

Pengaturan serupa juga terdapat dalam Pasal 18 UU No. 30/2004 sebagai berikut:

Pasal 18 UU No. 30/2004:
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
Jadi, notaris/PPAT tersebut tidak berwenang untuk membuat akta jual beli tanah tersebut.
Dasar Hukum:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar