Latar Belakang
Terjadinya konflik
horizontal di tengah masyarakat yang berujung pada gugatan sengketa kepemilikan
tanah di Sumatera Barat, yang bahkan sering menimbulkan permusuhan antara satu kaum yang
masih berada dalam satu desa sehingga membuat situasi yang tidak kondusif dalam
pergaulan antar masyarakat.
Dimana masyarakat hanya ikut pada kepada mamak kepala waris
yang merupakan pimpinan yang diberi amanah untuk menjaga tanah ulayat agar
keberadaannya tetap berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat adatnya. Akan
tetapi disayangkan amanah yang diberikan oleh kemenakannya serta masyarakat
adat seringkali dimanfaatkan kepentingan
pribadi belaka, memperkaya diri sendiri dan tergoda dengan tumpukan uang dari
orang lain agar ia mau menjual atau mengalihkan tanah ulayat masyarakat adatnya
kepada orang lain oleh sebagian masyarakat adat tersebut sendiri.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah semua ini memang kesalahan pribadi mamak sebagai
pemimpin yang diamanahkan masyarakatnya untuk menjaga tanah ulayatnya tersebut atau
memang tanah ulayat dapat diperjual belikan serta di proses sertifikatnya di
Badan Pertanahan Nasional hingga berujung menjadi hak milik perorangan atau
badan hukum?
Sedangkan tanah
ulayat seharusnya memang tidak bisa diperjual belikan dan bukan menjadi objek
pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Padahal hukum itu sendiri
identik dengan kepastian.
Konsep Tanah Ulayat
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945
menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebagai
negara hukum adalah setiap warga negara terikat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan sebagai negara hukum (rechstaat) mempunyai alasan yang kuat dan jelas untuk kepentingan
warga negara itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch[1], seorang filsuf hukum
Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar
diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Sebagai negara hukum, pengakuan hak atas kepemilikan telah
diatur dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, aturan tersebut mengikat
setiap warga negara bahkan pemerintah sendiri agar tercipta jaminan kepastian
hukum mengenai hak seseorang, hal ini sejalan dengan teori hukum yang
dikembangkan oleh Roscou Pound yaitu hukum adalah alat rekayasa sosial (Law as
a tool of social engineering).
Kewajiban negara dalam mengatur lintas hubungan hukum antara
individu dengan individu lainnya atau dengan badan hukum dengan badan hukum
lainnya sehingga adanya kepastian hukum bagi masing-masing pihak dengan tidak
ada yang merugikan pihak lain karena ada aturan hukum didepan mereka.
Pengaturan hak atas tanah merupakan salah satu kewajiban
negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya
hak-hak masing-masing pihak. Selain kepastian hukum, aturan hukum yang ada
dalam negara ini juga memberikan perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak
warga negaranya.
Pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang berbunyi dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.
Dalam tingkat peraturan pelaksananya telah disahkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, akan tetapi
dalam Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek pendaftaran
tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah
ini yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang
tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak
pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah
susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara
sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan
tanah negara dalam daftar tanah.
Dalam hal ini, kepastian hukum bagi tanah ulayat dalam
pendaftaran tanah tidak ada. Haknya dihormati akan tetapi dalam tataran pelaksananya
berupa bukti sertifikat sebagai proses pendaftaran tanah tidak diakui. Sehingga
tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati. Hal ini tentu amat
disayangkan karena masih banyak tanah ulayat masyarakat adat diberbagai daerah
di Indonesia apalagi di daerah Provinsi Sumatera Barat.
Selang 2 tahun kemudian, pada tanggal 24 Juni 1999 telah
disahkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah
yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3)
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tanah ulayat
bukan merupakan obyek pendaftaran tanah, akan tetapi berdasarkan ketentuan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada
Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan tanah ulayat dapat dikuasai oleh
perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut
kententuan hukum adatnya yang berlaku. Kemudian oleh instansi pemerintah, badan
hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
bisa menguasai tanah ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat
hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum
adat yang berlaku.
Dari paparan diatas, secara jelas dapat diketahui tanah
ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum, padahal tanah ulayat
merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak bisa dibagi dan harus
dihormati demi persatuan bangsa sesuai amanat UUPA Pasal 3.
Hal ini tentu
membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi
perlindungan hak mereka.
Selanjutnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
Sebagai daerah yang masih banyak tanah ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan
daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat mengenai tanah ulayat ini.
Masyarakat minangkabau mempunyai tataran hukum adat yang
berbeda dengan daerah lain atau suku lainnya. Di Sumatera Barat ada wilayah
yang disebut nagari, berdasarkan ketentuan perda ini pasal 1 ayat (5) yang
dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi
Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah
dengan batas-batas tertentu.
Oleh karena itu, jenis tanah ulayat bagi masyarakat
minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5 Perda ini yaitu tanah ulayat nagari,
tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo. Dalam Pasal 1 perda
ini diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber
daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik
mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai
pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Tanah ulayat suku adalah hak milik
atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan
didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang
penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.
Tanah ulayat
kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada
diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri
dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak
jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang
tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya yang
penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan
ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat.
Memang dalam masyarakat hukum adat minangkabau, penghulu dan
mamak kepala waris punya kedudukan penting. Sehingga mereka mempunyai amanah
untuk menjaga dan memelihara serta memanfaatkan tanah adat kaumnya untuk
kebaikan mereka bersama.
Dalam Pasal 1 perda ini dijelaskan yang dimaksud dengan
penghulu adalah pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat
atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah
ulayat dan harta benda). Sedangkan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua
atau yang dituakan di jurai/paruik dalam suatu keluarga.
Perda ini secara jelas menyebutkan adanya pendaftaran atas
tanah ulayat bahkan menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8
dengan menerangkan siapa-siapa yang menjadi pemegang hak tanah ulayat
dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo. Yang amat disayangkan dalam Pasal
8 huruf e menyebutkan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat bisa memberikan
bagian tanah ulayat kepada perorangan dan bisa didaftarkan karena dikerjakan
secara terus menerus dan menjadi sumber kehidupan.
Yang perlu dipahami bersama, konflik akan terjadi apabila
tidak ada kepastian hukum berupa aturan hukum yang jelas mengenai tanah ulayat.
Dari sekian pasal dalam perda ini, posisi penghulu dan mamak kepala waris akan
menjadi rawan godaan bagi pihak manapun untuk menguasai tanah ulayat. Walaupun
memang dapat sekilas dipahami perda ini bertujuan agar para investor tidak
perlu takut menanamkan modal usaha/investasinya di tanah minangkabau akibat
trauma dengan sengketa tanah ulayat yang tidak berujung di Sumatera Barat.
Dan pemerintah daerah Sumatera Barat seolah-olah lepas
tangan dalam menghadapi permasalahan yang ada dengan menyerahkan persoalan
sengketa ini ke pengadilan bila tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan
mufakat ditingkat KAN. Kalau memang perda ini dimaksudkan untuk menyelesaikan
sengketa maka seharusnya didominasi pasal-pasal yang menghormati tanah ulayat
serta jangan sampai tanah ulayat sebagai pemersatu kemenakan-kemenakan atau
anggota keluarga-anggota keluarga masyarakat hukum adat dibagi-bagi bahkan
menjadi hak milik perseorangan dan badan hukum dan diobral hingga identitas
lokalnya mulai luntur dan satu persatu anggota keluarga dan kemenakan pergi
merantau dan tidak mengurus tanah ulayat tersebut.
Dengan dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan
tersebut dari mulai peraturan menteri hingga peraturan daerah dan gubernur,
apakah akan menjamin eksistensi tanah adat untuk masa yang akan datang. Hal ini
perlu dijawab kalau memang tanah ulayat perlu dipertahankan di bumi Indonesia
ini bahkan di Sumatera Barat.
Jangan sampai tanah ulayat menjadi bahan komoditas jual beli
dan transaksi bagi pihak-pihak yang ingin menguasai tanah ulayat yang pada
ujungnya untuk dimiliki secara pribadi, apalagi penghulu dan mamak kepala
warisnya tidak paham dengan aturan hukum tanah ulayat akan mudah tergoda dengan
bujukan dan rayuan agar mau menjual tanah milik kaumnya.
Dan memang di Sumatera Barat tidak ada tanah yang tak
bertuan, pasti ada pemiliknya walaupun diujung gunung atau sungai, baik itu
milik perseorangan dan badan hukum bahkan mayoritasnya adalah tanah ulayat yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat minangkabau yang terdiri dari suku-suku,
kaum-kaum dan nagari-nagari.
Konsekuensi amanat Undang-Undang Pokok Agraria yang mana
seharusnya tanah ulayat tersebut harus dijaga sedemikian rupa tidak
berkesesuaian dengan peraturan pelaksana dibawahnya yang malah mengobral habis
tanah ulayat agar cepat punah dari bumi Indonesia, dan yang tersisa adalah hak-hak
milik pribadi yang membuat masyarakat Indonesia terutama minangkabau kehilangan
identitas komunalnya demi menjaga persatuan dan kekeluargaan.
Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagaimana yang telah
diterangkan sebelumnya, mayoritas masyarakat adat minangkabau masih berkaitan
dengan tanah yaitu bertani, berkebun dan beternak. Sehingga ketergantungan ini
beralasan penting bagi masyarakat minangkabau untuk menjaga status tanah ulayatnya.
Sekiranya tanah tersebut dikelola oleh para investor tanpa melibatkan
masyarakat hukum adat, maka ini merupakan upaya penghapusan status kepemilikan
tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau perlahan-lahan dan pada akhirnya
mematikan kehidupan mereka dan membuat satu keluarga, satu suku dan satu kaum
tercerai berai pergi kedaerah lain atau merantau akibat tanah ulayatnya hilang
atau beralih kepada orang lain.
Memang diakui, kalau tanah itu dikelola masyarakat hukum
adat tidak akan menghasilkan nilai manfaat bagi daerah. Akan tetapi bagi
masyarakat hukum adat minangkabau setempat hal itu merupakan sumber penghidupan
mereka dan mereka tidak punya keahlian yang lain dan akan tetap menjadi budak
ditanah sendiri.
Dan yang paling utama, tanah bagi masyarakat minangkabau
lambang harga diri dan lambang kehormatan kaum adatnya, keluarganya dan
sukunya. Dan ini yang akan menjadi bencana sengketa konflik tanah ditingkat
horizontal apabila penguasaan tanah adat oleh pihak-pihak lain diluar
masyarakat hukum adat minangkabau dilakukan dengan cara penghilangan status
tanah adat itu sendiri, bahkan sekarang ini banyak tanah ulayat sudah menjadi
tanah milik pribadi-pribadi atau individu-individu dan badan hukum.
Sehingga dapat disimpulkan, kedepannya tanah ulayat
hanya sekedar nama saja atau sebatas bahan kajian dan penelitian tanpa memiliki
status kepastian hukum yang jelas dan akan hilang perlahan-lahan dari bumi
Minangkabau di Sumatera Barat. Dan ini tentu tidak senyawa dengan amanat Pasal
3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Kesimpulan
Dari
pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
a.
Kepastian hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tanah ulayat telah ada baik di
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
b.
Antara peraturan satu dengan yang lain masih menganggap
tanah ulayat terutama di Sumatera Barat merupakan obyek investasi dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi wilayah Sumatera Barat.
c.
Eksistensi tanah ulayat di Sumatera Barat makin
diragukan untuk masa yang akan datang, dan akan hilang secara perlahan-lahan
atas nama investasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2,
Ghalia Indonesia, Bogor.
Peraturan
Perundang-undangan:
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008
tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
[1] Achmad Ali,
2008,Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 67.
Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) http://www.pta-jambi.go.id Published on
Wednesday, 10 December 2014 15:01