07/04/16

TANYA JAWAB HAK TANGGUNGAN

TANYA JAWAB HAK TANGGUNGAN

1.    Pertanyaan :  Bolehkah Menjual Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan?
                           Apakah tanah yang dibebani hak tanggungan boleh dijual oleh si pemilik      
                           tanah (pemberi hak tanggungan).
Jawaban :
Pada dasarnya, hak tanggungan merupakan hak kebendaan, yang mana salah satu ciri hak kebendaan adalah hak tersebut mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda tersebut berada (droit de suite). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), yang berbunyi:
 “Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
 Ini berarti pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan ke Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah lahir).
Akan tetapi, pada praktiknya penerima hak tanggungan seringkali memperjanjikan bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan, serta diperjanjikan pula bahwa sertifikat tanah yang dijaminkan akan dipegang oleh penerima hak tanggungan.

Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g UU Hak Tanggungan. J. Satrio dalam bukunya berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku 2) (hal. 103), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa dengan dimuatnya klausula tersebut, pemberi hak tanggungan terikat untuk tidak melakukan tindakan atau mengambil sikap yang bisa mengakibatkan beralihnya pemilikan objek hak tanggungan kepada pihak lain tana persetujuan pemegang hak tanggungan.
Sedangkan, janji bahwa penerima hak tanggungan akan memegang sertifikat tanah (Pasal 11 ayat [2] huruf k jo. Pasal 14 ayat [4] UU Hak Tanggungan) akan berakibat bahwa pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) tidak dapat menjual tanah yang dijaminkan. Ini karena untuk melakukan jual beli tanah dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ("PPAT"), PPAT akan meminta sertifikat asli atas tanah tersebut (Pasal 39 ayat [1] Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Jadi, pada dasarnya pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) tetap dapat menjual objek hak tanggungan. Akan tetapi, harus dilihat terlebih dahulu hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan. Selain itu, pada umumnya karena hak tanggungan tetap mengikuti objek hak tanggungan di tangan siapapun tanah tersebut berada, maka jarang ada pembeli yang ingin membeli tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan, kecuali dalam jual beli tersebut diperjanjikan hal-hal guna melindungi kepentingan pembeli.
Dasar Hukum:
2.    Pertanyaan : Bisakah Mengganti Objek Hak Tanggungan?
                          Apakah bisa objek yang dijaminkan oleh debitur diganti dengan objek lain?
                          Misal sertifikat tanah milik si A diganti dengan sertifikat tanah milik debitur?
Jawaban :
Mengenai pembebanan jaminan kredit atas tanah dilakukan dengan hak tanggungan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Dalam UU Hak Tanggungan, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai penggantian benda jaminan hak tanggungan. Akan tetapi, hal tersebut dimungkinkan dengan melihat ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Hak Tanggungan:

Pasal 18 UU Hak Tanggungan:
1.    Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a.    hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.    dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.    pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.    hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Lebih lanjut, dalam Pasal 18 ayat (2) UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.

J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2 (hal. 259-260), mengatakan bahwa dalam Pasal 18 ayat (2) UU Hak Tanggungan tidak disyaratkan adanya suatu akta otentik, baik notariil maupun PPAT, dan karenanya cukup dengan akta di bawah tangan saja. Yang penting adalah kehendak dari pemegang hak tanggungan untuk itu tampak jelas dan tidak meragukan.

Perlu diperhatikan juga bahwa dengan dilepaskannya hak tanggungan, tidak berarti bahwa utangnya menjadi lunas. Utangnya bisa tetap ada, tetapi sekarang tidak dijamin dengan hak tanggungan yang dilepaskan itu.

Setelah hak tanggungan dilepaskan maka, berdasarkan Pasal 22 ayat (4) UU Hak Tanggungan, pihak yang berkepentingan (pemberi hak tanggungan) melakukan permohonan pencoretan hak tanggungan dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur bahwa hak tanggungan hapus karena kreditur melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan. Kemudian, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan (roya) tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya (Pasal 22 ayat [1] UU Hak Tanggungan).

Dengan begitu terlihat bahwa dimungkinkan untuk mengganti objek jaminan kredit tersebut dengan melepaskan objek hak tanggungan yang pertama (tanah milik si A) dan membebankan hak tanggungan pada tanah debitur sendiri. Biasanya atas perubahan jaminan dalam perjanjian kredit tersebut, kreditur akan melakukan perubahan pada perjanjian kredit. Mengenai pembebanan dengan hak tanggungan dapat Anda baca dalam artikel yang berjudul APHT (Akte Pemberian Hak Tanggungan).

Dasar Hukum:

3.    Pertanyaan :
Dapatkah Satu Objek Dibebankan Dua Hak Tanggungan?
Apakah diperbolehkan untuk objek jaminan kredit dibebankan dua Hak Tanggungan (HT 1 dan 2) dengan debitur dan kreditur yang sama (hanya 1 debitur dan 1 kreditur)?
Apabila terjadi lelang eksekusi terhadap objek jaminan tersebut, bagaimana teknis pelaksanaannya?
Untuk pelunasan HT yang ada, apakah kreditur dapat langsung melakukan lelang eksekusi untuk HT 1 dan 2 secara bersama-sama mengingat hanya ada satu kreditur?
Apakah hal tersebut melanggar aturan perundangan-undangan tentang perbankan?

Jawaban :
Seperti kita ketahui, objek yang dapat dijadikan jaminan dengan hak tanggungan adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Demikian ketentuan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Berdasarkan Pasal 5 UU Hak Tanggungan, atas suatu objek tanah dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan untuk menjamin lebih dari satu utang. J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1 (hal. 196-197), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa melihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Tanggungan dapat terjadi atas suatu objek hak tanggungan yang sama, bisa diletakkan lebih dari satu beban hak tanggungan untuk satu utang yang sama. Hak tanggungan tersebut masing-masing harus dituangkan dalam akta pemberian hak tanggungan sendiri-sendiri.

J. Satrio mencontohkan misalnya ada kredit per rekening koran sebesar Rp10.000.000,- yang dijaminkan dengan suatu tanah. Atas tanah tersebut dipasang beban hak tanggungan sebesar Rp12.000.000,-. Setengah tahun kemudian, debitur meminta tambahan kredit sebesar Rp5.000.000,- dan atas tanah yang sama tersebut, dipasang hak tanggungan kedua sebesar Rp6.000.000,-.
Di sini terlihat bahwa adanya satu objek hak tanggungan yang dibebani lebih dari satu hak tanggungan, untuk menjamin satu utang yang sama (yang timbul dari perjanjian yang sama).

Selain itu, J. Satrio juga (ibid, hal 198) menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Tanggungan, satu objek jaminan yang sama bisa dipakai untuk menanggung lebih dari satu utang. Beberapa utang tersebut bisa datang dari kreditur yang sama, tetapi mungkin juga dari 2 (dua) utang dari 2 (dua) kreditur yang berlainan.

Mengenai apakah kreditur dapat langsung melakukan lelang eksekusi atas hak tanggungan I dan hak tanggungan II secara bersama-sama karena yang menjadi kreditur dari kedua hak tanggungan tersebut adalah kreditur yang sama, pada dasarnya eksekusi objek jaminan hak tanggungan dapat dilakukan jika debitur wanprestasi (Pasal 20 ayat [1] UU Hak Tanggungan). Mengenai teknis pelaksanannya, Anda dapat melihat dalam artikel yang berjudul Jaminan dan Penagihan Utang.

Wanprestasinya debitur atas salah satu perjanjian utang yang berakibat dieksekusinya hak tanggungan, pada akhirnya juga akan mengakibatkan dibayarnya utang-utang lain yang juga dijaminkan dengan objek tersebut dari hasil eksekusi objek tersebut.

Jadi eksekusi salah satu hak tanggungan, akan memberikan pembayaran atas utang lainnya yang juga dijaminkan dengan objek hak tanggungan tersebut.

Dalam peraturan perundang-undangan perbankan tidak mengatur secara rinci mengenai jaminan. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hanya dikatakan bahwa jika berdasarkan unsur-unsur lain (watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur) telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.

Sehingga ketentuan perbankan tersebut hanya melihat dari segi kemampuan debitur dalam memenuhi pelunasan utangnya dan jaminan yang diberikan dinilai cukup untuk mengamankan posisi Bank dalam mendapatkan pelunasan utang jika terjadi debitur wanprestasi. Mengenai hal lain, tetap merujuk kepada peraturan-peraturan yang berlaku yang mengatur mengenai jaminan-jaminan tersebut.

Dasar Hukum:

4.    Pertanyaan :
Menyita Agunan atas Tanah yang Dijaminkan
Perusahan saya begerak dalam bidang retail barang-barang yang dikreditkan (dibayar dalam jangka waktu 1 tahun) kepada konsumen yang memberikan jaminan/agunan aset mereka berupa surat-surat tanah/bangunan (Girik/Akte Jual-Beli/Sertifikat/HGB). Dalam melakukan ikatan ini, telah dibuatkan juga Surat Perjanjian Jual Beli dengan Angsuran, yang didalamnya juga terdapat pasal yang memberitahukan atas penguasaan atas jaminan tersebut bila, customer/pengangsur telah lalai dan atau tidak mampu melunasi hutangnya dalam kurun waktu maksimal 3 bulan, terhitung 1 tahun dari batas akhir Surat Perjanjian dengan Angsuran tersebut.
Yang menjadi pertanyaan saya;
a.     Apakah perusahaan berhak melakukan penjualan/balik nama agunan tersebut, tanpa   
            harus mengkonfirmasi kepada customer/pengangsur yang lalai tersebut?
b.    Apa yang harus kami lakukan, bila agunan tersebut ternyata milik ortu pengangsur ?
Jawaban :
a.       Untuk tanah, hanya dapat dijadikan jaminan dengan Hak Tanggungan (HT). Ini sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UU HT), bahwa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai bisa dijadikan jaminan atas utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Pasal 6 UUHT mengatur bahwa apabila debitur wanprestasi, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Dalam pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Oleh karena itu, sebelumnya perusahaan harus menyatakan terlebih dahulu pada debitur bahwa yang bersangkutan telah lalai memenuhi kewajibannya.
Jadi, apabila debitur wanprestasi, maka kreditur (dalam hal ini perusahaan) berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan tersebut dan mengambil pelunasan piutangnya.

b.       Dalam pembebanan Hak Tanggungan, harus dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Jadi, silakan cek dokumen Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Anda. Apakah orangtua si pengangsur (sebagai pemegang hak atas tanah) ikut menandatangani APHT tersebut? Jika ya, maka artinya Hak Tanggungan tersebut adalah sah dan perusahaan dapat mengeksekusi objek Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah

5.    Pertanyaan :
Mengajukan Permohonan Kredit dengan Jaminan SHM Pihak Lain
Bolehkah pemohon/debitur mengajukan kredit dengan menggunakan sertifikat tanah atas milik kakak iparnya? Hal ini pemilik SHM sudah menyetujuinya.
Jawabannya adalah Boleh.
Dengan syarat, pihak si debitur (si berutang) menandatangani Surat Kuasa Menjamin Hak Tanggungan di depan pejabat banknya sendiri bersamaan dengan si pemberi kuasa yang dalam hal ini adalah si pemilik Sertifikat Hak Milik (“SHM”). Hal ini karena si penjamin bukanlah debitor langsung, karena tanah tersebut milik si penjamin (si pemilik SHM). Ini bertujuan untuk menghindari sengketa jika kreditnya macet dan harus dilaksanakan eksekusi terhadap jaminan.
Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa, “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan “.
Jadi secara hukum, diperbolehkan apabila si debitor hendak mengajukan kredit dengan jaminan sertifikat orang lain, asalkan harus ada surat kuasa menjamin yang dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah(“UU 4/1996”) menyebutkan:
(1)     Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan   
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.     Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan HT ;
b.      Tidak memuat kuasa substitusi ;
c.     Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
Pasal 1 angka 1 UU 4/1996 menyebutkan Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.
Kemudian, perlu diketahui juga bahwa apabila hendak mengajukan kredit dengan menggunakan SHM milik orang lain, langkah yang baik adalah membuat perjanjian tertulis, supaya mengikat bagi para pihak dan menjadi dasar bukti yang kuat jika suatu hari terjadi suatu sengketa.
 Dasar hukum:
1.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

6.    Pertanyaan :
Pemberi SKMHT Meninggal
Untuk kredit tertentu (misal Kredit Mikro kurang dari 50 juta), adakalanya pengikatan jaminan hanya sebatas SKMHT tanpa ditingkatkan ke APHT, hingga berakhirnya masa kredit. Dalam hal jaminan atas nama orang lain (misal debitur A, pemilik jaminan B), dan dalam perjalanannya si B (atau pasangannya) meninggal, apakah SKMHT-nya masih berlaku dan masih bisa di APHT-kan? Bagaimana juga apabila SKMHT atas nama jaminan milik istri/suami dan dalam perjalanannya suami/istrinya meninggal, apakah SKMHT-nya masih berlaku dan masih bisa di-APHT-kan?

Jawaban :
Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”) mengatur bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) bersifat tidak dapat ditarik kembali dan tidak berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali karena telah dilaksanakan atau karena habis masa berlakunya.

“Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”

Selanjutnya, apabila kita lihat pada pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UUHT, diatur bahwa SKMHT wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT):

1.      Untuk tanah yang telah terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah pemberian SKMHT;
2.      Untuk tanah yang belum terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah pemberian SKMHT.

Pengecualian dari ketentuan pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) adalah untuk jenis-jenis kredit tertentu (pasal 15 ayat [5] UUHT). Jenis-jenis kredit ini sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu (“Permen Agraria”). Salah satu jenis kredit yang dikecualikan menurut Permen Agraria ini adalah Kredit produktif yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp50 juta. Untuk kredit jenis ini, SKMHT berlaku sampai berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan.

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Anda (kredit dengan plafonnya kurang dari Rp50 juta) berlaku pengecualian sebagaimana diatur dalam Permen Agraria tersebut.

Dengan demikian, SKMHT-nya berlaku sampai berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan, dan masih dapat di-APHT-kan walaupun pemberi APHT meninggal dunia.

Dasar hukum:
1.   Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
2.   Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu   
      Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu

7.    Pertanyaan :
Apakah Hak Tanggungan Tetap Berlaku Jika Tanah Disengketakan?
Ada perkara pertanahan dimana perkara ini telah diputus oleh hakim. Hakim memenangkan pihak penggugat yang menyatakan tanah tersebut sah milik penggugat. Namun sebelum perkara ini masuk pengadilan, tergugat telah menjaminkan tanah tersebut ke bank.
Apakah tanah yang dijaminkan ke bank bisa dieksekusi pengadilan karena perkara lain? Bagaimana juga kedudukan tanah penggugat bila tergugat lalai melunasi hutangnya ke bank dan tanah tersebut dieksekusi karena perintah bank?

Jawaban :
Intisari
Berdasarkan pendapat pakar hukum dan putusan Mahkamah Agung, atas tanah yang sudah dijadikan jaminan tidak dapat diletakkan sita jaminan maupun sita eksekusi. Dengan demikian, kreditor pemegang jaminan memiliki hak didahulukan atas tanah tersebut.
Tapi dalam putusan Mahkamah Agung lain, pihak yang benar-benar merasa berhak dan memiliki bukti kuat dapat dimenangkan dan di saat bersamaan hak tanggungan yang dipegang kreditor menjadi gugur demi hukum.

Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.


Ulasan

Lebih lanjut, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (Ibid, hal. 42) memberikan contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indone
Berdasarkan penjelasan Anda, kami mengambil kesimpulan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut pada awalnya adalah atas nama Tergugat (dalam sertifikat), kemudian setelah proses peradilan dan ada putusan Hakim, yang berhak atas tanah tersebut adalah Penggugat.
Pada dasarnya yang dapat membebankan suatu tanah dengan hak tanggungan adalah pemilik tanah itu sendiri. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):

(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Jika si Tergugat adalah pemilik tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah yang ada pada waktu itu, maka Tergugat memang berhak untuk membebankan tanah tersebut dengan hak tanggungan.

Jika kemudian tanah tersebut disengketakan dan Tergugat dinyatakan bukan sebagai orang yang berhak (pemilik) atas tanah tersebut, maka itu merupakan permasalahan lain. Mengenai apakah atas tanah tersebut dapat dieksekusi oleh pengadilan, pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan itu sendiri tidak diatur. UU Hak Tanggungan hanya mengatur bahwa hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (Pasal 7 UU Hak Tanggungan). Ini merupakan sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite. Mengenai droit de suite, Anda dapat membaca artikel Arti Droit De Suite.

Akan tetapi, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam bukunya Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan- tidak dapat diletakkan sita (sita jaminan maupun sita eksekusi). Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenalkannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya hak tanggungan itu sendiri. Tujuan dari hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang hak tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap hak tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang hak tanggungan.
sia No. 394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985, yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara) tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik sehingga tidak dapat dikenakan sita jaminan.

Akan tetapi, ini kembali lagi kepada pertimbangan hakim. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007, Penggugat dan Tergugat I awalnya adalah pasangan suami istri, yang pada saat perkawinan masih berlangsung, keduanya membeli sebuah tanah. Pada saat perceraian, keduanya belum membagi harta bersama di antara mereka. Tergugat I kemudian mengganti buku dan mengukur ulang tanah tersebut karena buku yang lama telah penuh, yang mana nama pemiliknya tetap Tergugat I. Tergugat I kemudian menjual tanah tersebut kepada Tergugat II. Tergugat II kemudian menjaminkan tanah tersebut kepada bank. Dalam perkara ini, hakim memutuskan salah satunya menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Oleh karena itu, jika Penggugat benar-benar merasa berhak atas tanah tersebut sebaiknya Penggugat juga meminta ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan) (hal. 40-41), memberikan pendapat bahwa seharusnya menurut hukum terhadap hak tanggungan pembatalan hak tanggungan yang berada di atas tanah tersebut kepada pengadilan.
Dasar Hukum:

Referensi:
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni.

8.    Pertanyaan :
Bolehkah Membangun Rumah Di Atas Tanah yang Dijaminkan?
Saya memiliki rencana membangun rumah di atas tanah yang orang tua saya miliki untuk dibangun rumah kost-kostan. Karena tak memiliki modal saya ingin menjaminkan sertifikat tanah orang tua saya ke pihak bank dan apabila disetujui pihak bank di atas tanah tersebut akan saya dirikan rumah kost-kostan.
Pertanyaannya bisakah dibenarkan secara hukum tanah yang sedang diagunkan ke pihak bank namun didirikan suatu bangunan?
Jawaban :
Pada dasarnya tidak ada larangan untuk membangun bangunan di atas tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Akan tetapi Anda harus membicarakan kembali hal ini dengan pihak bank.
Ini karena sebagaimana dikatakan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
a.   janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b.    janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c.    janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d.   janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
e.    janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
f.     janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g.    janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h.    janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i.     janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
j.    janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k.    janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) UU Hak Tanggungan.

Pasal 14 ayat (4) UU Hak Tanggungan:
“Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.”

Melihat pada janji-janji yang mungkin dituangkan dalam APHT, maka pembangunan kos-kosan di atas tanah tersebut mungkin dapat dilakukan atau mungkin juga tidak. Jika ada janji sebagaimana disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b UU Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan harus meminta persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan (bank).

Menurut J. Satrio, dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2 (hal 40), janji-janji seperti itu dimungkinkan demi untuk melindungi kepentingan pemegang hak tanggungan terhadap kemungkinan kerugian, berupa turunnya nilai objek jaminan sebagai akibat dari ulah dan perbuatan pemberi hak tanggungan. Bagaimanapun harus diperhitungkan bahwa nilai suatu bangunan sedikit banyak bergantung dari design bangunan dan pengaturan tata susunan (ruangan-ruangan) suatu bangunan.

Yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa dalam hal ini yang menjadi pemberi hak tanggungan bukanlah Anda selaku debitur, melainkan orang tua Anda selaku pemilik tanah tersebut. Jika dalam membuat bangunan kos-kosan tersebut, Anda tidak meminta izin terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan padahal ketentuan tersebut diperjanjikan dalam APHT, maka ada kemungkinan orang tua Anda juga akan dianggap melakukan pelanggaran. Ini karena perjanjian penjaminan hak tanggungan tersebut merupakan perjanjian antara bank dan orang tua Anda (sebagai pemilik tanah).

Jadi, pada dasarnya Anda harus membicarakan hal ini dengan pihak bank. Dan jika memang ada ketentuan tersebut dalam APHT, Anda harus meminta persetujuan tertulis dari bank sebelum membangun kos-kosan.
Dasar Hukum:
Referensi:
J. Satrio. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

9.    Pertanyaan :
Eksekusi Hak Tanggungan Atas Sertifikat Hak Guna Bangunan yang Habis Masa Berlakunya
Apakah SHGB yang habis masa berlakunya tetapi menjadi barang jaminan hutang dapat dilelang (untuk pelunasan hutang kepada negara)?
Jawaban :

Intisari:

Dalam hal Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut telah berakhir masa berlakunya, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus. Jika hak tanggungan hapus, maka kreditur tidak punya hak untuk didahulukan dengan melelang tanah tersebut.
 Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.



Ulasan:
Bagi tanah bersertifikat, untuk penjaminannya digunakan hak tanggungan. Mengenai hak tanggungan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).

Hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah: (lihat Pasal 4 UU Hak Tanggungan)
a.    Hak Milik;
b.    Hak Guna Usaha;
c.    Hak Guna Bangunan;
d.    Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.

Perlu diketahui bahwa Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: (Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan)
a.    hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.    dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.    pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.    hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Pokok Agraria”) atau peraturan perundang-undangan lainnya (Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan).
Berdasarkan Pasal 40 UU Pokok Agraria, Hak guna-bangunan (sebagaimana yang Anda tanyakan) dapat hapus karena:
a.    jangka waktunya berakhir;
b.    dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.    dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.    dicabut untuk kepentingan umum;
e.    ditelantarkan;
f.     tanahnya musnah;
g.    ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

Ini berarti dalam hal Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut telah berakhir masa berlakunya, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus.
Jika hak tanggungan hapus, maka kreditur tidak punya hak untuk didahulukan dengan melelang tanah tersebut.
Walaupun hak tanggungan tersebut hapus, perlu diketahui bahwa utang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut tetap ada (lihat Pasal 18 ayat (4) UU Hak Tanggungan).

Dasar Hukum:

10.    Pertanyaan :
Apakah Bank Boleh Menyita Rumah Beserta Isinya?
Apakah bank boleh menyita rumah beserta seluruh isi rumah beserta tanah yang dijadikan Hak Tanggungan atau hanya bangunan dan tanah saja?
Jawaban :
Sebelumnya, kita harus melihat arti Hak Tanggungan itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”):

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Menurut Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut asalkan pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Ini berarti mengenai pembebanan benda-benda yang melekat pada tanah juga harus diperjanjikan dengan tegas. Ini karena adanya asas pemisahan horizontal pada Hak Tanggungan (Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan).

Mengenai apa yang dimaksud dengan benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1 (hal. 83) berpendapat bahwa kata-kata “merupakan satu kesatuan” memberikan gambaran bahwa benda-benda tersebut harus bersatu dengan erat sekali dengan tanahnya.

Lebih lanjut, J. Satrio mengatakan bahwa dalam bahasa sehari-hari, merupakan satu kesatuan berarti “menjadi satu”. Pot-pot bunga, sepeda dan gerobak yang ada di atas tanah, tidak dapat dikatakan bersatu dengan tanahnya dan karenanya tidak termasuk dalam ruang lingkup Hak Tanggungan, kalau tanah, di atas mana benda-benda itu berdiri dijaminkan dengan Hak Tanggungan.

J. Satrio (ibid, hal. 82), sebagaimana kami sarikan, juga memberikan contoh dalam hal mesin pabrik. Hak Tanggungan hanya mungkin meliputi mesin-mesin yang dudukannya disatukan dengan tanah di atas mana mesin itu berdiri dan tanahnya dijaminkan (maksudnya dudukan mesin, alas/kaki mesinnya diberi pondasi yang disemen dengan tanahnya). Untuk mesin-mesin yang lain, sekalipun dimaksudkan untuk dipakai untuk jangka waktu yang lama dalam pabrik yang bersangkutan, tetap harus dijaminkan dengan gadai atau fidusia.

Mengenai apa yang dapat dieksekusi oleh bank, Anda harus melihat pada perjanjian Hak Tanggungan itu sendiri, apa yang termasuk dalam objek Hak Tanggungan. Apakah hanya tanah saja, atau tanah beserta bangunannya. Pada umumnya, yang diperjanjikan sebagai objek jaminan Hak Tanggungan adalah tanah dan bangunan.

Jika tanah dan bangunan yang diperjanjikan sebagai objek Hak Tanggungan dalam perjanjian Hak Tanggungan, maka kreditur atau Bank dapat mengeksekusi objek jaminan tersebut dalam hal debitur wanprestasi (Pasal 6 UU Hak Tanggungan). Akan tetapi, Bank tidak boleh ikut menyita seluruh isi rumah yang berada dalam bangunan yang dijadikan objek Hak Tanggungan karena isi rumah tidak termasuk ke dalam benda yang dijadikan objek jaminan Hak Tanggungan dan tidak dapat dijaminkan juga dengan Hak Tanggungan.

Dasar Hukum:
Referensi:
J. Satrio. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1. PT Citra Aditya Bakti.