FUNGSI PENGADILAN PAJAK
DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
BAB I
Latar Belakang
Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh
masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu,
peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan
dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk
melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari
warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan
penagihannya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan
undang – undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang
ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan
sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun
penahanan.[1]
Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga
kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang
dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Oleh sebab itu,
pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari
bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. Namun, tak bisa dipungkiri
bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib
pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan
tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat
memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan
lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa
pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak,
muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera
yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. [2]
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang
digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan bangsa Salah satu instrumen yang digunakan dalam
negara untuk menjalani fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan
untuk membiayai pengadaan public goods, namun bisa juga pajak
dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah[3]
penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah
memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak
berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah
Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan
mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih
merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Lahirnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU
Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah
Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun
1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh
pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor
707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding
Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad
1927Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling
van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan
Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding
tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai
dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14
Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu
“Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak.”
Yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas penulis
tertarik untuk melakukan analisis lebih mendalam mengenai “FUNGSI PENGADILAN PAJAK DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI PENGADILAN
KHUSUS PENYELESAIAN SENGETA PAJAK”
Rumusan Masalah
Bagaimana Fungsi pengadilan pajak dalam kedudukannya sebagai pengadilan
khusus penyelesaian sengketa pajak?
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum
atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan
pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan
beberapa definisi tentang peradilan sebagaimana dibawah ini.
Menurut Apeldoorn:
Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang
tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari
pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan
pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.[4]
Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur,
proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan
konsekuensi hukumnya. Berdasarkan beberapa pengertian peradilan dari ahli hukum
dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa,
pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses
penyelesaian semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi
pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Merupakan
suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau
tempat yang bernama pengadilan;
tempat yang bernama pengadilan;
2.
Adanya
suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
3.
Adanya
suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat
Ketetapan
Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4.
Ada
sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak
melawan Direktur
Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
5.
Adanya
suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan
peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang
perpajakan.
peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang
perpajakan.
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang
bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai
peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang
berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat
karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap
persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.[5]
Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di
Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi
tidak murni, yaitu :
1.
Peradilan
administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis
Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001),
dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001),
dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
2.
Peradilan
administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan
ketetapan pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara perpajakan).
oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara perpajakan).
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas
menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi
dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa
Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga
ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa.
Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas
berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang
perpajakan. Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo.
Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi
sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik,
maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.[6]
Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun
penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan
secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan
Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis
peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan
pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh
Departemen Keuangan. Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan
sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak
dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur
rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai
tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek
sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit
(ketetapan/beschikking ) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada
individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai
perorangan.
Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri.
Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No.
14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan
tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka
dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di
lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas
eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan
mendasar dalam penyelesaian sengketa pajak dan merupakan babak baru hukum
positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan peradilan pajak di
Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga
peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu
menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak yaitu :
1.
Penyelesaian
sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
2.
Sengketa
yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
3.
Putusan
Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak,
berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian
hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis
putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan
umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah
Pajak yang masih harus dibayar.
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian
hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis
putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan
umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah
Pajak yang masih harus dibayar.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak antara lain sebagai berikut :
1.
Pengadilan
Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
2.
Pembinaan
teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi,
administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
3.
Proses
penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya
hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau
Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil
oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau
Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil
oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
4.
Proses
seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan
melibatkan
Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung.
5.
Pengadilan
Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan
bagian integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.
bagian integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.
6.
Pengadilan
Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.
memutus Sengketa Pajak.
7.
Putusan
Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasca Amandemen ke-4 UUD 1945, telah diundangkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Perubahan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dari kedua Undang-Undang tersebut kedudukan
Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Di samping itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Perkara Nomor 004/PUU-11/2004, dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan
bahwa adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi
Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, bahwa pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak
kepada Mahkamah Agung, dan bahwa di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang telah cukup
menjadi dasar yang menegaskan Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945.
Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 secara tegas juga
dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus
di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pada dasarnya, pengadilan pajak memang mempunyai karateristik yang
hampir menyerupai Peradilan tata Usaha Negara dilihat dari jenis sengketa
(objek sengketa) yang dapat diperiksa dan diputuskan. Pada subjek sengketa
terdapat sedikit perbedaan, dikarenakan Peradilan Tata Usaha Negara hanya
mengakui orang dan badan hukum perdata saja yang dapat mengajukan perkaranya
untuk diperiksa. Sedangkan, pengadilan pajak mengakui bentuk usaha tetap
sebagai salah satu subjek yang dapat mengajukan perkara unutk diperiksa di
pengadilan pajak. Pengadilan Pajak sebagai pengadilan Khusus dalam lingkungan
peradilam tata usaha negara memerlukan pembinaan agar dapat melaksanakan tugas dan
wewenang yang dibebankan kepadanya
Secara normatif pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka
menurut Pasal 1 tersebut diatas adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur,
dan netral. Dalam penjelasan Pasal 1 ditegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam
hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”. Parameter untuk menentukan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka
antara lain bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam
menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan
memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu
ketetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan diluar kekuasaan memeriksa dan memutus
perkara dan membuat ketetapan hukum, dimungkinkan dicampuri seperti supervisi
dan pemeriksaan dari cabang-cabang diluar kekuasaan kehakiman.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan
Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan tidak bersesuaian dengan Pasal 13 ayat
(1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU KEMAN) karena oragnisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kemudian menurut pasal 13
ayat (3) UU KEMAN, ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial
badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan
lingkungan peradilan masing-masing. Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU DIJLAK
disesuaikan dengan Pasal 13 ayat (1) UU KEMAN agar terjadi sinkronisasi dalam
pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung maupun Kementrian
Keuangan terhadap Pengadilan Pajak tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam arti, hakim Pengadilan Pajak dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dipengaruhi dalam bentuk dan
cara apa pun, baik dari Mahkamah Agung maupun Departemen Keuangan selaku
pembina Pengadilan Pajak mengingat kebebasan hakim sangat fundamental dalam
mewujudkan keadilan dan kebenaran yang berujung pada perlindungan hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan
mendasar dalam penyelesaian sengketa pajak dan merupakan babak baru hukum
positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan peradilan pajak di
Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga
peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu
menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan
kekhususan dari Pengadilan Pajak yaitu :
1. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim
khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
2. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut
sengketa perpajakan.
3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang
dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib
Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang
dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, di
samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga
berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah Pajak
yang masih harus dibayar.
kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia
adalah sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara, namun demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman,
karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak
DAFTAR PUSTAKA
Bachasan
Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 114
Haula
Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi , Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67
Rochmat
Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia ,
Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6
Saadudin
Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984,
hal. 3
Wiratni
Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa
Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), cet.
1, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46
Yudhanti, Ristina. 2010. Hukum Pajak. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang
Website
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
[1] Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya
Prasada, Jakarta, 1984, hal. 3
[2] Ibid
[3] Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan
Aplikasi , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67
[4] Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak
Di Indonesia , Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6
[5] Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni,
1979, hlm. 114
[6] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar