02/10/15

FUNGSI PENGADILAN PAJAK DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK



FUNGSI PENGADILAN PAJAK  DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam  pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang – undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi  penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.[1]
 Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.  Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan  pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah  gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. [2]
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa Salah satu instrumen yang digunakan dalam negara untuk menjalani fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai  pengadaan  public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah[3]
penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).  Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang  Pengadilan Pajak  (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang  Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang  Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”
Yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang  perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang  berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.

Berdasarkan  uraian  tersebut  di  atas  penulis  tertarik  untuk  melakukan analisis lebih mendalam mengenai “FUNGSI PENGADILAN PAJAK  DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS  PENYELESAIAN SENGETA PAJAK”

Rumusan Masalah
Bagaimana Fungsi pengadilan pajak dalam kedudukannya sebagai pengadilan khusus penyelesaian sengketa pajak?


BAB II
PEMBAHASAN

Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan  pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan beberapa definisi tentang peradilan sebagaimana dibawah ini.
Menurut Apeldoorn:
Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.[4]
Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya. Berdasarkan beberapa pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa,  pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua  bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan  peradilan pajak yang independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1.      Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau 
       tempat yang bernama pengadilan;
2.      Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang, 
       peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
3.      Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat Ketetapan 
       Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan 
        perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan  berdasarkan 
        Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4.      Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib  pajak melawan Direktur 
       Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah 
       Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
5.      Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan  perselisihan, yaitu badan 
       peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang  
       perpajakan.

Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang  bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.[5]
 Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan  peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan  bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :
1.      Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis 
      Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), 
      dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
2.      Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau  pembatalan ketetapan pajak   
       oleh   Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan 
       Tata Cara  perpajakan).
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan. Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman  berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik, maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.[6] 
Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun  penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis  peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan  pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai  perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking ) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan.
Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri. Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai  badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam penyelesaian sengketa pajak dan merupakan babak baru hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan peradilan pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak yaitu :
1.      Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai 
      keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
2.      Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
3.      Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa 
       hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian  
       hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis   
        putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan 
        umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah 
        Pajak yang masih harus dibayar.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak antara lain sebagai berikut :
1.      Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
2.      Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi, 
       administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
3.      Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya 
       hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau 
       Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil 
       oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
4.      Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan 
       Mahkamah Agung.
5.      Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan 
      bagian integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.
6.      Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan 
      memutus Sengketa Pajak.
7.      Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasca Amandemen ke-4 UUD 1945, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dari kedua Undang-Undang tersebut kedudukan Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Di samping itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 004/PUU-11/2004, dalam pertimbangan Pokok Perkara dinyatakan bahwa adanya ketentuan yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, dan bahwa di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang telah cukup menjadi dasar yang menegaskan Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 secara tegas juga dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pada dasarnya, pengadilan pajak memang mempunyai karateristik yang hampir menyerupai Peradilan tata Usaha Negara dilihat dari jenis sengketa (objek sengketa) yang dapat diperiksa dan diputuskan. Pada subjek sengketa terdapat sedikit perbedaan, dikarenakan Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengakui orang dan badan hukum perdata saja yang dapat mengajukan perkaranya untuk diperiksa. Sedangkan, pengadilan pajak mengakui bentuk usaha tetap sebagai salah satu subjek yang dapat mengajukan perkara unutk diperiksa di pengadilan pajak. Pengadilan Pajak sebagai pengadilan Khusus dalam lingkungan peradilam tata usaha negara memerlukan pembinaan agar dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang dibebankan kepadanya
Secara normatif pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka menurut Pasal 1 tersebut diatas adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, dan netral. Dalam penjelasan Pasal 1 ditegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Parameter untuk menentukan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka antara lain bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum. Kekuasaan-kekuasaan diluar kekuasaan memeriksa dan memutus perkara dan membuat ketetapan hukum, dimungkinkan dicampuri seperti supervisi dan pemeriksaan dari cabang-cabang diluar kekuasaan kehakiman.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan tidak bersesuaian dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU KEMAN) karena oragnisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kemudian menurut pasal 13 ayat (3) UU KEMAN, ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU DIJLAK disesuaikan dengan Pasal 13 ayat (1) UU KEMAN agar terjadi sinkronisasi dalam pembinaan Pengadilan Pajak yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung maupun Kementrian Keuangan terhadap Pengadilan Pajak tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam arti, hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dipengaruhi dalam bentuk dan cara apa pun, baik dari Mahkamah Agung maupun Departemen Keuangan selaku pembina Pengadilan Pajak mengingat kebebasan hakim sangat fundamental dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran yang berujung pada perlindungan hukum.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dengan dibentuknya Pengadilan Pajak telah terjadi perubahan mendasar dalam penyelesaian sengketa pajak dan merupakan babak baru hukum positif di Indonesia yang melandasi keberadaan lembaga/badan peradilan pajak di Indonesia. Babak baru tersebut bukan semata-mata penggantian istilah lembaga peradilan pajak menjadi Pengadilan Pajak, namun hal yang mendasar yaitu menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak yaitu :
1.      Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai    
       keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
2.      Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
3.      Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak Terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak Terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia adalah sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha  Negara, namun demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak


DAFTAR PUSTAKA

Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 114
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67
Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia , Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6
Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984, hal. 3
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak  (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46
Yudhanti, Ristina. 2010. Hukum Pajak. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Website
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman




[1] Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984, hal. 3

[2] Ibid
[3] Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67

[4] Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia , Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6

[5] Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 114

[6] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak  (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar