Unsur Pidana
yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya
Rabu, 19 Januari 2011
Unsur-unsur
dan/atau aspek-aspek pidana apa sajakah yang dihadapi oleh seorang notaris
dalam menjalankan jabatannya?
Jawaban :
Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) tidak memuat ketentuan pidana bagi
notaris. Tapi, hal itu tidak berarti notaris kebal hukum ketika melakukan
pelanggaran hukum dalam menjalankan jabatannya.
Dari
pemberitaan di hukumonline.com, diketahui bahwa dalam menjalankan
jabatannya notaris berpotensi melakukan beberapa tindak pidana di antaranya:
Contoh 1: Pemalsuan surat setoran bea (SSB)
perolehan hak atas tanah dan bangunan (“BPHTB”) dan surat setoran pajak (SSP).
Lebih jauh simak artikel Dirjen
Pajak Lakukan Pembersihan terhadap Notaris Nakal
Contoh 2: Membuat akta padahal mengetahui
syarat-syarat untuk membuat akta tersebut tidak dipenuhi. Misalnya, dalam
pembuatan perjanjian kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta
perjanjian tersebut, meskipun tidak memenuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah.
Konsekuensi pembuatan akta seperti itu oleh notaris bisa menyebabkan seseorang
hilang hak. Lebih jauh simak artikel Ketika
Notaris Dipanggil Polisi)
2. Penggelapan (pasal 372 dan pasal 374
KUHP). Misalnya, penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien. Lebih jauh simak
artikel Tak
Ada Hukuman Buat Notaris Nakal).
3. Pencucian uang (UU
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang). Modusnya, pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian
dicatat dalam akta notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku pencucian
uang untuk memindahkan uang. Jika berbentuk saham, otomatis uang hasil
kejahatan menjadi sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku
tindak pidana. Karenanya, notaris sebagai profesi bertugas membuat akta
pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai kemungkinan
terjadinya pencucian uang. Lebih jauh simak artikel-artikel Organisasi
Notaris Harus Buka Akses Luas kepada PPATK dan Notaris
Diminta Waspadai Pencucian Uang Lewat Pembelian Saham.
4. Memberikan keterangan palsu di bawah
sumpah (pasal
242 KUHP). Contohnya, kasus keterangan palsu yang diberikan seorang notaris
di Jawa Timur yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana. Lebih jauh simak
artikel Majelis
Pengawas Notaris Pusat Putuskan Perkara Pertama.
Dasar hukum:
Penyitaan Akta Notaris
Rabu, 03 Maret 2010
Apakah
penyitaan Akta Notaris oleh Kepolisian bisa dilakukan tanpa izin Ketua
Pengadilan?
Jawaban :
Minuta Akta
adalah asli Akta Notaris.
Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan
peradilan (pasal 1 angka 16 KUHAP). Adapun benda yang disita hanyalah
benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat
dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 39 KUHAP.
Pasal 43 KUHAP menentukan bahwa penyitaan surat atau
tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri
setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris merupakan pejabat yang
menyimpan Minuta Akta dan berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatannya berdasarkan undang-undang,
dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Dalam hal ini, penyitaan
Minuta Akta Notaris harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.
Sebagai tambahan, menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya "Hukum Perseroan
Terbatas" penyitaan Akta Notaris berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung
No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986 dan pasal 43 KUHAP.
Adapun dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta
dan Pemanggilan Notaris, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta dapat
dilakukan dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) di wilayah mana
Notaris yang bersangkutan berkedudukan.
Pasal 8 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007
mengatur bahwa Penyidik untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil
Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol
Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang
bersangkutan untuk membawa Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan
mengajukan permohonan tertulis kepada MPD dengan memuat alasannya; tembusan
permohonan disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tata cara tersebut
berlaku pula untuk pengambilan fotokopi Minuta Akta Notaris berdasarkan pasal
2 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
Untuk syarat pengambilan fotokopi Minuta Akta diatur
dalam pasal 3 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan
dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan
ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pidana.
Untuk
syarat pengambilan Minuta Akta diatur dalam pasal 9 Permenkumham No.
M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan
dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan
ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pidana.
c) ada penyangkalan keabsahan tanda tangan
dari para pihak;
d) ada dugaan pengurangan atau
penambahan dari Minuta Akta; atau
e) ada dugaan Notaris melakukan
pemunduran tanggal akta (antidatum).
Persetujuan MPD atas pengambilan fotokopi Minuta
Akta dan Minuta Akta diberikan setelah MPD mendengar keterangan dari Notaris
yang bersangkutan (pasal 4 jo. pasal 10 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun
2007). MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari (kerja) sejak
tanggal diterimanya permohonan dimaksud; dan apabila jangka waktu terlampaui
MPD dianggap menyetujui (pasal 6 jo. pasal 12 Permenkumham Nomor
M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Pemberian fotokopi Minuta Akta kepada Penyidik
disertai dengan berita acara serah terima (pasal 7 Permenkumham No.
M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Sedangkan untuk Minuta Akta, Penyidik hanya dapat
meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta untuk diperiksa di Pusat Laboratorium
Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/atau cap jempol pada hari yang
ditentukan; dan apabila pemeriksaan belum selesai maka Notaris membawa kembali
Minuta Aktanya untuk diperiksa kembali pada hari yang ditentukan; dan apabila
pemeriksaan telah selesai maka Minuta Akta diserahkan kembali kepada Notaris
yang bersangkutan (pasal 13 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris
Bolehkah Notaris/PPAT Membuat Akta Untuk Keluarganya
Selasa, 01 Oktober 2013
Dalam menjual kapling tanah, pembelinya berkeinginan
proses ke notarisnya dengan notaris yang ternyata istrinya.
Pertanyaannya
:
bolehkah
notaris memproses jual beli kapling yang diajukan oleh suaminya?
bolehkah
notaris di Solo memproses jual tanah kapling di Yogyakarta.
Jawaban :
Dalam
pertanyaan, tidak dijelaskan apakah Notaris ini hanya bertindak sebagai Notaris
atau juga merupakan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Untuk
itu kami mengasumsikan bahwa Notaris di sini juga merupakan PPAT.
Pertama,
kami ingin menginformasikan bahwa berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (“PP No. 37/1998”), yang berwenang untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah PPAT.
Mengenai
jual beli yang dilakukan oleh suami si Notaris sendiri, berdasarkan Pasal 23
ayat (1) PP No. 37/1998, Notaris tersebut (dalam kapasitasnya sebagai PPAT)
dilarang membuat akta jual beli kapling tersebut karena jual beli tersebut
melibatkan suaminya sebagai salah satu pihak.
Pasal 23 ayat (1) PP No. 37/1998
PPAT dilarang membuat akta, apabila
PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam
garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat
kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara
bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.
Sebagai
notaris pun, dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU No. 30/2004”), terdapat
larangan untuk membuat akta untuk suami atau istri ataupun keluarga.
Pasal 52 ayat (1) UU No. 30/2004
Notaris tidak diperkenankan membuat
akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta
dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk
diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Pembuatan akta untuk pihak-pihak yang disebutkan di
atas oleh seorang notaris akan berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh
penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk
membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan (Pasal 53
ayat [3] UU No. 30/2004).
Selanjutnya,
mengenai apakah notaris/PPAT di Solo boleh mengurus jual beli tanah di
Yogyakarta, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, daerah
kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kebupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, notaris/PPAT tersebut tidak boleh membuat
akta jual beli untuk tanah di Yogyakarta karena daerah kerjanya adanya di Solo
yang berada di provinsi yang berbeda.
Pengaturan serupa juga terdapat dalam Pasal 18 UU
No. 30/2004 sebagai berikut:
Pasal 18 UU No. 30/2004:
(1) Notaris
mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2) Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya.
Jadi, notaris/PPAT tersebut tidak berwenang untuk
membuat akta jual beli tanah tersebut.
Dasar Hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar