PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR
DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan
ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional, adalah upaya mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk meningkatkan
pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi diperlukan adanya
peningkatan pendapatan nasional.
Kegiatan
pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam
praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing. Kredit berfungsi
untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, bagitu pula bagi kegiatan perekonomian
negara sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi
maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri yang bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Salah
satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga
perbankan, yang membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian
dengan memberikan pinjaman uang yaitu dengan melalui kredit perbankan, dimana
dalam pemberian kredit perbankan biasanya dibuat perjanjian kredit antara Kreditur
sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan Debitur sebagai
pihak yang berhutang.
Pasal
3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan
Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang
bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan
kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
Dalam hal ini, bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara
memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.
Secara
etimologis, istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang
berarti kepercayaan. Jadi memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan.
Maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit
yang diberikan pasti akan dikembalikan sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Sedangkan bagi penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka
waktu serta kesepakatan yang diperjanjikan. Hal tersebut menunjukan bahwa yang
menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau Debitur adalah
kepercayaan.[1]
Pasal
1(11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan pengertian kredit :
“Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal tersebut, dalam pembukuan kredit perbankan harus
didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan
istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit.
Dalam
pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh
bank kepada Debitur bukanlah tanpa resiko, karena resiko mungkin saja terjadi, resiko
yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit
(resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar (resiko pasar), resiko
karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (resiko
likuiditas), serta resiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang disebabkan
adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung
(resiko hukum) Resiko-resiko yang umumnya merugikan Kreditur tersebut perlu diperhatikan
secara seksama oleh bank, sehingga dalam proses pemberian kredit diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan
kesanggupan Debitur untuk membayar hutangnya.
Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan Debitur tersebut, maka
sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama untuk
mencegah terjadinya kredit bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank
untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan
berpedoman kepada prinsip 5C dalam pemberian kredit.[2]
Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak
maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh Kreditur,
karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu
perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu
barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang
dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang
dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang Debitur, dan apabila
terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur.[3]
Dalam praktek perbankan, penjualan (pencairan) objek jaminan
kredit dilakukan guna melunasi kredit dari Debitur. Penjualan jaminan kredit
tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh
kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak Debitur bila tidak
memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, hasil
penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan diderita pihak
bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang
diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan dengan
mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang lembaga jaminan.[4]
Fungsi
lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan Debitur
untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan
menggunakan dana yang dimilikinya dengan baik dan hati-hati, dimana diharapkan
akan mendorong pihak Debitur untuk melunasi hutangnya sehingga dapat mencegah
terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena
memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang Debitur
kepada bank.
Dalam
praktek perbankan, umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit
yang disetujui oleh bank, sehingga pihak Debitur diharapkan segera melunasi
hutangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (asset) yang diserahkan sebagai jaminan
kredit dalam hal kredit tersebut ditetapkan sebagai kredit macet. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana
ketentuan dalam Pasal ini sering dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam
perjanjian kredit perbankan, yang berbunyi :
“ Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan”, serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut
besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang
itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.[5]
Bentuk
jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit
bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga
yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya
apabila Debitur sebagai penerima kredit dan Kreditur sebagai pemberi fasilitas
kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga
hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Lembaga
Jaminan Hak Tanggungan ini telah diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah dan menjadikan kepentingan Debitur maupun Kreditur
mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah.
Tujuan
utama diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan ini, khususnya memberikan
perlindungan hukum bagi pihak Kreditur apabila Debitur melakukan perbuatan
melawan hukum berupa wanprestasi. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu kepada Kreditur-Kreditur
lain. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum,
maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor
Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah
pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
Dalam
proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa pihak Kreditur dirugikan ketika
pihak Debitur melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan suatu aturan hukum
dalam pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang tertuang dalam suatu
perjanjian kredit, yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi pihak Kreditur apabila Debitur
wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dalam penulisan makalah ini pokok permasalahan adalah bagaimanakah perlindungan
hukum bagi kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi dalam suatu Perjanjian
Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan analisis berdasarkan landasan teori
yang mendukung, maka didapatkan suatu argumentasi ilmiah mengenai bentuk
perlindungan hukum yang diberikan kepada Kreditur dalam perjanjian kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Berkaitan dengan Tanah. Serta menambah, memperluas dan
mengaplikasikan pengetahuan dan wawasan penulis mengenai perlindungan hukum
bagi pihak Kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit khususnya dalam perjanjian
kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan
ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu manfaat secara teoritis dan
secara praktis :
1. Manfaat Teoritis
Untuk
memberikan gambaran yang jelas kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum
terhadap Kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika Debitur
wanprestasi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu dalam memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi
para pihak yang membutuhkan.
E.
Metode
Penelitian
Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang
bersangkutan. [6]
Untuk
memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus
menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai
sebelumnya. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara
seorang mempelajari, menganalisa dan memahami lingkunganyang dihadapinya.[7]
Metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan makalah ini adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam
praktik pelaksanaanya yang menyangkut
permasalahan yang diteliti. Sedangkan
metode pendekatan yang digunakan
dalam penulisan makalah ini adalah
metode yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau yang disebutdengan data sekunder berupa hukum
positif.
Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi
terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum, yaitu masyarakat
hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan
obyek hukum.[8]
Sedangkan data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis adalah data kepustakaan.
Data kepustakaan meliputi bahan-bahan kepustakaan berupa bahan atau sumber
primer.[9]
Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian
ini adalah metode analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini
adalah bertitik tolak peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum
positif, sedangkan maksud dari kualitatif disini adalah data yang berasal dari
data sekunder.[10]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kepustakaan
1.
Tinjauan
Perjanjian
Pengertian
Perjanjian diatur dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
“Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal
1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan
pengertian perjanjian yang berbunyi :
“Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[11]
Menurut
Subekti dalam A. Qirom Syamsudin Meliala bahwa perjanjian adalah ”Suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
[12]
Perjanjian
kredit seperti diuraikan, mengandung pengertian yang menunjukkan unsur
pinjam-meminjam didalamnya yaitu pinjam meminjam antara pihak bank dengan Debitur.Syarat
suatu perjanjian dapat dikatakan sah sesuai pasal 1320 Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata, yaitu:
a. Sepakat
mereka yang mengikat dirinya;
Yang dimaksud kata
sepakat adalah bahwa kedua subjek yang membuat suatu perjanjian itu harus
sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari suatu perjanjian yang mereka sepakati.
b. Cakap
dalam membuat suatu perjanjian;
Sesesorang itu harus
benar-benar mempunyai kewenangan dalam membuat suatu perjanjian dengan pihak
lainnya. Dan bertanggung jawab atas akibat dari perjanjian yang dibuat.
c. Mengenai
suatu hal tertentu;
Pasal 1333 KUHPerdata
menyatakan bahwa paling sedikit yang menjadi obyek perjanjian harus dapat
ditentukan oleh jenisnya, baik benda berwujud atau benda tidak berwujud.
d. Suatu
sebab yang halal;
Sebab disini diartikan
sebagai isi atau tujuan dari pada suatu perjanjian.
Keempat syarat perjanjian
tersebut, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian, apabila salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian
tersebut dengan sendirinya batal (nietig). Bilamana kesepakatan terjadi
disebabkan karena adanya kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan
penipuan (bedrog) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (vernieteg
verbaar) kepada hakim dan apabila kesepakatan diberikan dengan secara tidak
bebas, sehingga salah satu pihak dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri, maka perjanjian itu adalah cacat dan karenanya dapat dibatalkan
oleh hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan kesepakatannya dengan
secara tidak bebas atau oleh orang yang tidak cakap membuat perjanjian
tersebut.
2.
Tinjauan
mengenai Kredit dan Perjanjian Kredit
Kredit
merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau suatu badan
usaha untuk menjamin uang untuk membeli berbagai kebutuhan dan produk dan akan
membayarnya kembali pada jangka waktu yang telah di perjanjikan. Dimana dalam
kegiatan kredit, pada dasarnya hanya ada dua para pihak yang terlibat di
dalamnya, yaitu pihak Kreditur (bank) dan pihak Debitur (nasabah). Namun
masalahnya akan menjadi lain, apabila barang jaminan diberikan oleh pihak
ketiga yang turut serta menandatangani perjanjian kredit (hutang-piutang) atau personal
guarantee yang diberikan oleh pihak ketiga. Jadi disini pihak ketiga
hanya bertindak sebagai penjamin.
Secara
etimologis, istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang
berarti kepercayaan. Jadi memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan.
Maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit
yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan apa yang
diperjanjikan. Sedangkan bagi penerima kredit berarti menerima kepercayaan,
sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai
dengan jangka waktunya. Hal tersebut menunjukan bahwa yang menjadi dasar
pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau Debitur adalah kepercayaan.[13]
Menurut Thomas Suyatno, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain dalam hal, pihak peminjam
berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah
bunga telah ditetapkan.
Pengertian
umum kredit adalah penyediaan uang atau tagihan atau hak untuk menagih antara Kreditur
dengan Debitur yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis mengenai jumlah kredit,
jangka waktu, bunga dan jaminan kredit. [14]
Dari
pengertian-pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa
kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang.
Kemudian adanya kesepakatan antara bank sebagai Kreditur dan nasabah penerima
kredit sebagai Debitur, dengan perjanjian yang telah dibuat, dimana dalam
perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk
jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula dengan masalah
sangsi apabila Debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat atau
dengan kata lain bahwa
kredit merupakan suatu perjanjian atau suatu prestasi dari satu pihak ke pihak
lain, yang pengembalian prestasi itu akan dilakukan pada waktu yang telah
ditetapkan di sertai dengan kontra prestasi berupa bunga,
sehingga nilai ekonominya sepadan dengan kata
lain kredit merupakan penundaan pembayaran, oleh karena itu kredit menyangkut
masalah waktu yang akan datang, kepercayaan merupakan suatu syarat untuk
memperoleh kredit.
Dalam
masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dikatakan
popular (dan merakyat), sehingga dalam bahasa sehari- hari sudah di campur
baurkan begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan
sistem kredit semester yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus
tersendiri dibanding asalnya.[15]
Dalam
penjelasan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 ayat (1), bahwa untuk memperoleh
keyakinan terhadap seorang Debitur, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan
prospek usaha dari Debitur. Untuk
mencegah kredit bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk
memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan
berpedoman kepada prinsip 5C dalam pemberian kredit.[16]
a.
Character
Kriteria ini harus dapat mencari secara
tepat hal-hal dapat menimbulkan akibat di kemudian hari. Meliputi kajian
terhadap kejujuran, integritas, kepercayaan serta kemampuan manajemen. Yaitu
mengenai :
-
Siapakah yang akan kita biayai
-
Bagaimanakah “track-record” kredit-kreditnya
-
Apakah mereka sudah pengalaman di usaha
tersebut
-
Pemasaran, Operasional, Keuangannya
-
Sumber daya manusianya
-
Dapatkah kita mempercayai mereka
-
Apakah mereka mampu untuk membayar dan
juga mengelola kreditnya
Bahwa
calon nasabah Debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik.
Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran
integritas, dan kemauan dari calon nasabah Debitur untuk memenuhi kewajiban dan
menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat
usaha, dan informasi usaha-usaha yang sejenis.
b.
Capacity (kapasitas untuk membayar kembali)
Kemampuan Debitur untuk mengembalikan kredit :
-
Prakiraan
Laporan Keuangan untuk mengevaluasi kemampuan Debitur.
-
Mencermati
Rasio-rasio keuangan sebelumnya dan bandingkan dengan rasio-rasio Prakiraan
Laporan Keuangan untuk melihat keadaan terkini.
Yang
dimaksud dengan capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah Debitur
mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga
usahanya dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan, yang menjamin
bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang
telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, misalnya pendekatan materil, yaitu melakukan penilaian terhadap
keadaan neraca, laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha dari
beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini, tentu dapat diketahui pula
mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat
resikonya. Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang didasarkan pada
pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon
nasabah Debitur, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan
persaingan usaha dengan pesaing lainnya.
c.
Capital (Modal)
Struktur permodalan adalah sangat
penting bagi Kreditur karena hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan
tingkat resiko yang mungkin timbul. Permintaan data dari SID dan/atau bank lain
untuk meminimalkan resiko.
Sebuah analisis kapitalisasi meliputi :
kajian terhadap permodalan, total pinjaman, nilai asset dan total modal kerja
permanen.
Dalam
hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian tehadap modal yang
dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidak semata-mata didasarkan
pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana
distribusi modal ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber
yang telah ada dapat berjalan secara efektif.
d.
Collateral (jaminan)
Untuk memastikan bahwa Kreditur (bank)
memperoleh uangnya kembali jika Debitur tidak dapat membayar pinjamannya.
Bagaimanakah cara kerjanya, untuk memastikan
bahwa nilai agunan cukup untuk menutup jumlah pinjaman.
Collateral
adalah
jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back
up) atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah Debitur di
kemudian hari, misalnya kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi
sisa utang kredit baik utang pokok maupun bunganya.
e.
Condition of Economy
Bahwa
dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi
sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk
memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi
tersebut. Juga diperlukan mencermati industi secara keseluruhan dan seberapa
eksis calon Debitur dalam industri tersebut, di samping itu kita juga harus
melihat aspek-aspek situasi politik, ekonomi, sosial, tehnologi dan kompetisi.
Perjanjian kredit tidak diatur secara tegas dan
khusus dalam KUHPerdata, namun unsur-unsur dalam suatu perjanjian kredit tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh KUHPerdata. Hal ini
tegaskan oleh Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian,
baik yang mempunyai nama khusus maupun yang dengan suatu nama khusus, harus
tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUHPerdata.
Dalam prakteknya, bentuk dan materi perjanjian
kredit antara satu bank dan bank yang lainnya tidak sama. Hal tersebut terjadi
karena menyesuaikan diri dengan kebutuhan masing-masing bank. Dengan
demikian, perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum,
hanya saja dalam praktek ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam
perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai
dalam perjanjian ini (terutama dalam perjanjian kredit dengan pihak asing (loan
agreement), jumlah dan batas waktu peminjaman, pembayaran kembali pinjaman
(repayment), apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih
cepat dari ketentuan yang ada, penetapan bunga pinjaman dan denda jika Debitur
lalai membayar bunga, dan dicantumkannya berbagai klausul.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (pactum
de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian
hutang-piutang (perjanjian pinjam-mengganti). Sedang perjanjian hutang-piutang
merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit.[17]
Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari
penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan merupakan hasil permufakatan antara
pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan
hukum antar keduanya. Oleh karena itu, pengertian perjanjian kredit tidak
terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas, akan tetapi lebih luas lagi
penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai
perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya. Ada
ataupun berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti
riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang
oleh bank kepada nasabah sebagai Debitur. Sehingga dapat dikatakan juga
perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, pembuatan
perjanjian baku (standard contract atau perjanjian baku/adhesi) atau kontrak yang menawarkan
klausula-klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang. Bentuk perjanjian-perjanjian
seperti ini memang tidak dapat lagi dihindari dalam kehidupan modern seperti
sekarang ini. Hampir 99 persen dari perjanjian tertulis (kontrak) merupakan
perjanjian dengan klausula baku.[18]
Kondisi yang seperti ini menunjukkan bahwa praktek yang terjadi dewasa ini
bukan melalui proses negoisasi yang seimbang di antara para pihak. Pihak yang
satu telah menyiapkan syarat-syarat baku dalam bentuk formulir perjanjian yang
disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan
kebebasan bagi pihak tersebut untuk melakukan negoisasi.
Walaupun Undang-Undang Perbankan menentukan bahwa
pemberian kredit harus diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam, namun tidak ada ketentuan lanjut mengenai bagaimana bentuk
dari perjanjian kredit tersebut. Dalam prakteknya, perjanjian kredit seringkali
merupakan perjanjian baku.[19]
Dunia perbankan tidak dapat terlepas dari perjanjian baku.[20]
Bank biasanya mempunyai form
tersendiri yang semua syarat dan kondisinya (terms and conditions)
sudah bersifat baku. Dalam hal ini, Debitur hanya dalam posisi menerima
atau tidak perjanjian kredit tersebut. Apabila menerima semua syarat dan
ketentuan dalam perjanjian kredit, maka Debitur harus menandatanganinya.
Sebaliknya, apabila Debitur menolak, maka Debitur tidak perlu menandatangani
perjanjian kredit tersebut.
Ketidakseimbangan kedudukan antara bank dan nasabah Debitur
tersebut seperti sedikit bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, akan tetapi keabsahan perjanjian tersebut
tidak perlu dipersoalkan mengingat adanya kebutuhan masyarakat khususnya
nasabah sendiri terhadap kondisi tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh peranan
bank itu sendiri yang tidak saja mengemban kepentingan masyarakat, melainkan
juga selaku bagian dari sistem moneter perbankan dan nasional. Pertimbangannya,
bank harus menjaga kepentingan atau eksistensinya dalam melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang moneter. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan bank
tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan
karena bank dalam hal ini sedang mempertahankan eksistensinya. Subyek dalam
perjanjian kredit tidaklah selalu perseorangan. Berdasarkan status hukum Debiturnya,
kredit bank umum dapat dibedakan menjadi 2 macam golongan, yaitu kredit yang
diberikan kepada Debitur berstatus badan hukum (kredit korporasi) dan kredit
yang diberikan kepada Debitur perorangan. Dalam hal yang pertama, Debitur
merupakan badan usaha yang membutuhkan dana untuk modal kerja, pengadaan
fasilitas baru, penggantian atau renovasi
fasilitas produksi yang ada dan sebagainya. Dalam hal kredit perorangan,
kredit yang diberikan umumnya untuk membiayai kebutuhan barang dan jasa
konsumtif, antara lain kredit perumahan, atau kartu kredit. Manusia adalah
orang (persoon) dalam arti hukum, demikian menurut Paul Scholten.[21]
Hukum merupakan hal yang tidak terlepas dari manusia (persoon) karena
hukum mengatur bagaimana manusia bertindak di depan hukum. Di dalam ilmu hukum,
persoon disebut sebagai pendukung atau subyek hak.[22]
Namun, istilah persoon memiliki memiliki pengertian yang lebih luas,
tidak saja mencakup naturrlijk persoon (orang pribadi),
melainkan melainkan juga rechtpersoon (badan hukum), yaitu orang
yang diciptakan hukum secara fiksi.[23]
3.
Tinjauan
mengenai Kredit Macet
Tidak hanya bank yang dapat mengalami kredit macet. Perusahaan nonbank
pun bisa mengalami hal serupa. Bedanya, bank selalu dipantau Bank Indonesia,
sedangkan perusahaan nonbank tidak. Sebenarnya, bank bisa mendeteksi gejala
awal munculnya kredit macet.[24] Kredit
dengan kolektibilitas lancar (pass)
adalah masuk dalam kriteria Performing
Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), dan kredit macet masuk dalam
kriteia kedit bermasalah (non-performing
loan). Walaupun suatu kredit memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian
khusus, kurang lancar, dan diragukan, namun apabila menurut penilaian keadaan
usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau
seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas yang
lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
Kredit macet
adalah sebuah pengertian awam tentang pinjaman yang sudah sulit ditagih.
Sedangkan, non performing loans (NPL) atau kredit bermasalah (problem
loans) adalah istilah yang digunakan kalangan perbankan. Dalam
paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia
dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di
mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar,
kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit
macet adalah keadaan yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan
mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan berhentinya
kegiatan usaha bank.Kredit macet atau problem
loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya
faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan Debitur.
Kasmir,
mengemukakan bahwa timbulnya kredit-kredit bermasalah (macet) selain berasal
dari nasabah dapat juga berasal dari bank, karena bank tidak terlepas dari
kelemahan yang dimilikinya. Bank juga dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya kredit macet. Hal tersebut karena dalam melakukan analisis, pihak
bank melakukan analisis kurang teliti sehingga apa yang seharusnya terjadi
tidak diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis
kredit dengan pihak Debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara
subjektif atau akibat mengeluarkan kebijakan yang kurang tepat.
Dari
uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa kredit macet adalah
suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit kepada
bank tepat pada waktu yang telah diperjanjikan atau dengan kata lain Debitur
wanprestasi terhadap kewajibannya.
4.
Tinjauan
mengenai Hukum Jaminan
Istilah
hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law,
zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten.
Menurut
J. Satrio dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hukum jaminan diartikan
sebagai :
“Peraturan hukum yang mengatur tentang
jaminanjaminan piutang seorang Kreditur terhadap seorang Debitur”.
Salim
HS dalam bukunya “Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia” juga mengartikan
hukum jaminan sebagai berikut :
“Keseluruhan
dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan
penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan
fasilitas kredit”.
Berdasarkan kedua
definisi mengenai hukum jaminan tersebut, maka unsur-unsur yang terkandung
dalam pengertian hukum jaminan adalah :
a.
Adanya kaidah hukum
Kaidah
hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah
hukum jaminan tertulis berupa peraturan perundang-undangan, traktat, dan
yurisprudensi serta kaidah hukum jaminan tidak tertulis berupa kaidah hukum
yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.
b.
Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi
jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan
kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang
atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit dan lazim disebut sebagai Debitur.
Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang
jaminan dari pemberi jaminan dan yang bertindak sebagai penerima jaminan ini
adalah orang atau badan hukum atau biasanya pihak bank yang sering disebut
sebagai Kreditur.
c.
Adanya jaminan
Pada
dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditur adalah jaminan materiil dan
imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan,
seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterril
merupakan jaminanperorangan.
d.
Adanya fasilitas kredit
Pembebanan
jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari bank atau lembagakeuangan non bank. Pemberian kredit
merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga
keuangan non bank percaya bahwa Debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman
dan bunganya.
Menurut
Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu :
a. Asas
Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan,
hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya
pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan
pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan
Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor
Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan
pencatat balik nama, yaitu syahbandar;
b.
Asas Specialitet,
yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan
atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;
c. Asas
tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan
dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun
telah dilakukan pembayaran sebagian;
d. Asas
inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada
pada penerima gadai;
e. Asas
horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini
dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak
milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi
tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.
5.
Tinjauan
mengenai Hak Tanggungan
Tanggungan
merupakan barang yang dijadikan jaminan guna pelunasan hutang dari Debitur.
Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-ndang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan tanah adalah :
“ Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu kepada Kreditur-Kreditur
lain”.
Menurut
Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Memberikan kedudukan yang diutamakan
atau didahulukan kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de
preference;
b. Selalu
mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada atau
disebut droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah
dipindah tangankan haknya kepada pihak lain, Kreditur pemegang hak tanggungan
tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila Debitur
cidera janji;
c. Memenuhi
asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
d. Mudah
dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan kemudahan bagi Kreditur
dalam pelaksanaan eksekusi.
Subjek
Hak Tanggungan di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 adalah :
a.
Pemberi Hak Tanggungan, dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan;
b. Pemegang Hak Tanggungan, terdiri dari
perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
Pada dasarnya tidak
setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang
dapat dijadikan jaminan (Objek Hak Tanggungan) harus memenuhi syarat-syarat :
-
Dapat dinilai dengan uang, karena utang
yang dijamin berupa uang;
-
Termasuk hak yang didaftar dalam daftar
umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
-
Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan,
karena apabila cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di
muka umum;
-
Memerlukan penunjukkan dengan
undang-undang
Menurut
Salim HS, terdapat 5 (lima) jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan
Hak Tanggungan, yaitu :
-
Hak Milik;
-
Hak Guna Usaha;
-
Hak Guna Bangunan;
-
Hak Pakai, baik hak milik maupun hak
atas Negara;
-
Hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan
dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas
tanah yang bersangkutan
Prosedur
pemberian Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dilakukan dengan cara :
-
Didahului janji untuk memberikan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan yak
terpisahkan dari perjanjian utang piutang;
-
Dilakukan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-
Objek Hak Tanggungan berupa hak atas
tanah yang berada darikonversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan,
akan tetapi belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
Pendaftaran
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996, yaitu :
b. Pejabat Pembuat Akta
Tanah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ditandatangani pemberian hak
tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lainnya
kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan. Berkas itu meliputi :
-
Surat Pengantar dari Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang dibuat dalam rangka 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat
yang disampaikan;
-
Surat permohonan pendaftaran hak
tanggungan dari penerima hak tanggungan;
-
Fotocopy surat identitas pemberi dan
pemegang hak tanggungan;
-
Sertifikat asli hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan;
-
Lembar kedua akta pemberian hak
tanggungan;
-
Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan untuk disahkan
Kepala Kantor Pertanahan;
-
Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak
tanggungan.
c.
Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam
buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
d.
Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya,
apabila hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan
diberi tanggal hari kerja berikutnya;
e.
Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan
(Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
f. Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Menurut Salim HS, bahwa
hapusnya Hak Tanggungan disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu:
-
Hapusnya utang yang dijamin dengan hak
tanggungan;
-
Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang
hak tanggungan;
-
Pembersihan hak tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
-
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani
hak tanggungan.
Eksekusi Hak Tanggungan
dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu :
a. Hak
pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan
yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan
pertamadalam hal terdapat lebih dari pemegang hak tanggungan. Hak tersebut
didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan, bahwa apabila
Debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi pemberi hak
tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan itu
lebih dahulu dari Kreditur-Kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap
menjadi hak pmberi hak tanggungan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan);
b. Eksekusi
atas title eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-irah yang dicantumkan
pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila Debitur cidera
janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan yang berkekuatan hukum
tetap, melalui tata cara lembaga parate executie sesuai hukum acara
perdata;
c. Eksekusi
di bawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang dilakukan oleh
pemberi hak tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan,
jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.
6.
Tinjauan
mengenai Perlindungan Hukum
Keberadaan
hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan
ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang
satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah
perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum
sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan
normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara
melaksanakan kepatuhan pada kaedah.
Wujud
dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada
anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi
dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat
mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan
manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud
kehidupan yang seimbang.
Menurut
Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban
dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk
mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan
dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum
serta memelihara kepastian hukum.
Pada
hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang
dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul
dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan
bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau
kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya,
sehingga yang bersangkutan merasa aman.
Kesimpulan
dari hal tersebut di atas, bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah
sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik
yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis
maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan
sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala
kepentingan manusia yang ada di masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan
keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas
adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan
Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan Pancasila, maka sistem perlindungan hukum yang
dianut harus berpijak pada dasar Negara Pancasila, yaitu tidak hanya melihat
hak dan kewajiban di dalam masyarakat.
Perlindungan
Hukum Bagi Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan
apabila Debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah :
a. Bentuk-Bentuk
Perlindungan Hukum yang diberikan kepada Kreditur dalam Perjanjian Kredit
dengan Jaminan Hak Tanggungan saat Debitur wanprestasi menurut Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah.
Bentuk perlindungan
hukum yang diberikan kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi terdapat dalam
bentuk perjanjian kredit, dimana berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 dijelaskan bahwa Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang
dapat dibuat dengan akta di bawah tangan maupun akta autentik tergantung pada
ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut.
Akta di bawah tangan
yang merupakan salah satu bentuk perjanjian kredit dalam prakteknya memiliki
beberapa kelemahan, antara lain Debitur menyangkal untuk mengakui tanda tangan
yang ia bubuhkan pada saat penandatanganan perjanjian kredit yang akan melemahkan
posisi bank sebagai Kreditur apabila diperkarakan di pengadilan, hilangya arsip
atau file serta kekurangan data-data dalam pelaksanaan perjanjian kredit,
sehingga menurut penulis yang lebih memberikan perlindungan hukum adalah akta
autentik yang berbentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan yang berisikan
janji-janji guna melindungi hak Kreditur. Akta ini akan lebih tegas dan jelas
di dalam menjamin hak Kreditur apabila telah dilakukan pendaftaran pada Kantor
Pertanahan dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, diterbitkanlah Sertifikat
Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, dimana Sertifikat ini memiliki irah-irah
yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap. Sertifikat ini berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan eksekusi
apabila di kemudian hari Debitur melakukan wanprestasi atau mengingkari janjinya
untuk melunasi hutangya.
b.
Penafsiran Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang
Memberikan Perlindungan Hukum kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi. Dalam
suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak Kreditur dan Debitur, tidak
menutup resiko adanya tindakan wanprestasi dari pihak Debitur, sehingga
diperlukan jaminan kebendaan guna menjamin pelunasan piutang Debitur. Jaminan
yang paling banyak digunakan umumnya adalah hak atas tanah yang ketentuannya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimana Undang-Undang ini
memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pemegang Hak Tanggungan apabila di
kemudian hari Debitur cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya, dan perlindungan
hukum yang diberikan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah :
-
Pasal 1 angka 1 : Memberikan Kedudukan
yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan atau Kreditur (droit
de preference). Hak-hak Kreditur yang didahulukan ini merupakan salah satu
wujud perlindungan hukum yang diberikan bagi pihak Kreditur apabila terjadi
wanprestasi dari Debitur, khususnya dalam pengambilan pelunasan piutangnya.
Pengaturan hak-hak privilege Kreditur ini terdapat dalam Buku II Bab XIX
tentang Piutang yang diistimewakan, yakni mulai Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bab tersebut terdiri dari 3 (tiga)
bagian yang mengatur tentang hal-hal berikut
:
1) Piutang-piutang yang
diistimewakan pada umumnya;
2) Hak-hak istimewa
mengenai benda-benda tertentu;
3) Hak-hak istimewa
atas semua benda bergerak dan tidak bergerak.
-
Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan
(3), serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang Eksekusi Hak Tanggungan. Salah
satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak
jaminan atas tanah yang
kuat, yaitu mudah dan pasti dalam pelaksanaannya. Sehingga, hak eksekusi objek
Hak Tanggungan berada di tangan Kreditur. Eksekusi atas objek Hak Tanggungan
ini juga merupakan perlindungan hukum bagi Kreditur khususnya apabila terjadi
wanprestasi Debitur, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 6, Pasal 14 ayat (1),
(2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimana berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dapat
dijelaskan bahwa pelaksanaan eksekusi
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1)
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Parate Executie atau Lelang
atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Pengadilan.
2)
Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Eksekusi
atau Lelang dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat,
berdasarkan irah-irah yang tercantum dalam sertifikat Hak Tanggungan yang
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap;
3) Pasal 20 ayat (2)
dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Penjualan di bawah tangan yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima Hak Tanggungan.
-
Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-Janji
yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
-
Pasal 7 : Asas droit de suite (Hak
Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek
itu berada).
B. Analisis
Berdasarkan
Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang ini dapat dibuat
secara tertulis baik dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik,
tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Bentuk
perlindungan hukum yang diberikan kepada Kreditur menurut Undang-Undang ini
terdapat pada bentuk perjanjian kredit itu sendiri berupa :
1. Akta atau Perjanjian Kredit di bawah tangan
Perjanjian
kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara
para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu
notaris. Dalam prakteknya, akta atau perjanjian kredit di bawah tangan ini
memiliki beberapa kelemahan, sehingga menurut penulis akta di bawah tangan ini
kurang memberikan jaminan pelunasan
piutang Kreditur dan perlindungan hukum terhadap Kreditur. Beberapa kelemahan
akta di bawah tangan ini adalah :
-
Kemungkinan Debitur tidak mengakui atau
menyangkali tanda tangannya sangat besar, sehingga apabila diperkarakan di muka
pengadilan akan menyulitkan atau melemahkan posisi bank sebagai pihak yang
dirugikan.
-
Kekurangan data-data yang disebabkan
perjanjian ini tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
-
Hilangnya arsip atau file asli yang
menyebabkan hilangnya bukti apabila Debitur cidera janji dan diproses di
pengadilan.
2. Akta atau Perjanjian Kredit Autentik
Akta
autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian kredit oleh bank
kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Kelebihan
akta ini yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki
kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap,
yang dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera
janji.
Menurut
penulis, bahwa yang lebih menjamin hak Kreditur dalam memperoleh kembali
piutangnya ketika Debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta
autentik. Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse
Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar
untuk pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera janji. Akan tetapi, berdasarkan
Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak
Tanggungan, telah diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai pengganti Grosse
Akta Pengakuan Hutang yang memiliki fungsi yang sama.
Akta
autentik ini dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang yaitu
notaris melalui proses pengikatan perjanjian kredit dengan jaminan pemberian
Hak Tanggungan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memuat
janji-janji guna menjamin hak Kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya
dan membatasi kewenangan Debitur, dan dilakukan tahap berikutnya yaitu proses
pembebanan Hak Tanggungan melalui tahap pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor
Pertanahan dan sebagai Bukti adanya Hak Tanggungan diterbitkannya Sertifikat
Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”, dimana sertifikat ini menjadi landasan atau dasar pelaksanaan
eksekusi apabila Debitur mengingkari untuk melunasi hutangnya di kemudian hari.
Ketentuan
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum
kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi
adalah :
-
Pasal 1 angka
1 :
Memberikan Kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan dalam memperoleh pelunasan piutangnya.
-
Pasal 6 :
Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate
executie) melalui pelelangan tanpa meminta bantuan dari Pengadilan.
-
Pasal 14 ayat
(1), (2), dan (3) : Eksekusi berdasarkan titel
eksekutorial yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan melalui pelelangan
umum dengan meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri.
-
Pasal 20 ayat
(2) dan (3) : Penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Penjualan di bawah tangan ini dilakukan
apabila penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan memperoleh
harga tertinggi.
-
Pasal 11 ayat
(2) :
tentang Janji-Janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT).
-
Pasal 7 :
tentang Asas Droit de Suite (Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang
dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada). Asas ini merupakan jaminan
khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, bahwa walaupun objek Hak
Tanggungan sudah berpindah menjadi milik pihak lain, Kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk melakukan haknya apabila Debitur cidera janji.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Perjanjian
kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara
para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu
notaris. Dalam prakteknya, akta atau perjanjian kredit di bawah tangan ini
memiliki beberapa kelemahan, sehingga menurut penulis akta di bawah tangan ini
kurang memberikan jaminan pelunasan
piutang Kreditur dan perlindungan hukum terhadap Kreditur. Beberapa kelemahan
akta di bawah tangan ini adalah :
-
Kemungkinan Debitur tidak mengakui atau
menyangkali tanda tangannya sangat besar, sehingga apabila diperkarakan di muka
pengadilan akan menyulitkan atau melemahkan posisi bank sebagai pihak yang
dirugikan.
-
Kekurangan data-data yang disebabkan
perjanjian ini tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
-
Hilangnya arsip atau file asli yang
menyebabkan hilangnya bukti apabila Debitur cidera janji dan diproses di
pengadilan.
Menurut
penulis, bahwa yang lebih menjamin hak Kreditur dalam memperoleh kembali
piutangnya ketika Debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta
autentik. Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse
Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar
untuk pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera janji. Akan tetapi,
berdasarkan Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2)
Undang-Undang Hak Tanggungan, telah diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah
sebagai pengganti Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki fungsi yang
sama.
2. Ketentuan
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum
kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi,
karena memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur sebagai pemegang
Hak Tanggungan dalam memperoleh pelunasan piutangnya, dan memberikan hak untuk
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) melalui
pelelangan tanpa meminta bantuan dari Pengadilan.
B. SARAN
1. Bank
menggunakan akta autentik dalam perjanjian kreditnya guna perlindungan hukum
serta kepastian hukum khususnya bagi bank selaku Kreditur apabila Debitur
wanprestasi dikemudian harinya
2. Terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, mengenai syarat yang tercantum dalam Pasal 6, yaitu bahwa apabila
Debitur cidera janji, maka yang berhak melakukan penjualan atas objek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri hanya pemegang Hak Tanggungan pertama saja, yang berarti
pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya tidak memiliki hak untuk
menjual objek Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum apabila piutang
beralih kepada pemegang Hak Tanggungan kedua ataupun Kreditur lain, sehingga
perlu dilakukan pembenahan dalam Pasal ini guna menjamin perlindungan hukum
kepada Kreditur yaitu apabila piutang beralih kepada pihak ketiga yaitu
pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya, maka pihak ketiga inipun juga
berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila Debitur
cidera janji atau wanprestasi. Serta Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11
ayat (2) tentang janji-janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), dalam salah satu janjinya, yaitu adanya keharusan untuk
memuat atau mencantumkan janji dengan kata-kata “apabila Debitur cidera janji”,
maka pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri
objek Hak Tanggungan apabila Debitur cidera janji. Sehingga, seandainya dalam
akta tersebut tidak dicantumkan adanya janji dengan kata-kata tersebut, maka
apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji, Kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku/Literatur
Jimly,
Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans
Kelsen Tentang Hukum, 2012, Konstitusi
Press, Jakarta.
Hermansyah,
Hukum Perbankan Nasional Indonesia , 2005,
Prenada Media, Jakarta.
Gatot
Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, 1996, Djambatan,
Jakarta.
M.
Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 2007, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Subekti
dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2006, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Soerjono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2008, UI Press, Jakarta.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, 2007, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Rachmadi
Usman, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di
Indonesia, 2001, PT.Grandmedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budi
Untung, Kredit Perbankan di Indonesia,
2005, Andi, Yogyakarta.
Chidir
Ali, Badan Hukum, 1999, cet.II, Alumni, Bandung.
Salim
H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, 2006, Sinar Grafika,
Jakarta.
Peraturan
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan .
Situs Internet
[3]
Gatot
Supramono, Perbankan dan Masalah
Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm 75.
[4] M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit
Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 5.
[5]
Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2006, hlm 291.
[6] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta , 2008, hlm 43.
[7] Ibid.
hlm 6.
[8] Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007, hlm 15.
[9] Ibid. hlm
34.
[10] Soerjono
Soekanto. Opcit. hlm 52.
[11] Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya
Paramita, 2006, hlm 338.
[12] Ibid,
hal .8.
[14] http://jamalwiwoho.com/materi-kuliah/strata-2
[15] Rachmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Grandmedia Pustaka
Utama, Jakarta,
2001, hlm 236.
[18] Robert A. Hillman & Jeffrey J.
Rachlinski, “Standard-Form Contracting in
the Electronic Age”, diakses 3 Mei 2012.
[19]
Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm.
41.
[23] Salim H.S, Hukum
Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 73.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.