16/01/16

Subyek Hukum dalam hal hak, kewenangan serta ketidakwenangannya - BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG) | Dr. Habib Adjie


BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG)

Pasal 1 – 3 KUHPerdata tiap-tiap manusia itu berstatus orang dalam hukum, artinya tiap-tiap manusia berwewenang untuk mempunyai hak-hak, khususnya berwewenang untuk mepunyai hak-hak keperdataan.

Pasal 1 KUHPerdata : Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan.
Bahwa semua orang baik yang alami (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama, baik mengenai luasnya maupun kewenangannya.
 

Hak-hak Keperdataan dimulai sejak kelahirannya dengan pengecualian yang dinyatakan dalam Pasal 2 KUHPerdata.
Anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap memenuhi isi Pasal 2 KUHPerdata, kalau memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Dilahirkan hidup.
2. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta/peristiwa hukum itu    

    terjadi. Dan hak-hak keperdataan akan berakhir pada saat kematiannya.

Pasal 3 KUHPerdata bahwa tiada suatu pidana pun (hukuman) yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya hak-hak keperdataan atas seseorang.


Hak-hak keperdataan subjek hukum (orang) yang masih hidup hanya dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan umum.


Subjek hukum (orang) yang dipidana (berada dalam tahanan/penjara) tidak hilang hak-hak perdatanya.


Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke Lembaga Pemasyarakatan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut.


Jika subjek hukum (orang) orang dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke rumah sakit yang bersangkutan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan dokter yang merawatnya, dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut. Untuk meminta pendapat dokter secara fisik dan nonfisik masih bisa berkomunikasi atau tidak, kalau tidak bisa lagi Notaris/PPAT meminta kepada keluarganya untuk dilakukan dengan Pengampuan dengan Penetapan Pengadilan.


Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara dalam kasus-kasus tertentu (tindak pidana korupsi) yang ternyata berdasarkan keputusan pengadilan semua harta bendanya disita, baik harta benda yang disita tersebut dicantumkan dalam amar putusan atau tidak disebutkan (tidak disita), sangat dianjurkan (atau tidak dipenuhi) untuk Notaris/PPAT tidak melayani yang bersangkutan jika ingin menjual harta bendanya meskipun tidak disita. Jika hal ini dilakukan oleh Notaris/PPAT, maka Notaris/PPAT dapat dikategorikan pihak yang membantu menyamarkan atau menyembunyikan (atau sebagai nexus) hasil tindak pidana korupsi atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) -UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


CATATAN :
berdasarkan Pasal 106 huruf a UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa Buku Kesatu Bab Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia, Staatblad 1847 : 23, - dicabut dan dinyatakan tidak berlaku).
Bahwa meskipun eksistensi Kitab undang-undang Hukum Perdata untuk bagian-bagian tertentu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena telah ada undang-undang lain yang mengaturnya, ataupun ada beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963, tapi bagian-bagian tertentu masih dapat dipergunakan sebagai pedoman, meskipun tidak mengikat (dalam SEMA) disebutkan bahwa BW tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis). Dan tentang SEMA itu sendiri menurut Achmad Ali bahwa "Sekalipun secara hirarki perundang-undangannya kaum positivis sebuah SEMA tidak mungkin menghapuskan suatu undang-undang, apalagi kitab undang-undang, tetapi di dalam kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan", 


Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya),Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 25.

Indonesia Notary Community (INC)
January 8 at 7:09am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar