02/10/15

PEMBAGIAN WARISAN ATAS HARTA PENCARIAN DI LINGKUNGAN ADAT MINANGKABAU | WARIS ADAT 3 {PAK SULASTRIYONO}


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia dimana orang dapat menjumpai masyarakat yang diatur menurut tertib hukum ibu, mulai dari lingkungan hidup yang kecil, dari keluarga, sampai kepada lingkungan hidup yang paling atas yaitu sebuah “nagari” sehingga dapat dilihat bahwa “faktor turunan darah menurut garis ibu” merupakan faktor yang mengatur organisasi masyarakatnya, walaupun dalam lingkungan yang terakhir disebutkan yaitu dalam nagari kita masih menjumpai adanya faktor pengikat lain. Kehidupan yang diatur menurut tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai kehidupan menurut adat.[1]
Hukum waris Minangkabau yang merupakan bahagian dari hukum adat yang banyak seluk beluknya karena pada satu pihak hukum waris Minangkabau merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, ia mempunyai sangkut paut dan dipengaruhi oleh hukum syarak (agama).[2] Sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, maka ahli waris menurut hukum adat Minangkabau dihitung dari garis ibu. Pengertian. Ahli waris ini akan muncul apabila telah ada harta peninggalan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia.
Pada masyarakat Minangkabau, harta peninggalan dapat berupa harta pusaka tinggi dan atau harta pusaka rendah (harta pencarian). Kalau yang dibicarakan harta pusaka tinggi, maka ahli warisnya ialah anggota-anggota keluarga dilihat dari garis ibu. Namun, kalau yang dibicarakan itu harta pusaka rendah (harta pencarian), maka kepada siapa harta itu diwariskan tergantung dari kemauan si meninggal pada masa hidupnya
Harta pencarian itu adalah harta pencarian suami- isteri sewaktu suami-isteri masih hidup di dalam tali perkawinan. Kebanyakan semasa mereka hidup harta pencarian itu telah dihibahkan kepada anak-anaknya yang apabila si orang tua meninggal, anak-anaknya tersebutlah yang menjadi ahli warisnya. Terhadap hibah ini, kerap terlihat, bila jumlah harta ini banyak dan nilainya besar, maka saudara ponakan dari si meninggal tadi tidak akan tinggal diam dan ingin memperoleh bagian dari harta tersebut, sehingga tidak jarang hal ini akan menimbulkan perselisihan.
Harta pencarian tersebut dapat terdiri dari harta yang sifatnya dapat dipindah-pindahkan seperti perhiasan, mobil, rumah dan lain-lain. Dan yang merupakan barang-barang tetap seperti sawah dan ladang.
Meskipun cara pewarisan antara hukum adat Minangkabau yang berdasarkan garis keturunan Ibu sangat bertolak belakang dengan kewarisan Islam yang pembagiannya berdasarkan garis kebapakan atau patrilineal. Hukum yang berlaku dalam pewarisan harta pencarian pada masyarakat Minangkabau, dapat dilihat dalam lingkungan pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama.[3] Pewarisan harta pencarian dapat dilihat dari dua segi yaitu segi siapa yang menerima harta warisan dan dari segi bagaimana cara kepemilikannya.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang ingin penulis kemukakan dalam makalah ini yaitu “Bagaimanakah Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian Di Lingkungan Adat Minangkabau?”


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Hukum Adat
Istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum (awam) sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung mempergunakan istilah “adat” saja. Penyebutan ini mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan. Adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu, setiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan lainnya tidak sama.
Pengertian hukum adat menurut para sarjana, yaitu : menurut Cristian Snouck Hurgronye “Hukum adat pada dasarnya dilaksanakan karena masyarakat memiliki semangat kekeluargaan dan masing-masing individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan yang disusun oleh kelompok masyarakat secara keseluruhan”.
Sedang menurut Cornellis Van Vollenhoven, Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di lain pihak tidak di kodifikasi.
Sementara menurut B. Ter Haar, Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta (spontan) dan ditaati sepenuh hati.
Menurut Soepomo, melihat pola dasar susunan terbentuknya masyarakat hukum, secara umum dapat digolongkan dalam bentuk pertalian suatu keturunan yang sama (genealogis) yang berdasar atas lingkungan daerah (teritorial) dan yang merupakan campuran dari keduanya (genealogis territorial)

B.       Adat Minangkabau
Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang terjadi. Namun ada bagian-bagian adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Adat yang sebenarnya adat, yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam kodrat Ilahi dan adat yang diadatkan yang dirumuskan berdasarkan kepada adat sebenarnya adat itu, termasuk kepada adat yang tidak mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya Kodrat Ilahi dan Wahyu Allah.
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah adat yang teradat dan adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh ninik pemuka adat sesuai dengan tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda dalam nagari yang satu dengan nagari lainnya.
Karena sifatnya yang tidak tertulis, adat ini dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan terhadap adat itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami perkembangan masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah
Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam Undang-Undang yang empat, yaitu :
  1. Undang-undang luhak dan rantau
Undang-undang luhak dan rantau mengatur tugas dan wewenang penghulu dan raja di tempat masing-masing. Keseluruhan daerah Minangkabau secara garis besar terbagi kepada dua bahagian yaitu luhak dan daerah rantau. Pengertian luhak (secara sempurna disebut luhak yang tiga) ialah daerah asal Minangkabau yang berada diselingkungan gunung merapi, yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota.
Dalam pengertian geografis adaministratif sekarang luhak itu disebut juga dengan kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar dari negeri-negeri. Setiap negeri mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai rakyat sebagai anggota masyarakat dan kekayaan sendiri dalam bentuk tanah ulayat negeri serta mempunyai pimpinan sendiri. Sebuah negeri telah merupakan suatu masyarakat hukum yang keluar merupakan suatu kesatuan dengan tata adat istiadat sendiri.


Pengertian rantau menurut asalnya berlaku bagi pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah diluar tempat asal. Dalam pengertian Minangkabau, rantau berarti daerah Minangkabau yang berada diluar luhak yang tiga. Pada hakikatnya rantau adalah daerah perluasan dari luhak yang tiga dalam usaha menampung perkembangan anggota yang berada dalam luhak itu.
  1. Undang-undang negeri
Undang-undang negeri, yaitu ketentuan yang mengatur susunan masyarakat dalam negeri, syarat terjadinya negeri dan kelengkapan suatu negeri. Setiap negeri mempunyai penduduk yang antara sesamanya terikat dalam suatu kesatuan genealogis yang disebut suku. Lingkungan itu baru sah disebut negeri bila terdapat didalamnya empat kesatuan genealogis yang berbeda.
  1. Undang-undang dalam negeri
Undang-undang dalam nagari atau disebut juga undang-undang isi negeri yaitu ketetuan yang mengatur anak negeri dan sesamanya. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, bidang pidana dan bidang ekonomi.
  1. Undang-undang dua puluh
Undang-undang yang dua puluh menyangkut berbagai bentuk kjahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatan- kejahatan serta cara pembuktian. Undang-undang ini terbagi dua yaitu delapan diantaranya mengenai hukum materil dan dua belas lainnya menyangkut cara pembuktian.
Hukum adat Minangkabau memiliki perpaduan yang sangat selaras dengan hukum Islam.dimana dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Adat keseluruhan yang diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi Hukum Islam.
  2. Hukum Islam merubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam menggantikan hukum adat dan hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.

  3. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya kedalam hukum Islam. Hal ini umumnya berlaku pada bidang muamalat dalam arti yang umum tidak dalam bidang akidah, karena akidah harus didasrkan dengan dalil yang kuat, tidak pila pada bidang ibadat karena ibadat harus didasarkan kepada petunjuk yang nyata.

C.      Hukum Kewarisan Adat
Syarat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh hubungan darah dan perkawinan. Pada tahap pertama, seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya itu. Hal ini tidak dapat dibantah karena sia anak keluar dari rahim ibunya tersebut. Oleh karena itu hubungan yang terbentuk ini adalah alamiah sifatnya.
Dengan berlakunya hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ibunya, maka berlaku pula hubungan kekerabatan itu dengan orang-orang yang dilahirkan oleh ibunya itu. Dengan begitu secara dasar terbentuklah kekerabatan menurut garis ibu (matrilineal).[4]
Berdasarkan hubungan perkawinan, maka seorang istri adalah ahli waris suaminya dan suami adalah ahli waris bagi istrinya. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan istri dengan didasarkan telah dilangsungkan antara keduanya akad nikah yang sah.
Pengertian sah menurut hukum Islam adalah telah dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditentukan serta terhindar dari segala sesuatu yang menghalangi.
  1. Asas-asas Hukum Kewarisan
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. [5]
Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi berikutnya. Penegrtian keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan.[6]
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul cirri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam kewarisan.
  1. Ahli waris
Pengertian ahli waris disini adalah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai. Menurut adat Minangkabau pemegang harta secara praktis adalah perempuan karena ditangannya terpusat kekerabatan matrilineal.[7]
Dalam beberapa literatur tradisional adat yaitu tambo dijelaskan bahwa menurut asalnya warisan adalah untuk anak sebagaimana berlaku dalam kewarisan bilateral atau parental. Perubahan ke sistem matrilineal berlaku kemudian suatu sebab tertentu.
Ahli waris atas harta pencaharian seseorang yang tidak mempunyai anak dan istri adalah ibunya. Kalau ibu sudah tidak ada, maka hak turun kepada saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya kepada ponakan yang semuanya berada dirumah ibunya.[8]
Sedangkan ahli waris terhadap harta pencaharian seorang perempuan adalah kaumnya yang dalam hal ini tidak berbeda antara yang punya anak dengan yang tidak mempunyai anak. Perbedaannya hanya antara yang dekat dengan yang jauh. Kalau sudah mempunyai anak, maka anaknya yang paling dekat.[9] Seandainya belum punya anak, maka yang paling dekat adalah ibunya, kemudian saudaranya serta anak dari saudaranya.
Adat Minangkabau tidak mengakui kewarisan istri terhadap harta mendiang suaminya begitu pula sebaliknya.[10] Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa harta tidak boleh beralih keluar kaum, sedangkan suami atau istri berada diluar lingkungan kaum berdasarkan perkawinan eksogami. Namun dalam perkembangannya, setelah Islam masuk ke Minangkabau barulah dikenal hak kewarisan janda atau duda, itupun tertentu pada harta pencaharian.
  1. Cara-cara Pewarisan
Cara-cara pewarisan yang dimaksud ialah proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris dalam pengertian adat Minangkabau lebih banyak berarti proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli waris dalam hal yang menyangkut penguasaan harta pusaka. Cara-cara peralihan itu lebih banyak tergantung kepada macam harta yang akan dilanjutkan dan macam ahli waris yang akan melanjutkannya. Pewarisan harta ini di Minangkabau terbagi atas :
a.        Pewarisan harta pusaka
Harta adalah harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota kaum secara kolektif pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu.
Penerusan harta atau peranan pengurusan atas harta pusaka hanya menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum dimasuki unsur harta pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka rendah. Bila harta pusaka telah tercampur antara pusaka tinggi dan pusaka rendah maka timbul kesukaran.
Timbulnya kesukaran ini ialah karena adanya pemikiran bahwa harta pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan oleh keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah lain walaupun antara kedua rumah itu terlingkup dalam pengertian satu kaum dalam artian yang lebih luas.
b.      Pewarisan harta bawaan
Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh seorang suami kerumah istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil pencarian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan atau hibah yang diterimanya dalam masa perkawinan dan harta kaum dalam bentuk hak pakai genggam beruntuk yang telah berada ditangan suami menjelang kawin atau didapatnya hak tersebut dalam masa perkawinan.
Kedua macam harta bawaan itu, karena timbul diluar usaha suami istri, adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri didalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan berlakulah ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”.
Pengertian harta bawaan kembali ialah pulangnya harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum dari suami. Tentang kembalinya harta yang berasal dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta pusaka itu hanya dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum. Sebagaimana layaknya, harta pinjaman kembali ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang berasal dari hasil pencarian pembujangan si suami sebelum kawin juga kembali kepada kaum sebagaimana harta pencaharian seseorang yang belum kawin. Bila dibandingkan status kedua bentuk harta itu, maka pada harta pusaka, hak kaum didalamnya lebih nyata sedangkan pada harta pencaharian, adanya hak kaum lebih kabur. Oleh karena itu pada bentuk yang kedua ini lebih banyak menimbulkan sengketa. Pada bentuk yang pertama sejauh dapat dibuktikan bahwa harta itu adlaah harta pusaka, pengadilan menetapkan kembalinya harta itu kepada kaum dari suami.
c.       Pewarisan harta tepatan
Yang dimaksud dengan harta tepatan atau harta dapatan ialah harta yang telah ada pada istri pada waktu suami kawin dengan istri itu. Harta yang didapati oleh suami di rumah istri itu dari segi asal-usulnya ada dua kemungkinan yaitu harta pusaka yang ada di rumah itu dan harta hasil usahanya sendiri.
Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak-anaknya kalau ia telah meninggal. Perbedaannya ialah bahwa harta hasil usahanya adalah untuk anak-anaknya saja, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya, juga merupakan hak bagi saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya bersama dengan saudara-saudaranya.
Bila si suami meninggal, maka harta tersebut tidak akan beralih keluar dari rumah istrinya itu. Kaum si suami tidak berhak sama sekali atas kedua bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama ini hanyalah mengusahakan harta itu yang hasilnya telah dimanfaatkannya bersama dengan keluarga itu. Suami sebagai pendatang, karena kematiannya itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap harta yang sudah ada di rumah si istri waktu ia datang kesana.
d.      Pewarisan harta pencarian
Harta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk menambah harta pusaka yang telah ada. Dengan demikian, harta pencarian menggabung dengan harta pusaka bila yang mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan menggabungkannya dengan harta pusaka, dengan sendirinya diwarisi oleh generasi ponakan.
Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seseorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya perubahan ini, maka harta pencaharian ayah turun kepada anaknya. Dalam penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada anak itu, diperlukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu. Adakalanya harta pencarian itu milik kaum namun adakalanya pula harta pencarian itu merupakan hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencarian secara murni. Dalam keadaan demikian tidak mungkin seluruh harta pencarian itu diwarisi oleh anak. Dalam bentuk yang kabur ini maka berlaku cara pembagian menurut alur dan patut.
Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh anak. Bila harta pencarian tercampur langsung dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang didalamnya hanya terdapat unsur harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak ponakan pasti terdapat didalamnya, hanya kabur dalam pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh karena tidak adanya kepastian tentang pemilikkan harta itu, sering timbul sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan. Ponakan menganggap harta itu adalah harta pusaka kaum sedangkan si anak menganggap harta adalah harta pencarian dari ayahnya. Penyelesaian biasanya terletak pada pembuktian asal usul harta itu.
e.       pewarisan harta bersama
Yang dimaksud harta bersama disini ialah harta yang didapat oleh suami istri selama ikatan perkawinan. Harta bersama ini dipisahkan dari harta bawaan yaitu yang dibawa suami kedalam hidup perkawinan dan harta tepatan yang didapati si suami pada waktu ia pulang ke rumah istrinya itu wa;aupun sumber kekayaan bersama itu mungkin pula berasal dari kedua bentuk harta tersebut. Harta bersama dapat ditemukan secara nyata bila sisuami berusaha dilingkungan istrinya, baik mendapat bantuan secara langsung dari istrinya atau tidak. Dengan demikian hasil usaha suami diluar lingkungan si istri dalam keluarga yang tidak, disebut harta bersama.

D.      Harta Pencarian
1.      Pemisahan harta pencarian dari Harta Pusaka
Harta Pusaka sebagai unsur pokok dalam organisasi kekerabatan Matrilineal Minangkabau menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang yang mula-mula mendiami suatu tempat. Ditempat itu mereka mengolah hutan tinggi menjadi tanah pertanian dan perumahan. Di tempat itu pula mereka mendirikan tempat tinggal untuk keluarganya.
Pengertian keluarga menurut sistem Matrilineal, terbatas pada ibu dan anak-anaknya, baik laki-laki atau perempuan, berikutnya kebawah bersama anak-anak dari anak perempuannya. [11]
Keseluruhannya berada dalam satu lingkungan tempat tinggal dalam bentuk rumah gadang. Harta yang diperoleh oleh ibu itu dipergunakan untuk kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan menjadi milik bersama bagi seluruh anggota tersebut.[12]
Di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk harta. Pertama, harta yang sudah ada yang dipeolehnya sebagai peninggalan generasi sebelumnya dirumah itu. Harta tersebut disebut harta pusaka dalam arti yang sebenarnya. Kedua, harta yang didapatnya sendiri melalui hasil usahanya. Harta yang demikian kemudian disebut harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah kelihatan bentuk harta pencaharian, namun harta pencaharian itu masih terkait secara rapat dengan harta pusaka.
Terkaitnya harta pencarian dengan harta pusaka pada waktu itu adalah karena seluruh harta pencarian itu berasal dari harta kaum. Dari segi penggunaan tidak ada perbedaan antara harta yang didapat melalui pusaka dengan yang didapat melalui usaha sendiri. Keduanya dipergunakan untuk kepentingan anggota matrilinealnya.
Pada bentuknya yang pertama yaitu harta pusaka memang digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Dalam bentuknya yang kedua yaitu harta pencarian, karena modalnya dari harta pusaka, maka wajarlah digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya itu. Ditinjau dari segi lain, adat tidak memberati seseorang untuk membiayai anggota yang berada diluar lingkungan rumah ibunya itu, termasuk anak istrinya. Oleh karena itu tidak ada yang mendorong seseorang untuk membawa harta itu keluar dari lingkungan kaumnya.
Ada beberapa hal yang masih menyebabkan seseorang merasa belum perlu untuk membawa harta hasil pencariannya keluar dari rumah ibunya, yang hal tersebut erat kaitannya dengan sistem matrilineal itu sendiri yaitu pertama sikap dan rasa keterikatan seseorang dalam lingkungan keluarga matrilinealnya hal ini disebabkan oleh keberadaannya dilingkungan keluarga ibu dalam waktu yang lama. Kedua, sebagai pendatang ia hidup dilingkungan rumah istrinya dalam waktu yang sedikit sekali karena sebagian besar waktunya sudah dipergunakan dirumah ibunya. Hal tersebut itdak menimbulkan keintiman dan kasih sayang timbal balik antara dirinya dengan anak dan istrinya.
Bila seseorang laki-laki belum merasa perlu untuk membawa harta pencariannya keluar lingkungannya maka tidak ada pula dorongan untuk memisahkan pencariannya dari harta pusaka karena keduanya dipergunakan untuk keperluan yang sama yaitu untuk kehidupan keluarga dirumah ibunya.
Terpisahnya pengertian harta pencarian dari harta pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak Islam masuk di Minangkabau. Hal yang demikian merupakan pengaruh langsung dari Hukum Islam. Harta pusaka tidak dapat dipergunakan untuk membiayai anak istri, maka untuk keperluan itu harus dicarikan dari luar lingkungan harta pusaka. Dengan demikian timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencarian dari harta pusaka.
Adanya pemisahan harta pencarian itu merupakan titik awal dari pemilikkan perorangan dalam harta di Minangkabau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pemilikkan perorangan tersebut. Diantaranya yang dianggap pokok adalah sistem ekonomi modern yang menyebabkan seseorang berusaha diluar harta pusaka.[13]


Namun dalam hal pemisahan harta pencarian itu, faktor kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak sebagai pengaruh ajaran Islam lebih menentukan. Adanya pemisahan harta pencarian itu menyebabkan timbulnya pengakuan akan adanya hak anak pada harta tersebut. Tetapi sesampainya hasil pencarian itu menjadi hak penuh bagi seseorang laki-laki yang mendapatkannya untuk kemudian diwariskannya kepada anak-anaknya memerlukan waktu yang panjang.
Terpisahnya harta pencarian seseorang dari harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur. Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan harta pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si laki-laki untuk berusaha, karena ia meyakini apa yang diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk kepentingan keluarganya sendiri. Segi kelemahan dari kebebasan pribadi dalam harta pencaharian ialah tidak terjaminnya kelestarian harta itu, karena bila seseorang bebas dalam memanfaatkan harta yang diperolehnya, juga bebas untuk bertindak mengalihkan harta tersebut.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian di Lingkungan Adat Minangkabau
Kerapatan Adat Nagari ini adalah salah satu usaha untuk memperkuat peran Ninik Mamak masyarakat Minangkabau terutama di Kecamatan Lubuk Kilangan. Ninik Mamak oleh masyarakat Minangkabau mempunyai peran yang sangat penting dalam kehicdupan sehari-hari. Kerapatan Adat Nagari ini memiliki berbagai fungsi yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa di bidang warisan.
Kerapatan Adat Nagari ini berdiri di setiap Kecamatan. Sistem yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari Kerapatan Adat Nagari ini tergantung kelahiran dan suku yang ada pada kecamatan tersebut. Kerapatan Adat Nagari yang dibentuk beranggotakan “Tungku Tigo Sajarangan” yang merupakan perwakilan masyarakat yang ada di Kecamatan yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual), dan ninik mamak para pemimpin suku dalam Kecamatan. Setiap suku diwakili oleh para pengulu sukunya di Kerapatan Adat Nagari ini. Semua permasalah yang ada diselesaikan secara “bajanjang naik batanggo turun”, artinya, setiap permasalahan yang ada diselesaikan mulai dari bawah, bila tidak ditemukan pemecahannya baru di bawa ke Kerapatan Adat Nagari. Namun apa yang diputus di Kerapatan adat Nagari tidak memiliki kekuatan formal.
Kerapatan Adat Nagari Lubuk Kilangan terdiri dari enam suku, yaitu suku koto, suku sipanjang, suku tanjung, suku jambak, suku melayu dan suku caniago. Berarti, di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Kilangan ini memiliki 6 (enam) orang Penghulu yang bertindak sebagai Mamak Kepala Waris dalam hal pembagian harta warisan. Penghulu ini dipilih oleh anggota suku sesuai dengan criteria yang sudah ditentukan.
Harta peninggalan yang turun temurun diperoleh dari nenek moyang tidak dapat dibagi, jadi ahli waris harus menerima secara utuh. Harta peninggalan yang tidak dibagi ini oleh masyarakat Minangkabau disebut juga dengan Harta Pusaka Tinggi, seperti yang sudah disebutkan oleh bab sebelumnya. Setiap anak menjadi anggota dalam kompleks famili yang memiliki harta pusaka. Jika jumlah anggota famili ini terlalu besar, maka anggota famili tersebut akan dibagi menjadi dua famili yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga harta pusaka tersebut juga dibagi menjadi dua bagian. Hal yang demikian disebut dengan istilah gadang manyimpang”. Masing-masing famili mempunyai harta pusaka sendiri yang tidak boleh dibagikan kepada para anggotanya.
Anggota famili hanya boleh menikmati harta pusaka tersebut secara bersama-sama. Namun, jika si anggota famili memiliki harta sendiri yang ia dapat pada masa hidupnya, maka harta inilah yang disebut harta pencarian “pusaka rendah”. Harta pencarian yang akan dibahas pada bab ini adalah harta pencarian yang dimiliki suami-istri sepanjang melangsungkan perkawinan. Pewarisan harta pencarian dapat dilihat dari dua segi, yaitu :
1.      Pihak yang menerima harta warisan
Harta pencarian yang tidak tersangkut di dalamnya harta pusaka di warisi oleh anak-anak dan istrinya. Kesimpulan tersebut diperoleh Penuls dari hasil wawancara terhadap responden yang sudah ditentukan, yaitu orang-orang yang pernah membagi warisan dan mamak kepala waris. Di Minangkabau, pada saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa pewarisan harta pencarian diatur dengan hukum Islam dengan tidak mengenyampingkan aturan pembagian warisan Minangkabau secara Matrilineal.
Dikatakan tidak mengenyampingkan karena harta pencarian pewaris yang meninggal dunia akan tetap disisihkan untuk para ponakannya sebagai tanda bahwa si ponakan memiliki “mamak” yang tetap memikirkan kelangsungan hidup ponakannya meskipun ia sudah meninggal dunia.
Bila terjadi sengketa perebutan harta warisan yang berasal dari harta pencarian, khususnya di Kecamatan Lubuk Kilangan masalah ini akan tetap dianggap masalah adat bila para pihak yang bersengketa menyelesaikan masalah tersebut di Lembaga Kerapatan Adat Nagari, bila masalah ini di bawa ke Pengadilan maka para pemangku adat di Kecamatan ini menganggap masalah tersebut adalah masalah perdata murni bukan lagi masalah waris adat yang harus diselesaikan di Lembaga Kerapatan Adat Nagari yang sudah disediakan.
Perbedaan tingkat pendidikan mayarakat yang tinggal di Kecamatan lubuk Kilangan juga mempengaruhi dalam pembagian harta pencarian tersebut. Masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan formal yan lebih tinggi menganggap aturan adat terhadap pembagian harta pencarian bukanlah suatu hal yang kaku. Mereka menganggap adat adalah suatu yang fleksibel yang mampu menerima pembaruan sepanjang tidak merubah dasar- dasar hukum adat yang sudah digariskan oleh nenek moyang.
Jadi, pewarisan harta pencarian itu sebagian besar sudah berdasarkan hukum Islam dimana istri dan anak adalah pewaris utama yang harus diperhitungkan.
2.      Cara Pemilikan Harta Warisan
Bila pada penentuan ahli waris yang berhak atas harta pencarian terdapat pernyataan mayoritas bahwa adalah anak dan istri adalah orang yang berhak atas harta pencarian, maka kalau dilihat dari cara anak dan istri itu memiliki harta warisan atas harta pencarian terdapat variasi.
Mamak kepala waris sebagai orang yang mengikuti penyelesaian harta warisan diperoleh data bahwa harta warisan oleh ahli waris diterima secara hukum Islam. Terhadap harta pusaka tinggi bahwa pewarisan bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi peralihan pengurus terhadap harta pusaka tersebut. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan sistem peralihan harta antara harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah yang dikenal sebagai harta pencarian.
Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas harta pencarian ini, pihak keluarga mengundang alim ulama yang dianggap lebih mengetahui cara pembagian warisan menurut hukum faraid atau secara hukum Islam. Alim ulama yang dimaksud dalam kesehariannya yaitu hakim pengadilan agama, namun pembagian tersebut tidak dibawa ke Pengadilan Agama karena kalau masalah tersebut sampai dibawa ke Pengadilan maka pembagian warisan tersebut dianggap bukanlah sebagai masalah adat dan diantara para pihak merasa tidak perlu membawa ke Pengadilan karena tidak ada sengketa diantara mereka.
Namun pada kenyataannya, masyarakat Minangkabau yang bermukim di Kecamatan Lubuk Kilangan ini yang tingkat pendidikannya masih rendah, menganggap bahwa harta warisan itu bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibagi setelah pewarisnya meninggal. Harta warisan itu lebih bermanfaat jika dinikmati bersama. Dari data yang penulis peroleh, harta warisan yang sudah tiga turunan tidak dibagi maka akan masuk kedalam golongan harta pusaka. Mereka tidak memikirkan dampak dari pikiran komunal yang mereka miliki untuk dikemudian hari.

B.     Kendala yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian Dalam Lingkungan Adat Minangkabau.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelaksaan pembagian warisan atas harta pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau dipengaruhi oleh Hukum Kewarisan Islam. Tentang sejauh mana pelaksanaannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum Faraid dalam bentuknya murni, ternyata dari hasil penelitian bahwa Hukum Kewarisan Islam atau Faraid dalam kualitas yang sempurna sudah berlaku di Minangkabau tetapi dari segi kuantitas belum merata di seluruh umat Islam. Hal ini bararti bahwa Faraid yang dalam bentuk yang murni yaitu yang sesuai dengan apa yang telah dijabarkan oleh para mujtahid yang selama ini kita ikuti telah berlaku. Tetapi tidak semua umat Islam melakukannya menurut cara tersebut.
Sebaliknya secara kuantitas umat Islam Minangkabau telah melaksanakan Hukum Kewarisan Islam, tetapi dalam kualitas yang belum sempurna, dengan arti secara prinsip seluruh umat Islam Minangkabau telah melaksanakan perintah agama dalam hal kewarisan, tetapi dalam pelaksanaanya menggunakan pertimbangan hingga tidak seluruhnya persis seperti apa yang sudah diatur hukum Faraid.


Hal ini berarti hukum Faraid dilaksanakan dengan mempertimbangkan keadaan dan lingkungan setempat sejauh tidak melanggar hal yang bersifat prinsip ajaran agama.
Faktor yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pembagian warisan atas harta pencarian ini adalah :
a.       Faktor adat
Islam telah lama masuk di lingkungan adat Minangkabau. Dalam perkembangannya secara bertahap hukum Islam telah banyak mengubah dan menyempurnakan tata susunan adat lama. Islam telah memperkenalkan susunan kekeluargaan baru dalam bentuk keluarga inti yang pada saat ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Minangkabau. Islam sudah mengubah tata adat yang menyangkut harta pusaka dengan memberi arti khusus pada harta pencarian dan memisahkan harta pencarian tersebut sari harta pusaka. Islam juga telah mengubah bentuk kewarisan dengan membawanya beralih keluar lingkungan rumah gadang dan menyatakan anak berhak atas harta pencarian orang tuanya.
Pelaksaan hukum kewarisan Islam dalam bentuknya sekarang ini diantaranya adalah karena pengaruh adat yang pada saat ini masih kuat. Pengaruh adat masih terasa kuat dalam kehidupan nyata ialah pemikiran dalam hal mendapatkan dan menggunakan harta. Pernyataan untuk mendapatkan harta secara kolektif masih terlihat jelas dalam pemilikan dan penggunaan harta pusaka. Sampai saat ini, asas matrilineal kolektif masih berlaku terhadap harta pusaka.
Cara pengurusan harta pusaka yang berbentuk kolektif atau pemilikan bersama atas harta warisan itu sangat berpengaruh terhadap harta pencarian. Yang berubah hanya orang yang berhak menerima warisan dari harta pencarian, namun pengurusan dan pembagian terhadar harta pencarian masih dipengaruhi budaya kolektif sehingga hukum Faraid tidak sepenuhnya terlaksana.
Tentang bagaimana cara pembagiannya, karena menyangkut matematis tidak banyak yang dapat mengetahuinya. Oleh karena itu pelaksanaan pembagian warisan menurut perincian sebenarnya dari ilmu faraid belum merata dapat mereka jalankan. Di samping kekurangan pengertian itu mereka juga merasa tidak perlu untuk meminta pihak yang mengetahuinya untuk membantu menyelesaikannya, selama dalam keluarga sendiri tidak terdapat perbedaan pendapat. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan pihak yang pernah membagi warisan dimana sedikit sekali yang melibatkan pihak luar. Yang terbanyak adalah menyelesaikannya dalam keluarga atau tidak dibagi sama sekali.
b.      Faktor Hubungan Kekeluargaan dan Ekonomi
Yang dimaksud dengan faktor hubungan kekeluargaan di sini ialah perasaan dari anggota keluarga untuk hidup dalam persatuan yang kompak. Dalam hubungannya dengan harta warisan, hal ini berarti bahwa warisan itu jangan sampai mengurangi atau menghilangkan kekompakan mereka. Ada anggapan dari sebagian orang yang mengalami peristiwa pembagian harta warisan bahwa bila harta itu dibagi- bagi secara terpisah dalam bentuk pembagian yang pasti maka akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis karena pembagian materi dapat membawa ketidakpuasan dikalangan ahli waris terhadap ahli waris lainnya.
Anggapan demikian berpengaruh terhadap pemikiran mereka dalam menyelesaikan pembagian harta warisan. Untuk menjaga keutuhan keluarga, mereka merasa tidak perlu untuk mengadakan pembagian harta warisan. Hal inilah yangakan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Bila warisan terhadap harta pencarian itu tidak dibagi pada waktunya dan sesuai bagian seharusnya, maka pada masa yang akan datang, terhadap ahli waris yang merasa keadaan ekonominya dibawah keadaan ekonomi ahli waris lainnya, ia akan menuntut haknya atas bagian harta warisan tersebut. Sehingga hal ini akan menimbulkan konflik diantara para ahli waris.


BAB IV
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
Masyarakat Minangkabau khususnya yang bermukim di Kecamatan Lubuk Kilangan masing kurang mengerti tentang perincian pembagian warisan atas  harta pencarian di kalangan ahli waris sebagaimana dikehendaki oleh Hukum Faraid, maka para ahli waris yang ada tidak menyadari secara pasti jumlah hak sebenarnya yang mereka terima. Yang mereka sadari secara jelas hanya mereka sebagai ahli waris dan berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Cara pengurusan dan pemilikan harta masih banyak memakai sistem kolektif. Hubungan kekeluargaan juga  sangat mempengaruhi terhadap proses pembagian warisan atas harta pencarian. Maka dalam  menyampaikan pengajian saat ini sudah banyak alim ulama yang memberikan materi mengenai pembagian warisan munurut Faraid ini. Hal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk menyampaikan ilmu tersebut, karena bahasa pengajian akan lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat terutama oleh masyarakat yang pendidikannya rendah.

B.     Saran
Pakar Hukum Islam dan Lembaga Kerapatan Adat Nagari dapat menyadari fungsi dan keberadaan masing-masing sehingga masyarakat dapat benar-benar memahami ilmu Faraid yang terkandung dalam pembagian warisan harta warisan terhadap harta pencarian di Minagkabau dan dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau.


DAFTAR PUSTAKA

Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau,   Rieneka Cipta, Jakarta, 1997

Datuk  Maruhun  Batuah,  Hukum  Adat  dan  Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta, 1990

DH.  Bagindo  Tanameh,  Hukum  Adat  dan  Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990

Hazairin,   Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas, Jakarta, 1976

I. Gede  A.B.Wiranata,  Hukum  Adat  Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa, P. T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Iskandar Kamal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal Bilateral di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies    Padang, 1988

Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara, CV. Rosda, Bandung, 1978

Kamaluddin ibnu al Humam, Fathu al Qadir IX, Mustafa al Babi, Mesir, 1970.

Kuntjaraningrat, Skema dari Pengertian-Pengertian Untuk Mengenal Sistem Kekerabatan, Laporan   Hasil   Kongres   Ilmu Pangetahuan Nasional, Jakarta

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Editor), Metode Penelitian Survai (Edisi Revisi), Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan dan Sosial, Jakarta, 1995, halaman 263

Nasrun. Hukum Waris dan Hukum Tanah, dalam Muchtar Naim, Menggali Hukum   Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau, Center For  Minangkabau Studies, Padang 1968

Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Sri Darma, Padang, 1971

Soekanto,  Meninjau  Hukum  Adat  Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980

Suryono Sukanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bharata, Jakarta, 1977

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989


[1] Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997, halaman 1
[2] Ibid, halaman 88
[3] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan hukum Kewarisan Islam Dalam lingkungan Adat Minangkabau Gunung Agung, Jakarta, 1990, halaman 291
[4]Kuntjaraningrat, Skema dari Pengertian-Pengertian Baru untuk Mengenal Sistim Kekerabatan, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, Jakarta, halaman 443
[5] Iskandar Kamal , Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies, Padang, 1988, halaman 153
[6] Hazairin , Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas, Jakarta, 1976, halaman 14
[7] DH. Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990, halaman 48
[8] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989, halaman 212
[9] Ter Haar, Op cit, Halaman 197
[10] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980, halaman 122
[11] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas, Jakarta, 1976, hal. 6
[12] Ibid., hal. 197
[13] B.Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Sumur Bandung, Bandung, 1980 hal.95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar