02/10/15

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN


PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR 
DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN HAK TANGGUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional, adalah upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk meningkatkan pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi diperlukan adanya peningkatan pendapatan nasional.
Kegiatan pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing. Kredit berfungsi untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, bagitu pula bagi kegiatan perekonomian negara sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana adalah lembaga perbankan, yang membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang yaitu dengan melalui kredit perbankan, dimana dalam pemberian kredit perbankan biasanya dibuat perjanjian kredit antara Kreditur sebagai pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan Debitur sebagai pihak yang berhutang.
Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini, bank juga menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara memberikan kredit dalam bentuk usaha kredit perbankan.
Secara etimologis, istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Jadi memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit  yang diberikan pasti akan dikembalikan sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Sedangkan bagi penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu serta kesepakatan yang diperjanjikan. Hal tersebut menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau Debitur adalah kepercayaan.[1]
Pasal 1(11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan pengertian kredit :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut, dalam pembukuan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit.
Dalam pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada Debitur bukanlah tanpa resiko, karena resiko mungkin saja terjadi, resiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar (resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung (resiko hukum) Resiko-resiko yang umumnya merugikan Kreditur tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh bank, sehingga dalam proses pemberian kredit diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan Debitur untuk membayar hutangnya.
Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan Debitur tersebut, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C dalam pemberian kredit.[2]
Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh Kreditur, karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang Debitur, dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur.[3]
Dalam praktek perbankan, penjualan (pencairan) objek jaminan kredit dilakukan guna melunasi kredit dari Debitur. Penjualan jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak Debitur bila tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan diderita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan.[4]  
Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan Debitur untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya dengan baik dan hati-hati, dimana diharapkan akan mendorong pihak Debitur untuk melunasi hutangnya sehingga dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang Debitur kepada bank.
Dalam praktek perbankan, umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit yang disetujui oleh bank, sehingga pihak Debitur diharapkan segera melunasi hutangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (asset) yang diserahkan sebagai jaminan kredit dalam hal kredit tersebut ditetapkan sebagai kredit macet. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana ketentuan dalam Pasal ini sering dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan, yang berbunyi :
“ Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.[5]
Bentuk jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila Debitur sebagai penerima kredit dan Kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Lembaga Jaminan Hak Tanggungan ini telah diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan menjadikan kepentingan Debitur maupun Kreditur mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah.
Tujuan utama diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan ini, khususnya memberikan perlindungan hukum bagi pihak Kreditur apabila Debitur melakukan perbuatan melawan hukum berupa wanprestasi. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu kepada Kreditur-Kreditur lain. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
Dalam proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa pihak Kreditur dirugikan ketika pihak Debitur melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan suatu aturan hukum dalam pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit, yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi pihak Kreditur apabila Debitur wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya.

B.  Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penulisan makalah ini pokok permasalahan adalah bagaimanakah perlindungan hukum bagi kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi dalam suatu Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

C.  Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dilakukan dengan analisis berdasarkan landasan teori yang mendukung, maka didapatkan suatu argumentasi ilmiah mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Berkaitan dengan Tanah. Serta menambah, memperluas dan mengaplikasikan pengetahuan dan wawasan penulis mengenai perlindungan hukum bagi pihak Kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit khususnya dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.

D.  Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu manfaat secara teoritis dan secara praktis :
1.  Manfaat Teoritis
Untuk memberikan gambaran yang jelas kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum terhadap Kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi.
2.  Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang membutuhkan.
E.   Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. [6]  
Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang mempelajari, menganalisa dan memahami lingkunganyang dihadapinya.[7]  
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaanya yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Sedangkan metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebutdengan data sekunder berupa hukum positif.
Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum, yaitu masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.[8]
Sedangkan data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis adalah data kepustakaan. Data kepustakaan meliputi bahan-bahan kepustakaan berupa bahan atau sumber primer.[9]
Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik tolak peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan maksud dari kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.[10]

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Tinjauan Kepustakaan
1.    Tinjauan Perjanjian
Pengertian Perjanjian diatur dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[11]
Menurut Subekti dalam A. Qirom Syamsudin Meliala bahwa perjanjian adalah ”Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. [12]
Perjanjian kredit seperti diuraikan, mengandung pengertian yang menunjukkan unsur pinjam-meminjam didalamnya yaitu pinjam meminjam antara pihak bank dengan Debitur.Syarat suatu perjanjian dapat dikatakan sah sesuai pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu:
a.    Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
Yang dimaksud kata sepakat adalah bahwa kedua subjek yang membuat suatu perjanjian itu harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari suatu perjanjian yang mereka sepakati.
b.    Cakap dalam membuat suatu perjanjian;
Sesesorang itu harus benar-benar mempunyai kewenangan dalam membuat suatu perjanjian dengan pihak lainnya. Dan bertanggung jawab atas akibat dari perjanjian yang dibuat.
c.    Mengenai suatu hal tertentu;
Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa paling sedikit yang menjadi obyek perjanjian harus dapat ditentukan oleh jenisnya, baik benda berwujud atau benda tidak berwujud.
d.    Suatu sebab yang halal;
Sebab disini diartikan sebagai isi atau tujuan dari pada suatu perjanjian.
Keempat syarat  perjanjian tersebut, merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, apabila salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal (nietig). Bilamana kesepakatan terjadi disebabkan karena adanya kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (vernieteg verbaar) kepada hakim dan apabila kesepakatan diberikan dengan secara tidak bebas, sehingga salah satu pihak dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, maka perjanjian itu adalah cacat dan karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan kesepakatannya dengan secara tidak bebas atau oleh orang yang tidak cakap membuat perjanjian tersebut.
2.    Tinjauan mengenai Kredit dan Perjanjian Kredit
Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau suatu badan usaha untuk menjamin uang untuk membeli berbagai kebutuhan dan produk dan akan membayarnya kembali pada jangka waktu yang telah di perjanjikan. Dimana dalam kegiatan kredit, pada dasarnya hanya ada dua para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu pihak Kreditur (bank) dan pihak Debitur (nasabah). Namun masalahnya akan menjadi lain, apabila barang jaminan diberikan oleh pihak ketiga yang turut serta menandatangani perjanjian kredit (hutang-piutang) atau personal guarantee yang diberikan oleh pihak ketiga. Jadi disini pihak ketiga hanya  bertindak sebagai penjamin.
Secara etimologis, istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Jadi memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit  yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Sedangkan bagi penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Hal tersebut menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah atau Debitur adalah kepercayaan.[13]
Menurut Thomas Suyatno, pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga telah ditetapkan.
Pengertian umum kredit adalah penyediaan uang atau tagihan atau hak untuk menagih antara Kreditur dengan Debitur yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis mengenai jumlah kredit, jangka waktu, bunga dan jaminan kredit. [14]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan antara bank sebagai Kreditur dan nasabah penerima kredit sebagai Debitur, dengan perjanjian yang telah dibuat, dimana dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama, demikian pula dengan masalah sangsi apabila Debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat atau dengan kata lain bahwa kredit merupakan suatu perjanjian atau suatu prestasi dari satu pihak ke pihak lain, yang pengembalian prestasi itu akan dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan di sertai dengan kontra prestasi berupa bunga, sehingga nilai ekonominya sepadan dengan kata lain kredit merupakan penundaan pembayaran, oleh karena itu kredit menyangkut masalah waktu yang akan datang, kepercayaan merupakan suatu syarat untuk memperoleh kredit.
Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dikatakan popular (dan merakyat), sehingga dalam bahasa sehari- hari sudah di campur baurkan begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan sistem kredit semester yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus tersendiri dibanding asalnya.[15]
Dalam penjelasan Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 ayat (1), bahwa untuk memperoleh keyakinan terhadap seorang Debitur, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari Debitur.  Untuk mencegah kredit bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada prinsip 5C dalam pemberian kredit.[16]
 a.    Character
Kriteria ini harus dapat mencari secara tepat hal-hal dapat menimbulkan akibat di kemudian hari. Meliputi kajian terhadap kejujuran, integritas, kepercayaan serta kemampuan manajemen. Yaitu mengenai :
-       Siapakah yang akan kita biayai
-       Bagaimanakah “track-record” kredit-kreditnya
-       Apakah mereka sudah pengalaman di usaha tersebut
-       Pemasaran, Operasional, Keuangannya
-       Sumber daya manusianya
-       Dapatkah kita mempercayai mereka
-       Apakah mereka mampu untuk membayar dan juga mengelola kreditnya
Bahwa calon nasabah Debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran integritas, dan kemauan dari calon nasabah Debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat usaha, dan informasi usaha-usaha yang sejenis.
b.    Capacity (kapasitas untuk membayar kembali)
Kemampuan Debitur untuk mengembalikan kredit :
-       Prakiraan Laporan Keuangan untuk mengevaluasi kemampuan Debitur.
-       Mencermati Rasio-rasio keuangan sebelumnya dan bandingkan dengan rasio-rasio Prakiraan Laporan Keuangan untuk melihat keadaan terkini.
Yang dimaksud dengan capacity dalam hal ini adalah kemampuan calon nasabah Debitur mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan, yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini, tentu dapat diketahui pula mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta tingkat resikonya. Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang didasarkan pada pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah Debitur, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan usaha dengan pesaing lainnya.
c.    Capital (Modal)
Struktur permodalan adalah sangat penting bagi Kreditur karena hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan tingkat resiko yang mungkin timbul. Permintaan data dari SID dan/atau bank lain untuk meminimalkan resiko.
Sebuah analisis kapitalisasi meliputi : kajian terhadap permodalan, total pinjaman, nilai asset dan total modal kerja permanen.
Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian tehadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidak semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif.
d.    Collateral (jaminan)
Untuk memastikan bahwa Kreditur (bank) memperoleh uangnya kembali jika Debitur tidak dapat membayar pinjamannya.
Bagaimanakah cara kerjanya, untuk memastikan bahwa nilai agunan cukup untuk menutup jumlah pinjaman.
Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah Debitur di kemudian hari, misalnya kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik utang pokok maupun bunganya.
e.    Condition of Economy
Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut. Juga diperlukan mencermati industi secara keseluruhan dan seberapa eksis calon Debitur dalam industri tersebut, di samping itu kita juga harus melihat aspek-aspek situasi politik, ekonomi, sosial, tehnologi dan kompetisi.
Perjanjian kredit tidak diatur secara tegas dan khusus dalam KUHPerdata, namun unsur-unsur dalam suatu perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh KUHPerdata. Hal ini tegaskan oleh Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang dengan suatu nama khusus, harus tunduk pada peraturan-peraturan  umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUHPerdata.
Dalam prakteknya, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan bank yang lainnya tidak sama. Hal tersebut terjadi karena menyesuaikan diri dengan kebutuhan masing-masing bank.  Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktek ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini (terutama dalam perjanjian kredit dengan pihak asing (loan agreement), jumlah dan batas waktu peminjaman, pembayaran kembali pinjaman (repayment), apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat dari ketentuan yang ada, penetapan bunga pinjaman dan denda jika Debitur lalai membayar bunga, dan dicantumkannya berbagai klausul.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang (perjanjian pinjam-mengganti). Sedang perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit.[17] Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya. Oleh karena itu, pengertian perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas, akan tetapi lebih luas lagi penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya. Ada ataupun berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah sebagai Debitur. Sehingga dapat dikatakan juga perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, pembuatan perjanjian baku (standard contract atau perjanjian baku/adhesi) atau kontrak yang menawarkan klausula-klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang. Bentuk perjanjian-perjanjian seperti ini memang tidak dapat lagi dihindari dalam kehidupan modern seperti sekarang ini. Hampir 99 persen dari perjanjian tertulis (kontrak) merupakan perjanjian dengan klausula baku.[18] Kondisi yang seperti ini menunjukkan bahwa praktek yang terjadi dewasa ini bukan melalui proses negoisasi yang seimbang di antara para pihak. Pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku dalam bentuk formulir perjanjian yang disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan bagi pihak tersebut untuk melakukan negoisasi.
Walaupun Undang-Undang Perbankan menentukan bahwa pemberian kredit harus diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, namun tidak ada ketentuan lanjut mengenai bagaimana bentuk dari perjanjian kredit tersebut. Dalam prakteknya, perjanjian kredit seringkali merupakan perjanjian baku.[19] Dunia perbankan tidak dapat terlepas dari perjanjian baku.[20] Bank biasanya mempunyai form tersendiri yang semua syarat dan kondisinya (terms and conditions) sudah bersifat baku.  Dalam hal ini, Debitur hanya dalam posisi menerima atau tidak perjanjian kredit tersebut. Apabila menerima semua syarat dan ketentuan dalam perjanjian kredit, maka Debitur harus menandatanganinya. Sebaliknya, apabila Debitur menolak, maka Debitur tidak perlu menandatangani perjanjian kredit tersebut.
Ketidakseimbangan kedudukan antara bank dan nasabah Debitur tersebut seperti sedikit bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak,  akan tetapi keabsahan perjanjian tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat adanya kebutuhan masyarakat khususnya nasabah sendiri terhadap kondisi tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh peranan bank itu sendiri yang tidak saja mengemban kepentingan masyarakat, melainkan juga selaku bagian dari sistem moneter perbankan dan nasional. Pertimbangannya, bank harus menjaga kepentingan atau eksistensinya dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang moneter. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan bank tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan karena bank dalam hal ini sedang mempertahankan eksistensinya. Subyek dalam perjanjian kredit tidaklah selalu perseorangan. Berdasarkan status hukum Debiturnya, kredit bank umum dapat dibedakan menjadi 2 macam golongan, yaitu kredit yang diberikan kepada Debitur berstatus badan hukum (kredit korporasi) dan kredit yang diberikan kepada Debitur perorangan. Dalam hal yang pertama, Debitur merupakan  badan usaha yang membutuhkan dana untuk modal kerja, pengadaan fasilitas baru, penggantian atau renovasi  fasilitas produksi yang ada dan sebagainya. Dalam hal kredit perorangan, kredit yang diberikan umumnya untuk membiayai kebutuhan barang dan jasa konsumtif, antara lain kredit perumahan, atau kartu kredit. Manusia adalah orang (persoon) dalam arti hukum, demikian menurut Paul Scholten.[21] Hukum merupakan hal yang tidak terlepas dari manusia (persoon) karena hukum mengatur bagaimana manusia bertindak di depan hukum. Di dalam ilmu hukum, persoon disebut sebagai pendukung atau subyek hak.[22] Namun, istilah persoon memiliki memiliki pengertian yang lebih luas, tidak saja mencakup naturrlijk persoon (orang pribadi), melainkan  melainkan juga rechtpersoon (badan hukum), yaitu orang yang diciptakan hukum secara fiksi.[23]
3.    Tinjauan mengenai Kredit Macet
Tidak hanya bank yang dapat mengalami kredit macet. Perusahaan nonbank pun bisa mengalami hal serupa. Bedanya, bank selalu dipantau Bank Indonesia, sedangkan perusahaan nonbank tidak. Sebenarnya, bank bisa mendeteksi gejala awal munculnya kredit macet.[24] Kredit dengan kolektibilitas lancar (pass) adalah masuk dalam kriteria Performing Loan, sedangkan kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), dan kredit macet masuk dalam kriteia kedit bermasalah (non-performing loan). Walaupun suatu kredit memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, dan diragukan, namun apabila menurut penilaian keadaan usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas yang lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Kredit macet adalah sebuah pengertian awam tentang pinjaman yang sudah sulit ditagih. Sedangkan, non performing loans (NPL) atau kredit bermasalah (problem loans) adalah istilah yang digunakan kalangan perbankan. Dalam paket kebijakan deregulasi bulan Mei tahun 1993 (PAKMEI 1993), di Indonesia dikenal dua golongan kredit bank, yaitu kredit lancar dan kredit bermasalah. Di mana kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Kredit macet adalah keadaan yang sangat dikhawatirkan oleh setiap bank, karena akan mengganggu kondisi keuangan bank, bahkan dapat mengakibatkan berhentinya kegiatan usaha bank.Kredit macet atau problem loan adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan Debitur.
Kasmir, mengemukakan bahwa timbulnya kredit-kredit bermasalah (macet) selain berasal dari nasabah dapat juga berasal dari bank, karena bank tidak terlepas dari kelemahan yang dimilikinya. Bank juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kredit macet. Hal tersebut karena dalam melakukan analisis, pihak bank melakukan analisis kurang teliti sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis kredit dengan pihak Debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara subjektif atau akibat mengeluarkan kebijakan yang kurang tepat.
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit kepada bank tepat pada waktu yang telah diperjanjikan atau dengan kata lain Debitur wanprestasi terhadap kewajibannya.
4.    Tinjauan mengenai Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten.
Menurut J. Satrio dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hukum jaminan diartikan sebagai :
 “Peraturan hukum yang mengatur tentang jaminanjaminan piutang seorang Kreditur terhadap seorang Debitur”.
Salim HS dalam bukunya “Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia” juga mengartikan hukum jaminan sebagai berikut :
 “Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”.
Berdasarkan kedua definisi mengenai hukum jaminan tersebut, maka unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian hukum jaminan adalah :
a.    Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis berupa peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi serta kaidah hukum jaminan tidak tertulis berupa kaidah hukum yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.
b.    Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit dan lazim disebut sebagai Debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan dan yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum atau biasanya pihak bank yang sering disebut sebagai Kreditur.
c.    Adanya jaminan
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada Kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immaterril merupakan jaminanperorangan.
d.    Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembagakeuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa Debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya.
Menurut Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu :
a.    Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;
b.    Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;
c.    Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian;
d.    Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima gadai;
e.    Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.
5.    Tinjauan mengenai Hak Tanggungan
Tanggungan merupakan barang yang dijadikan jaminan guna pelunasan hutang dari Debitur. Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-ndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah adalah :
“ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu kepada Kreditur-Kreditur lain”.
Menurut Salim H.S., Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.    Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
b.    Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada atau disebut droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah dipindah tangankan haknya kepada pihak lain, Kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila Debitur cidera janji;
c.    Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
d.    Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya atau memberikan kemudahan bagi Kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
 Subjek Hak Tanggungan di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah :
a. Pemberi Hak Tanggungan, dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan;
b.  Pemegang Hak Tanggungan, terdiri dari perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan (Objek Hak Tanggungan) harus memenuhi syarat-syarat :
-       Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
-       Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
-       Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum;
-       Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang
Menurut Salim HS, terdapat 5 (lima) jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu :
-       Hak Milik;
-       Hak Guna Usaha;
-       Hak Guna Bangunan;
-       Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara;
-       Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan
Prosedur pemberian Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dilakukan dengan cara :
-       Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan yak terpisahkan dari perjanjian utang piutang;
-       Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
-       Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berada darikonversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu :
a. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan. Berkas itu meliputi :
-       Surat Pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dibuat dalam rangka 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan;
-       Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan;
-       Fotocopy surat identitas pemberi dan pemegang hak tanggungan;
-       Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek hak tanggungan;
-       Lembar kedua akta pemberian hak tanggungan;
-       Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan untuk disahkan Kepala Kantor Pertanahan;
-       Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.
c. Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
d. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya, apabila hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya;
e. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
f. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
Menurut Salim HS, bahwa hapusnya Hak Tanggungan disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu:
-       Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
-       Dilepaskan hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;
-       Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
-       Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.
Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu :
a.    Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertamadalam hal terdapat lebih dari pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan, bahwa apabila Debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari Kreditur-Kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pmberi hak tanggungan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan);
b.    Eksekusi atas title eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila Debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, melalui tata cara lembaga parate executie sesuai hukum acara perdata;
c.    Eksekusi di bawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.
 6.    Tinjauan mengenai Perlindungan Hukum
Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.
Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman.
Kesimpulan dari hal tersebut di atas, bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, maka sistem perlindungan hukum yang dianut harus berpijak pada dasar Negara Pancasila, yaitu tidak hanya melihat hak dan kewajiban di dalam masyarakat.
Perlindungan Hukum Bagi Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan apabila Debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah :
a.    Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan kepada Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan saat Debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi terdapat dalam bentuk perjanjian kredit, dimana berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dijelaskan bahwa Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan maupun akta autentik tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut.
Akta di bawah tangan yang merupakan salah satu bentuk perjanjian kredit dalam prakteknya memiliki beberapa kelemahan, antara lain Debitur menyangkal untuk mengakui tanda tangan yang ia bubuhkan pada saat penandatanganan perjanjian kredit yang akan melemahkan posisi bank sebagai Kreditur apabila diperkarakan di pengadilan, hilangya arsip atau file serta kekurangan data-data dalam pelaksanaan perjanjian kredit, sehingga menurut penulis yang lebih memberikan perlindungan hukum adalah akta autentik yang berbentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan yang berisikan janji-janji guna melindungi hak Kreditur. Akta ini akan lebih tegas dan jelas di dalam menjamin hak Kreditur apabila telah dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, diterbitkanlah Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, dimana Sertifikat ini memiliki irah-irah yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sertifikat ini berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan eksekusi apabila di kemudian hari Debitur melakukan wanprestasi atau mengingkari janjinya untuk melunasi hutangya.
b. Penafsiran Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Memberikan Perlindungan Hukum kepada Kreditur ketika Debitur wanprestasi. Dalam suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak Kreditur dan Debitur, tidak menutup resiko adanya tindakan wanprestasi dari pihak Debitur, sehingga diperlukan jaminan kebendaan guna menjamin pelunasan piutang Debitur. Jaminan yang paling banyak digunakan umumnya adalah hak atas tanah yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimana Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pemegang Hak Tanggungan apabila di kemudian hari Debitur cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya, dan perlindungan hukum yang diberikan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah :
-       Pasal 1 angka 1 : Memberikan Kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan atau Kreditur (droit de preference). Hak-hak Kreditur yang didahulukan ini merupakan salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan bagi pihak Kreditur apabila terjadi wanprestasi dari Debitur, khususnya dalam pengambilan pelunasan piutangnya. Pengaturan hak-hak privilege Kreditur ini terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang Piutang yang diistimewakan, yakni mulai Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bab tersebut terdiri dari 3 (tiga) bagian yang mengatur tentang hal-hal  berikut :
1) Piutang-piutang yang diistimewakan pada umumnya;
2) Hak-hak istimewa mengenai benda-benda tertentu;
3) Hak-hak istimewa atas semua benda bergerak dan tidak bergerak.
-       Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 20 ayat (2) dan (3) tentang Eksekusi Hak Tanggungan. Salah satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak
jaminan atas tanah yang kuat, yaitu mudah dan pasti dalam pelaksanaannya. Sehingga, hak eksekusi objek Hak Tanggungan berada di tangan Kreditur. Eksekusi atas objek Hak Tanggungan ini juga merupakan perlindungan hukum bagi Kreditur khususnya apabila terjadi wanprestasi Debitur, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 20 ayat (2) dan (3), dimana berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat
dijelaskan bahwa pelaksanaan eksekusi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Parate Executie atau Lelang atas kekuasaan sendiri tanpa melalui Pengadilan.
2) Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Eksekusi atau Lelang dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat, berdasarkan irah-irah yang tercantum dalam sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
3) Pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 : Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima Hak Tanggungan.
-       Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-Janji yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
-       Pasal 7 : Asas droit de suite (Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada).
B.  Analisis
Berdasarkan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang ini dapat dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Kreditur menurut Undang-Undang ini terdapat pada bentuk perjanjian kredit itu sendiri berupa :
1.    Akta atau Perjanjian Kredit di bawah tangan
Perjanjian kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu notaris. Dalam prakteknya, akta atau perjanjian kredit di bawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, sehingga menurut penulis akta di bawah tangan ini kurang memberikan  jaminan pelunasan piutang Kreditur dan perlindungan hukum terhadap Kreditur. Beberapa kelemahan akta di bawah tangan ini adalah :
-       Kemungkinan Debitur tidak mengakui atau menyangkali tanda tangannya sangat besar, sehingga apabila diperkarakan di muka pengadilan akan menyulitkan atau melemahkan posisi bank sebagai pihak yang dirugikan.
-       Kekurangan data-data yang disebabkan perjanjian ini tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
-       Hilangnya arsip atau file asli yang menyebabkan hilangnya bukti apabila Debitur cidera janji dan diproses di pengadilan.
2.    Akta atau Perjanjian Kredit Autentik
Akta autentik adalah surat atau tulisan atau perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Kelebihan akta ini yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, yang dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera janji.
Menurut penulis, bahwa yang lebih menjamin hak Kreditur dalam memperoleh kembali piutangnya ketika Debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta autentik. Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar untuk pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera janji. Akan tetapi, berdasarkan Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, telah diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai pengganti Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki fungsi yang sama.
Akta autentik ini dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris melalui proses pengikatan perjanjian kredit dengan jaminan pemberian Hak Tanggungan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang memuat janji-janji guna menjamin hak Kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya dan membatasi kewenangan Debitur, dan dilakukan tahap berikutnya yaitu proses pembebanan Hak Tanggungan melalui tahap pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan dan sebagai Bukti adanya Hak Tanggungan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan yang memiliki irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dimana sertifikat ini menjadi landasan atau dasar pelaksanaan eksekusi apabila Debitur mengingkari untuk melunasi hutangnya di kemudian hari.
Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi adalah :
-       Pasal 1 angka 1 : Memberikan Kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dalam memperoleh pelunasan piutangnya.
-       Pasal 6 : Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) melalui pelelangan tanpa meminta bantuan dari Pengadilan.
-       Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) : Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan melalui pelelangan umum dengan meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri.
-       Pasal 20 ayat (2) dan (3) : Penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Penjualan di bawah tangan ini dilakukan apabila penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan memperoleh harga tertinggi.
-       Pasal 11 ayat (2) : tentang Janji-Janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
-       Pasal 7 : tentang Asas Droit de Suite (Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada). Asas ini merupakan jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, bahwa walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah menjadi milik pihak lain, Kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan haknya apabila Debitur cidera janji.

                                                                                                               
 BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.    Perjanjian kredit atau akta di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat hanya diantara para pihak tanpa di hadapan pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta yaitu notaris. Dalam prakteknya, akta atau perjanjian kredit di bawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, sehingga menurut penulis akta di bawah tangan ini kurang memberikan  jaminan pelunasan piutang Kreditur dan perlindungan hukum terhadap Kreditur. Beberapa kelemahan akta di bawah tangan ini adalah :
-       Kemungkinan Debitur tidak mengakui atau menyangkali tanda tangannya sangat besar, sehingga apabila diperkarakan di muka pengadilan akan menyulitkan atau melemahkan posisi bank sebagai pihak yang dirugikan.
-       Kekurangan data-data yang disebabkan perjanjian ini tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
-       Hilangnya arsip atau file asli yang menyebabkan hilangnya bukti apabila Debitur cidera janji dan diproses di pengadilan.
Menurut penulis, bahwa yang lebih menjamin hak Kreditur dalam memperoleh kembali piutangnya ketika Debitur wanprestasi adalah pada perjanjian kredit dengan akta autentik. Akta autentik ini memiliki kelebihan yaitu dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki kekuatan eksekutorial dan menjadi dasar untuk pelaksanaan eksekusi apabila Debitur cidera janji. Akan tetapi, berdasarkan Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, telah diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanah sebagai pengganti Grosse Akta Pengakuan Hutang yang memiliki fungsi yang sama.
2.    Ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan ketika Debitur wanprestasi, karena memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dalam memperoleh pelunasan piutangnya, dan memberikan hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie) melalui pelelangan tanpa meminta bantuan dari Pengadilan.


B.  SARAN
1.   Bank menggunakan akta autentik dalam perjanjian kreditnya guna perlindungan hukum serta kepastian hukum khususnya bagi bank selaku Kreditur apabila Debitur wanprestasi dikemudian harinya
2.    Terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, mengenai syarat yang tercantum dalam Pasal 6, yaitu bahwa apabila Debitur cidera janji, maka yang berhak melakukan penjualan atas objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya pemegang Hak Tanggungan pertama saja, yang berarti pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum apabila piutang beralih kepada pemegang Hak Tanggungan kedua ataupun Kreditur lain, sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam Pasal ini guna menjamin perlindungan hukum kepada Kreditur yaitu apabila piutang beralih kepada pihak ketiga yaitu pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan seterusnya, maka pihak ketiga inipun juga berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila Debitur cidera janji atau wanprestasi. Serta Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) tentang janji-janji yang harus dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dalam salah satu janjinya, yaitu adanya keharusan untuk memuat atau mencantumkan janji dengan kata-kata “apabila Debitur cidera janji”, maka pemegang Hak Tanggungan pertama berhak menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila Debitur cidera janji. Sehingga, seandainya dalam akta tersebut tidak dicantumkan adanya janji dengan kata-kata tersebut, maka apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji, Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri.


 DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur
Jimly, Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, 2012, Konstitusi Press, Jakarta.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia , 2005, Prenada Media, Jakarta.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, 1996, Djambatan, Jakarta.
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, 2007, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2006, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2008, UI Press, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, 2007, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rachmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, 2001, PT.Grandmedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, 2005, Andi, Yogyakarta.
Chidir Ali, Badan Hukum, 1999, cet.II, Alumni, Bandung.
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, 2006, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan .
Situs Internet


[1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia , Prenada Media , Jakarta, 2005, hal 55.
[2] http://jamalwiwoho.com/materi-kuliah/strata-2
[3] Gatot Supramono,  Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm 75.
[4]  M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 5.

[5] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm 291.

[6]  Soerjono Soekanto,  Pengantar Penelitian Hukum,  UI Press, Jakarta , 2008,  hlm 43.
[7]  Ibid. hlm 6.
[8] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 15.
[9]  Ibid. hlm 34.
[10] Soerjono Soekanto. Opcit. hlm 52.
[11] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2006,  hlm 338.
[12]  Ibid, hal .8.
[13] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia , Prenada Media , Jakarta, 2005, hlm 55.
[14] http://jamalwiwoho.com/materi-kuliah/strata-2
[15] Rachmadi Usman, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Grandmedia Pustaka Utama, Jakarta,    
    2001, hlm 236.
[16] http://jamalwiwoho.com/materi-kuliah/strata-2
[17] Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2005, hlm 29.
[18] Robert A. Hillman & Jeffrey J. Rachlinski, “Standard-Form Contracting in the Electronic Age, diakses 3 Mei 2012.
[19] Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 41.
[20] Ibid., hlm. 70.
[21]Chidir Ali, Badan Hukum, cet.II, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 6.
[22] Ibid., hlm. 3.
[23] Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,  hlm. 73.
[24] www.infobanknews.com/tag/djohan-suryana.

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus