14/09/16

Kepastian Hukum Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Di Minangkabau Sumatera Barat

Latar Belakang 

Terjadinya  konflik horizontal di tengah masyarakat yang berujung pada gugatan sengketa kepemilikan tanah di Sumatera Barat, yang bahkan sering  menimbulkan permusuhan antara satu kaum yang masih berada dalam satu desa sehingga membuat situasi yang tidak kondusif dalam pergaulan antar masyarakat.

Dimana masyarakat hanya ikut pada kepada mamak kepala waris yang merupakan pimpinan yang diberi amanah untuk menjaga tanah ulayat agar keberadaannya tetap berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat adatnya. Akan tetapi disayangkan amanah yang diberikan oleh kemenakannya serta masyarakat adat  seringkali dimanfaatkan kepentingan pribadi belaka, memperkaya diri sendiri dan tergoda dengan tumpukan uang dari orang lain agar ia mau menjual atau mengalihkan tanah ulayat masyarakat adatnya kepada orang lain oleh sebagian masyarakat adat tersebut sendiri.

Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah semua ini  memang kesalahan pribadi mamak sebagai pemimpin yang diamanahkan masyarakatnya untuk menjaga tanah ulayatnya tersebut atau memang tanah ulayat dapat diperjual belikan serta di proses sertifikatnya di Badan Pertanahan Nasional hingga berujung menjadi hak milik perorangan atau badan hukum?

Sedangkan tanah ulayat seharusnya memang tidak bisa diperjual belikan dan bukan menjadi objek pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Padahal hukum itu sendiri identik dengan kepastian.

Konsep Tanah Ulayat
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebagai negara hukum adalah setiap warga negara terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan sebagai negara hukum (rechstaat) mempunyai alasan yang kuat dan jelas untuk kepentingan warga negara itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch[1], seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Sebagai negara hukum, pengakuan hak atas kepemilikan telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, aturan tersebut mengikat setiap warga negara bahkan pemerintah sendiri agar tercipta jaminan kepastian hukum mengenai hak seseorang, hal ini sejalan dengan teori hukum yang dikembangkan oleh Roscou Pound yaitu hukum adalah alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering).

Kewajiban negara dalam mengatur lintas hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya atau dengan badan hukum dengan badan hukum lainnya sehingga adanya kepastian hukum bagi masing-masing pihak dengan tidak ada yang merugikan pihak lain karena ada aturan hukum didepan mereka.

Pengaturan hak atas tanah merupakan salah satu kewajiban negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya hak-hak masing-masing pihak. Selain kepastian hukum, aturan hukum yang ada dalam negara ini juga memberikan perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak warga negaranya.

Pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Dalam tingkat peraturan pelaksananya telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.
Dalam hal ini, kepastian hukum bagi tanah ulayat dalam pendaftaran tanah tidak ada. Haknya dihormati akan tetapi dalam tataran pelaksananya berupa bukti sertifikat sebagai proses pendaftaran tanah tidak diakui. Sehingga tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati. Hal ini tentu amat disayangkan karena masih banyak tanah ulayat masyarakat adat diberbagai daerah di Indonesia apalagi di daerah Provinsi Sumatera Barat.

Selang 2 tahun kemudian, pada tanggal 24 Juni 1999 telah disahkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3) adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tanah ulayat bukan merupakan obyek pendaftaran tanah, akan tetapi berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan tanah ulayat dapat dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut kententuan hukum adatnya yang berlaku. Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan bisa menguasai tanah ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Dari paparan diatas, secara jelas dapat diketahui tanah ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum, padahal tanah ulayat merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak bisa dibagi dan harus dihormati demi persatuan bangsa sesuai amanat UUPA Pasal 3. 
Hal ini tentu membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi perlindungan hak mereka.

Selanjutnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat mengenai tanah ulayat ini.
Masyarakat minangkabau mempunyai tataran hukum adat yang berbeda dengan daerah lain atau suku lainnya. Di Sumatera Barat ada wilayah yang disebut nagari, berdasarkan ketentuan perda ini pasal 1 ayat (5) yang dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu.
Oleh karena itu, jenis tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5 Perda ini yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo. Dalam Pasal 1 perda ini diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. 

Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat.

Memang dalam masyarakat hukum adat minangkabau, penghulu dan mamak kepala waris punya kedudukan penting. Sehingga mereka mempunyai amanah untuk menjaga dan memelihara serta memanfaatkan tanah adat kaumnya untuk kebaikan mereka bersama.
Dalam Pasal 1 perda ini dijelaskan yang dimaksud dengan penghulu adalah pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda). Sedangkan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam suatu keluarga.

Perda ini secara jelas menyebutkan adanya pendaftaran atas tanah ulayat bahkan menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8 dengan menerangkan siapa-siapa yang menjadi pemegang hak tanah ulayat dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo. Yang amat disayangkan dalam Pasal 8 huruf e menyebutkan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat bisa memberikan bagian tanah ulayat kepada perorangan dan bisa didaftarkan karena dikerjakan secara terus menerus dan menjadi sumber kehidupan.

Yang perlu dipahami bersama, konflik akan terjadi apabila tidak ada kepastian hukum berupa aturan hukum yang jelas mengenai tanah ulayat. Dari sekian pasal dalam perda ini, posisi penghulu dan mamak kepala waris akan menjadi rawan godaan bagi pihak manapun untuk menguasai tanah ulayat. Walaupun memang dapat sekilas dipahami perda ini bertujuan agar para investor tidak perlu takut menanamkan modal usaha/investasinya di tanah minangkabau akibat trauma dengan sengketa tanah ulayat yang tidak berujung di Sumatera Barat.

Dan pemerintah daerah Sumatera Barat seolah-olah lepas tangan dalam menghadapi permasalahan yang ada dengan menyerahkan persoalan sengketa ini ke pengadilan bila tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat ditingkat KAN. Kalau memang perda ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa maka seharusnya didominasi pasal-pasal yang menghormati tanah ulayat serta jangan sampai tanah ulayat sebagai pemersatu kemenakan-kemenakan atau anggota keluarga-anggota keluarga masyarakat hukum adat dibagi-bagi bahkan menjadi hak milik perseorangan dan badan hukum dan diobral hingga identitas lokalnya mulai luntur dan satu persatu anggota keluarga dan kemenakan pergi merantau dan tidak mengurus tanah ulayat tersebut.

Dengan dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dari mulai peraturan menteri hingga peraturan daerah dan gubernur, apakah akan menjamin eksistensi tanah adat untuk masa yang akan datang. Hal ini perlu dijawab kalau memang tanah ulayat perlu dipertahankan di bumi Indonesia ini bahkan di Sumatera Barat.

Jangan sampai tanah ulayat menjadi bahan komoditas jual beli dan transaksi bagi pihak-pihak yang ingin menguasai tanah ulayat yang pada ujungnya untuk dimiliki secara pribadi, apalagi penghulu dan mamak kepala warisnya tidak paham dengan aturan hukum tanah ulayat akan mudah tergoda dengan bujukan dan rayuan agar mau menjual tanah milik kaumnya.

Dan memang di Sumatera Barat tidak ada tanah yang tak bertuan, pasti ada pemiliknya walaupun diujung gunung atau sungai, baik itu milik perseorangan dan badan hukum bahkan mayoritasnya adalah tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat minangkabau yang terdiri dari suku-suku, kaum-kaum dan nagari-nagari.

Konsekuensi amanat Undang-Undang Pokok Agraria yang mana seharusnya tanah ulayat tersebut harus dijaga sedemikian rupa tidak berkesesuaian dengan peraturan pelaksana dibawahnya yang malah mengobral habis tanah ulayat agar cepat punah dari bumi Indonesia, dan yang tersisa adalah hak-hak milik pribadi yang membuat masyarakat Indonesia terutama minangkabau kehilangan identitas komunalnya demi menjaga persatuan dan kekeluargaan.

Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, mayoritas masyarakat adat minangkabau masih berkaitan dengan tanah yaitu bertani, berkebun dan beternak. Sehingga ketergantungan ini beralasan penting bagi masyarakat minangkabau untuk menjaga status tanah ulayatnya. Sekiranya tanah tersebut dikelola oleh para investor tanpa melibatkan masyarakat hukum adat, maka ini merupakan upaya penghapusan status kepemilikan tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau perlahan-lahan dan pada akhirnya mematikan kehidupan mereka dan membuat satu keluarga, satu suku dan satu kaum tercerai berai pergi kedaerah lain atau merantau akibat tanah ulayatnya hilang atau beralih kepada orang lain.

Memang diakui, kalau tanah itu dikelola masyarakat hukum adat tidak akan menghasilkan nilai manfaat bagi daerah. Akan tetapi bagi masyarakat hukum adat minangkabau setempat hal itu merupakan sumber penghidupan mereka dan mereka tidak punya keahlian yang lain dan akan tetap menjadi budak ditanah sendiri.

Dan yang paling utama, tanah bagi masyarakat minangkabau lambang harga diri dan lambang kehormatan kaum adatnya, keluarganya dan sukunya. Dan ini yang akan menjadi bencana sengketa konflik tanah ditingkat horizontal apabila penguasaan tanah adat oleh pihak-pihak lain diluar masyarakat hukum adat minangkabau dilakukan dengan cara penghilangan status tanah adat itu sendiri, bahkan sekarang ini banyak tanah ulayat sudah menjadi tanah milik pribadi-pribadi atau individu-individu dan badan hukum.

 Sehingga dapat disimpulkan, kedepannya tanah ulayat hanya sekedar nama saja atau sebatas bahan kajian dan penelitian tanpa memiliki status kepastian hukum yang jelas dan akan hilang perlahan-lahan dari bumi Minangkabau di Sumatera Barat. Dan ini tentu tidak senyawa dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kesimpulan
Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
a.    Kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah ulayat telah ada baik di Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
b.    Antara peraturan satu dengan yang lain masih menganggap tanah ulayat terutama di Sumatera Barat merupakan obyek investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi wilayah Sumatera Barat.
c.     Eksistensi tanah ulayat di Sumatera Barat makin diragukan untuk masa yang akan datang, dan akan hilang secara perlahan-lahan atas nama investasi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya

 [1]     Achmad Ali, 2008,Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 67.


Ridho Afrianedy,SHI, Lc  (Hakim PA Sungai Penuh) http://www.pta-jambi.go.id Published on Wednesday, 10 December 2014 15:01

Pemahaman Teori Hukum

TEORI HUKUM DALAM PANDANGAN PROF DR I NYOMAN NURJAYA, SH, MS
Posted date: Kamis, November 14, 2013 (http://www.mahasiswa-indonesia.com)

Teori Hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis dan tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis. Ilmu hukum Maupun hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. [1]

Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis  berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum. [2]

Teori Hukum berfungsi :
Menganalisis fenomena, seperti mengapa hukum itu berlaku?
Apa tujuan hukum?
Apa hubungan antara hukum dengan masyarakat?
Bagaimana hukum yang adil?
Semua hal tersebut dijawab melalui Teori Hukum dan Teori Hukum itu sendiri yang terkandung dalam hukum sampai kelandasan filsafat.

Ilmu Hukum adalah nilai yang memiliki kebenaran dan keadilan yang bersifat:
a.    Kodrati;
b.    Berlaku universal;
c.    Azas Hukum/Kaidah Hukum/Norma Hukum;
d.   Konsep Hukum hampir sama dengan (bahasa) hukum itu sendiri;
e.    Memilki kekhasan;
f.    Teori Hukum terbagi atas;
·    Teori Hukum Alam.
·     Pada Masa Kerajaan.
·     Teori Ketuhanan.
·     Teori Hukum Positif.
g.    Metode Hukum;
h.    Doktrin Hukum (pendapat para ahli).
Jadi Ilmu Hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum.
Pertanyaan-pertanyaan Ilmu Hukum hanya dapat dijawab oleh hukum positif. Karena objeknya hukum positif atau praktik hukum, yang terdiri dari norma serta penyelesaian masalah-masalah hukum konkret, maka Ilmu Hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis konkret. [3]

Sejarah Perkembangan Pemikiran Teori Hukum
Teori Hukum pertama kali berasal dari filsuf-filsuf ternama dari Yunani dan Romawi. 

Perkembangan Pemikiran Teori Hukum:
1.  Teori-Teori Pemikiran Yunani dan Romawi
Era baru filsafat hukum muncul pada abad sebelum abad 19 terutama muncul sebagai akibat konfrontasi ahli hukum yang dalam tugasnya seringkali berhadapan dengan masalah-masalah keadilan social. Oleh karena itu. Teori-teori hukum lama dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. [4]
Terdapat dua tokoh besar filsuf pada masa itu yang menyumbangkan pikirannya yang pertama:
a.   Plato beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. [5]
Plato (472-347 SM) dalam pemikirannya tentang keadilan yaitu apabila seorang itu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya mengurusi urusannya sendiri dan tidak mencampuri urusan orang lain. Plato mengatakan bahwa Negara akan sejahtera jika masyarakatnya mengurusi pekerjaannya sendiri. Dalam perjalanannya timbul banyak pertentangan yang selanjutnya Plato menyerahkan pada hakim untuk menyelesaikannya namun hakim tidak diikat oleh peraturan. Pada akhir hayatnya Plato mengatakan bahwa tidak mudah untuk mengurus masyarakat tanpa norma untuk memberikan keadilan dibuatlah sebuah nama.
b.  Aristoteles (384-322 SM), mengatakan bahwa negara yang didasarkan pada hukum bukan lagi sebagai alternatif untuk memecahkan masalah tapi sebagai satu-satunya langkah praktis untuk menciptakan keadaan masyarakat yang sejahtera. Dia juga berpendapat bahwa hukum adalah suatu bentuk dari akal yang bebas (bukan nafsu) melainkan hanya Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah serta hukum adalah jaminan bahwa akal-lah yang memerintah bukanlah hawa nafsu yang bisa menjadi keras dan tidak mendatangkan keadilan.
Aristoteles menulis tentang Negara dan hukum dalam buku-buku yang berjudul La Politica. Pertama dijelaskannya bahwa manusia menurut wujudnya merupakan “makhluk polis” (zoon politikon). Yang kedua Aristoteles menguraikan bahwa hukum harus dibagi dalam dua kelompok yaitu hukum alam/kodrati dan hukum positif. Yang terakhir diterangkan oleh Aristoteles bahwa pembentukan hukum ini selalu harus dibimbing oleh suatu rasa keadilan. [6]

2.   Pada Abad Pertengahan,
 Thomas Aquinas (1225-1275) di dalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum). Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri.
Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia, sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu: hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. [7]

Cita-Cita Hukum Dalam Hubungannya dengan Teori Hukum
Gustav Radbruch dengan Teorinya yaitu Rechtsidee bahwa hukum harus mewujudkan tujuannya:
1.    Keadilan (Grechtmategheit)
2.    Kemanfaatan (Doelmaghteit)
3.    Kepastian (Rechmategheit)

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah.  Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan. Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan.  Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini.  Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch. [8] Berbicara mengenai cita hukum pada umumnya menurut Gustav Radbruch memakai asas prioritas. Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik.
Misalnya, hukum pidana memiliki tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil.

Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga menegakkan kepastian dan kemanfaatan. Berkaitan dengan hal tersebut asas prioritas yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang dalam masalah ini. Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal penting. Kemanfaatan dan kepastian hukum menduduki strata dibawah keadilan. Faktanya sampai saat ini diterapkannya asas prioritas ini membuat proses penegakan dan pemberlakuan hukum positif di Indonesia masih dapat berjalan.

Faktanya dilapangan ketiga cita/tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch tetap saja ada pertetangan. Dalam teori filsafat hukum juga selalu mengagungkan keadilan, mulai teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, selalu mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum.
Maka demi tercapainya cita/tujuan hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat. Asas prioritas dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan pedoman. Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan daripada manfaat dan kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. Tetapi menjadi catatan penerapan asas prioritas dapat dilakukan selama tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian manusia selaku subjek hukum dalam masyarakat. [9]
Jika terjadi benturan antara ketiganya maka menurut Gustav keadilanlah lebih diprioritaskan.

Teori Hukum Kodrati/Alam – Positivisme Hukum
1.  Teori Hukum Kodrati/Alam
 Teori Hukum Alam adalah teori hukum yang pertama (teori hukum kodrati).
Teori Hukum Alam (Natural Law) menyatakan bahwa ada hukum dari alam (the law of nature) yang menurut ajaran dan prinsip-prinsip terhadap mana semua hal, termasuk manusia sendiri, harus berkelakuan.
Premis pertama dari doktrin Hukum Alam adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam, seharusnya diikuti. Hukum Alam memberikan tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam memformulasikan teori mengenai hukum dari alam kadang-kadang dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Jika Hukum Alam (Natural Law) ingin memiliki relavansi hukum, maka ia harus berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana manusia akan menggunakannya untuk mengatur diri mereka sendiri dan orang lain.
Hukum hanya dapat dilihat dari pedoman-pedoman yang ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut terhadap kasus-kasus tertentu. [10]
Pemikiran tentang hukum alam terutama dikembangkan oleh Aliran Stoic yand didirikan oleh Zeno. Konsep tentang kealaman merupakan pusat perhatian aliran ini. Yang dimaksud dengan alam adalah prinsip yang meresapi alam semesta, yang mereka kenali dalam bentuk akal. Akal yang meresapi seluruh alam semesta dianggap sebagai dasar dari hukum dan keadilan oleh Aliran Stoic. [11]

Teori-teori Hukum Alam dapat dibagi atas beberapa macam yaitu:
a.       Hukum Alam yang bersifat otoriter dan yang bersifat fakultatif.
Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum), di lain sisi Hukum Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum positif harus disesuaikan;
b.      Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan yang konservatif (kaku/ statis).
Teori ini diilhami oleh dua macam cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat manusia yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak asasi yang tidak dapat dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang sosiologis.
c.       Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang rasionalis.
Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis, dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
d.      Hukum Alam yang bersifat mutlak/absolut dan yang bersifat relative/nisbi.
Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute. [12]

2.   Positivisme dan Utilitarianisme
Abad XIX menandai munculnya gerakan positivism dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikira-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat Idealistis. Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad XIX menimbulknan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-malasah yang dihadapi. [13]
Selama abad tersebut manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. 

Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
H.L.A Hart mengajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut:
a.    Hukum adalah perintah.
b.    Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
c.     Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
d.    Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
e.    Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.

Berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).

Jeremy Bentham adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. [14]

Teori Hukum Murni
Hans Kelsen adalah pelopor aliran ini.
Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut:
a.    Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
b.    Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
c.     Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
d.    Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum;
e.    Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;
f.     Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai landasan tertinggi (Grundnorm), yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. [15]

Murid Kelsen yaitu Hans Nawiasky memperkuat teori gurunya dengan Staatfundamentalnorm. Nawiasky menjelaskan norma yang memunculkan asas sebagai formulasi dari Nilai. Implementasinya di Indonesia sangat kuat seperti landasan tertinggi yaitu Pancasila dilanjutkan Undang-Undang Dasar, Undang-undang dan seterusnya secara vertikal dari atas kebawah. Suatu contoh apabila Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar maka landasan yang ada di atasnya menjadi rujukan.

Volgeist juga sedikit memperkuat teori di atas, bahwa landasan tertinggi rakyat harus merujuk berupa jiwa rakyat itu sendiri.
Dalam bukunya, Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Kemauan bersama yang berkualitas dapat mengalahkan kepentingan diri, seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes. Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law).
Rousseau menyebut setiap negara yang diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk administrasinya. Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada kemauan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar. Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu besar dan terlalu kecil dengan masalahnya masing-masing.[16]

Dan Montesquieu dalam teorinya Trias Politica membagi pemisahan kekuasan menjadi tiga yang relevansinya di Indonesia sangat besar yaitu:
a.    Eksekutif (Presiden/Pemerintah), pengelola/ pelaksana pemerintahan dan undang-undang;
b.    Legislatif (MPR/DPR), pembuat perundang-undangan;
c.    Yudikatif (Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung), badan pengawas perundang-undangan.

Law As a Tool of Social Engineering
Hukum Sebagi Sebuah Sarana Rekaya Sosial teori ini dibawa oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja ke Indonesia yang berasal dari Amerika berkembang pada tahun 1970 oleh Roscoe Pound. 
Menurut Pound, seperti yang dikatakan oleh A. Javier Trevino ada tiga macam etika sosial yang bisa diperbedakan menurut tujuannya, ialah demi kepentingan individu, demi kepentingan publik, atau demi kepentingan sosial.
Masih menurut Pound, tujuan yang ketiga inilah yang dimaksudkan “to guide the courts in applying the law” dan seterusnya “the theory of social interest” dan bukan those of individual or public interest inilah yang menjadi “the conceptual core of sociological jurisprudence.”
Berbeda dengan apa yang diajarkan dan dikembangkan para pemikir hukum di negeri-negeri maju, oleh Roscoe Pound sekalipun, bagi Mochtar, pendayagunaan hukum oleh Pemerintah, ialah eksekutif, sebagai sarana merekayasa masyarakat adalah suatu kebutuhan yang amat dirasakan oleh setiap negeri berkembang, seakalipun kebutuhan seperti itu tak terlalu terasa di negeri-negeri industri yang telah maju, di mana hukum telah berfungsi sebagai mekanisme yang bisa bekerja baik untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. [17]

Sociological Jurisprudence & American Legal Realism
1.    Sociological Jurisprudence
Sekali lagi Tokohnya adalah Roscoe Pound yang dalam perkembangannya juga dikenali sebagai aliran fungsional namun demikian konsep Mochtar tentang sociological jurisprudence ini nyata kalau lebih mengedepankan the public interest yang direpresentasi pemerintah daripada the social interest yang lebih merujuk ke kepentingan warga masyarakat yang tengah berperkara dan yang sehubungan dengan itu tengah mencari pemecahannya berdasarkan petunjuk hukum yang diberikan hakim.
Seperti yang tersirat dalam tulisan Pound, bahwa “law … as a bit wit of social engineering … should be applied in the context of a judicial and administrative process … … (which) emphasizes the ideal element of the law, which is absent in legal positivism. Dengan demikian, tanpa ragu, dengan pernyataan seperti itu Mochtar tak hanya telah merekonseptualisasi hukum dari perannya sebagai pengatur tertib kehidupan sosial (yang telah mapan) ke fungsinya sebagai perekayasa sosial (demi terwujudnya pembangunan nasional), tetapi alih-alih begitu juga telah  men”transmigrasi”kan proses penciptaan hukum demi kepentingan pembangunan nasional dari wilayah kewenangan yudisial (dengan ‘judge-made law’nya) ke wilayah kewenangan legislatif, yang pada era Orde Baru didominasi oleh kewenangan eksekutif). [18]

2.  American Legal Realism
Common Law System:
a.    Judge – Made Law adalah hukum yang dibuat oleh hakim yang dijadikan dalam putusan yang menjadi rujukan kepada putusan-putusan hakim yang lain. Jadi apabila hakim yang ingin membuat putusan harus berlandaskan putusan-putusan sebelumnya yang wajib diikuti;
b.    Tidak adanya tata susunan perundang-undangan;
c.     Hukum materil dan formil disatukan.
d.    Adanya juri pengadilan yang ditunjuk oleh pengadilan itu sendiri yaitu masyarakat sekitar yang bersifat wajib.

Oliver Wendel Wilson mengatakan hukum itu tidak hanya dibuat oleh pembuat undang-undang atau pemerintah tapi juga dibuat oleh hakim yang terwujuda dalam putusan-putusan pengadilan.
Aliran ini berkembang pada abad ke-19 sampai ke-20 di Amerika Serikat.
Pada mulanya, paham Laissez Faire merupakan paham yang dominan, dimana semua kegiatan ilmu pengetahuan selalu dipengaruhi oleh formalisme. Apa yang dilakukan pembuat keputusan publik seringkali dianggap tidak jelas. Sehingga realisme hukum Amerika memandang bahwa hukum dalam aksi/tindakan sering kali lebih penting dari hukum yang ada dalam buku.  Realisme hukum Amerika ditandai dengan ciri-ciri umum:
×        Menolak pemikiran yang metafisis, meskipun tokoh-tokohnya merupakan kaum positivis.
×        Pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara empiris, dan selalu mencari jalan penyelesaian bagi setiap problem praktis dalam kehidupan sehari-hari.
×        Pendekatannya adalah pendekatan sosiologis dan juga psikologi sosial, yang mengarah pada suatu objek pokok, yakni apa yang secara aktual terjadi, yang dalam hal ini adalah apa yang terjadi di lembaga peradilan.
Bahwa untuk keperluan studi, untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought. Ia tidak mempercayai adanya suatu anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Menurutnya, hal ini merupakan masalah utama bagi golongan realis dalam pendekatan mereka terhadap hukum. [19]
Jadi pokok-pokok pendekatan hukum sebagai berikut:
a.    Bahwa hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan;
b.    Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial;
c.     Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.

Pemaknaan Hukum (Ontologi):
a.    Hukum dimaknai sebagai nilai dan asas tentang kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan universal;
b.    Hukum dimaknai sebagai norma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan;
c.     Hukum dimaknai sebagai putusan-putusan hakim yang tersistem sebagai judge - made law;
d.    Hukum dimaknai sebagai perilaku yang ajeg (terus-menerus);
e.    Hukum dimaknai sebagai ekspresi simbol hukum dalam kebudayaan manusia.

Analisa & Relevansinya dalam Konteksnya di Indonesia
(Aturan Hukum yang mencerminkan Teorinya)
·     Teori Hukum Kodrati/Alam
Teori ini menemukan dirinya di alam, semua yang awal mulanya berasal dari alam yang mengatur semua tingkah laku manusia menurut pengalaman alam dan manusia itu sendiri yang sesuai dengan moralitas kemanusiaan serta bersifat universal. Teori ini menjadi asal muasal semua Teori yang telah ada dimuka bumi ini. Jadi teori ini dari alam untuk alam itu sendiri.
Jika Teori Hukum Alam ingin memiliki relavansi hukum, maka harus berisi norma-norma petunjuk bagaimana menggunakannya untuk mengatur manusia itu sendiri sesuai standar keadilan dan moralitas diwaktu-waktu yang berbeda.
·    Teori Hukum Positivisme
Mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif semata jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan. Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama.
Dalam putusan majelis hakim konstitusi dalam sidang di Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra yang mempersoalkan hukuman mati dengan cara ditembak. Mahkamah Konstitusi menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.
Di tengah pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama.
Hak untuk hidup (right to life) merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal.
Secara tidak langsung pengartian Teori Hukum murni adalah paksaan, sebab di dalamnya benar-benar kemurnian hukum menjadi hal nomor satu yang tidak ada sesuatu hal yang bisa mencampurinya sekalipun hak asasi manusia.
Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk belajar atau menempuh pendidikan di Eropa, serta mengenal suatu ideologi sekuler yang terkait erat dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan Posistivisme.
Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persamaan, demokrasi, republik, konstitusi, hukum, negara, dan masyarakat. Selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan relevansi peraturan perundang-undangan yang tertulis dianggap “keramat” oleh banyak Hakim di Indonesia.

Daftar Pustaka
B. Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
B. Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung.
Khudzaifah Dimyati, 2010, Teorisasi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Theo Huijbers, 2010, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Internet
Anonymous, Teori Kontrak Sosial dari J.J. Rousseau, diakses http://abstractive-sense.blogspot.com/2010/01/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html pada tanggal 5 November 2013.
Krisnaptik, Teori Hukum dan Pengertian, diakses http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/ pada tanggal 5 November 2013.
Omer, Artikel Politik Hukum: Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch, diakses http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/ pada tanggal 5 November 2013.
Sofyan Rambe, Natural Law Theory (Teori Hukum Alam), diakses http://sofyanrambe.blogspot.com/2013/01/natural-law-theory-teori-hukum-alam.html pada tanggal 5 November 2013.
Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar Kusumaatmaadja: Manusia yang Pernah Saya Kenal dan Pemikirinnya, diakses http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah-saya-kenal-dan-pemikirannya/ pada tanggal 5 November 2013.
Setyo Pamungkas, Mengenal American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism, diakses http://setyopamungkas.wordpress.com/2012/01/09/mengenal-american-legal-realism-dan-scandinavian-legal-realism/ pada tanggal 5 November 2013.
Yonathan A. Pahlevi, Teori Hukum Alam, Sebuah Ringkasan, diakses http://ideapahlevi.blogspot.com/2012/09/teori-hukum-alam-sebuah-ringkasan.html pada tanggal 5 November 2013.




[1]    Mertokusumo Sudikno, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011, hal. 87
[2]    Sidharta Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung 2000, hal. 122
[3]    Mertokusumo Sudikno, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011, hal. 3
[4]    Dimyati Khudzaifah, Teorisasi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 57
[5]    Ibid., hal. 59
[6]    Huijbers Theo, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 24
[7]    http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/
[8]    Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan           Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 20-21
[9]    http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-          gustav-radbruch/
[10]   http://sofyanrambe.blogspot.com/2013/01/natural-law-theory-teori-hukum-alam.html
[11]   Op.cit. hal. 62 
[12]    http://ideapahlevi.blogspot.com/2012/09/teori-hukum-alam-sebuah-ringkasan.html
[13]    Op.cit, hal 68
[14]    http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/
[15]   http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/ 
[16]   http://abstractive-sense.blogspot.com/2010/01/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html
[17]   http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah-         saya-kenal-dan-pemikirannya/
[18]   http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah-          saya-kenal-dan-pemikirannya/
[19]   http://setyopamungkas.wordpress.com/2012/01/09/mengenal-american-legal-realism-dan-              scandinavian-legal-realism/