Oleh : DR. Habib Adjie, SH, MHum
Up Date & Up Grade Kenotariatan
1. AKTA
NOTARIS WAJIB DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA – APAKAH ADA SANKSINYA JIKA AKTA
NOTARIS TIDAK DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA ?
BAHASA HUKUM KONTRAK.
a.
Secara umum Kontrak yang dibuat (lisan atau
tertulis) menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para pihak, baik bahasa
internasional, bahasa nasional ataupun bahasa daerah. Bahwa yang dimaksud
dengan Bahasa (Hukum) Kontrak merupakan bahasa yang biasa dipergunakan
(nasional, internasional atau daerah) sesuai dengan tata kaidah bahasa yang
bersangkutan yang mengikat (daya ikat) para pihak yang bertransaksi dan dapat
dieksekusi.
b.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, komunikasi
yang jelas dengan bahasa yang mudah dimengerti merupakan salah satu prinsip
yang sangat penting diingat dalam perancangan suatu kontrak yang baik dan aman.
Kalimat yang berbelit-belit ataupun penggunaan terminologi-terminologi yang
tidak jelas dan bias, akan sangat membuat suatu kontrak rentan dengan konflik.
c.
Bahasa yang paling aman bagi para pihak yang
berkontrak adalah ba¬hasa yang paling dimengertinya. Artinya, bila para pihak
yang berkontrak tersebut adalah orang Indonesia, seharusnyalah kontrak tersebut
dirancang dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesialah bahasa yang paling
mudah untuk dipahaminya. Penggunaan bahasa Inggris pun ataupun bahas lainnya
sesuatu yang harus dilakukan menurut persetujuan diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.
d.
Dalam kontrak terkadang tidak hanya dibuat dalam
satu bahasa tertentu, tapi juga dapat dibuat atau diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa yang dimengerti oleh pihak, misalnya kontrak yang multilateral
yang diikuti oleh negara-negara yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, maka
bisa saja Kontrak dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dikehendaki
oleh para pihak.
e.
Jika hal tersebut dilakukan, maka pada akhir
Kontrak harus disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan, misalnya mengenai
istilah (hukum) tertentu ataupun istilah lainnya, maka harus ditentukan akan
dikembalikan kepada Kontrak yang dibuat dalam bahasa tertentu yang sebelumnya
telah disepakati oleh para pihak tersebut.
f.
Dalam kaitan ini harus harus dibedakan antara
bahasa yang dipergunakan dalam kontrak, dengan kontrak yang diterjemahkan dari
bahasa tersebut, dalam kaitannya jika terjadi sengketa. Jika ada persetujuan
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa tertentu (misalnya bahasa Inggris),
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa lain yang dikehendaki oleh para pihak,
maka jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya harus berdasarkan kepada
bahasa yang telah disepakati tersebut (misalnya bahasa Inggris). Atau Kontrak
dapat dibuat dalam 2 (dua)/lebih bahasa yang dikehendaki oleh para pihak yang
keduanya mempunyai kekuatan yang sama. Jika ini dilakukan maka harus
persesuaian pemahaman/pengertian dengan substansi kontrak tersebut.
g.
Dalam Pasal 43 UUJN – P mengatur mengenai
penggunaan bahasa dalam akta Notaris, yaitu :
(1) Akta
wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam
hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap.
(3) Jika
para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4) Dalam
hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Notaris wajib
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila
Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(6) Dalam
hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
h.
Pasal 43 ayat (1) UUJN – P telah mewajibkan
bahwa akta Notaris dibuat dalam bahasa Indonesia. Penggunaan kata wajib berarti
jika tidak dilaksanakan akan ada sanksinya, ternyata UUJN – P tidak mengatur
sanksinya, artinya kewajiban tanpa sanksi jika dilanggar. Apakah tepat
penafsirannya seperti itu ?
i. Dalam
hal ini perlu dikaitkan pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa :
Pasal 31 :
(1) Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota
kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan
pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau
bahasa Inggris.
j.
Baik Akta (Notaris) maupun Perjanjian wajib
dibuat dalam bahasa Indonesia dan dari segi formalitas harus mengikuti
ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang Syarat Sahnya
Perjanjian. Akta juga merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu, jika semua kaidah secara formal, matreril dan lahir
dipenuhi, maka akta tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya dan para ahli
waris yang mendapatkan keuntungan dari akta atau perjanjian tersebut. Bahwa
akta atau perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia, tapi ternyata ada akta
atau perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat
dikategorikan telah melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal
Pasal 31 Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009 (untuk Perjanjian
pada umumnya) ? Secara normatif jika hal tersebut dilanggar tidak ada sanksi
apapun. Meskipun tidak ditegaskan ada sanksinya, apakah bisa ditinjau dari
Sahnya perjanjian sebagai sebab yang terlarang ?
k.
Dalam Pasal 1 angka 7, 8, 9, 10 UUJN – P ada
istilah :
(1) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(3) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(4) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
(1) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(3) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(4) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
l.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UUJN – P bahwa
Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia, dan hal ini sesuai pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009.
m. Bahwa
sudah tentu yang menghadap Notaris untuk membuat akta tidak selalu bisa bahasa
Indonesia, bahkan mungkin hanya bisa bahasa daerah yang ada di Indonesia, hal
ini dapat dikategorikan tidak bisa berbahasa Indonesia juga. Secara normatif
Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta,
Salinan Akta dan Kutipan Akta merupakan bagian aspek formal akta Notaris,
karena akta Notaris harus dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini. Sehingga Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan
Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran aspek
formal, dan pelanggaran terhadap aspek formal akta Notaris ada sanksinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUJN – P.
n.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris,
Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta dapat pula ditinjau berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya mengenai Syarat Objektif suatu Perjanjian
yaitu tentang Suatu Sebab Yang Terlarang Menurut Hukum. Sudah menjadi kaidah
umum dalam Hukum Perjanjian bahwa Perjanjian yang melanggar salah satu syarat
objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan demikian apakah
bisa dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat
dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar
salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang ?
o.
Pasal 1337 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Jika menggunakan
ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut sudah tentu Akta Notaris, Minuta Akta,
Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa
Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu
sebab yang terlarang. Jika undang-undang mewajibkan setiap kontrak atau
perjanjian (termasuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta)
menggunakan bahasa Indonesia, harus diikuti. Dengan ancama Batal Demi Hukum
jika dilanggar.
p.
Berdasarkan uraian di atas, apakah boleh Minuta
Akta dibuat selain dalam bahasa Indonesia ? Dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, maka untuk Akta
Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa
Indonesia, sehingga tidak boleh ada Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan
Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
q.
Sehingga jika para penghadap menginginkan
Salinan Akta, Kutipan Akta dalam bahasa yang lain, juga dalam bahasa dan huruf
yang lain, maka harus dilakukan penterjemahan dari Salinan Akta, Kutipan Akta
yang berbahasa Indonesia tersebut. Dan penterjemahan tersebut dilakukan oleh
penterjemah tersumpah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (4)
UUJN – P, yaitu :
Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain
penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau menggunakan staf
pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah.
r.
Meskipun demikian tetap dibuka kemungkinan akta
(Minuta, Salinan, Kutipan dan Grosse Akta) dapat dibuat dalam bahasan lain
(selain bahasa Indonesia) jika hal tersebut dikehendaki oleh para penghadap
(Pasal 43 ayat (3) UUJN – P). Hal ini berlaku ketentuan khusus untuk Akta
Notaris. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN – P ada kontradiksi jika dikaitkan
dengan Pasal 43 ayat (6) UUJN – P, yaitu jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai
isi akta, maka yang dipergunakan adalah akta Notaris yang berbahasa Indonesia.
Kalau pada akhirnya jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta yang
akan dijadikan acuan adalah akta yang berbahasa Indonesia, lebih tepat sejak
awal akta Notaris (Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) dibuat
menggunakan bahasa Indonesia saja.
• Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Minuta
Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia.
2.
Jika
ingin menggunakan bahasa lain (selain bahasa Indonesia) dapat dilakukan
penterjemahan kepada bahasa lain yang dikehendaki oleh para penghadap oleh
penterjemah resmi berbahankan dari Salinan atau Kutipan Akta.
3.
Minuta Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta yang
tidak menggunakan bahasa Indonesia telah melanggar aspek formal akta Notaris
dengan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 41 UUJN – P dan juga telah
melanggar Syarat Objektif sebagai hal terlarang berdasarkan undang-undang,
sehingga Batal Demi Hukum.
• Dalam akta Notaris selain wajib penggunaan bahasa Indonesia, perlu juga diperhatikan
mengenai penafsiran terhadap bahasa yang dipergunakan dalam akta Notaris
dan bahasa
hukum yang dipergunakan untuk akta Notaris.
• Ketika sebuah akta (atau kontrak atau
perjanjian) telah sempurna, artinya aspek formal dan materil telah dipenuhi,
dan berjalankan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak, maka terkadang
dalam menimbulkan permasalahan, yang berkaitan dengan segala hal yang tersebut
dalam akta yang bersangkutan, misalnya mengenai kata atau kalimat atau istilah
yang dipergunakan. Jika hal ini terjadi, maka terhadap akta tersebut dilakukan
penafsiran atau interpretasi. Masalah penafsiran akta (perjanjian/kontrak)
termasuk salah satu hal yang penting dalam setiap akta, baik pada saat
pembuatan akta maupun pada waktu penerapannya dikemudian hari.
• Akta sebagai suatu komunikasi yang mengatur hak
dan kewajiban para pihak atau para penghadap. Karena itu, sejalan dengan maksud
dan tujuannya, maka kata ataupun kalimat yang artinya jelas dan dan tegas serta
ada keharusan untuk mempergunakan kata-kata yang tepat, (istilah atau kalimat
yang berpotensi mempunyai pengertian multitafsir), dalam akta telah menyediakan
tempat khusus mengenai penjelasan pengertian dari kata-kata, frase yang mempunyai
arti ganda tersebut, yaitu dalam klausula definisi, juga yang mempunyai
pengertian yang mudah untuk membantu dan upaya penerjemahannya.
2. PERUBAHAN
ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/KETIK – PASAL 48 UUJN – P HANYA
MEMBOLEHKAN PERUBAHAN ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/ KETIK
Mengenai Isi Akta, dihubungkan
dengan Larangan yang tercantum dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
(1) Isi Akta dilarang untuk diubah dengan :
a. diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
(2) Perubahan
isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi
tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
·
Dalam praktek Notaris kesalahan ketik (kata atau
kalimat yang salah) bisa saja terjadi dan diketahui ketika sedang dilakukan
pembacaan, tapi bukan hanya kesalahan ketik bisa saja data yang diketikkan
tidak sesuai dengan faktanya atau isi akta tidak semuanya sesuai dengan
keinginan penghadap. Kesalahan tersebut bisa saja terjadi pada semua bagian
akta (Awal – Isi dan Akhir) akta, atas kesalahan tersebut dapat dilakukan
Perubahan, tapi dalam hal Pasal 48 UUJN – P hanya memperbolehkan perubahan
hanya pada Isi akta saja. Perubahan tersebut dapat dilakukan karena masih
berupa rancangan akta yang belum ada paraf dan tanda tangan penghadap, saksi
dan Notaris.
· Pasal
48 ayat (1) UUJN – P secara imperatif (jelas – tegas – lugas) melarang
Perubahan terhadap Isi Akta. Padahal kontruksi formalitas akta Notaris selain
badan (yang di dalamnya ada Isi Akta) juga ada awal dan akhir akta. Bahwa Awal
dan Akhir Akta merupakan tanggungjawab Notaris sepenuhnya. Oleh karena itu
terhadap Isi Akta Notaris dilarang membuat kesalahan, meskipun demikian menurut
Pasal 48 ayat (2) UUJN – Pada perkecualian untuk perubahan yang meliputi :
a.
diganti;
b.
ditambah;
c.
dicoret;
d.
disisipkan;
dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.Tapi untuk huruf (e)dihapus; dan/atau (f) ditulis tindih tetap dilarang untuk dilakukan. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, yaitu melakukan Perubahan berupa Penggantian, Penambahan, Pencotetan dan Penyisipan tidak dilakukan paraf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan melakukan penghapusan, ditulis tindih, menurut Pasal 48 ayat (3) UUJN – P akan ada sanksi terhadap :
1. Aktanya : Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
2. Notaris : dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita rugi untuk menuntut
dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.Tapi untuk huruf (e)dihapus; dan/atau (f) ditulis tindih tetap dilarang untuk dilakukan. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, yaitu melakukan Perubahan berupa Penggantian, Penambahan, Pencotetan dan Penyisipan tidak dilakukan paraf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan melakukan penghapusan, ditulis tindih, menurut Pasal 48 ayat (3) UUJN – P akan ada sanksi terhadap :
1. Aktanya : Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
2. Notaris : dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita rugi untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
· Ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P sebenarnya
tidak melarang (dikecualikan) mengubah Isi Akta sebagaimana ditentukan di atas,
tapi dalam praktek Notaris bahwa kesalahan (misalnya kesalahan ketik berupa
kurang huruf atau kurang kata kalimat atau salah penyebutan nama) bisa juga
terjadi pada Awal dan Akhir Akta. Dalam hal ini apakah Pasal 48 ayat (1) dan
(2) UUJN – P melarang perubahan berupa :
a. diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
untuk dilakukan pada Awal dan Akhir Akta ?
·
Secara normatif larangan tersebut hanya
khusus untuk Isi Akta, meskipun sebenaranya diperboleh untuk perubahan
tertentu saja (tidak untuk dihapus; dan/atau ditulis tindih) dan atas perubahan
tersebut dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda
pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan sanksinyapun untuk yang
melanggar ketentuan pasal tersebut. Sehingga jika dilakukan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P pada Awal dan Akhir Akta
merupakan suatu pelanggaran ? Dan akan ada sanksi untuk akta dan Notarisnya ?
·
Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa :
1.
Jika tidak diatur berarti boleh dilakukan pada
awal dan akhir akta, atau
2.
Jika tidak diatur tidak boleh dilakukan pada
awal dan akhir akta.
·
Sebagai bahan perbandingan bahwa ketentuan Pasal
48 ayat (1) dan (2) UUJN – P, pernah juga diatur dalam Pasal 33 PJN (Peraturan
Jabatan Notaris), yaitu :
Pasal 33 :
Tidak diperkenankan mengadakan penulisan di atasnya,
sisipan atau tambahan perkataan atau huruf dalam akta atau dalam
perubahan-perubahan dan tambahan yang diadakan di sisi atau sebelum penutupan
akta atau dengan cara apapun juga menghapuskan atau menghilangkannya serta
menggantikannya dengan tulisan lain, dengan ketentuan bahwa penggantian dan
tambahan perkataan dan huruf itu tidak sah.
· Pasal 33 PJN tersebut Perubahan boleh dilakukan
terhadap akta (tidak menyebutkan bagian tertentu), hal ini dapat dimegerti
karena dalam PJN tidak ditegaskan ada bagian-bagian tertentu dalam akta.
Pembagian tersebut dimulai ada dalam Pasal 38 UUJN dan Perubahannya hanya dapat
dilakukan pada Isi Akta (Pasal 48 ayat (1) UUJN). Dalam kenyataannya tidak
sedikit Notaris melakukan Perubahan pada Awal dan Akhir meskipun pada saat itu
ada sanksinya bagi Notaris yang melanggarnya berdasarkan Pasal 84 UUJN. Dan
ketentuan sanksi dalam Pasal 84 UUJN ini sudah dicabut.
·
Pasal 49 dan 50 UUJN – P merupakan aturan secara
teknis untuk melakukan perubahan jika terjadi kesalahan pada Isi Akta yang
disebutkan dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
Pasal 49 :
(1)
Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta.
(2)
Dalam hal suatu perubahan tidak dapat dibuat di
sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta, sebelum penutup
Akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar
tambahan.
(3)
Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian
yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
Pasal 50 :
(1) Jika
dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan
dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang
tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan
pada sisi kiri Akta.
(2) Pencoretan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi
tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Dalam
hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).
(4) Pada
penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas
pencoretan.
(5) Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), serta dalam Pasal 38 ayat (4) huruf d tidak dipenuhi, Akta tersebut hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
·
Bahwa Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 UUJN – P merupakan suatu Renvooi.
·
Renvooi
hanya untuk perubahan yang dilakukan terhadap rancangan akta. Ketentuan ini
meminta kepada Notaris jangan sampai salah atau membuat kesalahan dalam membuat
Awal dan Akhir Akta, kecuali Isi Akta karena jika terjadi kesalahan boleh
diubah.
·
Jika sejak berlakunya Pasal 48 UUJN – P ini
ketika Notaris membacakan akta ternyata menemukan kesalahan (apapun) dalam Awal
dan Akhir Akta, apa yang harus dilakukan :
• Langsung lakukan perubahan atas rancangan akta
tersebut dengan melakukan cetak (print) ulang, jika penghadapnya masih
ada/menghadap dan ada peralatan kantor untuk mendukungnya.
• Jika penghadapnya sudah tidak ada (sudah tidak
ada di hadapan Notaris) harus menghubungi para penghadap lagi untuk membuat
perbaikan akta (bukan Perubahan).
• Jika penghadapnya sudah tidak bisa dihubungi
dengan cara apapun, apakah tetap harus dilakukan Perubahan sebagaimana
dilakukan pada Isi Akta ? Jika berprinsip jangan dilakukan jika tidak diatur,
maka tidak perlu dilakukan. Tapi jika berprinsip jika tidak tidak diatur boleh
dilakukan, maka lakukan saja karena tidak ada sanksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar