14/01/16

Up Date & Up Grade Kenotariatan | PENTING!



Oleh : DR. Habib Adjie, SH, MHum

Up Date & Up Grade Kenotariatan

1.    AKTA NOTARIS WAJIB DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA – APAKAH ADA SANKSINYA JIKA AKTA NOTARIS TIDAK DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA ?
BAHASA HUKUM KONTRAK.
a.    Secara umum Kontrak yang dibuat (lisan atau tertulis) menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para pihak, baik bahasa internasional, bahasa nasional ataupun bahasa daerah. Bahwa yang dimaksud dengan Bahasa (Hukum) Kontrak merupakan bahasa yang biasa dipergunakan (nasional, internasional atau daerah) sesuai dengan tata kaidah bahasa yang bersangkutan yang mengikat (daya ikat) para pihak yang bertransaksi dan dapat dieksekusi.
b.    Seperti yang telah dijelaskan di atas, komunikasi yang jelas dengan bahasa yang mudah dimengerti merupakan salah satu prinsip yang sangat penting diingat dalam perancangan suatu kontrak yang baik dan aman. Kalimat yang berbelit-belit ataupun penggunaan terminologi-terminologi yang tidak jelas dan bias, akan sangat membuat suatu kontrak rentan dengan konflik.
c.     Bahasa yang paling aman bagi para pihak yang berkontrak adalah ba¬hasa yang paling dimengertinya. Artinya, bila para pihak yang berkontrak tersebut adalah orang Indonesia, seharusnyalah kontrak tersebut dirancang dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesialah bahasa yang paling mudah untuk dipahaminya. Penggunaan bahasa Inggris pun ataupun bahas lainnya sesuatu yang harus dilakukan menurut persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
d.    Dalam kontrak terkadang tidak hanya dibuat dalam satu bahasa tertentu, tapi juga dapat dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang dimengerti oleh pihak, misalnya kontrak yang multilateral yang diikuti oleh negara-negara yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, maka bisa saja Kontrak dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dikehendaki oleh para pihak.
e.    Jika hal tersebut dilakukan, maka pada akhir Kontrak harus disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan, misalnya mengenai istilah (hukum) tertentu ataupun istilah lainnya, maka harus ditentukan akan dikembalikan kepada Kontrak yang dibuat dalam bahasa tertentu yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak tersebut.
f.     Dalam kaitan ini harus harus dibedakan antara bahasa yang dipergunakan dalam kontrak, dengan kontrak yang diterjemahkan dari bahasa tersebut, dalam kaitannya jika terjadi sengketa. Jika ada persetujuan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa tertentu (misalnya bahasa Inggris), kemudian diterjemahkan kedalam bahasa lain yang dikehendaki oleh para pihak, maka jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya harus berdasarkan kepada bahasa yang telah disepakati tersebut (misalnya bahasa Inggris). Atau Kontrak dapat dibuat dalam 2 (dua)/lebih bahasa yang dikehendaki oleh para pihak yang keduanya mempunyai kekuatan yang sama. Jika ini dilakukan maka harus persesuaian pemahaman/pengertian dengan substansi kontrak tersebut.
g.    Dalam Pasal 43 UUJN – P mengatur mengenai penggunaan bahasa dalam akta Notaris, yaitu :
(1) Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4) Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Notaris wajib menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
h.    Pasal 43 ayat (1) UUJN – P telah mewajibkan bahwa akta Notaris dibuat dalam bahasa Indonesia. Penggunaan kata wajib berarti jika tidak dilaksanakan akan ada sanksinya, ternyata UUJN – P tidak mengatur sanksinya, artinya kewajiban tanpa sanksi jika dilanggar. Apakah tepat penafsirannya seperti itu ?
i.      Dalam hal ini perlu dikaitkan pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa :
Pasal 31 :
(1)    Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2)    Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
j.      Baik Akta (Notaris) maupun Perjanjian wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan dari segi formalitas harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang Syarat Sahnya Perjanjian. Akta juga merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, jika semua kaidah secara formal, matreril dan lahir dipenuhi, maka akta tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya dan para ahli waris yang mendapatkan keuntungan dari akta atau perjanjian tersebut. Bahwa akta atau perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia, tapi ternyata ada akta atau perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat dikategorikan telah melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal Pasal 31 Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009 (untuk Perjanjian pada umumnya) ? Secara normatif jika hal tersebut dilanggar tidak ada sanksi apapun. Meskipun tidak ditegaskan ada sanksinya, apakah bisa ditinjau dari Sahnya perjanjian sebagai sebab yang terlarang ?
k.    Dalam Pasal 1 angka 7, 8, 9, 10 UUJN – P ada istilah :
(1) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(3) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(4) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
l.      Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UUJN – P bahwa Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, dan hal ini sesuai pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009.
m.  Bahwa sudah tentu yang menghadap Notaris untuk membuat akta tidak selalu bisa bahasa Indonesia, bahkan mungkin hanya bisa bahasa daerah yang ada di Indonesia, hal ini dapat dikategorikan tidak bisa berbahasa Indonesia juga. Secara normatif Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta merupakan bagian aspek formal akta Notaris, karena akta Notaris harus dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Sehingga Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran aspek formal, dan pelanggaran terhadap aspek formal akta Notaris ada sanksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUJN – P.
n.    Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta dapat pula ditinjau berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya mengenai Syarat Objektif suatu Perjanjian yaitu tentang Suatu Sebab Yang Terlarang Menurut Hukum. Sudah menjadi kaidah umum dalam Hukum Perjanjian bahwa Perjanjian yang melanggar salah satu syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan demikian apakah bisa dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang ?
o.    Pasal 1337 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Jika menggunakan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut sudah tentu Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang. Jika undang-undang mewajibkan setiap kontrak atau perjanjian (termasuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) menggunakan bahasa Indonesia, harus diikuti. Dengan ancama Batal Demi Hukum jika dilanggar.
p.    Berdasarkan uraian di atas, apakah boleh Minuta Akta dibuat selain dalam bahasa Indonesia ? Dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, maka untuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia, sehingga tidak boleh ada Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
q.    Sehingga jika para penghadap menginginkan Salinan Akta, Kutipan Akta dalam bahasa yang lain, juga dalam bahasa dan huruf yang lain, maka harus dilakukan penterjemahan dari Salinan Akta, Kutipan Akta yang berbahasa Indonesia tersebut. Dan penterjemahan tersebut dilakukan oleh penterjemah tersumpah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (4) UUJN – P, yaitu :
Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau menggunakan staf pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah.
r.     Meskipun demikian tetap dibuka kemungkinan akta (Minuta, Salinan, Kutipan dan Grosse Akta) dapat dibuat dalam bahasan lain (selain bahasa Indonesia) jika hal tersebut dikehendaki oleh para penghadap (Pasal 43 ayat (3) UUJN – P). Hal ini berlaku ketentuan khusus untuk Akta Notaris. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN – P ada kontradiksi jika dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (6) UUJN – P, yaitu jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta, maka yang dipergunakan adalah akta Notaris yang berbahasa Indonesia. Kalau pada akhirnya jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta yang akan dijadikan acuan adalah akta yang berbahasa Indonesia, lebih tepat sejak awal akta Notaris (Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) dibuat menggunakan bahasa Indonesia saja.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.     Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia.
2.     Jika ingin menggunakan bahasa lain (selain bahasa Indonesia) dapat dilakukan penterjemahan kepada bahasa lain yang dikehendaki oleh para penghadap oleh penterjemah resmi berbahankan dari Salinan atau Kutipan Akta.
3.    Minuta Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia telah melanggar aspek formal akta Notaris dengan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 41 UUJN – P dan juga telah melanggar Syarat Objektif sebagai hal terlarang berdasarkan undang-undang, sehingga Batal Demi Hukum.

• Dalam akta Notaris selain wajib penggunaan bahasa Indonesia, perlu juga diperhatikan
         mengenai penafsiran terhadap bahasa yang dipergunakan dalam akta Notaris dan bahasa   
         hukum yang dipergunakan untuk akta Notaris.
• Ketika sebuah akta (atau kontrak atau perjanjian) telah sempurna, artinya aspek formal dan materil telah dipenuhi, dan berjalankan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak, maka terkadang dalam menimbulkan permasalahan, yang berkaitan dengan segala hal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan, misalnya mengenai kata atau kalimat atau istilah yang dipergunakan. Jika hal ini terjadi, maka terhadap akta tersebut dilakukan penafsiran atau interpretasi. Masalah penafsiran akta (perjanjian/kontrak) termasuk salah satu hal yang penting dalam setiap akta, baik pada saat pembuatan akta maupun pada waktu penerapannya dikemudian hari.
• Akta sebagai suatu komunikasi yang mengatur hak dan kewajiban para pihak atau para penghadap. Karena itu, sejalan dengan maksud dan tujuannya, maka kata ataupun kalimat yang artinya jelas dan dan tegas serta ada keharusan untuk mempergunakan kata-kata yang tepat, (istilah atau kalimat yang berpotensi mempunyai pengertian multitafsir), dalam akta telah menyediakan tempat khusus mengenai penjelasan pengertian dari kata-kata, frase yang mempunyai arti ganda tersebut, yaitu dalam klausula definisi, juga yang mempunyai pengertian yang mudah untuk membantu dan upaya penerjemahannya.



2.    PERUBAHAN ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/KETIK – PASAL 48 UUJN – P HANYA MEMBOLEHKAN PERUBAHAN ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/ KETIK
Mengenai Isi Akta, dihubungkan dengan Larangan yang tercantum dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
(1)  Isi Akta dilarang untuk diubah dengan :
a. diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
(2) Perubahan isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

·      Dalam praktek Notaris kesalahan ketik (kata atau kalimat yang salah) bisa saja terjadi dan diketahui ketika sedang dilakukan pembacaan, tapi bukan hanya kesalahan ketik bisa saja data yang diketikkan tidak sesuai dengan faktanya atau isi akta tidak semuanya sesuai dengan keinginan penghadap. Kesalahan tersebut bisa saja terjadi pada semua bagian akta (Awal – Isi dan Akhir) akta, atas kesalahan tersebut dapat dilakukan Perubahan, tapi dalam hal Pasal 48 UUJN – P hanya memperbolehkan perubahan hanya pada Isi akta saja. Perubahan tersebut dapat dilakukan karena masih berupa rancangan akta yang belum ada paraf dan tanda tangan penghadap, saksi dan Notaris.
·      Pasal 48 ayat (1) UUJN – P secara imperatif (jelas – tegas – lugas) melarang Perubahan terhadap Isi Akta. Padahal kontruksi formalitas akta Notaris selain badan (yang di dalamnya ada Isi Akta) juga ada awal dan akhir akta. Bahwa Awal dan Akhir Akta merupakan tanggungjawab Notaris sepenuhnya. Oleh karena itu terhadap Isi Akta Notaris dilarang membuat kesalahan, meskipun demikian menurut Pasal 48 ayat (2) UUJN – Pada perkecualian untuk perubahan yang meliputi :
a.    diganti;
b.    ditambah;
c.    dicoret;
d.   disisipkan;
dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.Tapi untuk huruf (e)dihapus; dan/atau (f) ditulis tindih tetap dilarang untuk dilakukan. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, yaitu melakukan Perubahan berupa Penggantian, Penambahan, Pencotetan dan Penyisipan tidak dilakukan paraf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan melakukan penghapusan, ditulis tindih, menurut Pasal 48 ayat (3) UUJN – P akan ada sanksi terhadap :
1. Aktanya       :  Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
2. Notaris         : dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita rugi untuk menuntut    
                            penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
·    Ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P sebenarnya tidak melarang (dikecualikan) mengubah Isi Akta sebagaimana ditentukan di atas, tapi dalam praktek Notaris bahwa kesalahan (misalnya kesalahan ketik berupa kurang huruf atau kurang kata kalimat atau salah penyebutan nama) bisa juga terjadi pada Awal dan Akhir Akta. Dalam hal ini apakah Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P melarang perubahan berupa :
a.  diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
untuk dilakukan pada Awal dan Akhir Akta ?
·      Secara normatif larangan tersebut hanya khusus untuk Isi Akta, meskipun sebenaranya diperboleh untuk perubahan tertentu saja (tidak untuk dihapus; dan/atau ditulis tindih) dan atas perubahan tersebut dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan sanksinyapun untuk yang melanggar ketentuan pasal tersebut. Sehingga jika dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P pada Awal dan Akhir Akta merupakan suatu pelanggaran ? Dan akan ada sanksi untuk akta dan Notarisnya ?
·      Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa :
1.       Jika tidak diatur berarti boleh dilakukan pada awal dan akhir akta, atau
2.      Jika tidak diatur tidak boleh dilakukan pada awal dan akhir akta.

·    Sebagai bahan perbandingan bahwa ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P, pernah juga diatur dalam Pasal 33 PJN (Peraturan Jabatan Notaris), yaitu :
Pasal 33 :
Tidak diperkenankan mengadakan penulisan di atasnya, sisipan atau tambahan perkataan atau huruf dalam akta atau dalam perubahan-perubahan dan tambahan yang diadakan di sisi atau sebelum penutupan akta atau dengan cara apapun juga menghapuskan atau menghilangkannya serta menggantikannya dengan tulisan lain, dengan ketentuan bahwa penggantian dan tambahan perkataan dan huruf itu tidak sah.
·  Pasal 33 PJN tersebut Perubahan boleh dilakukan terhadap akta (tidak menyebutkan bagian tertentu), hal ini dapat dimegerti karena dalam PJN tidak ditegaskan ada bagian-bagian tertentu dalam akta. Pembagian tersebut dimulai ada dalam Pasal 38 UUJN dan Perubahannya hanya dapat dilakukan pada Isi Akta (Pasal 48 ayat (1) UUJN). Dalam kenyataannya tidak sedikit Notaris melakukan Perubahan pada Awal dan Akhir meskipun pada saat itu ada sanksinya bagi Notaris yang melanggarnya berdasarkan Pasal 84 UUJN. Dan ketentuan sanksi dalam Pasal 84 UUJN ini sudah dicabut.

·    Pasal 49 dan 50 UUJN – P merupakan aturan secara teknis untuk melakukan perubahan jika terjadi kesalahan pada Isi Akta yang disebutkan dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
Pasal 49 :
(1)    Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta.
(2)   Dalam hal suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta, sebelum penutup Akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.
(3)   Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal
(4)   Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

 Pasal 50 :
(1)    Jika dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri Akta.
(2)   Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3)   Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).
(4)   Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas pencoretan.
(5)   Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta dalam Pasal 38 ayat (4) huruf d tidak dipenuhi, Akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

·      Bahwa Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUJN – P merupakan suatu Renvooi.
·      Renvooi hanya untuk perubahan yang dilakukan terhadap rancangan akta. Ketentuan ini meminta kepada Notaris jangan sampai salah atau membuat kesalahan dalam membuat Awal dan Akhir Akta, kecuali Isi Akta karena jika terjadi kesalahan boleh diubah.
·      Jika sejak berlakunya Pasal 48 UUJN – P ini ketika Notaris membacakan akta ternyata menemukan kesalahan (apapun) dalam Awal dan Akhir Akta, apa yang harus dilakukan :
 Langsung lakukan perubahan atas rancangan akta tersebut dengan melakukan cetak (print) ulang, jika penghadapnya masih ada/menghadap dan ada peralatan kantor untuk mendukungnya.
 Jika penghadapnya sudah tidak ada (sudah tidak ada di hadapan Notaris) harus menghubungi para penghadap lagi untuk membuat perbaikan akta (bukan Perubahan).
• Jika penghadapnya sudah tidak bisa dihubungi dengan cara apapun, apakah tetap harus dilakukan Perubahan sebagaimana dilakukan pada Isi Akta ? Jika berprinsip jangan dilakukan jika tidak diatur, maka tidak perlu dilakukan. Tapi jika berprinsip jika tidak tidak diatur boleh dilakukan, maka lakukan saja karena tidak ada sanksinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar