28/11/15

mengapa harus mengambil jenjang doktor ?



Kuliah.. Kuliah... dan terus Kuliah..

aku pengen bisa dibanggakan papa mama...

Alasan mengapa harus mengambil jenjang Program Doktor Ilmu Hukum ?
Berawal dari pada saat proses bimbingan konsultasi dan  termotivasi  dari pembimbing penulisan hukum (tesis) saya pada saat menempuh pendidikan profesi  Strata 2 (Magister Kenotariatan) untuk dapat menjadi mewujudkan cita-cita saya dari kecil untuk menjadi seorang Notaris PPAT, saya diberi buku karangan beliau mengenai perbankan syariah.. belum sampai membuka dan membaca halaman pertama dari buku beliau, saya melihat dan membaca biografi beliau, melihat seseorang yang masih di usia yang masih muda mampu menyelesaikan  jenjang  pendidikan doktornya dengan hasil cumlaude 3,96 dalam waktu yang singkat sehingga di usia yang masih muda membuat beliau  dapat dipercaya oleh universitas untuk menjadi Ketua Program Study jenjang Sarjana serta memiliki komunitas hukum yang sangat luas, hal tersebut membuat saya memiliki  tekat dan keinginan untuk merefleksikannya tentang pilihan hidup yang saya jalani. Kasarnya, saya sebenarnya sedang bertanya pada diri sendiri “Kenapa aku tidak bisa seperti itu? Aku pengen seperti beliau....”.
Dukungan beliau baik secara moral, mental dan tentunya akademik sangat membantu untuk membuat saya akhirnya dapat melalui suatu proses UJIAN PENDADARAN untuk sebuah gelar embel-embel dibelakang nama saya yaitu Magister Kenotariatan (MKn).
Yang Pertama..
aku pengen bisa dibanggakan papa mama...
Wujud “bekti” anak kepada kedua orang tua, membuat mereka dapat bercerita kepada dunia membanggakan anaknya adalah sesuatu hal yang tidak dapat terbeli. Melihat mereka menyebut nama saya dengan menceritakan hal yang membuat mereka dapat tersenyum di hadapan orang lain membuat hati sangat bahagia dan berkat “terima kasih, ya Allah.. mungkin inilah sedikit hal yang bisa aku lakukan untuk membuat mereka bahagia, selain hal lainnya yaitu mengecewakan atau membuat mereka bersedih”.

Yang Kedua..
Tidak dipungkiri di Indonesia, gelar akademik lebih jauh dipertimbangkan di negara kita daripada memiliki pengalaman ataupun kemampuan yang sebetulnya mungkin melebihi seorang Profesor bahkan, namun budaya dan cara pandang yang sudah melekat di masyarakat membuat pemegang gelar S3 mendapatkan hak atau privilege dalam berbagai bentuk, yang tidak bisa dinikmati dengan  gelar S2 atau S1. Dalam persyaratannya baik dalam dunia pekerjaan terlebih di dunia pendidikan hampir semua mencari calon yang bergelar doktor. Contohnya untuk mencari kandidat pejabat perguruan tinggi (dekan atau rektor). Padahal sebetulnya benarkah seorang doktor selalu lebih mumpuni dalam hal pengelolaan institusi pendidikan tinggi dibandingkan seorang master atau sarjana? Persyaratan tersebut lebih bertujuan untuk menjaga image branding, akreditasi dan sebagainya, tidak ada yang tahu jawaban pastinya, namun itu bisa dijadikan wacana penelitian atau bahan diskusi selanjutnya. Pada tataran informalpun, dijumpai budaya “look who’s talking”. Pendapat dari seorang doktor pada umumnya lebih diperhatikan daripada pendapat orang yang bukan doktor. Sehingga wajar hal semacam ini memicu orang meraih derajad akademik tertinggi ini.

Yang Ketiga..
“Aku pengen bisa bikin dan punya buku sendiri, pengen aktif nulis di media massa...”
Pada awalnya, tidak pernah terlintas untuk bisa menulis sebuah buku dan diterbitkan, ketika saya dipanggil oleh beliau pembimbing tesis kenotariatan, beliau berkata “Mbak, tesisnya dibukukan ya...”, hal tersebut membuat saya membayangkan untuk dapat menulis bukan hanya sebuah buku tetapi nama saya bisa berkibar-kibar sebagai narasumber di media massa yang  pada saat itu yang terlintas adalah majalah perbankan, menjadi konsultan hukum seperti beliau yang pertimbangan serta pemikiranya diakui bahkan untuk para pejabat, aparat penegak hukum ataupun masyarakat umum. Hal tersebut, saya utarakan kepada beliau “saya pengen pinter seperti bapak...” dan beliau menyarankan “kalau mau tambah pinter ya sekolah lagi...”, sehingga membuat saya selesai menghadap langsung ke ruangan sebelah yaitu ke sekretariat program doktor-S3 ilmu hukum.
Dengan dasar pendidikan yang saya miliki sebelumnya sebagai seorang Sarjana Hukum dan Magister Kenotariatan, maka pilihan hati saya tetap jatuh kepada Doktor Ilmu Hukum. Dengan mantap mengisi dan menyelesaikan proses pendaftaran, melewati ujian baik tertulis dan wawancara untuk dapat diterima menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum.
Melakukan studi literatur memaksa saya membaca banyak jurnal penelitian yang sudah dilakukan, buku-buku, dari yang dulunya browsing untuk cari-cari baju bagus, sepatu, atau cara make up yang oke perlahan beralih menjadi mencari teori-teori hukum dari favorit saya Hans Kelsen dengan teori hukum murninya menurut para ahli dan analisis-analisisnya, Laurence M. Friedman, sampai Prof. Satjipto Rahardjo, Prof. Tandyo dan dosen teori hukum kesayangan mahasiswa khususnya yang cewek-cewek yang kuliah di fakultas hukum yaitu Prof. Adi Sulistyono. Semakin membaca semakin saya merasa kecil, masih terlalu dangkal pengetahuan saya mengenai hukum. Ternyata masih sangat banyak hal yang tidak saya ketahui dan saya pahami. Sehingga sekolah, sekolah dan sekolah lagi mungkin adalah pilihan dan keputusan yang tepat bagi saya.

Yang keempat..
Ketika kecil sangat ngefans berat dengan Doraemon, maka seiring bergulirnya waktu posisi Doraemon di hati menjadi tergantikan dengan figur tokoh masyarakat  yang sangat saya idolakan yaitu Prof J.E. Sahetapy, lahir di Saparua Maluku, seorang pakar hukum Indonesia dan merupakan  guru besar dalam ilmu hukum di Universitas Airlangga. Seseorang yang memiliki integritas, sering saya lihat baik dalam acara ILC (Indonesia Lawyer Club) ataupun videonya di youtube. “pinter tenan dirimu prof... prof...” membuat saya membulatkan keinginan untuk dapat menerapkan disiplin ilmu yang didapat untuk menambah rasa percaya diri bagi saya pribadi khususnya, serta menambah kemampuan di bidang akademik bagi seorang Notaris PPAT sehingga dapat memberikan pelayanan jasa dalam bidang hukum kepada masyarakat umumnya, dan dapat memberikan sumbangan 

Tidak ada penyesalan dalam diri saya untuk kuliah lagi walaupun, sudaaah capek...
Pada akhirnya, dengan merenung dan memikirkan baik-baik dan berbekal restu serta dorongan orang tua terutama papa tersayang maka mengambil kuliah S3 tidaklah menjadi keputusan yang salah dalam hidup saya. Saya tidak menyesal untuk mengambil keputusan ini.
Tulisan ini adalah sebuah pendapat pribadi tentang pengalaman pribadi saya dan dapat menjadi masukan untuk yang sedang bingung atau galau dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah lagi atau tidak, anyway.. your success is your choice – Marlon Smith.

"DO THE BEST and let GOD DO THE REST.."