13/01/16

Desa Masa Depan Indonesia



Bahan Disertasi
Desa Masa Depan Indonesia

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)

DUA tahun UU No 6/2014 tentang Desa telah diimplementasikan. Selama itu pelaksanaan UU Desa diwarnai fragmentasi, bahkan perebutan 'ladang' urusan desa.
Urusan desa yang seharusnya dikelola Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dibagi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kemendagri mengurus pemerintahan desa, sedangkan Kementerian Desa menangani ihwal pembangunan desa.

Desa dibelah untuk urusan pemerintahan dan dipisahkan dari pembangunan.

Sesuatu yang aneh dan absurd.

Kompromi itu membuat aparat di bawah bingung.

Implementasi dan pelembagaan UU Desa pun terhambat.

Salah satu yang menyedot energi ialah penyaluran dana desa.

Tumpang tindih kewenangan membuat syarat pencairan dana desa amat rumit dan panjang.

Meskipun dana desa sudah berada di kas pemerintah kabupaten/kota, dana tidak segera mengucur karena syarat administratif tidak mudah dipenuhi desa.

SKB Kemendagri, Kementerian Desa, dan Kementerian Keuangan belum sepenuhnya bisa menggaransi kelancaran pencairan dana desa.

Di tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, semestinya masalah anggaran (baca: dana desa) tidak lagi menjadi fokus.

Dana desa hanyalah sebagian kecil dari substansi UU Desa.

Di luar dana desa, ada dua napas utama UU Desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas.

Lewat rekognisi, pemerintah mengakui kesatuan masyarakat hukum bernama desa atas prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional.

Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa bukan bawahan kabupaten/kota, melainkan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Selanjutnya lewat subsidiaritas, negara menyerahkan kewenangan lokal berskala desa jadi kewenangan desa.

Ada sejumlah kewenangan yang jadi hak desa tanpa melalui proses pelimpahan dari kabupaten/kota.

Desa berdiri otonom, sama dengan provinsi/kabupaten/kota, dalam menentukan arah pembangunan.

Desa yang lemah

Pada titik itulah, desa bisa jadi harapan Indonesia di masa depan. Saat ini desa dihuni 46,7% dari 255 juta warga.

Sebagian besar mereka bekerja di sektor pertanian dan jatuh miskin.

Sebanyak 17,94 juta dari 28,59 juta warga miskin (62,75%) per Maret 2015 tinggal di perdesaan.

Inilah fakta getir bahwa puluhan tahun gemuruh pembangunan ekonomi berlangsung, termasuk di desa, ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari wilayah perdesaan.

Maklum, warga desa dan wilayah perdesaan masih dibelenggu sejumlah keterbatasan kapasitas.

Pertama, kapasitas SDM yang rendah.

Menurut Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah tangga dari 2003.

Sekitar 72% dari mereka yang bekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan SD ke bawah.

Di luar itu, sepertiga (32,76%) petani berumur di atas 54 tahun.

Akibatnya, respons mereka terhadap perubahan relatif lamban.

Kedua, penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas.

Sebanyak 14,25 juta rumah tangga petani (55,33%) gurem menguasai lahan di bawah 0,5 hektare (ha).

Keterbatasan modal membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup.

Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya (powerless) akibat kebijakan politik-ekonomi nasional yang menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota).

Pengalaman puluhan tahun pembangunan model semacam itu membuat desa selalu dalam kubang keterbelakangan.

Surplus modal dan SDM tidak kembali ke desa untuk memperbaiki kapasitas desa.

Sebaliknya, surplus lari keluar desa dan dinikmati orang kota.

Desa akan menjadi masa depan Indonesia apabila roh UU Desa sepenuhnya bisa diimplementasikan.

Semangat utama UU Desa ialah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim kontrol).

Terkait dengan itu, setidaknya ada tiga hal strategis yang harus menjadi fokus kerja-kerja teknokratis ke depan.

Pertama, redistribusi aset/modal.

Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp46,8 triliun, naik lebih dua kali dari 2015 (Rp20,7 triliun).

Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan dampak berganda luar biasa apabila pada saat yang sama diiringi dengan redistribusi aset berupa lahan.

Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta ha lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 ha jadi 2 ha per keluarga perlu ditunaikan.

Penguasaan aset lahan akan memperbesar kapasitas petani.

Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif.

Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan.

Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah.

Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan.

Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior.

Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik.

Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa.

Perlahan tapi pasti, kemiskinan akan terkikis.

Ketiga, menyediakan lingkungan layak (enabling environment) sebagai dasar alas pembangunan perdesaan.

Ini menuntut kerja-kerja tiada henti agar terwujud kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang kondusif bagi individu/komunitas demi memeroleh pilihan-pilihan dalam mengerjakan kegiatan yang bersinggungan dengan kelangsungan hidup (ekonomi).

Ada dua cara untuk memeroleh lingkungan yang layak (Yustika, 2015): reformasi desentralisasi dan kapasitas lokal (termasuk pembangunan kelembagaan).

Ujung dari dua cara itu bertemu di titik yang sama: penguatan kapasitas lokal yang diharapkan berujung pada partisipasi masyarakat untuk menentukan pembangunan sendiri di tingkat lokal (perdesaan).

Ketiga langkah itu harus dipayungi kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan hal lain yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan.

Yang tak kalah penting ialah membalik arah pembangunan, dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi, dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan menuju sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Pembangunan selama ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan.

Orientasi itu harus dihentikan. UU Desa memberikan amanat suci itu.

Perlu diingat, kerja, kerja, dan kerja menyelesaikan kesenjangan, keterbelakangan, dan marginalisasi perdesaan akan menyelesaikan sebagian masalah yang membelenggu Indonesia.

ADM
diakses : 12 Januari 2016 11:11 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar