TEORI HUKUM DALAM PANDANGAN PROF DR I
NYOMAN NURJAYA, SH, MS
Posted date: Kamis, November 14, 2013
(http://www.mahasiswa-indonesia.com)
Teori Hukum adalah cabang
ilmu hukum yang membahas atau menganalisis dan tidak sekedar
menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis. Ilmu
hukum Maupun hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. [1]
Teori
Ilmu Hukum (rechtstheorie)
secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam
perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis
berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan,
baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan
tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum
positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik
ideologikal terhadap hukum. [2]
Teori Hukum berfungsi :
Menganalisis
fenomena, seperti
mengapa hukum itu berlaku?
Apa tujuan
hukum?
Apa hubungan
antara hukum dengan masyarakat?
Bagaimana
hukum yang adil?
Semua hal tersebut
dijawab melalui Teori Hukum dan Teori Hukum itu sendiri yang terkandung dalam
hukum sampai kelandasan filsafat.
Ilmu Hukum adalah nilai yang memiliki
kebenaran dan keadilan yang bersifat:
a. Kodrati;
b. Berlaku
universal;
c. Azas
Hukum/Kaidah Hukum/Norma Hukum;
d. Konsep
Hukum hampir sama dengan (bahasa) hukum itu sendiri;
e. Memilki
kekhasan;
f. Teori
Hukum terbagi atas;
· Teori Hukum
Alam.
· Pada
Masa Kerajaan.
· Teori
Ketuhanan.
· Teori
Hukum Positif.
g. Metode
Hukum;
h. Doktrin Hukum (pendapat para
ahli).
Jadi Ilmu Hukum adalah teorinya hukum positif
atau teorinya praktik hukum.
Pertanyaan-pertanyaan
Ilmu Hukum hanya dapat dijawab oleh hukum positif. Karena objeknya hukum
positif atau praktik hukum, yang terdiri dari norma serta penyelesaian
masalah-masalah hukum konkret, maka Ilmu Hukum bersifat normatif dan mengandung
nilai serta bersifat praktis konkret. [3]
Sejarah Perkembangan Pemikiran Teori Hukum
Teori Hukum pertama kali berasal dari filsuf-filsuf ternama dari Yunani dan Romawi.
Perkembangan Pemikiran Teori Hukum:
1. Teori-Teori Pemikiran Yunani
dan Romawi
Era baru filsafat hukum muncul pada
abad sebelum abad 19 terutama muncul sebagai akibat konfrontasi ahli hukum yang
dalam tugasnya seringkali berhadapan dengan masalah-masalah keadilan social.
Oleh karena itu. Teori-teori hukum lama dilandasi oleh teori filsafat dan
politik umum. [4]
Terdapat dua tokoh
besar filsuf pada masa itu yang menyumbangkan pikirannya yang pertama:
a.
Plato beranggapan bahwa hukum itu
suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. [5]
Plato (472-347 SM) dalam
pemikirannya tentang keadilan yaitu apabila seorang itu
menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya mengurusi urusannya sendiri
dan tidak mencampuri urusan orang lain. Plato mengatakan bahwa Negara akan
sejahtera jika masyarakatnya mengurusi pekerjaannya sendiri. Dalam
perjalanannya timbul banyak pertentangan yang selanjutnya Plato menyerahkan
pada hakim untuk menyelesaikannya namun hakim tidak diikat oleh peraturan. Pada
akhir hayatnya Plato mengatakan bahwa tidak mudah untuk mengurus masyarakat
tanpa norma untuk memberikan keadilan dibuatlah sebuah nama.
b. Aristoteles (384-322 SM), mengatakan
bahwa negara yang didasarkan pada hukum bukan lagi sebagai alternatif
untuk memecahkan masalah tapi sebagai satu-satunya langkah praktis untuk
menciptakan keadaan masyarakat yang sejahtera. Dia juga berpendapat bahwa hukum
adalah suatu bentuk dari akal yang bebas (bukan nafsu) melainkan hanya Tuhan
dan akal saja yang boleh memerintah serta hukum adalah jaminan bahwa akal-lah
yang memerintah bukanlah hawa nafsu yang bisa menjadi keras dan tidak
mendatangkan keadilan.
Aristoteles menulis tentang Negara
dan hukum dalam buku-buku yang berjudul La Politica. Pertama dijelaskannya bahwa manusia
menurut wujudnya merupakan “makhluk polis” (zoon
politikon). Yang kedua Aristoteles menguraikan bahwa hukum harus dibagi
dalam dua kelompok yaitu hukum alam/kodrati dan hukum positif. Yang terakhir
diterangkan oleh Aristoteles bahwa pembentukan hukum ini selalu harus dibimbing
oleh suatu rasa keadilan. [6]
2. Pada
Abad Pertengahan,
Thomas Aquinas (1225-1275) di dalam membahas arti hukum, Thomas
Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan
hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati
dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui
berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam
(ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum
positif manusiawi (ius positivum humanum). Tentang hukum yang berasal dari
wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral
agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya
berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam,
Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta
tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini
harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex
aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri.
Oleh karena itu untuk hukum alam,
Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia, sejauh didiktekan
oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex
naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan
rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi
manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu: hukum
alam primer dan hukum alam sekunder. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan
distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. [7]
Cita-Cita Hukum Dalam Hubungannya dengan
Teori Hukum
Gustav Radbruch dengan Teorinya yaitu Rechtsidee bahwa hukum harus mewujudkan
tujuannya:
1. Keadilan
(Grechtmategheit)
2. Kemanfaatan
(Doelmaghteit)
3. Kepastian
(Rechmategheit)
Bagi
Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu waktu
bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah
tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan. Hubungan yang
sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak memuaskan. Meuwissen memilih
kebebasan sebagai landasan dan cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan
kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita
inginkan. Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini.
Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan
sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch. [8]
Berbicara mengenai cita hukum pada umumnya menurut Gustav Radbruch
memakai asas prioritas. Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan
spesifik.
Misalnya,
hukum pidana memiliki tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, hukum
formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil.
Hukum
memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga menegakkan kepastian
dan kemanfaatan. Berkaitan dengan hal tersebut asas prioritas yang telah
ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang dalam masalah ini. Prioritas
keadilan dari segala aspek lain adalah hal penting. Kemanfaatan dan kepastian
hukum menduduki strata dibawah keadilan. Faktanya sampai saat ini diterapkannya
asas prioritas ini membuat proses penegakan dan pemberlakuan hukum positif di
Indonesia masih dapat berjalan.
Faktanya
dilapangan ketiga cita/tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch tetap saja
ada pertetangan. Dalam teori filsafat hukum juga selalu mengagungkan keadilan,
mulai teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, selalu
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum.
Maka demi
tercapainya cita/tujuan hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman,
kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat. Asas prioritas dalam tujuan
hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan pedoman. Apalagi dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang. Asas
prioritas yang mengedepankan keadilan daripada manfaat dan kepastian hukum
menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. Tetapi menjadi catatan penerapan
asas prioritas dapat dilakukan selama tidak mengganggu ketenteraman dan
kedamaian manusia selaku subjek hukum dalam masyarakat. [9]
Jika
terjadi benturan antara ketiganya maka menurut Gustav keadilanlah lebih
diprioritaskan.
Teori Hukum Kodrati/Alam – Positivisme Hukum
1. Teori Hukum Kodrati/Alam
Teori Hukum Alam adalah teori hukum yang
pertama (teori hukum kodrati).
Teori
Hukum Alam (Natural Law)
menyatakan bahwa ada hukum dari alam (the
law of nature) yang menurut ajaran dan prinsip-prinsip terhadap mana semua
hal, termasuk manusia sendiri, harus berkelakuan.
Premis pertama dari doktrin Hukum
Alam adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam, seharusnya diikuti. Hukum
Alam memberikan tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh
moral dalam memformulasikan teori mengenai hukum dari alam kadang-kadang
dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-diam.
Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Jika Hukum Alam (Natural Law) ingin
memiliki relavansi hukum, maka ia harus berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana
manusia akan menggunakannya untuk mengatur diri mereka sendiri dan orang lain.
Hukum hanya dapat dilihat dari
pedoman-pedoman yang ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut
terhadap kasus-kasus tertentu. [10]
Pemikiran tentang hukum alam
terutama dikembangkan oleh Aliran Stoic yand didirikan oleh Zeno.
Konsep tentang kealaman merupakan pusat perhatian aliran ini. Yang dimaksud
dengan alam adalah prinsip yang meresapi alam semesta, yang mereka kenali dalam
bentuk akal. Akal yang meresapi seluruh alam semesta dianggap sebagai dasar
dari hukum dan keadilan oleh Aliran Stoic. [11]
Teori-teori Hukum Alam dapat dibagi
atas beberapa macam yaitu:
a.
Hukum Alam yang bersifat otoriter dan yang
bersifat fakultatif.
Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius
constitutum), di lain sisi Hukum Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum
positif harus disesuaikan;
b.
Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan
yang konservatif (kaku/ statis).
Teori ini diilhami oleh dua macam cita-cita,
pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat manusia
yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak asasi yang tidak dapat
dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang
sosiologis.
c.
Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang
rasionalis.
Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/
agamis, dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
d.
Hukum Alam yang bersifat mutlak/absolut dan yang
bersifat relative/nisbi.
Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute. [12]
2. Positivisme dan
Utilitarianisme
Abad XIX menandai munculnya gerakan
positivism dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan
pemikira-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat Idealistis. Perkembangan
dan perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad XIX menimbulknan
semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-malasah yang
dihadapi. [13]
Selama abad tersebut manusia semakin
sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang.
Dalam abad
ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
H.L.A Hart
mengajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut:
a.
Hukum adalah perintah.
b.
Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah
usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari
studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
c.
Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara
logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu
menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
d.
Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat
ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau
pengujian.
e.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum,
harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang
diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti
terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa
hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam
negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum
adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain
disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
Jeremy
Bentham adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan
tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat
dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang
sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari
perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah
terbesar rakyat. [14]
Teori Hukum Murni
Hans Kelsen adalah pelopor
aliran ini.
Teori hukum murni ini lazim dikaitkan
dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian
pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu
pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan
sebagainya.
Teori
hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen
adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap
ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
b.
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak,
keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum
yang seharusnya ada;
c.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
d.
Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori
hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum;
e.
Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu
teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau
pola yang spesifik;
f.
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem
hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang
ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada
teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai
alat atau perlengkapan untuk memaksa. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda
dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan
bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen
yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai landasan tertinggi (Grundnorm),
yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari
semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan
induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem
tertentu. [15]
Murid Kelsen yaitu Hans Nawiasky memperkuat teori gurunya dengan
Staatfundamentalnorm.
Nawiasky menjelaskan norma yang memunculkan asas sebagai formulasi dari Nilai.
Implementasinya di Indonesia sangat kuat seperti landasan tertinggi yaitu
Pancasila dilanjutkan Undang-Undang Dasar, Undang-undang dan seterusnya secara vertikal
dari atas kebawah. Suatu contoh apabila Undang-undang bertentangan dengan
Undang-undang Dasar maka landasan yang ada di atasnya menjadi rujukan.
Volgeist
juga sedikit memperkuat teori di atas, bahwa landasan tertinggi rakyat
harus merujuk berupa jiwa rakyat itu sendiri.
Dalam bukunya, Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat
kontrak sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan
masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa
paksaan. Kemauan bersama yang berkualitas dapat mengalahkan kepentingan diri,
seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes. Konsep pertama
Rousseau tentang negara adalah hukum (law).
Rousseau menyebut setiap negara yang
diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk
administrasinya. Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang
eksekutif harus berdasar pada kemauan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan
masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar. Rousseau
tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya
berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu
besar dan terlalu kecil dengan masalahnya masing-masing.[16]
Dan Montesquieu dalam teorinya Trias Politica membagi
pemisahan kekuasan menjadi tiga yang relevansinya di Indonesia sangat besar
yaitu:
a. Eksekutif
(Presiden/Pemerintah), pengelola/ pelaksana pemerintahan dan undang-undang;
b. Legislatif
(MPR/DPR), pembuat perundang-undangan;
c. Yudikatif
(Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung), badan pengawas perundang-undangan.
Law As a Tool of Social Engineering
Hukum Sebagi Sebuah Sarana Rekaya
Sosial teori ini dibawa oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja ke Indonesia yang
berasal dari Amerika berkembang pada tahun 1970 oleh Roscoe Pound.
Menurut Pound, seperti yang dikatakan
oleh A. Javier Trevino ada tiga macam etika sosial yang bisa diperbedakan
menurut tujuannya, ialah demi kepentingan individu, demi kepentingan publik,
atau demi kepentingan sosial.
Masih menurut Pound, tujuan yang
ketiga inilah yang dimaksudkan “to guide
the courts in applying the law” dan seterusnya “the theory of social interest”
dan bukan those of individual or public interest inilah yang menjadi
“the conceptual core of sociological jurisprudence.”
Berbeda dengan apa yang diajarkan
dan dikembangkan para pemikir hukum di negeri-negeri maju, oleh Roscoe Pound
sekalipun, bagi Mochtar, pendayagunaan hukum oleh Pemerintah, ialah eksekutif,
sebagai sarana merekayasa masyarakat adalah suatu kebutuhan yang amat dirasakan
oleh setiap negeri berkembang, seakalipun kebutuhan seperti itu tak terlalu
terasa di negeri-negeri industri yang telah maju, di mana hukum telah berfungsi
sebagai mekanisme yang bisa bekerja baik untuk mengakomodasi
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. [17]
Sociological Jurisprudence &
American Legal Realism
1. Sociological Jurisprudence
Sekali lagi Tokohnya adalah Roscoe Pound yang dalam perkembangannya
juga dikenali sebagai aliran fungsional namun demikian konsep Mochtar
tentang sociological jurisprudence ini
nyata kalau lebih mengedepankan the public
interest yang direpresentasi pemerintah daripada the social interest yang lebih
merujuk ke kepentingan warga masyarakat yang tengah berperkara dan yang
sehubungan dengan itu tengah mencari pemecahannya berdasarkan petunjuk hukum
yang diberikan hakim.
Seperti yang tersirat dalam
tulisan Pound, bahwa “law … as a bit wit
of social engineering … should be applied in the context of a judicial and
administrative process … … (which) emphasizes the ideal element of the law,
which is absent in legal positivism. Dengan demikian, tanpa ragu, dengan
pernyataan seperti itu Mochtar tak hanya telah merekonseptualisasi hukum dari
perannya sebagai pengatur tertib kehidupan sosial (yang telah mapan) ke
fungsinya sebagai perekayasa sosial (demi terwujudnya pembangunan nasional),
tetapi alih-alih begitu juga telah men”transmigrasi”kan proses penciptaan
hukum demi kepentingan pembangunan nasional dari wilayah kewenangan yudisial
(dengan ‘judge-made law’nya) ke wilayah kewenangan legislatif, yang pada era
Orde Baru didominasi oleh kewenangan eksekutif). [18]
2. American
Legal Realism
Common Law System:
a.
Judge – Made Law adalah hukum yang
dibuat oleh hakim yang dijadikan dalam putusan yang menjadi rujukan kepada
putusan-putusan hakim yang lain. Jadi apabila hakim yang ingin membuat putusan
harus berlandaskan putusan-putusan sebelumnya yang wajib diikuti;
b.
Tidak adanya tata susunan perundang-undangan;
c.
Hukum materil dan formil disatukan.
d.
Adanya juri pengadilan yang ditunjuk oleh
pengadilan itu sendiri yaitu masyarakat sekitar yang bersifat wajib.
Oliver
Wendel Wilson mengatakan hukum itu tidak hanya dibuat oleh pembuat
undang-undang atau pemerintah tapi juga dibuat oleh hakim yang terwujuda dalam
putusan-putusan pengadilan.
Aliran ini berkembang pada abad ke-19
sampai ke-20 di Amerika Serikat.
Pada mulanya, paham Laissez Faire merupakan
paham yang dominan, dimana semua kegiatan ilmu pengetahuan selalu dipengaruhi
oleh formalisme. Apa yang dilakukan pembuat keputusan publik seringkali
dianggap tidak jelas. Sehingga realisme hukum Amerika memandang bahwa hukum
dalam aksi/tindakan sering kali lebih penting dari hukum yang ada dalam
buku. Realisme hukum Amerika ditandai dengan ciri-ciri umum:
×
Menolak pemikiran yang metafisis, meskipun
tokoh-tokohnya merupakan kaum positivis.
×
Pengembangan pengetahuan harus dilakukan secara
empiris, dan selalu mencari jalan penyelesaian bagi setiap problem praktis
dalam kehidupan sehari-hari.
×
Pendekatannya adalah pendekatan sosiologis dan
juga psikologi sosial, yang mengarah pada suatu objek pokok, yakni apa yang
secara aktual terjadi, yang dalam hal ini adalah apa yang terjadi di lembaga
peradilan.
Bahwa untuk keperluan studi, untuk
sementara harus ada pemisahan antara is dan ought. Ia tidak mempercayai adanya
suatu anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah
mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan.
Menurutnya, hal ini merupakan masalah utama bagi golongan realis dalam
pendekatan mereka terhadap hukum. [19]
Jadi pokok-pokok pendekatan hukum
sebagai berikut:
a.
Bahwa hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum
yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan;
b.
Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan
sosial;
c.
Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan
oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi
problem-problem sosial yang ada.
Pemaknaan Hukum (Ontologi):
a.
Hukum dimaknai sebagai nilai dan asas tentang
kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan universal;
b.
Hukum dimaknai sebagai norma yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan;
c.
Hukum dimaknai sebagai putusan-putusan hakim
yang tersistem sebagai judge - made law;
d.
Hukum dimaknai sebagai perilaku yang ajeg
(terus-menerus);
e.
Hukum dimaknai sebagai ekspresi simbol hukum
dalam kebudayaan manusia.
Analisa & Relevansinya dalam
Konteksnya di Indonesia
(Aturan Hukum yang mencerminkan
Teorinya)
· Teori Hukum
Kodrati/Alam
Teori ini menemukan dirinya di alam,
semua yang awal mulanya berasal dari alam yang mengatur semua tingkah laku
manusia menurut pengalaman alam dan manusia itu sendiri yang sesuai dengan
moralitas kemanusiaan serta bersifat universal. Teori ini menjadi asal muasal
semua Teori yang telah ada dimuka bumi ini. Jadi teori ini dari alam untuk alam
itu sendiri.
Jika Teori Hukum Alam ingin
memiliki relavansi hukum, maka harus berisi norma-norma petunjuk bagaimana
menggunakannya untuk mengatur manusia itu sendiri sesuai standar keadilan dan
moralitas diwaktu-waktu yang berbeda.
· Teori Hukum Positivisme
Mempertahankan penerapan hukuman
mati dalam pendekatan hukum positif semata jelas tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan terhadap hukum
nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah keharusan. Di tengah
pro-kontra wacana terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas
penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama.
Dalam putusan majelis hakim
konstitusi dalam sidang di Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Amrozi,
Muklas, dan Imam Samudra yang mempersoalkan hukuman mati dengan cara ditembak.
Mahkamah Konstitusi menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya
rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya
ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.
Di tengah pro-kontra wacana terhadap
hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental terhadap
HAM semestinya menjadi pijakan utama.
Hak untuk hidup (right to life) merupakan kategori hak
yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun,
termasuk dalam batasan regulasi formal.
Secara tidak langsung pengartian
Teori Hukum murni adalah paksaan, sebab di dalamnya benar-benar kemurnian hukum
menjadi hal nomor satu yang tidak ada sesuatu hal yang bisa mencampurinya
sekalipun hak asasi manusia.
Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke
Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama
ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk belajar atau menempuh
pendidikan di Eropa, serta mengenal suatu ideologi sekuler yang terkait erat
dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan Posistivisme.
Orang Indonesia mulai mengenal ajaran
mengenai hak-hak asasi, kemerdekaan, persamaan, demokrasi, republik, konstitusi,
hukum, negara, dan masyarakat. Selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para
Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan relevansi
peraturan perundang-undangan yang tertulis dianggap “keramat” oleh banyak Hakim
di Indonesia.
Daftar
Pustaka
B. Arief
Sidharta, 2000, Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
B. Arief Sidharta,
2007, Meuwissen Tentang Pengembanan
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama,
Bandung.
Khudzaifah
Dimyati, 2010, Teorisasi Hukum, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Sudikno
Mertokusumo, 2011, Teori Hukum,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Theo Huijbers, 2010, Filsafat
Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Internet
Anonymous, Teori
Kontrak Sosial dari J.J. Rousseau, diakses
http://abstractive-sense.blogspot.com/2010/01/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html
pada tanggal 5 November 2013.
Krisnaptik, Teori
Hukum dan Pengertian, diakses http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/ pada
tanggal 5 November 2013.
Omer, Artikel
Politik Hukum: Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch,
diakses http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/ pada
tanggal 5 November 2013.
Sofyan
Rambe, Natural Law Theory (Teori Hukum Alam),
diakses http://sofyanrambe.blogspot.com/2013/01/natural-law-theory-teori-hukum-alam.html pada
tanggal 5 November 2013.
Soetandyo
Wignjosoebroto, Mochtar Kusumaatmaadja: Manusia yang Pernah Saya Kenal dan
Pemikirinnya, diakses
http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah-saya-kenal-dan-pemikirannya/
pada tanggal 5 November 2013.
Setyo
Pamungkas, Mengenal American Legal Realism dan Scandinavian Legal Realism,
diakses
http://setyopamungkas.wordpress.com/2012/01/09/mengenal-american-legal-realism-dan-scandinavian-legal-realism/
pada tanggal 5 November 2013.
Yonathan A.
Pahlevi, Teori Hukum Alam, Sebuah Ringkasan,
diakses http://ideapahlevi.blogspot.com/2012/09/teori-hukum-alam-sebuah-ringkasan.html pada
tanggal 5 November 2013.
[2] Sidharta
Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung 2000,
hal. 122
[3] Mertokusumo
Sudikno, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011, hal. 3
[4] Dimyati
Khudzaifah, Teorisasi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.
57
[5] Ibid.,
hal. 59
[8] Sidharta
Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 20-21
[9] http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut- gustav-radbruch/
[16] http://abstractive-sense.blogspot.com/2010/01/teori-kontrak-sosial-dari-jj-rousseau.html
[17] http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah- saya-kenal-dan-pemikirannya/
[18] http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/mochtar-kusumaatmadja-manusia-yang-pernah- saya-kenal-dan-pemikirannya/
[19] http://setyopamungkas.wordpress.com/2012/01/09/mengenal-american-legal-realism-dan- scandinavian-legal-realism/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar