Mata Kuliah :
Teori Hukum
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.H.
PROGRAM
DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
THE CRITICAL
LEGAL STUDIES MOVEMENT
Authors:
Roberto M. Unger
Translators: Ifdhal Kasim
Language Editor: Purwadi Junaedi
Collation: xxiii, 163 pages
Impressum: Jakarta: Elsam, 1999
ISBN: 979-8981-03-0
The author,
Roberto M. Unger, Professor of Law at Harvard University, ambitious offering a
critical social theory, which he hoped could become a radical alternative to
Marxist social theory.
Table of Contents:
From the Publisher
Preface Introduction: Critical Legal
Studies Movement in Thought and Practice
Part 1: Criticism of Legal Thought
Part 2: From Critique to Construction
Part 3: Two Models Doctrine
Part 4: The Concept of Being Footing and
Broader Implications
Part 5: Other Politics
Conclusion: Lessons infelicity
Notes Bibliography
Sebelum masuk kedalam review buku Gerakan Studi Hukum Kritis
terjemahan Ifdhal Kasim dari buku Roberto Unger “ The Critical Legal Movement”, mengutip dari kesimpulan Prof. Hikmahanto
Juwana dalam pengukuhan Guru besarnya bahwa Law
is politics, law exists only as an ideology,
demikianlah esensi pemikiran Critical
Legal Studies (selanjutnya
disingkat CLS) karena berdasarkan kenyataan bahwa hukum adalah
politik dan berkarakter ideologis. Karena itu doktrin hukum yang selama ini
terbentuk sebenarnya berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power).
Studi hukum di Indonesia bisa
diibaratkan seperti penari tandai, terlihat bergerak tetapi sesungguhnya berjalan di tempat.
Karena fenomena yang terjadi adalah para guru besar hukum serta para pengemban
studi hukum nyaris terlelap pulas, terasing dari berbagai perkembangan baru
dari perkembangan hukum di tempat lain karena habis untuk memperkenalkan aspek
teknis dari hukum pasar modal, kontrak internasional dan sebagainya. Bila
mengacu pada Teori Revolusi Thomas Kuhn, menunjukan bahwa paradigma yang
digunakan dalam studi hukum yang seperti ini yakni paradigma positivism yang
tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Kuhn dengan Anomaly, karena
paradigma tersebut terus bertahan sebagai Normal
Science dari generasi ke generasi. Paradigma positivism tetap relevan
digunakan, tidak pernah mengalami kehilangan relevansinya untuk menghadapi
perubahan jaman atau anomali. Sehingga keadaan ini menjelaskan mengapa tidak
pernah muncul aliran baru yang mampu memberikan paradigma lain pada studi hukum
di Indonesia, yang menjelaskan terjadinya stagnasi. Buku ini adalah sebagai
cermin, yang berisi mengenai sebuah aliran pemikiran hukum kritis yang muncul
di Amerika Serikat, sehingga kita mampu bercermin mengenai perkembangan kajian
hukum di negara lain sehingga kita tidak hanya didominasi oleh satu paradigma,
namun penuh ragam seperti taman bunga. Krisis kedaulatan hukum yang kini
melanda Indonesia antara lain adalah karena ketiadaan paradigma hukum kritis
yang dapat menjawab permasalahan hukum kita.
Semula buku The Critical Legal Movement, Unger ditulis untuk kepentingan Critical Legal Studies Movement yaitu
suatu Gerakan Studi Hukum Kritis yang selanjutnya disebut GSHK, pada konferensinya yang ke 6 di Fakultas Hukum Universitas
Harvard Tahun 1982. Pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian Wisconsin,
Amerika Serikat diadakan “Conference on Critical Legal Studies”.
Penyelenggara konferensi tersebut adalah para akademisi hukum yang terlibat
dalam gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam, para sarjana yang
tertarik pada kritik terhadap ketimpangan tatanan sosial serta praktisi hukum
dibidang pelayanan kepentingan publik dan kaum miskin yang dipersatukan
olehketidak puasan terhadap tradisipemikiran hukum yang pada saat itu dominan,
yakni pemikiran hukum liberal (liberal
legal thought), yang menurut mereka hanya sedikit sekali untuk bisa
digunakan untuk menjawab masalah-masalah keresahan sosial dan politik yang ada
di Amerika Serikat pada saat itu. Mereka menganggap formalisme hukum tidak
dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Amerika dan juga
Perang Vietnam, sehingga mencari cara baru dalam menafsirkan hukum bukan hanya
untuk menyelesaikan permasalahan saat itu namun juga di masa depan, maka
lahirlah Critical Legal Studies.
Tokoh
dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl Klare,
Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz dengan introduksi yang kuat dari
David Kairys, Jack Balkin dan Roberto M. Unger. Keseluruhan tulisannya
mayoritas beroposisi dengan jurisprudensi hukum liberal.
Seperti praktek diskursif pendahulunya,
American Legal Realis, GSHK melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap
hukum, yang membedakannya adalah pendekatannya (approach) lebih mengacu pada paradigma ilmu sosial “kiri”.
seperti aliran Marxisme, teori kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain-lain. Hal ini tidak berarti
GSHK merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya
secara ekletis.
Critical
Legal Studies menolak
anggapan mengenai hukum yang netral
(neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law) dan pemisahan
hukum dengan politik (law politics
distinction).
Doktrin
hukum liberal hanyalah mitos dan false
necessity karena tidak dapat
dikonstruksi oleh teorinya, proses hukum bukan bekerja di ruang hampa melainkan
dalam realitas yang tidak netral dan sarat kepentingan yang subjektif di
belakangnya.
Pemisahan
hukum dan politik, bahwa hukum itu dikonstruksi secara objektif. Ronald Dworkin, dalam pernyataannya “law
is based on ‘objective’ decisssion of principle, while polincs depends on
‘subjective’ decisions of policy”sebagai jantung teori hukum liberal
seperti inilah yang sangat ditentang oleh GSHK, yang menyatakan bahwa tidak
mungkin suatu proses hukum (baik dalam membuat Undang-Undang / menafsirkannya)
netral dari pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Tidak mungkin mengisolasi
hukum tersebut sendiri dari konteks dimana hukum tersebut eksis (bagi mereka
pendapat tersebut adalah sebagai pelarian terhadap latar belakang politik dan
ideologis dibalik putusan hakim).
Hukum dikonstruksikan sebagai “Negotiable, Subjective and Policy-Dependent
as Politics.” Menurut Unger, terdapat dua alasan utana mengapa tidak
mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas hukum :
First, procedure
is inseperable from outcome: every method makes certain legislative choices
more likely than others …. Second, each lawmaking system itself embodies
certain values; it incorporates a view of how power ought to be distributed in
the society and how conflict should be resolved.
Itulah
sebabnya Unger mengatakan, bahwa
hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Esensi
pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law is politics itu, CLS
berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam
ilmu hukum
yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. CLS mengkritik hukum yang berlaku,
yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral. CLS berusaha
untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke
permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan
muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan
ekonomi.
Hukum dibentuk
berbagai faktor non hukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau
politik. Menurut pandangan CLS, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya
lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer.
Dalam memandang masalah hukum, CLS
menolak perbedaan antara teori dengan praktek, dan menolak juga perbedaan
antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Oleh
karena itu, maka CLS menolak kemungkinan adanya teori murni (pure theory),
serta lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap
transformasi sosial yang praktis.
1.
Kritisisme Pemikiran Hukum
Kritik
Terhadap Obyektivisme dan Formalisme
Kritisme pemikiran hukum dalam buku ini, mengangkat
pembahasan mengenai kritik terhadap obyektivisme dan formalisme. Unger menyatakan bahwa formalisme
dan obyektivisme telah gagal, sebagaimana keduanya telah gagal untuk dipidahkan satu dan lainnya. Unger juga
mengkritik formalisme sebagai adanya
kebutuhan teori bagi yang mempercayai formalisme. Dan obyektivisme sebagai
hukum yang memiliki pertentangan dan persaingan dengan prinsip-prinsip. Tanpa
beberapa teori, rasionalisasi hukum adalah sebuah permainan analogi yang mudah.
Unger menyatakan, “untuk
memperhalus serangan pedas terhadap obyektivisme, kami telah menafsirkan
kembali hukum dan doktrin hukum yang berlaku, sebagai pemutusan yang senantias
lebih maju dari proyek para ahli hukum klasik abad ke 19.”
Kritikan
Unger, difokuskan pada penentangan terhadap gagasan mengenai jenis-jenis
organisasi sosial dengan struktur hukum yang “built-in” ataupun
pengganti-penggantinya yang lebih halus namun masih bertahan kuat dalam
konsepsi-konsepsi hukum substantif dan doktrin yang berlaku. Serangan terhadap
hal ini telah dilancarkan pada lebih dari satu front.
Kritik terhadap
obyektivisme didasarkan pada usaha akbar para ahli
hukum untuk mencari suatu struktur hukum yang di dalamnya built-in demokrasi dan pasar.
Teori
kontrak dan kepemilikan, menyediakan
ruang bagi usaha kaum obyektivis untuk mengungkapkan isi hukum yang sudah built-in dengan pasar, sama halnya
dengan teori perlindungan kepentingan-kepentingan konstitusional serta
tujuan-tujuan sah tindakan negara yang dirancang untuk mengungkapkan esensi
hukum suatu republik demokratis. Unger juga mengungkapkan kritik atas
obyektivisme yang lebih khusus ini juga dapat berkembang lewat penafsiran hukum
dan doktrin yang berlaku. Substansinya terdapat pada hukum publik dan perdata
gagal menampilkan suatu versi tunggal mengenai demokrasi dan pasar. Sebaliknya,
mengandung unsur-unsur lain yang membingungkan dan tidak berkembang. Penyatuan
dua serangan terhadap obyektivisme itu bertujuan mendiskreditkan, untuk
seterusnya konsepsi sistem atau tipe masyatakat dengan struktur kelembagaan
yang sudah terpasang (built-in).
Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi perincian teknis hukum justru
berakhir dengan memperlihatkan kedok kepalsuanya.
Unger juga
melancarkan kritik terhadap formalisme, formalisme berarti sebuah komitmen
untuk, dan kepercayaan terhadap kemungkinan dari sebuah metode pembenaran
hukum. Termasuk di dalamnya tujuan yang impersonal, kebijakan dan
prinsip-prinsip yang merupakan komponen yang dibutuhkan dalam rasionalisasi
hukum. Dan juga obyektivisme, Unger mengartikannya sebagai kepercayaan bahwa materi hukum yang memiliki otoritas yang
merupakan sistem pengundangan, kasus-kasus, dan ide-ide hukum yang diterima,
mewujud dan hidup dalam sebuah skema pengelompokan manusia yang dapat
dipertahankan. Hal tersebut menggambarkan tatanan moral, walaupun tidak
sempurna.
Terhadap formalisme, pemikiran setiap cabang doktrin
harus bersandar secara diam-diam, kalau tidak secara eksplisit, pada suatu
pemerian bentuk-bentuk interaksi manusia yang benar dan realistis di bidang
kehidupan masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Misalnya, seorang ahli hukum konstitusi membutuhkan suatu teori republik
demokratis yang menggambarkan hubungan yang tepat antara negara dan masyarakat
atau ciri-ciri esensial organisasi sosial dan pemberian hak pribadi yang harus
dilindungi pemerintah, apapun. Akibatnya. Tanpa visi pembimbing ini, pemikiran hukum tampak terkungkung dalam
permainan analogi murahan.
Pertentangan
kepentingan dan visi yang banyak ragamnya yang menyangkut pembentukan
undang-undang harus merupakan suatu rasionalitas yang dapat diartikulasikan
dalam suatu teori tunggal yang terpadu. Unger banyak memberikan Konstribusi
terhadap gerakan GSHK dan diterima dengan baik dan dihargai. Unger mengkritik
pendekatan yang berlaku pada sosiologi, sejarah dan ekonomi yang gagal untuk
mengambil pentingnya pertentangan struktur. GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik.
Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang
berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi
pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.
Implikasi dari serangan pedas terhadap formalisme adalah
untuk merusak usaha menyelamatkan doktrin dari beberapa usaha ini. Dengan
tujuan memperlihatkan bahwa praktek doktriner yang menaruh harapannya pada
perbedaan besar pemikiran hukum dengan ideologis, falsafah dan ramalan politik
berakhir sebagai suatu himpunan apologi yang carut-marut.
2. Dari Kritik ke Konstruksi
Hasil kritik
terhadap Formalisme : Doktrin Deviasi
Implikasi kritik terhadap formalisme adalah untuk
meluluh lantakkan dilema doktrin tersebutt. Artinya, kalau kebiasaan konseptual
yang serupa dengan apa yang sekarang disebut doktrin oleh para pengacara dapat
dibenarkan, kategori kegiatan doktriner yang sah harus diperluas secara tajam.Doktrin yang
diperluas, suatu genre wacana hukum yang telah mulai dikembangkan gerakan hukum
kritis ini, dapat didefinisikan dengan beberapa kriteria pelengkap yang sepadan
atau substansial. Dalam salah satu gambaran, ciri pokoknya adalah usaha untuk
menyeberagi tapal batas empiris maupun normatif.Doktrin
Deviasi (deviationist doctrine) bergerak menyeberangi perbatasan empiris
lewat dua jalan.yang satu sudah dikenal dan lugas.
Mengenai ciri penting doktrin deviasi adalah kemauan untuk mengakui dan mengembangkan
konflik antara kaidah-tanduing yang dapat ditemukan dalam setiap himpunan
hukum. Doktrin kritis melakukan hal ini dengan menemukan, dalam ketidak
serasian itu, unsur-unsur persaingan yang lebih luas diantara konsepsi-konsepsi
tentang masyarakat menutut pengertian yang berlaku.
Gaya doktrin hukum yang dominan sering mencakup tiga
tingkatan analisis sekaligus : peraturan dan preseden ototitatif; tujuan ideal,
kebijakan, dan kaidah, serta konsepsi mengenai hubungan manusia yang mungkin
dan yang dikehendaki untuk dibelakukan di berbagai kebiasaan sosial.
Umumnya para ahli hukum modern dan filsufnya
menghindari pencapaian itu. Mereka telah menghindarinya dengan menimbulkan
kerugian berupa serangkaian pembatasan intelektual dengan kekerasan dan
sewenang-wenang, yang pengaruh akhirnya adalah mengubah doktrin hukum menjadi
serangkaian tipuan argumentasi yang tak kunjung akhir .
Terdapat
banyak alasan mengenai kebijaksanaan, kesantunan relative atau kemampuan belaka untuk tidak membawa argument
internal itu terlalu jauh kedalam konteks kelembagaan tertentu. Suatu Negara
bahkan mungkin didirikan kurang-lebih secara sengaja untuk mengingkari
jenis-jenis kegiatan transformative
tertentu (termasuk jenis yang lebih berani dari perkembangan internal), untuk
memperoleh instrument kelembagaan yang cocok seluruhnya.
Penetapan Kembali Bentuk
Kelembagaan Demokrasi dan Pasar
Hasil
konstruktif kritik terhadap obyektivisme telah membimbing berbalik ke usaha
mencari bentuk-bentuk institusional alternative dari cita-cita kelembagaan yang tersedia. Sehingga menghasilkan usaha
untuk mencari alternatif cita-cita kelembagaan demokrasi dan pasar dengan
menggunakan doktrin deviasi.
Pencarian
ini membutuhkan tiga gagasan, yaitu teori transformasi sosial untuk bisa
membedakan cita-cita yang programatis yang realistis, pikiran programatis yang
dilakukan dengan pembalikan dan pemujian berupa pendefinisian kembali tanpa
usaha kapitulasi buta, dan konsepsi hubungan yang tepat antara negara dan
masyarakat. Hasilnya adalah Pelonggaran kumulatif tatanan masyarakat tertentu terutama mengenai
pelapisan dan pembagian sosial, pola yang diberlakukan mengenai cara-cara
hubungan manusia yang mungkin dan dikehendaki., Peluang hidup dan pengalaman
hidup pribadi harus semakin terbebas dari tirani kategori-kategori sosial yang
abstrak., Perbedaan antara apa yang dimaksudkan oleh dunia sosial dan apa yang
dikeluarkannya, antara kegiatan rutin dan revolusi, harus diperinci sebanyak
mungkin.
Perantara utama ketika dilakukan pencarian ini adalah
doktrin deviasi itu sendiri, termasuk kritik historis dan analitis dari
konsepsi hukum yang mapan. Untuk pengembangannya secara penuh, pencarian
semacam itu membutuhkan tiga kumpulan gagasan yang mendukung dan menghidupkan. Yang
pertama adalah teori yang dapat dipercaya tentang transformasi sosial.
Tanpa teori semacam itu kita akan kekurangan standar-standar yang digunakan
untuk membedakan cita-cita programatis yang realistis.
Ada tiga bentuk yang sepadan, Pertama, pelonggaran komulatif tatanan masyarakat tertentu
rencananya mengenai pelapisan dan pembagian social, pola yang diberlakukan
mengenai cara-cara hubungan manusia yang mungkin dan dikehendaki. Maknanya,
setiap aspek tatanan sosial haruslah sesuai dengan kegiatan praktis atau
imajinatif, yang membuatnya rawan terhadap konflik kolektif dan
permusyawaratan. Versi kedua,
cita-cita yang menjadi petunjuk bagi uraian bentuk-bentuk kelembagaan
alternatif adalah peluang hidup dan pengalaman hidup pribadi-pribadi harus
semakin terbebas dari tirani kategori-kategori sosial yang abstrak.Versi ketiga yang merupakan padanan cita-cita
adalah perbedaan antara apa yang dimasukkan oleh dunia sosial dan apa yang
dikeluarkannya, antara kegiatan rutin dan revolusi, harus diperinci sebanyak
mungkin, kekuatan aktif untuk membentuk kembali dan membayangkan kembali
struktur kehidupan sosial harus masuk ke sifat eksistensi sehari-hari.
Pergeseran
paling penting dalam sejarah pemikiran hukum modern mungkin adalah peralihan
dari konsepsi ini ke gagasan bahwa konstitusi dan hukum harus menggambarkan
hubungan dasar yang mungkin di kalangan rakyat, senagai pemilik harta kekayaan
tak bergerak dan sebagai warga negara, tanpa mengingat tempat yang diduduki
individu dalam masyarakat yang ada.
Dari Cita-cita Sosial ke
Program Kelembagaan
Revolusi Politik dan
Kebudayaan
Cita-cita
social dan pandangan mengenai hubungan antara hukum dan kehidupan social yang digambarkan tersebut, dapat diterjemahkan
menjadi program pembanguna Negara dan struktur kelembagaan masyarakat lainya
secara besar-besaran.
Tujuan yang
menjadi pedoman dan pemersatu kebiasaan budaya revolusioner adalah untuk
membentuk kembali hubungan pribadi langsung dengan membebaskan mereka dari
latar belakang rancangan pembagian hierarkhi sosial. Rencana ini memberikan
suatu kesempatan bagi pertukaran praktis atau ikatan yang penuh gairah untuk
menghormati batas-batas yang ditetapkan tatanan kekuasaan yang mapan. Rencana
itu juga memberikan peran tertentu pada setiap orang sesuai dengan kedudukan
yang mereka pegang dalam seperangkat perbedaaan sosial atau gender yang
ditetapkan sebelumnya.Tujuan yang
menjadi pedoman dan pemersatu kebiasaan budaya revolusioner yang saya maksud
adalah untuk membentuk kembali semua hubungan pribadi langsung.
Dalam hal ini, Unger mencontohkan suatu hubungan
antara atasan dan bawahan atau lelaki dan perempuan dengan membebaskan mereka
dari latar belakang rancangan pembagian dan hierarki sosial.
Disini dijelaskan tentang demokrasi yang dikecam dan
ditemukan kembali. Cita-cita demokrasi masa kini sama-sama memiliki satu inti
minimum, pemerintah harus tidak jatuh menjadi tawanan terus-menerus dari satu
faksi.
Mengecam dan
menemukan kembali Demokrasi
Konsepsi modern tentang demokrasi berkisar dari yang
sinistis sampai ke yang idealistis. Pada pola idealistis terletak gagasan
keyakinan terhadap kedaulatan rakyat, yang dikualifikasikan dengan kepentingannya
sendiri oleh kebutuhan akan pergantian partai, jabatan pemerintahan, dan
kemampuan untuk menyelamatkan diri dalam masa peralihan dari demokrasi langsung
ke demokrasi perwakilan.
Pada kutub sinistis terdapat varian-varian gagasan
demokratis bahwa klaim dapat dipenuhi dengan persaingan yang sedang berlangsung
dikalangan elite, selama para pesaing kadang-kadang mempunyai kebutuhan untuk
mengerahkan dukungan massa, tapi semua versi cita-cita demokrasi masa kini
sama-sama mempunyai inti minimum; pemerintah harus tidak jatuh menjadi tawanan
terus menerus, dari satu fraksi, betapapun luasnya istilah fraksi itu dapat
didefinisikan sehingga mencakup kelas-kelas social, segmen tenaga kerja,
pihak-pihak yang menganut satu pandangan, atau kategori kolektif yang mantap
lainya.
3. Dua Model Doktrin
Penggunaan
Persamaan Perlindungan dan Hak Destabilisasi
Unger menulis dua model doktrin pada bab yang ketiga
dalam bukunya. Yang pertama, menjelaskan
penggunaan kesamaan perlindungan.
Kaidah kesamaan perlindungan dalam hukum konstitusional Amerika Serikat dan
masyarakat demokrasi Barat lain telah dibuat guna melaksanakan dua tugas yang
sangat berlainan. Misinya yang paling sempit adalah mendesakkan suatu kebutuhan
akan generalitas hukum atas namapersetujuan terbatas perlindungan individual,
untuk menghambat pengerahan kekuasaan pemerintah yang tak berprinsip dan
diskriminatif terhadap perorangan atau kelompok-kelompok kecil. Ini dapat
disebut sebagai “tugas yang membutuhkan generalitas” (generality-requiring task).
Dibalik penggunaan kesamaan perlindungan terdapat
teori yang tersembunyi. Terdapat sebgagai pandangan yang menjadi pijakan.
Pandangan yang menjadi pijakan ini lebih baik sengaja dinyatakan tersamar untuk
menghindari asumsi membatasi yang tidak perlu dan kesimpulan berat sebelah yang
tidak dapat dibenarkan.
Pertama, pandangan
itu beranggapan bahwa ada satu jalan untuk membentuk susunan kelembagaan
masyarakat yang ditetapkan secara hukum sehingga mendekati struktur murni
prinsip timbal balik dan koordinasi. Kedua,
pandangan politik yang didefinisikan secara sejmpit sebagai konflik terlembaga
atas penguasaan dan penggunaan kekuasaan pemerintah, gagal karena alasan yang
sama. Ketiga tertuju ke hubungan
antara dunia sosial yang digambarkan pandangan yang menjadi pijakan itu dan
citra personalitas pengontrol (atau tentang hubungan di kalangan rakyat) yang
membenarkan dunia ini, dan sebaliknya diperlihatkan dan dijamin
lembaga-lembaganya
Dalam pemikiran kesamaan perlindungan, disparitas
antara anggapan tentang realitas sosial dan pengalaman sehari-hari kehidupan
sosial menjadi menonjol dalam satu hal saja, komflik antara kebutuhan menjadi
lebih realistis dan tekanan untuk tidak mengganggu sususnan kelembagaan
pemerintah.
Terdapat
tiga perangkat gagasan yang berhubungan masuk ke dalam doktrin kesamaan
perlindungan Amerika dewasa ini. Yang
pertama adalah taksonomi, doktrin ini membedakan klasifikasi kecurigaan dan
yang diperbolehkan, suatu pertentangan yang kadang-kadang meluas untuk mencakup
klasifikasi perantara yang sensitif. Unsur
kedua adalah acuan pada kepentingan mendasar yang berfungsi sebagai
pengganti fungsional bagi klasifikasi kecurigaan dalam mendapatkan kewaspadaan
badan pengadilan yang lebih tinggi. Bagian
ketiga doktrin adalah hierarki tujuan-tujuan pemerintah yang berkorelasi
dengan hierarki klasifikasi atau kepentingan-kepentingan mendasar. Analisis
singkat versi Amerika masa kini mengenai kesamaan perlindungan memperlihatkan
bagaimana pandangan yang menbjadi pijakan itu dapat konkret dalam perangkat
gagasan doktriner khusus.
Gagasan pokok sistem hak destabilisasi adalah menyediakan klaim terhadap kekuasaan
pemerintah dan hierarki sosial yang bertentangan dengan jiwa konstitusi, dapat
mencapai stabilitas hanya denagn menjauhkan diri dari konflik transformatif
yang mengganggunya. Gagasan
mengenai hak destabilisasi, seperti program yang lebih besar yang memasukkan
hak itu di dalamnya, merupakan akibat interaksi antara cita-cita dan keyakinan
keyakinan sosial tentang berfungsinya suatu masyarakat secara aktual.
Hak destabilisasi juga dapat beroperasi dengan cara
lain, cara yang sangat kurang eksterm. Hak ini akan berfungsi bukan untuk
membatalkan hukum-hukum secara langsung, melainkan untuk merusak tatanan
kekuasaan, terutama lembaga-lembaga atau bidang-bidang teralokasi dari praktek
sosial.
Perkembangan sepenuhnya dari hak-hak destabilisasi
mensyaratkan perubahan-perubahan yang berakibat jauh pada organisasi
kelembagaan negara dan masyarakat dan dalam sifat gagasan hukum dan politik
yang berkuasa.
Kategori
pertama pemberian hak destabilisasi akan berfungsi sebagai kaidah yang
mengorganisasi dan menumbuhkan kesamaan perlindungan yang membutuhkan
generalitas, koreksi generalitas, dan banyak bidang politik dan kewarganegaraan
yang sekarang hampir tidak tampak berkaitan dengan hukum kesamaan perlindungan.
Ketegori hak-hak destabilisasi yang lain akan menyerap beberapa di antara gaya
kesamaan perlindungan yangmegoreksi generalitas, sementara menghindari
ketidakabsahan hukum secara serta-merta.
Otoritas dan Realisme Dalam Doktrin
Asumsi
pertama adalah penangguhan ketidakpercayaan pada kemungkinan argumen normatif. Asumsi lain
yang mengkualifikasi versi ini dan semua versi lain dokttrin deviasi adalah
capaian tertentu yang untuk itu Unger telah mengajukan argumen, tidak pernah
menang lewat suatu putsch doktriner, bahkan dengan dukungan badan peradilan
sekalipun.
Asumsi kedua mempunyai
akibat wajar yang dapat dinyatakan dalam bentuk suatu jawaban bagi suatu
keberatan. Menarik argumen doktriner dan pertentangan ideologis atau teori
sosial secara terbuka dan secara erat bersama-sama, dengan cara yang
digambarkan dalam diskusi terdahulu, berarti menempuh bahaya besar.
Di buku ini
juga mengenalkan teori kontrak memburuk. Artinya, setiap persoalan yang hendak
didiskusikan mencakup semua hal yang diperlakukan oleh pemikiran hukum dewasa
ini sebagai masalah kontrak. Tapi, argumennya menjangkau jauh di luar lingkup
teori kontrak yang masih berlaku. Karena teori ini bisa diterapkan setelah
beberapa waktu tunduk pada beberapa persyaratan-persyaratan. Unger menyatakan “
Ketika kita menjumlahkan perkecualian,
keberatan-keberatan, dan tekanan-tekanan, kita mulai berpikir dalam hal apa
teori kontrak tradisional mendominasi”.
Teori
kontrak klasik selalu menggiurkan ahli hukum dalam usaha mencari kalkulus hukum
yang dapat mengklaim menumbuhkan peraturan-peraturan impersonal dari interaksi
bebas manusia. Bila diambil
secara keseluruhan, pelaksanaan dalam doktrin kritis ini memberi contoh jalan
lain yang paling khas dari pikiran subversif untuk mentransformasikan orang
yang menyimpang menjadi orang yang dominan demi kepentingan suatu visi yamg menjadi
lebih jelas selama berlangsungnya transformasi itu sendiri, suatu visi yang
pada akhirnya mendefinisi ulang apa yang dimulai dengan mempromosikannya.
Masyarakat
dan Kebebasan Berkontrak
Bagian yang lebih baik dari hukum dan doktrin kontrak
dapat dipahami sebagai suatu ungkapan sejumlah kecil gagasan, kaidah dan kaidah
tanding. Gagasan-gagasan ini menghubungkan peraturan dan standar hukum yang
lebih konkret dengan seperangkat asumsi latar belakang jenis-jenis hubungan
manusia yang dapat dan seharusnya berlaku di berbagai bidang kehidupan sosial.
Hubungan antara kaidah dan kaidah tanding dalam hukum
kontrak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan dua pandangan yang berbeda mengenai
bagaimana orang dapat dan harus berinteraksi di bidang kehidupan sosial yang
disentuh hukum kontrak, yang satu kasar dan mudah dikritik, yang lain lebih
halus dan dapat dibenarkan.
Teori
kontrak klasik lahir dalam perjuangan melawan penggunaan kekuasaan semacam itu,
yang secara jujur bersifat personalistis dan berat sebelah. Hukum kekeluargaan
mungkin tetap dipenetrasi oleh gagasan-gagasan tentang status dan memberi
perhatian ke perbedaan hierarki di antara sanak keluarga. Tapi hukum kontrak
modern dibangun sebagai ungkapan tertinggi universalisme abstrak. Hukum kontrak
modern bermusuhan dengan kekuasaan individu sebagai suatu sumber tatanan, hukum
itu mengkhotbahkan perasamaan dalam ketidak percayaan.
Keadilan dan
Kebebasan Berkontrak
Mengenai kaidah dan kaidah tanding, keadilan dan
kebebasan berkontrak. Prinsip kebebasan berkontrak ini berbeda dari kebebasan
untuk mengadakan kontrak. Batas-batasnya ditelusuri oleh kaidah-tanding, ketika
tawar menawar yang tidak adil tidak seharusnya diberlakukan. Sebelum meneliti
keterbatasan dan manifestasi kaidah tanding ini, hal itu dapat membantu
memahami persoalan pokok yang harus dipecahkan pasangan kedua gagasan hukum
ini. Sistem kontrak yang berlaku hanyalah merupakan nama hukum lain bagi suatu
pasar. Sistem ini menjadi kehilangan relevansi jika ketidakseimbangan kekuasaan
dan pengetahuan berakumulais sampai titik yang mengubah hubungan kontrak itu
menjadi bentuk luar tatanan kekuasaan.
Kaidah tanding tentang keadilan muncul lagi dalam
aturan dan doktrin yang mengawasi proses tawar-menawar itu sendiri. Suatu
persetujuan akan diberlakukan hanya kalau persetujuan itu merupaka hasil suatu
keputusan yang bebas dan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, yang secara
minimum tak terelakkan oleh semua pihak yang bersangkutan.
Analisis
saling hubungan antara kaidah dan kaidah tanding mengungkapkan banyak
permutasian dari satu masalah pokok. Koreksi kejujuran harus dipusatkan dan
lebih sporadis ketimbang menyebar, kalau sistem kontrak yang berlaku tidak
henak digantikan suatu metoda alokasi yang menolak.
Kesukaran yang Dipakai Sebagai Peringatan
Tugas kedua model
doktrin deviasi adalah menganalisis bidang kontroversi hukum yang lebih hebat
membutuhkan (dan menyoroti) pilihan di antara dua pandangan tentang hubungan
antara kaidah dan kaidah tanding tersebut Contoh-contoh kesukaran yang dipakai
sebagai peringatan ini memberiakn beberapa diantara materi-materi yang
digunakan untuk mengembangkan pandangan kedua yang lebih kontroversial menjadi
teori umum mengenai sifat pemberian hak dan sumber kewajiban.
Menggeneralisasi Visi-Tanding
Visi tanding tergantung pada dasar pemikiran yang
sangat berbeda. Visi tanding mengandung arti, kewajiban memang timbul
pertama-tama dari hubungan saling ketergantungan yang hanya dibentuk secara
tidak lengkap oleh kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pemerintah atau
tawar-menawar yang eksplisit dan disempurnakan.
Jadi, isi
awal visi tanding untuk sebagian tergantung pada contoh-contoh kesukaran yang
dapat dipakai sebagai peringatan yang telah digunakan untuk memulainya. Suatu
versi yang lebih inklusif akan timbul dari penyelidikan banyak contoh semacam
itu dalam berbagai bidang hukum.
Visi-Tanding
yang Diperluas dan Dibatasi
Tahap keempat model doktrin ini mengembangkan visi
tanding yang dilukiskan dalam tahap kedua dan digeneralisasi dalam tahap
ketiga, yang memperluasnya ke dalam masalah-masalah hukum yang bukan merupakan
contoh-contoh dari kesukaran yang dapat dipakai sebagai peringatan dalam hukum
yang berlaku.
Visi tanding menolak untuk menyetujui begitu saja
secara tebuka di hadapan tentangan masyarakat sebagai pengabdian yang
takmementingkan diri sendiri dan kontrak sebagai pengumpulan uang yang tak
berperasaan.
Tahap kelima
model doktrin deviasi ini mungkin seharusnya menjadi yang pertama karena tahap
ini menggambarkan kepercayaan-lepercayaan normatif dan empiris yang membimbing
keseluruhan argumen.
Memperbandingkan dua model :
Model pertama doktrin deviasi dimulai edngan
menganalisis komitmen tematis mengenai cabang hukum maupun kategori khusus yang
melayani komitmen-komitmen ini.
Model kedua doktrin kritis ini dimulai dengan
memikirkan bidang hukum yang luas sebagai umgkapan sistem kaidah dan kaidah
tanding yang hubungannya satu sama lain secara aktual atau layak dapat
disajikan secara bertentangan.
Kedua model doktrin ini mulai dari pandangan yang sama
mengenai hunungan antara tiga tingkatan hukum dan analisis hukum : aturan-auran
dan preseden otoritatif yang dewasa ini dinyatakan terutama oleh statuta dan
keputusan pengadilan, kaidah dan kaidah tanding yang mengorganisasi, dan pola-pola
imajinatif kehidupan sosial yang menempatkan model hubungan manusia yang
berbeda-beda dalam berbagai sektor kehidupan sosial.
Doktrin hukum
konvensinal dan teori-teori hokum yang menganjurkan untuk lebih kuat dan halus
mendukungnya berusaha menekankan atau memperkecil konflikhorisontal maupun
vertikal. Sebaliknya, doktrin deviasi ingin membawa ketidakstabilan ini
kepermukaan: pertama, sebab ini adalah bentuk yang diambil subversidibidang
gagasan hukum; dan kedua, sebab kalau wawasan dan pembenaran dapat dicapai,
bagaimanapun, dalam doktrin hokum atau bidang argument normative lain. Ketidak stabilan itu dapat dicapai hanya
lewat kebiasaan berulang-ulang dari subversi tersebut, dibawah aspek kembarnya
mengenai perkembangan internal dan pemikiran visioner.
4. Konsepsi yang Menjadi Pijakan dan Implikasi yang Lebih
Luas
Kemampuan negative merupakan hal yang praktis dan
spiritual, untuk pemberian kuasa individual dan kolektif dimungkinkan oleh
pembongkaran struktur-struktur formatif. Pembongkaran bukan berarti ketidakstabilan
permanen. Melainkan pembentukan struktur yang mengubah peluang reproduksi
menjadi kesempatan untuk koreksinya.
GSHK mengikuti kritik terhadap obyektivisme secara
langsung. Itu merupakan penolakan kami terhadap identifikasi upaya-upaya keras
kelembagaan abstar secara diam-siam, seperti demokrasi dan pasar, dengan
bentuk-bentuk kelembagaan konkret sehingga upaya-upaya ini terjadi untuk
menerima dunia kontemporer. Kritik terhadap obyektivisme dan hasil
konstruktifnya mempunyai hubungan yang lebih konkret pada pemertahanan
tatamam-tatanan kelembagaan yang sekarang berlaku di negara-negara Atlantik
utara.
Karya kami membantu menutup garis kedua untuk
melarikan diri. Ini dilakukan dengan menghasilkan kekhususan kelembagaan
bentuk-bentuk pasar dan demkrasi yang sudah mapan.
5.
Politik
Yang Lain
Gerakan
studi hukum kritis memberi contoh pada bentuk-bentuk tindakan
transformatif dengan cara terbatas dan
bersifat pendahuluan. Sehingga, gerakan ini memberikan tanggapan orisinal
terhadap suatu pengalaman khusus yang berupa kendala dan kekecewaan, suatu
situasi ketika ciri-ciri paling mendasarnya sudah semakin umum.
Salah satu tujuan visi programatis yang disketsakan
sebelomnya adalah membuat kehidupan social lebih ramah secara permanen terhadap
kegiatan transformaif yang, seperti yang digambarkan, juga mewakili suatu cara
penguatan. Realisasi tujuan ini adalah untuk melaksanakan sebagian program
untuk membuat setiap ciri tatanan social yang krusial dapat terlihat secara
efektif dan rentan terhadap perebatan, konflik, dan revisi.
Gagasan
teoritis GSHK menghubungkan pada setiap tingkatan cara ketika melakukan praktek
politik ini. Gagasan itu memberikan kesempatan bagi suatu definisi hak-hak yang
senantiasa menimbulkan kembali masalah-masalah terpenting tentang bagaimana
hubungan di kalangan rakyat itu adanya dalam berbagai eksistensi sosial. Lebih
khusus lagi, kesempatan itu adalah perjuangan yang berlangsung atas
kategori-kategori dan pemberian hak hukum yang menentukan bentuk-bentuk kelembagaan
yang konkret dari pasar dan demokrasi.
Kesimpulan :
Pembelajaran ketidakpatutan
Unger dan kawan-kawannya menyatakan “Penolakan utama
terhadap pandangan GSHK menunjukkan kesenjangan yang teramat besar antara
komitmen intelektual dan politis kami dan pelbagai kendala berat yang terjadi
pada situasi kami. Kami masih harus memutuskan apa yang akan diperbuat untuk
mengatasi kesenjangan itu”.
Pertama, adanya ketidak seimbangan antara tujuan
transformatif kami dengan ketentraman sosial yang mapan, hukum dianggap telah
dicurangi oleh politik, dan GSHK menolak penyelesaian yang bobrok sebagai
dispensasi pemeliharaan moral atau nasib sejarah.
Kemudian sebagai gerakan yang radikal, harus tetap
menolak anti tesis persoalan teknis dan filosofis. Gerakan ini haruslah teguh
setelah mewujudkan program teoritisnya dalam disiplin dan praktek tertentu
apabila program ini ingin untuk diwujudkan seluruhnya.
Sekolah hukum hanya membuang waktu pada satu varian
dari usaha yang bertahun-tahn menyatakan kembali kekuasaan dan prakonsepso
sebagai hak. Bersikap acuh tak acuh bahkan menghina terhadapa ahli hukum yang,
seperti aliran hak dan prinsip atau hukum ekonomi, telah sukarela menyelamatkan
dan menciptakan kembali tradisi-tradisi objektivisme dan formalisme. Namun, untuk
kaun skeptis yang sama telah menolak pandangan objektif dan formalis, meyakini
kesamar-samaran yang diwarisinya sehingga menurunkan derajat sejarah dan
filsafat menjadi suatu permintaan maaf yang tidakada habisnya untuk setiap
pemotongan analisis hukum. Dan ketika kami datang, mereka seperti kelompok
pendeta kehilangan imannya namun tetap menjalankan tugasnya, mereka berdiri
dalam keadaan yang memalukan, dan kamipun berpaling dari altar itu dan
berkesempatan mengingat dendam di hati.
Juwana,
Hikmahanto, “Hukum Internasional dalam
Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju”. Pidato Upacara
Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001. Menurut Juwana
dalam hubungan antarnegara kekuatan sering digunakan oleh negara maju terhadap
negara berkembang. Menekan negara berkembang agar negara berkembang itu
melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju. Proses
intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh negara maju seperti itulah yang
kemudian dibungkus dengan suatu bentuk perjanjian internasional. Agar tampak
lebih manusiawi.
Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan dari
buku Roberto Mangabeira Unger The
Critical Legal Studies, Jakarta,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hal VII.
Ifdhal
Kasim, 1999, “Berkenalan dengan Critical
Legal Studies”: Kata Pengantar buku Roberto M. Unger,
Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta, ELSAM, hal X-XI.
Lihat David Kairys, The Policy of Law : A Progressive Critique, New York : Pantheon
Books, 1982.
Terminologi “kiri” memiliki beberapa makna. Makna klasik pembedaan antara
“kiri” dam “kanan” adalah “kiri”
mewakili pemikiran sosialis dan “kanan” mewakili pemikiran “kapitalis”.
Terminologi yang lebih luas adalah
“kiri” mewakili pemikiran kritis yang anti kemapanan, sedangkan “kanan” adalah
pemikiran konservatif (pemikiran yang
mapan). Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pemikiran “kiri” adalah pemikiran kritis yang anti kemapanan.
Ekletik adalah salah satu metode ilmiah
dengan cara menggabungkan bagian-bagian dari suatu pemikiran
atau konsepsi yang baik, kemudian dirangkai
menjadi struktur konsepsi yang baru.
Ifdhal Kasim, 1999, op.cit., hal XVII.
Menurut
Scott Gordon, positivisme ialah suatu paham yang menuntut agar setiap
metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas
sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu yang objektif, yang harus dilepaskan
dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya.
Diterapkannya ke dalam pemikiran tentang hukum, maka positivisme menghendaki
dilepaskannya pemikiran metayuridis dari tubuh hukum. Positivisme dalam hukum
menghendaki keharusan ditegaskannya secara jelas mengenai apa yang termasuk ke
dalam hukum dan apa yang tidak. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”,
dimuat dalam Jurnal Wacana (Edisi 6, Tahun II, 2000): 12.
Peter Fitzpatrick, dikutip dalam Munir Fuady,
Aliran Hukum Kritis, Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal 5.
Ifdhal
Kasim, 1999, op.cit., hal 1.