BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Minangkabau adalah suatu tempat di Indonesia dimana
orang dapat menjumpai masyarakat yang diatur menurut tertib hukum ibu, mulai
dari lingkungan hidup yang kecil, dari keluarga, sampai kepada lingkungan hidup
yang paling atas yaitu sebuah “nagari” sehingga dapat dilihat bahwa “faktor
turunan darah menurut garis ibu” merupakan faktor yang mengatur organisasi
masyarakatnya, walaupun dalam lingkungan yang terakhir disebutkan yaitu dalam nagari
kita masih menjumpai adanya faktor pengikat lain. Kehidupan yang diatur menurut
tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah sehari-hari sebagai
kehidupan menurut adat.[1]
Hukum waris Minangkabau yang merupakan bahagian dari
hukum adat yang banyak seluk beluknya karena pada satu pihak hukum waris
Minangkabau merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib susunan menurut
hukum ibu, akan tetapi pada pihak lain, ia mempunyai sangkut paut dan dipengaruhi
oleh hukum syarak (agama).[2]
Sesuai dengan tertib susunan menurut hukum ibu, maka ahli waris menurut hukum adat
Minangkabau dihitung dari garis ibu. Pengertian. Ahli waris ini akan muncul apabila
telah ada harta peninggalan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal
dunia.
Pada masyarakat Minangkabau, harta peninggalan dapat
berupa harta pusaka tinggi dan atau harta pusaka rendah (harta pencarian).
Kalau yang dibicarakan harta pusaka tinggi, maka ahli warisnya ialah
anggota-anggota keluarga dilihat dari garis ibu. Namun, kalau yang dibicarakan
itu harta pusaka rendah (harta pencarian), maka kepada siapa harta itu
diwariskan tergantung dari kemauan si meninggal pada masa hidupnya
Harta pencarian itu adalah harta pencarian suami-
isteri sewaktu suami-isteri masih hidup di dalam tali perkawinan. Kebanyakan
semasa mereka hidup harta pencarian itu telah dihibahkan kepada anak-anaknya
yang apabila si orang tua meninggal, anak-anaknya tersebutlah yang menjadi ahli
warisnya. Terhadap hibah ini, kerap terlihat, bila jumlah harta ini banyak dan
nilainya besar, maka saudara ponakan dari si meninggal tadi tidak akan tinggal diam
dan ingin memperoleh bagian dari harta tersebut, sehingga tidak jarang hal ini
akan menimbulkan perselisihan.
Harta pencarian tersebut dapat terdiri dari harta
yang sifatnya dapat dipindah-pindahkan seperti perhiasan, mobil, rumah dan lain-lain.
Dan yang merupakan barang-barang tetap seperti sawah dan ladang.
Meskipun cara pewarisan antara hukum adat
Minangkabau yang berdasarkan garis keturunan Ibu sangat bertolak belakang
dengan kewarisan Islam yang pembagiannya berdasarkan garis kebapakan atau
patrilineal. Hukum yang berlaku dalam pewarisan harta pencarian pada masyarakat
Minangkabau, dapat dilihat dalam lingkungan pengadilan, baik pengadilan negeri
maupun pengadilan agama.[3]
Pewarisan harta pencarian dapat dilihat dari dua segi yaitu segi siapa yang
menerima harta warisan dan dari segi bagaimana cara kepemilikannya.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
permasalahan yang ingin penulis kemukakan dalam makalah ini yaitu “Bagaimanakah
Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta
Pencarian Di Lingkungan Adat Minangkabau?”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum
Adat
Istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum (awam)
sangat jarang dijumpai. Masyarakat cenderung mempergunakan istilah “adat” saja.
Penyebutan ini mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang
pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan. Adat
merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan jiwa bangsa bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu, setiap
bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan
lainnya tidak sama.
Pengertian hukum adat menurut para sarjana, yaitu :
menurut Cristian Snouck Hurgronye “Hukum
adat pada dasarnya dilaksanakan karena masyarakat memiliki semangat kekeluargaan
dan masing-masing individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan yang disusun
oleh kelompok masyarakat secara keseluruhan”.
Sedang menurut Cornellis Van Vollenhoven, Hukum adat adalah aturan perilaku yang
berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu
pihak mempunyai sanksi dan di lain pihak tidak di kodifikasi.
Sementara menurut B. Ter Haar, Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma
dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai kewibawaan
serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta (spontan) dan ditaati sepenuh hati.
Menurut Soepomo, melihat pola dasar susunan
terbentuknya masyarakat hukum, secara umum dapat digolongkan dalam bentuk
pertalian suatu keturunan yang sama (genealogis) yang berdasar atas lingkungan
daerah (teritorial) dan yang merupakan campuran dari keduanya (genealogis
territorial)
B. Adat
Minangkabau
Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu
perubahan yang terjadi. Namun ada bagian-bagian adat yang mengalami perubahan
dan ada pula yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Adat yang sebenarnya
adat, yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam kodrat Ilahi dan adat yang diadatkan
yang dirumuskan berdasarkan kepada adat sebenarnya adat itu, termasuk kepada
adat yang tidak mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya
Kodrat Ilahi dan Wahyu Allah.
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah adat
yang teradat dan adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh ninik pemuka
adat sesuai dengan tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat
seperti ini dapat berbeda dalam nagari yang satu dengan nagari lainnya.
Karena sifatnya yang tidak tertulis, adat ini dapat
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan terhadap adat
itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian adat itu
yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami perkembangan
masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah
Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam Undang-Undang
yang empat, yaitu :
- Undang-undang luhak dan rantau
Undang-undang luhak dan rantau mengatur tugas dan
wewenang penghulu dan raja di tempat masing-masing. Keseluruhan daerah
Minangkabau secara garis besar terbagi kepada dua bahagian yaitu luhak dan
daerah rantau. Pengertian luhak (secara sempurna disebut luhak yang tiga) ialah
daerah asal Minangkabau yang berada diselingkungan gunung merapi, yaitu Luhak
Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota.
Dalam pengertian geografis adaministratif sekarang luhak
itu disebut juga dengan kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar dari negeri-negeri.
Setiap negeri mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai rakyat sebagai anggota masyarakat
dan kekayaan sendiri dalam bentuk tanah ulayat negeri serta mempunyai pimpinan sendiri.
Sebuah negeri telah merupakan suatu masyarakat hukum yang keluar merupakan
suatu kesatuan dengan tata adat istiadat sendiri.
Pengertian rantau menurut asalnya berlaku bagi
pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah diluar tempat asal.
Dalam pengertian Minangkabau, rantau berarti daerah Minangkabau yang berada diluar
luhak yang tiga. Pada hakikatnya rantau adalah daerah perluasan dari luhak yang
tiga dalam usaha menampung perkembangan anggota yang berada dalam luhak itu.
- Undang-undang negeri
Undang-undang negeri, yaitu ketentuan yang mengatur
susunan masyarakat dalam negeri, syarat terjadinya negeri dan kelengkapan suatu
negeri. Setiap negeri mempunyai penduduk yang antara sesamanya terikat dalam suatu
kesatuan genealogis yang disebut suku. Lingkungan itu baru sah disebut negeri
bila terdapat didalamnya empat kesatuan genealogis yang berbeda.
- Undang-undang dalam negeri
Undang-undang dalam nagari atau disebut juga
undang-undang isi negeri yaitu ketetuan yang mengatur anak negeri dan
sesamanya. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, bidang pidana dan bidang
ekonomi.
- Undang-undang dua puluh
Undang-undang yang dua puluh menyangkut berbagai
bentuk kjahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan sanksi tertentu, bukti
terjadinya kejahatan- kejahatan serta cara pembuktian. Undang-undang ini
terbagi dua yaitu delapan diantaranya mengenai hukum materil dan dua belas lainnya
menyangkut cara pembuktian.
Hukum adat Minangkabau memiliki perpaduan yang
sangat selaras dengan hukum Islam.dimana dapat digambarkan sebagai berikut :
- Adat keseluruhan yang diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya menjadi Hukum Islam.
- Hukum Islam merubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam menggantikan hukum adat dan hukum adat tidak berlaku lagi untuk selanjutnya.
- Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya kedalam hukum Islam. Hal ini umumnya berlaku pada bidang muamalat dalam arti yang umum tidak dalam bidang akidah, karena akidah harus didasrkan dengan dalil yang kuat, tidak pila pada bidang ibadat karena ibadat harus didasarkan kepada petunjuk yang nyata.
C.
Hukum Kewarisan Adat
Syarat beralihnya harta seseorang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara
keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh hubungan darah dan perkawinan.
Pada tahap pertama, seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai hubungan
kerabat dengan ibu yang melahirkannya itu. Hal ini tidak dapat dibantah karena
sia anak keluar dari rahim ibunya tersebut. Oleh karena itu hubungan yang
terbentuk ini adalah alamiah sifatnya.
Dengan berlakunya hubungan kekerabatan antara
seorang anak dengan ibunya, maka berlaku pula hubungan kekerabatan itu dengan
orang-orang yang dilahirkan oleh ibunya itu. Dengan begitu secara dasar
terbentuklah kekerabatan menurut garis ibu (matrilineal).[4]
Berdasarkan hubungan perkawinan, maka seorang istri
adalah ahli waris suaminya dan suami adalah ahli waris bagi istrinya. Berlakunya
hubungan kewarisan antara suami dan istri dengan didasarkan telah dilangsungkan
antara keduanya akad nikah yang sah.
Pengertian sah menurut hukum Islam adalah telah
dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditentukan serta terhindar
dari segala sesuatu yang menghalangi.
- Asas-asas Hukum Kewarisan
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu
dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan
kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh
struktur kemasyarakatan. [5]
Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga
karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda atau bukan
benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi berikutnya. Penegrtian
keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui
perkawinan. Dengan demikian kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk
sistem kemasyarakatan.[6]
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri
tentang keluarga dan tentang tata cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul
cirri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau
asas tersendiri pula dalam kewarisan.
- Ahli waris
Pengertian ahli waris disini adalah orang atau
orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka.
Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan
harta serta hubungan seorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu
sebagai hak pakai. Menurut adat Minangkabau pemegang harta secara praktis
adalah perempuan karena ditangannya terpusat kekerabatan matrilineal.[7]
Dalam beberapa literatur tradisional adat yaitu tambo
dijelaskan bahwa menurut asalnya warisan adalah untuk anak sebagaimana berlaku
dalam kewarisan bilateral atau parental. Perubahan ke sistem matrilineal
berlaku kemudian suatu sebab tertentu.
Ahli waris atas harta pencaharian seseorang yang
tidak mempunyai anak dan istri adalah ibunya. Kalau ibu sudah tidak ada, maka
hak turun kepada saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya kepada ponakan
yang semuanya berada dirumah ibunya.[8]
Sedangkan ahli waris terhadap harta pencaharian
seorang perempuan adalah kaumnya yang dalam hal ini tidak berbeda antara yang
punya anak dengan yang tidak mempunyai anak. Perbedaannya hanya antara yang
dekat dengan yang jauh. Kalau sudah mempunyai anak, maka anaknya yang paling
dekat.[9]
Seandainya belum punya anak, maka yang paling dekat adalah ibunya, kemudian
saudaranya serta anak dari saudaranya.
Adat Minangkabau tidak mengakui kewarisan istri
terhadap harta mendiang suaminya begitu pula sebaliknya.[10]
Hal ini didasarkan kepada ketentuan bahwa harta tidak boleh beralih keluar
kaum, sedangkan suami atau istri berada diluar lingkungan kaum berdasarkan perkawinan
eksogami. Namun dalam perkembangannya, setelah Islam masuk ke Minangkabau
barulah dikenal hak kewarisan janda atau duda, itupun tertentu pada harta
pencaharian.
- Cara-cara Pewarisan
Cara-cara pewarisan yang dimaksud ialah proses
peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris dalam pengertian adat Minangkabau
lebih banyak berarti proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli waris
dalam hal yang menyangkut penguasaan harta pusaka. Cara-cara peralihan itu lebih
banyak tergantung kepada macam harta yang akan dilanjutkan dan macam ahli waris
yang akan melanjutkannya. Pewarisan harta ini di Minangkabau terbagi atas :
a.
Pewarisan harta pusaka
Harta adalah harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif,
sedangkan ahli waris adalah anggota kaum secara kolektif pula, maka kematian
seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada
rumah yang ditempati oleh kaum untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota
kaum itu.
Penerusan harta atau peranan pengurusan atas harta
pusaka hanya menyangkut harta pusaka tinggi yang murni, dengan arti belum
dimasuki unsur harta pencarian yang kemudian menjadi harta pusaka rendah. Bila
harta pusaka telah tercampur antara pusaka tinggi dan pusaka rendah maka timbul
kesukaran.
Timbulnya kesukaran ini ialah karena adanya
pemikiran bahwa harta pencarian suatu kaum atau rumah, hanya berhak dilanjutkan
oleh keturunan dalam rumah itu dan tidak dapat beralih kerumah lain walaupun
antara kedua rumah itu terlingkup dalam pengertian satu kaum dalam artian yang
lebih luas.
b.
Pewarisan harta bawaan
Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh seorang
suami kerumah istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil
pencarian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan atau hibah
yang diterimanya dalam masa perkawinan dan harta kaum dalam bentuk hak pakai
genggam beruntuk yang telah berada ditangan suami menjelang kawin atau
didapatnya hak tersebut dalam masa perkawinan.
Kedua macam harta bawaan itu, karena timbul diluar
usaha suami istri, adalah hak penuh si suami, maka tidak ada hak istri
didalamnya. Bila suami meninggal, maka yang menyangkut harta bawaan berlakulah
ucapan adat “bawaan kembali, tepatan tinggal”.
Pengertian harta bawaan kembali ialah pulangnya
harta itu kembali ke asalnya yaitu kaum dari suami. Tentang kembalinya harta
yang berasal dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta
pusaka itu hanya dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum. Sebagaimana
layaknya, harta pinjaman kembali ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang
berasal dari hasil pencarian pembujangan si suami sebelum kawin juga kembali
kepada kaum sebagaimana harta pencaharian seseorang yang belum kawin. Bila
dibandingkan status kedua bentuk harta itu, maka pada harta pusaka, hak kaum
didalamnya lebih nyata sedangkan pada harta pencaharian, adanya hak kaum lebih
kabur. Oleh karena itu pada bentuk yang kedua ini lebih banyak menimbulkan
sengketa. Pada bentuk yang pertama sejauh dapat dibuktikan bahwa harta itu
adlaah harta pusaka, pengadilan menetapkan kembalinya harta itu kepada kaum
dari suami.
c.
Pewarisan harta tepatan
Yang dimaksud dengan harta tepatan atau harta
dapatan ialah harta yang telah ada pada istri pada waktu suami kawin dengan
istri itu. Harta yang didapati oleh suami di rumah istri itu dari segi
asal-usulnya ada dua kemungkinan yaitu harta pusaka yang ada di rumah itu dan
harta hasil usahanya sendiri.
Kedua bentuk harta itu adalah untuk anak-anaknya kalau
ia telah meninggal. Perbedaannya ialah bahwa harta hasil usahanya adalah untuk
anak-anaknya saja, sedangkan harta pusaka di samping hak anak-anaknya, juga
merupakan hak bagi saudara-saudaranya karena harta itu diterimanya bersama
dengan saudara-saudaranya.
Bila si suami meninggal, maka harta tersebut tidak
akan beralih keluar dari rumah istrinya itu. Kaum si suami tidak berhak sama
sekali atas kedua bentuk harta itu. Apa yang dilakukan selama ini hanyalah mengusahakan
harta itu yang hasilnya telah dimanfaatkannya bersama dengan keluarga itu.
Suami sebagai pendatang, karena kematiannya itu tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap harta yang sudah ada di rumah si istri waktu ia datang kesana.
d.
Pewarisan harta
pencarian
Harta pencarian yang didapat seseorang dipergunakan untuk
menambah harta pusaka yang telah ada. Dengan demikian, harta pencarian
menggabung dengan harta pusaka bila yang mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan
menggabungkannya dengan harta pusaka, dengan sendirinya diwarisi oleh generasi
ponakan.
Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum
Islam yang menuntut tanggung jawab seseorang ayah terhadap anaknya. Dengan
adanya perubahan ini, maka harta pencaharian ayah turun kepada anaknya. Dalam
penentuan harta pencarian yang akan diturunkan kepada anak itu, diperlukan
pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencarian itu. Adakalanya harta
pencarian itu milik kaum namun adakalanya pula harta pencarian itu merupakan
hasil usaha yang modalnya dari harta kaum, jadi tidak dapat dikatakan bahwa
semuanya adalah harta pencarian secara murni. Dalam keadaan demikian tidak
mungkin seluruh harta pencarian itu diwarisi oleh anak. Dalam bentuk yang kabur
ini maka berlaku cara pembagian menurut alur dan patut.
Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh anak. Bila
harta pencarian tercampur langsung dengan harta pusaka, maka masalahnya lebih
rumit dibandingkan dengan harta pencarian yang didalamnya hanya terdapat unsur
harta kaum. Kerumitan itu disebabkan oleh karena hak ponakan pasti terdapat
didalamnya, hanya kabur dalam pemisahan harta pencarian dari harta kaum. Oleh
karena tidak adanya kepastian tentang pemilikkan harta itu, sering timbul
sengketa yang berakhir di pengadilan antara anak dan ponakan. Ponakan
menganggap harta itu adalah harta pusaka kaum sedangkan si anak menganggap
harta adalah harta pencarian dari ayahnya. Penyelesaian biasanya terletak pada
pembuktian asal usul harta itu.
e.
pewarisan harta bersama
Yang dimaksud harta bersama disini ialah harta yang
didapat oleh suami istri selama ikatan perkawinan. Harta bersama ini dipisahkan
dari harta bawaan yaitu yang dibawa suami kedalam hidup perkawinan dan harta tepatan
yang didapati si suami pada waktu ia pulang ke rumah istrinya itu wa;aupun
sumber kekayaan bersama itu mungkin pula berasal dari kedua bentuk harta
tersebut. Harta bersama dapat ditemukan secara nyata bila sisuami berusaha dilingkungan
istrinya, baik mendapat bantuan secara langsung dari istrinya atau tidak. Dengan
demikian hasil usaha suami diluar lingkungan si istri dalam keluarga yang
tidak, disebut harta bersama.
D. Harta
Pencarian
1.
Pemisahan harta pencarian dari Harta Pusaka
Harta Pusaka sebagai unsur pokok dalam organisasi
kekerabatan Matrilineal Minangkabau menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang
yang mula-mula mendiami suatu tempat. Ditempat itu mereka mengolah hutan tinggi
menjadi tanah pertanian dan perumahan. Di tempat itu pula mereka mendirikan
tempat tinggal untuk keluarganya.
Pengertian keluarga menurut sistem Matrilineal,
terbatas pada ibu dan anak-anaknya, baik laki-laki atau perempuan, berikutnya
kebawah bersama anak-anak dari anak perempuannya. [11]
Keseluruhannya berada dalam satu lingkungan tempat tinggal
dalam bentuk rumah gadang. Harta yang diperoleh oleh ibu itu dipergunakan untuk
kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan menjadi milik bersama bagi
seluruh anggota tersebut.[12]
Di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk harta. Pertama,
harta yang sudah ada yang dipeolehnya sebagai peninggalan generasi sebelumnya dirumah
itu. Harta tersebut disebut harta pusaka dalam arti yang sebenarnya. Kedua,
harta yang didapatnya sendiri melalui hasil usahanya. Harta yang demikian kemudian
disebut harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah kelihatan bentuk harta
pencaharian, namun harta pencaharian itu masih terkait secara rapat dengan
harta pusaka.
Terkaitnya harta pencarian dengan harta pusaka pada
waktu itu adalah karena seluruh harta pencarian itu berasal dari harta kaum.
Dari segi penggunaan tidak ada perbedaan antara harta yang didapat melalui
pusaka dengan yang didapat melalui usaha sendiri. Keduanya dipergunakan untuk
kepentingan anggota matrilinealnya.
Pada bentuknya yang pertama yaitu harta pusaka
memang digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Dalam bentuknya
yang kedua yaitu harta pencarian, karena modalnya dari harta pusaka, maka
wajarlah digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya itu. Ditinjau dari
segi lain, adat tidak memberati seseorang untuk membiayai anggota yang berada
diluar lingkungan rumah ibunya itu, termasuk anak istrinya. Oleh karena itu
tidak ada yang mendorong seseorang untuk membawa harta itu keluar dari
lingkungan kaumnya.
Ada beberapa hal yang masih menyebabkan seseorang
merasa belum perlu untuk membawa harta hasil pencariannya keluar dari rumah
ibunya, yang hal tersebut erat kaitannya dengan sistem matrilineal itu sendiri
yaitu pertama sikap dan rasa keterikatan seseorang dalam lingkungan keluarga
matrilinealnya hal ini disebabkan oleh keberadaannya dilingkungan keluarga ibu dalam
waktu yang lama. Kedua, sebagai pendatang ia hidup dilingkungan rumah istrinya dalam
waktu yang sedikit sekali karena sebagian besar waktunya sudah dipergunakan
dirumah ibunya. Hal tersebut itdak menimbulkan keintiman dan kasih sayang
timbal balik antara dirinya dengan anak dan istrinya.
Bila seseorang laki-laki belum merasa perlu untuk
membawa harta pencariannya keluar lingkungannya maka tidak ada pula dorongan
untuk memisahkan pencariannya dari harta pusaka karena keduanya dipergunakan
untuk keperluan yang sama yaitu untuk kehidupan keluarga dirumah ibunya.
Terpisahnya pengertian harta pencarian dari harta
pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak Islam masuk di Minangkabau. Hal yang
demikian merupakan pengaruh langsung dari Hukum Islam. Harta pusaka tidak dapat
dipergunakan untuk membiayai anak istri, maka untuk keperluan itu harus
dicarikan dari luar lingkungan harta pusaka. Dengan demikian timbul dorongan
untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari harta pusaka, yang sebelumnya dua
bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah
pemisahan harta pencarian dari harta pusaka.
Adanya pemisahan harta pencarian itu merupakan titik
awal dari pemilikkan perorangan dalam harta di Minangkabau. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya pemilikkan perorangan tersebut. Diantaranya yang
dianggap pokok adalah sistem ekonomi modern yang menyebabkan seseorang berusaha
diluar harta pusaka.[13]
Namun dalam hal pemisahan harta pencarian itu,
faktor kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak sebagai pengaruh ajaran
Islam lebih menentukan. Adanya pemisahan harta pencarian itu menyebabkan
timbulnya pengakuan akan adanya hak anak pada harta tersebut. Tetapi
sesampainya hasil pencarian itu menjadi hak penuh bagi seseorang laki-laki yang
mendapatkannya untuk kemudian diwariskannya kepada anak-anaknya memerlukan
waktu yang panjang.
Terpisahnya harta pencarian seseorang dari harta pusaka
berlaku secara berangsur-angsur. Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan
harta pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si laki-laki untuk berusaha,
karena ia meyakini apa yang diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk
kepentingan keluarganya sendiri. Segi kelemahan dari kebebasan pribadi dalam
harta pencaharian ialah tidak terjaminnya kelestarian harta itu, karena bila
seseorang bebas dalam memanfaatkan harta yang diperolehnya, juga bebas untuk
bertindak mengalihkan harta tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian di Lingkungan Adat Minangkabau
Kerapatan Adat Nagari ini adalah salah satu usaha
untuk memperkuat peran Ninik Mamak masyarakat Minangkabau terutama di Kecamatan
Lubuk Kilangan. Ninik Mamak oleh masyarakat Minangkabau mempunyai peran yang
sangat penting dalam kehicdupan sehari-hari. Kerapatan Adat Nagari ini memiliki
berbagai fungsi yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa di bidang
warisan.
Kerapatan Adat Nagari ini berdiri di setiap
Kecamatan. Sistem yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari Kerapatan Adat Nagari
ini tergantung kelahiran dan suku yang ada pada kecamatan tersebut. Kerapatan
Adat Nagari yang dibentuk beranggotakan “Tungku
Tigo Sajarangan” yang merupakan perwakilan masyarakat yang ada di
Kecamatan yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual), dan
ninik mamak para pemimpin suku dalam Kecamatan. Setiap suku diwakili oleh para
pengulu sukunya di Kerapatan Adat Nagari ini. Semua permasalah yang ada
diselesaikan secara “bajanjang naik
batanggo turun”, artinya, setiap permasalahan yang ada diselesaikan
mulai dari bawah, bila tidak ditemukan pemecahannya baru di bawa ke Kerapatan
Adat Nagari. Namun apa yang diputus di Kerapatan adat Nagari tidak memiliki
kekuatan formal.
Kerapatan Adat Nagari Lubuk Kilangan terdiri dari
enam suku, yaitu suku koto, suku sipanjang, suku tanjung, suku jambak, suku
melayu dan suku caniago. Berarti, di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk
Kilangan ini memiliki 6 (enam) orang Penghulu yang bertindak sebagai Mamak
Kepala Waris dalam hal pembagian harta warisan. Penghulu ini dipilih oleh
anggota suku sesuai dengan criteria yang sudah ditentukan.
Harta peninggalan yang turun temurun diperoleh dari
nenek moyang tidak dapat dibagi, jadi ahli waris harus menerima secara utuh.
Harta peninggalan yang tidak dibagi ini oleh masyarakat Minangkabau disebut juga
dengan Harta Pusaka Tinggi, seperti yang sudah disebutkan oleh bab sebelumnya.
Setiap anak menjadi anggota dalam kompleks famili yang memiliki harta pusaka.
Jika jumlah anggota famili ini terlalu besar, maka anggota famili tersebut akan
dibagi menjadi dua famili yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga harta
pusaka tersebut juga dibagi menjadi dua bagian. Hal yang demikian disebut dengan
istilah “gadang manyimpang”.
Masing-masing famili mempunyai harta pusaka sendiri yang tidak boleh
dibagikan kepada para anggotanya.
Anggota famili hanya boleh menikmati harta pusaka
tersebut secara bersama-sama. Namun, jika si anggota famili memiliki harta
sendiri yang ia dapat pada masa hidupnya, maka harta inilah yang disebut harta
pencarian “pusaka rendah”. Harta
pencarian yang akan dibahas pada bab ini adalah harta pencarian yang dimiliki suami-istri
sepanjang melangsungkan perkawinan. Pewarisan harta pencarian dapat dilihat
dari dua segi, yaitu :
1.
Pihak yang menerima
harta warisan
Harta pencarian yang tidak tersangkut di dalamnya
harta pusaka di warisi oleh anak-anak dan istrinya. Kesimpulan tersebut diperoleh
Penuls dari hasil wawancara terhadap responden yang sudah ditentukan, yaitu
orang-orang yang pernah membagi warisan dan mamak kepala waris. Di Minangkabau,
pada saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa pewarisan harta pencarian diatur
dengan hukum Islam dengan tidak mengenyampingkan aturan pembagian warisan
Minangkabau secara Matrilineal.
Dikatakan tidak mengenyampingkan karena harta pencarian
pewaris yang meninggal dunia akan tetap disisihkan untuk para ponakannya sebagai
tanda bahwa si ponakan memiliki “mamak” yang tetap memikirkan kelangsungan
hidup ponakannya meskipun ia sudah meninggal dunia.
Bila terjadi sengketa perebutan harta warisan yang
berasal dari harta pencarian, khususnya di Kecamatan Lubuk Kilangan masalah ini
akan tetap dianggap masalah adat bila para pihak yang bersengketa menyelesaikan
masalah tersebut di Lembaga Kerapatan Adat Nagari, bila masalah ini di bawa ke
Pengadilan maka para pemangku adat di Kecamatan ini menganggap masalah tersebut
adalah masalah perdata murni bukan lagi masalah waris adat yang harus
diselesaikan di Lembaga Kerapatan Adat Nagari yang sudah disediakan.
Perbedaan tingkat pendidikan mayarakat yang tinggal
di Kecamatan lubuk Kilangan juga mempengaruhi dalam pembagian harta pencarian tersebut.
Masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan formal yan lebih tinggi menganggap aturan
adat terhadap pembagian harta pencarian bukanlah suatu hal yang kaku. Mereka
menganggap adat adalah suatu yang fleksibel yang mampu menerima pembaruan
sepanjang tidak merubah dasar- dasar hukum adat yang sudah digariskan oleh
nenek moyang.
Jadi, pewarisan harta pencarian itu sebagian besar
sudah berdasarkan hukum Islam dimana istri dan anak adalah pewaris utama yang
harus diperhitungkan.
2.
Cara Pemilikan Harta
Warisan
Bila pada penentuan ahli waris yang berhak atas
harta pencarian terdapat pernyataan mayoritas bahwa adalah anak dan istri
adalah orang yang berhak atas harta pencarian, maka kalau dilihat dari cara anak
dan istri itu memiliki harta warisan atas harta pencarian terdapat variasi.
Mamak kepala waris sebagai orang yang mengikuti
penyelesaian harta warisan diperoleh data bahwa harta warisan oleh ahli waris
diterima secara hukum Islam. Terhadap harta pusaka tinggi bahwa pewarisan
bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi
peralihan pengurus terhadap harta pusaka tersebut. Dengan demikian terlihat
adanya perbedaan sistem peralihan harta antara harta pusaka tinggi dan harta
pusaka rendah yang dikenal sebagai harta pencarian.
Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas harta
pencarian ini, pihak keluarga mengundang alim ulama yang dianggap lebih
mengetahui cara pembagian warisan menurut hukum faraid atau secara hukum Islam.
Alim ulama yang dimaksud dalam kesehariannya yaitu hakim pengadilan agama,
namun pembagian tersebut tidak dibawa ke Pengadilan Agama karena kalau masalah
tersebut sampai dibawa ke Pengadilan maka pembagian warisan tersebut dianggap bukanlah
sebagai masalah adat dan diantara para pihak merasa tidak perlu membawa ke
Pengadilan karena tidak ada sengketa diantara mereka.
Namun pada kenyataannya, masyarakat Minangkabau yang
bermukim di Kecamatan Lubuk Kilangan ini yang tingkat pendidikannya masih rendah,
menganggap bahwa harta warisan itu bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibagi
setelah pewarisnya meninggal. Harta warisan itu lebih bermanfaat jika dinikmati
bersama. Dari data yang penulis peroleh, harta warisan yang sudah tiga turunan
tidak dibagi maka akan masuk kedalam golongan harta pusaka. Mereka tidak
memikirkan dampak dari pikiran komunal yang mereka miliki untuk dikemudian
hari.
B. Kendala
yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pembagian Warisan Atas Harta Pencarian Dalam
Lingkungan Adat Minangkabau.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pelaksaan
pembagian warisan atas harta pencarian dalam lingkungan adat Minangkabau
dipengaruhi oleh Hukum Kewarisan Islam. Tentang sejauh mana pelaksanaannya
sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum Faraid dalam bentuknya murni, ternyata
dari hasil penelitian bahwa Hukum Kewarisan Islam atau Faraid dalam kualitas
yang sempurna sudah berlaku di Minangkabau tetapi dari segi kuantitas belum
merata di seluruh umat Islam. Hal ini bararti bahwa Faraid yang dalam bentuk
yang murni yaitu yang sesuai dengan apa yang telah dijabarkan oleh para mujtahid
yang selama ini kita ikuti telah berlaku. Tetapi tidak semua umat Islam melakukannya
menurut cara tersebut.
Sebaliknya secara kuantitas umat Islam Minangkabau
telah melaksanakan Hukum Kewarisan Islam, tetapi dalam kualitas yang belum
sempurna, dengan arti secara prinsip seluruh umat Islam Minangkabau telah
melaksanakan perintah agama dalam hal kewarisan, tetapi dalam pelaksanaanya menggunakan
pertimbangan hingga tidak seluruhnya persis seperti apa yang sudah diatur hukum
Faraid.
Hal ini berarti hukum Faraid dilaksanakan dengan
mempertimbangkan keadaan dan lingkungan setempat sejauh tidak melanggar hal yang
bersifat prinsip ajaran agama.
Faktor yang merupakan kendala dalam pelaksanaan
pembagian warisan atas harta pencarian ini adalah :
a.
Faktor adat
Islam telah lama masuk di lingkungan adat
Minangkabau. Dalam perkembangannya secara bertahap hukum Islam telah banyak
mengubah dan menyempurnakan tata susunan adat lama. Islam telah memperkenalkan susunan
kekeluargaan baru dalam bentuk keluarga inti yang pada saat ini sudah dikenal
luas oleh masyarakat Minangkabau. Islam sudah mengubah tata adat yang
menyangkut harta pusaka dengan memberi arti khusus pada harta pencarian dan
memisahkan harta pencarian tersebut sari harta pusaka. Islam juga telah mengubah
bentuk kewarisan dengan membawanya beralih keluar lingkungan rumah gadang dan
menyatakan anak berhak atas harta pencarian orang tuanya.
Pelaksaan hukum kewarisan Islam dalam bentuknya
sekarang ini diantaranya adalah karena pengaruh adat yang pada saat ini masih
kuat. Pengaruh adat masih terasa kuat dalam kehidupan nyata ialah pemikiran dalam
hal mendapatkan dan menggunakan harta. Pernyataan untuk mendapatkan harta
secara kolektif masih terlihat jelas dalam pemilikan dan penggunaan harta pusaka.
Sampai saat ini, asas matrilineal kolektif masih berlaku terhadap harta pusaka.
Cara pengurusan harta pusaka yang berbentuk kolektif
atau pemilikan bersama atas harta warisan itu sangat berpengaruh terhadap harta
pencarian. Yang berubah hanya orang yang berhak menerima warisan dari harta pencarian,
namun pengurusan dan pembagian terhadar harta pencarian masih dipengaruhi
budaya kolektif sehingga hukum Faraid tidak sepenuhnya terlaksana.
Tentang bagaimana cara pembagiannya, karena
menyangkut matematis tidak banyak yang dapat mengetahuinya. Oleh karena itu
pelaksanaan pembagian warisan menurut perincian sebenarnya dari ilmu faraid
belum merata dapat mereka jalankan. Di samping kekurangan pengertian itu mereka
juga merasa tidak perlu untuk meminta pihak yang mengetahuinya untuk membantu
menyelesaikannya, selama dalam keluarga sendiri tidak terdapat perbedaan pendapat.
Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan pihak yang pernah membagi warisan
dimana sedikit sekali yang melibatkan pihak luar. Yang terbanyak adalah
menyelesaikannya dalam keluarga atau tidak dibagi sama sekali.
b.
Faktor Hubungan
Kekeluargaan dan Ekonomi
Yang dimaksud dengan faktor hubungan kekeluargaan di
sini ialah perasaan dari anggota keluarga untuk hidup dalam persatuan yang
kompak. Dalam hubungannya dengan harta warisan, hal ini berarti bahwa warisan
itu jangan sampai mengurangi atau menghilangkan kekompakan mereka. Ada anggapan
dari sebagian orang yang mengalami peristiwa pembagian harta warisan bahwa bila
harta itu dibagi- bagi secara terpisah dalam bentuk pembagian yang pasti maka
akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis karena pembagian materi dapat
membawa ketidakpuasan dikalangan ahli waris terhadap ahli waris lainnya.
Anggapan demikian berpengaruh terhadap pemikiran mereka
dalam menyelesaikan pembagian harta warisan. Untuk menjaga keutuhan keluarga,
mereka merasa tidak perlu untuk mengadakan pembagian harta warisan. Hal inilah
yangakan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Bila warisan terhadap harta
pencarian itu tidak dibagi pada waktunya dan sesuai bagian seharusnya, maka
pada masa yang akan datang, terhadap ahli waris yang merasa keadaan ekonominya dibawah
keadaan ekonomi ahli waris lainnya, ia akan menuntut haknya atas bagian harta
warisan tersebut. Sehingga hal ini akan menimbulkan konflik diantara para ahli
waris.
BAB IV
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Masyarakat Minangkabau khususnya yang bermukim di Kecamatan
Lubuk Kilangan masing kurang mengerti tentang perincian pembagian warisan atas harta pencarian di kalangan ahli waris
sebagaimana dikehendaki oleh Hukum Faraid, maka para ahli waris yang ada tidak
menyadari secara pasti jumlah hak sebenarnya yang mereka terima. Yang mereka
sadari secara jelas hanya mereka sebagai ahli waris dan berhak atas harta
warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Cara pengurusan dan pemilikan harta masih banyak
memakai sistem kolektif. Hubungan kekeluargaan juga sangat mempengaruhi terhadap proses pembagian
warisan atas harta pencarian. Maka dalam
menyampaikan pengajian saat ini sudah banyak alim ulama yang memberikan materi
mengenai pembagian warisan munurut Faraid ini. Hal ini dianggap sebagai cara
yang baik untuk menyampaikan ilmu tersebut, karena bahasa pengajian akan lebih
mudah untuk dipahami oleh masyarakat terutama oleh masyarakat yang
pendidikannya rendah.
B. Saran
Pakar Hukum Islam dan Lembaga Kerapatan Adat Nagari
dapat menyadari fungsi dan keberadaan masing-masing sehingga masyarakat dapat benar-benar
memahami ilmu Faraid yang terkandung dalam pembagian warisan harta warisan
terhadap harta pencarian di Minagkabau dan dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari
oleh masyarakat Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Chairul Anwar,
Hukum Adat Indonesia Meninjau
Hukum Adat Minangkabau, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997
Datuk Maruhun Batuah, Hukum
Adat dan
Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta, 1990
DH. Bagindo Tanameh, Hukum
Adat
dan
Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta
1990
Hazairin, Hendak Kemana
Hukum Islam, Tintamas, Jakarta, 1976
I. Gede A.B.Wiranata, Hukum
Adat
Indonesia
Perkembangannya dari Masa ke Masa, P. T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Iskandar Kamal, Beberapa Aspek dari
Hukum Kewarisan Matrilineal Bilateral
di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies
Padang, 1988
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara’, CV. Rosda, Bandung, 1978
Kamaluddin ibnu al Humam, Fathu al Qadir IX,
Mustafa al Babi, Mesir, 1970.
Kuntjaraningrat,
Skema dari Pengertian-Pengertian Untuk
Mengenal Sistem Kekerabatan, Laporan Hasil Kongres Ilmu Pangetahuan
Nasional, Jakarta
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (Editor), Metode Penelitian Survai (Edisi Revisi), Lembaga
Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan dan
Sosial, Jakarta, 1995, halaman 263
Nasrun. Hukum Waris dan
Hukum Tanah, dalam Muchtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau, Center For Minangkabau Studies, Padang 1968
Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Sri Darma, Padang, 1971
Soekanto, Meninjau
Hukum
Adat
Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980
Suryono Sukanto, Pengantar Sosiologi Hukum,
Bharata,
Jakarta, 1977
Ter Haar,
Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan Subakti
Pusponoto, Pradya Paramita, Jakarta, 1989
[1] Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rieneka Cipta,
Jakarta, 1997, halaman 1
[2] Ibid, halaman 88
[3] Amir Syarifuddin, ”Pelaksanaan hukum Kewarisan
Islam Dalam lingkungan Adat Minangkabau” Gunung
Agung, Jakarta, 1990, halaman
291
[4]Kuntjaraningrat, Skema dari Pengertian-Pengertian Baru untuk
Mengenal Sistim Kekerabatan, Laporan
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, Jakarta, halaman 443
[5] Iskandar Kamal , Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan
Matrilineal ke Bilateral
di Minangkabau, Center of Minangkabau Studies, Padang, 1988, halaman 153
[6] Hazairin , Hendak
Kemana Hukum Islam,
Tintamas, Jakarta, 1976,
halaman 14
[7] DH. Bagindo
Tanameh, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Pusaka Asli, Jakarta 1990, halaman 48
[8] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat, terjemahan
Subakti Pusponoto,
Pradya Paramita, Jakarta, 1989, halaman
212
[9] Ter Haar,
Op cit, Halaman 197
[10] Soekanto, Meninjau
Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta 1980, halaman
122
[11]
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tintamas,
Jakarta, 1976,
hal. 6
[12]
Ibid., hal. 197
[13] B.Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Sumur Bandung, Bandung, 1980 hal.95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar