16/01/16

Catatan Terhadap Peraturan Pemerintah Momor 103 tahun 2015 | Bp.Alwesius, SH, MKn



Beberapa Catatan Terhadap Peraturan Pemerintah Momor 103 tahun 2015


1. Pendahuluan
Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 (PP 103) diterbitkan untuk lebih memberikan kepastian hukum pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia demikian dinyatakan di dalam diktum “menimbang” huruf a PP 103, oleh karena itu perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Pemerintah sebelumnya yaitu Peratiran Pemerintah nomor 41 tahun 1996 (PP 41).
Berkaitan dengan tujuan diterbitkannya PP 103 tersebut ada beberapa hal yang menurut penulis belum dapat dikatakan memeberikan jaminan kepastian hukum berkaitan dengan kepemilikan rumah tinggal/hunian bagi orang asing tersebut. Untuk itu penulis mencoba memberikan beberapa catatan terhadap hal-hal yang dituangkan di dalam PP 103.


2. Rumah Tinggal yang dapat dimiliki oleh orang asing
PP 103 menentukan rumah yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah “Rumah Tunggal”. Pasal 1 angka 2 PP 103 menentukan “Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.”
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 PP 103 tersebut maka orang asing hanya dapat memiliki rumah tinggal yang berupa “Rumah Tunggal”. Orang asing tidak dapat memikili rumah tinggal yang didirikan dalam bentuk “rumah kopel” atau “rumah deret”, dimana dinding rumah yang satu berdempetan dengan dinding rumah yang lain yang berada disebelahnya. Penulis kurang mengerti maksud dari ketentuan tersebut, apakah karena rumah-rumah yang mempunyai dinding yang dibangun di atas perbatasan kaveling pada umumnya merupakan rumah-rumah yang masuk dalam kategori rumah sederhana atau rumah sangat sederhana, yang pembangunannya pada umumnya ditujukan kepada masyarakat Indonesia yang berpenghasilan kecil atau ada maksud lain.


3. Jumlah rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing
Di dalam PP nomor 41 tahun 1996 (PP 41) di dalam pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa “Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah tinggal untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu”. Jadi jelas sekali bahwa sebelumnya telah diatur secara tegas jumlah pemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing yaitu hanya “sebuah” rumah tinggal/hunian saja. PP 103 tidak mengatur mengenai pembatasan jumlah kepemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing.
Tidak ditentukannya pembatasan atau jumlah rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing menimbulkan pertanyaan apakah orang asing dapat memiliki rumah tinggal/hunian lebih dari 1 (satu) rumah tinggal/hunian, apakah pembatasan pemilikan rumah tinggal/orang asing sama dengan pembatasan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Pertanyaan tersebut tentunya harus mendapatkan jawaban yang pasti, sehingga tercipta kepastian hukum sebagaimana tujuan diadakannya PP 103. Kepastian tersebut tentunya dapat dituangkan didalam peraturan menteri agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Penulis berpendapat sebaiknya tetap dilakukan pembatasan pemilikan rumah tinggal/hunian orang asing dan pemilikan itu dikaitkan dengan tempat tinggal dimana izin tinggal kepada orang asing tersebut diberikan. 


4. Orang Asing yang dapat memiliki rumah/hunian di Indonesia
Sesuai ketentuan UUPA dan PP 40, orang asing yang dapat memiliki fhak atas tanah dan karenannya dapat memiliki rumah ringgal di Indonesia adalah orang asing berkedudukan di Indonesia. Pasal 1 angka 1 PP 103 menentukan “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Inddonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) PP 103 menentukan “Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya. PP 41 tidak menentukan persyaratan “izin tinggal di Indonesia”.
Dengan adanya persyaratan mempunyai “izin tinggal di Indonesia” maka yang dapat memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia adalah benar-benar orang asing yang tinggal di Indonesia, baik tinggal untuk sementara waktu maupun bersifat menetap. Persyaratan yang diatur didalam Pasal 1 dan Pasal 2 PP 103 tersebut merupakan persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi oleh orang asing yang hendak memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia.
Apabila Orang Asing atau ahli waris yang merupakan Orang Asing yang memiliki rumah yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut hak atas rumah dan tanahnya tersebut belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat maka rumah di lelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara atau rumah menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik ( Pasal 10 ayat 2 PP 103)


5. Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh Orang Asing untuk keperluan rumah tinggal/hunian

Berdasarkan ketentuan UUPS, orang asing hanya dapat memeiliki hak pakai atau hak sewa tanah untuk bangunan. Hal ini ditegasklan lebihn lanjut di dalam PP nomor 40 tahiun 1996 (PP 40) maupun PP 41. PP 103 hanya mengatur kepemilikan rumah tinggal/hunian untuk orang asing atas rumah tinggal/hunian diatas hak pakai, baik hak pakai di atas tanah negara maupun hak pakai di atas tanah hak milik. PP 103 tidak mengatur mengenai hak sewa.
Pasal 102 ayat (1) PP 103 menentukan “Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai”. Selanjutnya Pasal 4 PP 103 menentukan :
“(3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan.
(4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jadi jelas berdasarkan ketentuan PP 103 rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah rumah tinggal/hunian yang berada di atas tanah hak pakai. Tidak diaturnya rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa bukan berarti orang asing tidak dapat memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa.Orang asing tetap boleh memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 


6. Pemindahan hak atas rumah tinggal/hunian orang asing
Mengenai pengalihan hak pakai diatur di dalam Pasal 54 PP 40. Sesuai ketentuan Pasal 54 PP 40 tersebut, pemindahan hak dapat dilakukan, antara lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar. Untuk pemindahan hak atas hak pakai atas tanah negara harus memperoleh izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan untuk pemindahan hak pakat di atas hak milik harus memperoleh izin dari pemegang hak milik yang bersangkutan.
Berkaitan dengan hak pakai yang dimiliki oleh orang asing tentunya disamping harus memenuhi syarat tersebut, calon penerima haknya juga harus memneuhi syarat yang ditetapkan di dalam PP 103, jika calon penerima hak tersebut merupakan orang asing yaitu yang bersangkutan juga harus memiliki izin tinggal di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undang yang beralku. 


7. Pewarisan rumah tinggal/hunian orang asing
Prinsip umum dalam pewarisan, dengan meninggalnya seseorang maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, dengan batasan-batasan atau syarat-syarat tertentu.Asas tersebut terdapat di dalam Pasal 830 KUHPerdata dan berlaku bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata, emikian juga di dalam hukum Islam, walaupun terdapat perdendaan prinsip bahwa di dalam hukum Islam para ahli waris hanya menanggung hutanh/kewajiban Pewaris sebatas harta penginggalan yang ditinggalkan Pewaris. Demikian juga dengan ketentuan pewarisan lainnya yang penulis pahami dari literatur yang penulis baca dan selanjutnya tergantungb kepada sistem pewarisan yang dianut.
Sehubungan dengan hal tersebut maka pada prinsipnya jika seorang asing meninggal dunia maka haknya atas rumah tinggal/hunian tersebut beralih kepada ahli warisnya.Oleh karena rumah tinggal/hunian yang diwarisi oleh para ahli waris tersebut berada di Indonesia maka tentunya terhadap kepemlikan tanah berdasarkan pewarisan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan mengenai hukum pertanahan di Indonesia.
Ketentuan mengenai pewarisan rumah tinggal/hunian orang asing diatur didalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) yang menentukan:
“(3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan. (4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) PP 103 tersebut jelas bahwa apabila orang asing yang memiliki rumah tinggal/hunian meninggal dunia maka rumah tinggal tersebut beralih kepada ahli warisnya. Apabila ahli waris orang asing tersebut juga merupakan orang asing maka ahli waris yang bersangkutan harus mempunyai izin tinggal di Indonesia. Jika izin tersebut tidak dimiliki maka ia tidak lagi memenuhi syarat sebagai orang asing yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia dan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ia harus mengalihkan tanah tersebut kepada orang lain yang memenuhi syarat, dengan segala akibat hukumnya sebagaimana diatur didalam Psal 7 PP 103. 


8. Perpanjangan jangka waktu bagi Hak Pakai di atas tanah Hak Milik
Jangka waktu hak pakai atas tanah negara untuk keperluan rumah tinggal/hunian bagi orang asing adalah 30 tahun, demikian ditentukan di dalam Pasal 6 ayat (1) PP 103. Hak pakai tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan selanjutnya dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.(Pasal 6 ayat 2 dan ayat 3 PP 103).
Pasal 7 PP 103 memnetukan bahwa untuk hal Pakai di atas tanah hak milik dapat diberikan sesuai jangka waktu yang disepakati dengan ketentuan tidak lebih lama dari 30 tahun. Dan kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan selanjutnya dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai sesuai kesepakatan dengan pemegang hak milik atas tanah yang bersangkutan.
Di dalam PP 103 ada perubahan jangka waktu yang diberikan untuk hak pakai di atas tanah negara. Di dalam PP 40 hak pakai atas tanah negara diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun dan kemudian dapat diperbnaharui paling lama 30 tahun. Sehingga dengan demikian akan terdapat perbedaan jangka waktu antara hak pakai untuk orang asing dan hak pakai untuk Warga Negara Indonesia.
Perbedaan juga terjadi terhadap jangka waktu hak palai di atas tanah hak milik. Jika sebelumnya hak pakai tersebut tidak dapat diperpanjang melainkan hanya dapat diperharui, namun di dalam PP 103 hak pakai tersebut dapat diperpanjang jangka waktunya. Yang menjadi pertanyaan bagaimana cara melakukan perpanjangannya. Jika pemberiannya dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tentunya perpanjanganya juga harus dilakukan dengan akta PPAT dan Mentyeri Agraria/Kepala BPN tentunya harus melakukan perubahan terhadap peraturan meneteri yang megatur mengenai bentu-nemtuk akta pertanahan, yang saat ini diatur di dalam Perkaban nomor 8 tahun 2012.Berkaitan dengan hal tersebut tentunya terdapat tambahan bentuk akta yaitu berupa Akta Perubahan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik atau Akta Perpanjangan Jangka Waktu Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. 


9. Perjanjian Pemisahan Harta
Catatan terkahir penulis berkaitan dengan PP 103 adalah berkaitan dengan ketentuan pasal 3 PP 103. Pasal 3 ayat 2 PP 103b menentukan Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Ketentuan ini sebenarnya hanya merupakan penegasan dari ketentuan yang terdapat di dalam UUPA maupun PP 40. Sesuai ketentuan UUPA dan PP 40, seorang warga negara Indonesia dapat menjadi subyek Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai.
Sebenarnya sekalipun seorang WNI tersebut menikah dengan orang asing, sepanjang tanah yang dimiliki oleh WNI tersebut tidak ikut menjadi milik suami atau isterinya yang orang asing maka WNI tersebut tetap dapat memiliki tanahnya tersebut sama seperti dengan WNI lainnya. Yang menjadi permasalahan hukum adalah apabila disamping dimiliki oleh seorang WNI, tanah tersebut juga ikut dimiliki oleh suami atau isterinya yang orang asing . Apabila hal ini terjadi maka bagi mereka berlaku ketantuan Pasal 21 ayat 3 atau pasal 26 ayat 2 UUPA. Untuk menghindari yang bersangkutan terkena ketentuan Pasal 21 ayat 3 atau 26 ayat 2 UUPA yang mengakibatkan hak atas tanahnya hapus dan tanahnya menjadi tanah negara maka tentunya seorang WNI yang hendak melangsungkan perkawinan dengan orang asing, yang merupakan hak asasinya untuk menikah dengan sispapun juga tanpa ada yang dapat menghambatnya, sudah sepatutnya jika tidak dapat dikatakan seharusnya, dia juga harus melakukan upaya untuk melindungi hak asasi yang dimilikinya berdasarkan konstitusi tersebut. Ia harus melakukan upaya untuk melindungi hak asasinya tersebut yaitu dengan membuat Perjanjian Perkawinan.
Pasal 103 ayat 2 menentukan “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.”. Menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “perjanjian pemisahan harta” di dalam Pasal 3 ayat 2 tersebut?. Menurut penulis yang dimaksud “perjanjian pemisahan harta” tersebut adalah “perjanjian perkawinan” yang isinya menyangkut pemisahan harta diantara suami isteri. Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan.Perjanjian Perkawinan tidak dapat dibuat sepanjang perkawinan dilangsungkan. Jika benar yang dimausd di dalam pasal 3 ayat 2 tersebut adalah “perjanjian perkawinan” maka pasal tersebut sifatnya hanya mempertegas ketentuan yang sudah berlaku sebelumnya yang siatur di dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Yang menjadi persolan apabila “perjanjian pemisahan harta” tersebut ditafsirkan nulan sebagi perjanjian perkawinan melainkan perjanjian lain yang dapat dibuat oleh suami dan isteri sepanjang perkawinan mereka. Jika ini yang terjadi maka tentunya telah terjadi ketidakpastian hukum di dalan hukum perkawinan kita, khususnya hukum yang menyangkut harta benda perkawinan. Yang terakhir ini dapat menimbulkan berbagai pembuatan perjanjian simulasi, yang sebenarnya “terlarang”, akanm tetapi sekarang mendapat perlidungan di dalam hukum positif kita atau dilindungi oleh Pemerintah. 


10. Kesimpulan
Dari catatan-catatan diatas maka terlihat bahwa PP 103 ini belumlah tmemberikan kepastian hukum sebagaimana tujuan pembuatannya.Untuk itu perlu dilengkapi dengan penyusunan peraturan pelaksanaannya yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada semua pihak



https://www.facebook.com/groups/forumnotarisppat/
Jakarta, January 14 at 3:08pm 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar