BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG)
Pasal 1 – 3 KUHPerdata
tiap-tiap manusia itu berstatus orang dalam hukum, artinya tiap-tiap
manusia berwewenang untuk mempunyai hak-hak, khususnya berwewenang
untuk mepunyai hak-hak keperdataan.
Pasal 1 KUHPerdata : Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan.
Bahwa semua orang baik yang alami (natuurlijk persoon) maupun badan
hukum (rechtspersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama, baik
mengenai luasnya maupun kewenangannya.
Hak-hak Keperdataan dimulai sejak kelahirannya dengan pengecualian yang dinyatakan dalam Pasal 2 KUHPerdata.
Anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap memenuhi isi Pasal 2 KUHPerdata, kalau memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Dilahirkan hidup.
2. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta/peristiwa hukum itu
terjadi. Dan hak-hak keperdataan akan berakhir pada saat kematiannya.
Pasal 3 KUHPerdata bahwa tiada suatu pidana pun (hukuman) yang dapat
mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya hak-hak keperdataan atas
seseorang.
Hak-hak keperdataan subjek hukum (orang) yang masih hidup hanya dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan umum.
Subjek hukum (orang) yang dipidana (berada dalam tahanan/penjara) tidak hilang hak-hak perdatanya.
Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara untuk tindakkan
hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik
Notaris/PPAT dapat ke Lembaga Pemasyarakatan dan terlebih dahulu untuk
berkoordinasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan pada
waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan
akta tersebut.
Jika subjek hukum (orang) orang dalam keadaan sakit
dan dirawat di rumah sakit untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda
tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke rumah sakit
yang bersangkutan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan dokter
yang merawatnya, dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua
pihak yang berkaitan dengan akta tersebut. Untuk meminta pendapat dokter
secara fisik dan nonfisik masih bisa berkomunikasi atau tidak, kalau
tidak bisa lagi Notaris/PPAT meminta kepada keluarganya untuk dilakukan
dengan Pengampuan dengan Penetapan Pengadilan.
Jika subjek hukum
(orang) berada dalam tahanan/penjara dalam kasus-kasus tertentu (tindak
pidana korupsi) yang ternyata berdasarkan keputusan pengadilan semua
harta bendanya disita, baik harta benda yang disita tersebut dicantumkan
dalam amar putusan atau tidak disebutkan (tidak disita), sangat
dianjurkan (atau tidak dipenuhi) untuk Notaris/PPAT tidak melayani yang
bersangkutan jika ingin menjual harta bendanya meskipun tidak disita.
Jika hal ini dilakukan oleh Notaris/PPAT, maka Notaris/PPAT dapat
dikategorikan pihak yang membantu menyamarkan atau menyembunyikan (atau
sebagai nexus) hasil tindak pidana korupsi atau TPPU (Tindak Pidana
Pencucian Uang) -UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
CATATAN :
berdasarkan Pasal 106 huruf a UU No. 23/2006 tentang Administrasi
Kependudukan, bahwa Buku Kesatu Bab Kedua dan Bab Ketiga Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia,
Staatblad 1847 : 23, - dicabut dan dinyatakan tidak berlaku).
Bahwa
meskipun eksistensi Kitab undang-undang Hukum Perdata untuk
bagian-bagian tertentu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena telah
ada undang-undang lain yang mengaturnya, ataupun ada beberapa pasal yang
dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
no. 3/1963, tapi bagian-bagian tertentu masih dapat dipergunakan
sebagai pedoman, meskipun tidak mengikat (dalam SEMA) disebutkan bahwa
BW tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang
hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis). Dan tentang SEMA
itu sendiri menurut Achmad Ali bahwa "Sekalipun secara hirarki
perundang-undangannya kaum positivis sebuah SEMA tidak mungkin
menghapuskan suatu undang-undang, apalagi kitab undang-undang, tetapi di
dalam kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan",
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan
Solusinya),Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 25.
Indonesia Notary Community (INC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar