16/01/16
Subyek Hukum dalam hal hak, kewenangan serta ketidakwenangannya - BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG) | Dr. Habib Adjie
BATASAN HAK KEPERDATAAN SUBJEK HUKUM (ORANG)
Pasal 1 – 3 KUHPerdata tiap-tiap manusia itu berstatus orang dalam hukum, artinya tiap-tiap manusia berwewenang untuk mempunyai hak-hak, khususnya berwewenang untuk mepunyai hak-hak keperdataan.
Pasal 1 KUHPerdata : Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan.
Bahwa semua orang baik yang alami (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama, baik mengenai luasnya maupun kewenangannya.
Hak-hak Keperdataan dimulai sejak kelahirannya dengan pengecualian yang dinyatakan dalam Pasal 2 KUHPerdata.
Anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap memenuhi isi Pasal 2 KUHPerdata, kalau memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Dilahirkan hidup.
2. Anak tersebut sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat suatu fakta/peristiwa hukum itu
terjadi. Dan hak-hak keperdataan akan berakhir pada saat kematiannya.
Pasal 3 KUHPerdata bahwa tiada suatu pidana pun (hukuman) yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya hak-hak keperdataan atas seseorang.
Hak-hak keperdataan subjek hukum (orang) yang masih hidup hanya dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan umum.
Subjek hukum (orang) yang dipidana (berada dalam tahanan/penjara) tidak hilang hak-hak perdatanya.
Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke Lembaga Pemasyarakatan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut.
Jika subjek hukum (orang) orang dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit untuk tindakkan hukum yang memerlukan tanda tangan yang bersangkutan, lebih baik Notaris/PPAT dapat ke rumah sakit yang bersangkutan dan terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan dokter yang merawatnya, dan pada waktu tandatangan dihadiri/dihadapan semua pihak yang berkaitan dengan akta tersebut. Untuk meminta pendapat dokter secara fisik dan nonfisik masih bisa berkomunikasi atau tidak, kalau tidak bisa lagi Notaris/PPAT meminta kepada keluarganya untuk dilakukan dengan Pengampuan dengan Penetapan Pengadilan.
Jika subjek hukum (orang) berada dalam tahanan/penjara dalam kasus-kasus tertentu (tindak pidana korupsi) yang ternyata berdasarkan keputusan pengadilan semua harta bendanya disita, baik harta benda yang disita tersebut dicantumkan dalam amar putusan atau tidak disebutkan (tidak disita), sangat dianjurkan (atau tidak dipenuhi) untuk Notaris/PPAT tidak melayani yang bersangkutan jika ingin menjual harta bendanya meskipun tidak disita. Jika hal ini dilakukan oleh Notaris/PPAT, maka Notaris/PPAT dapat dikategorikan pihak yang membantu menyamarkan atau menyembunyikan (atau sebagai nexus) hasil tindak pidana korupsi atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) -UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
CATATAN :
berdasarkan Pasal 106 huruf a UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa Buku Kesatu Bab Kedua dan Bab Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia, Staatblad 1847 : 23, - dicabut dan dinyatakan tidak berlaku).
Bahwa meskipun eksistensi Kitab undang-undang Hukum Perdata untuk bagian-bagian tertentu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena telah ada undang-undang lain yang mengaturnya, ataupun ada beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no. 3/1963, tapi bagian-bagian tertentu masih dapat dipergunakan sebagai pedoman, meskipun tidak mengikat (dalam SEMA) disebutkan bahwa BW tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis). Dan tentang SEMA itu sendiri menurut Achmad Ali bahwa "Sekalipun secara hirarki perundang-undangannya kaum positivis sebuah SEMA tidak mungkin menghapuskan suatu undang-undang, apalagi kitab undang-undang, tetapi di dalam kenyataannya SEMA itulah yang diikuti dalam praktek peradilan",
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya),Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 25.
Indonesia Notary Community (INC)
OLAH PIKIR PRAKTISI NOTARIS & PPAT TERHADAP PEMILIKAN RUMAH TINGGAL/HUNIAN & BIDANG TANAH SERTA SATUAN RUMAH SUSUN OLEH ORANG ASING YG MENIKAH DENGAN WNI SECARA GONO GINI PASCA BERLAKUNYA PP 103/2015
Oleh : Bp. MJ. Widijatmoko
Jakarta, 14 januari 2015
jl Otista Raya 149 Jakarta Timur
1. PENDAHULUAN.
Peraturan Pemerintah yg mengatur tentang kepemilikan rumah tinggal/hunian dan bidang tanah oleh orang asing sebenarnya telag ada sejak tahun 1996 yaitu dg ada nya PP 41/1996 yg berlaku sejak tgl 17 juni 1996, terbitnya PP 103/2005 ttg Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berdudukan Di Indonesia era Presiden Ir H. Joko Widodo bukanlah hal yg baru bagi praktisi hukum, apalagi bagi praktisi hukum Notaris & PPAT. PP 103/2015 yg berlaku mulai tgl 22 Desember 2015 adalah hanyalah untuk menyempurnakan PP 41/1996, akan tetapi untuk para praktisi hukum terutama para Notaris & PPAT perlu dipelajari, dicermati dan dipahami serta didalami agar dalam menjalankan jabatan sbg Notaris & PPAT untuk melayani masyarakat yg membutuhkan akta otentik berupa akta Notaris & akta PPAT tidak sampai melanggar ketentuan hukum yg berlaku. Salah satu hal yg saya, penulis anggap menarik dari ketentuan hukum yg diatur dalam PP 103/2015 adalah tentang Kepemilikan Rumah Tinggal/Hunian oleh WNA (org asing) yg menikah dengan WNI. PP 103/2015 pada pasal 3 mengatur :
(1) WNI yg melaksanakan perkawinan dg org asing dapat memiliki hak atas tanah yg sama dg WNI
lainnya.
(2) hak atas tanah sbgmn dimaksud pd ayat (1), bukan merupakan harta bersama yg dibuktikan dg
perjanjian pemisahan harta antara suami & istri, yg dibuat dg akta notaris.
Dalam hukum perkawinan sebenarnya sdh tegas hal tsb diatur dlm pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 bhw "pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yg disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut".
Menjadi persoalan :
1. BAGAIMANA STATUS HUKUMNYA RUMAH TINGGAL/HUNIAN DAN BIDANG TANAH YG DIMILIKI ORANG ASING YG MENIKAH DG WNI YG PERKAWINANNYA DILANGSUNGKAN DENGAN PERCAMPURAN HARTA PERKAWINAN (GONO GINI) ?
hal inilah justru yg tidak atau belum diatur dg tegas dlm PP 103/2015.
2. HARTA DALAM SUATU PERKAWINAN BERDASARKAN UU 1/1974 TERKAIT STATUS HUKUM PEMILIKAN RUMAH TINGGAL/HUNIAN DAN BIDANG TANAH OLEH ORANG ASING YG MENIKAH DENGAN WNI PASKA BERLAKUNYA PP 103/2015.
Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 : Harta benda yg diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 : Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974 : Harta Bawaan dari masing2 suami dan istri dan harta benda yg diperoleh masing2 sbg hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing2 sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974 : Mengenai harta bawaan masing2, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Berdasarkan ketentuan tsb dlm UU 1/1974, dapat disimpulkan atau bolehlah disimpulkan bahwa dalam suatu perkawinan mengenai harta benda dalam suatu perkawinan terdiri atas :
1. Harta Bersama dalam perkawinan
2. Harta Bawaan masing2 suami atau istri dalam perkawinan.
sejak berlakunya UU 1/1974 segala ketentuan yg terkait dg perkawinan dan hal2 yg sdh diatur dlm UU 1/1974 berdasarkan pasal 66 UU 1/1974 telah menghapuskan ketentuan yg diatur dlm KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Kristen (S.1933-74) Peraturan Perkawinan Campuran (S.11898-158) & peraturan2 lain yg mengatur ttg perkawinan yg telah diatur dal UU 1/1974. Dengan terbit nya PP 9/1975 tgl 1 April 1975 yg berlaku sejak tg 1 Oktober 1975, maka segala hal ttg perkawinan yg diatur dlm UU 1/1974 berlaku di Indonesia.
Dengan demikian dalam hal status hukum kepemilikan suatu rumah tinggal/hunian dan/atau bidang tanah oleh orang asing atau WNI yg terikat dalam suatu perkawinan gono gini menjadi hal yg menarik utk dikupas, didalami diteliti dikaji dipahami dan dimengerti oleh setiap praktisi hukum Notaris & PPAT agar tidak salah dalam menerapkan hukum dan menjalankan jabatan sbg Notaris & PPAT.
Apabila, baik org asing atau WNI, yg telah mempunyai rumah tinggal/hunian dan tanah atau hak milik satuan rumah susun (HMRS) sebelum mereka terikat dalam suatu perkawinan dg percampuran harta/gono gini berdasarka UU 1/1974, maka :
1. bagi WNI,
rumah dan tanah yg dimiliki yg diperoleh dari "hadiah atau warisan" yg "diperoleh sebelum perkawinan" dg org asing adalah "merupakan harta bawaan, bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan" dan karena nya hak atas tanah yg ada pada bidang tanah tsb, baik Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), & Hak GUna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) maupun Hak Sewa (HS), "tetap dan tidak tunduk menjadi obyek PP 103/2015" dan tetap dapat dimiliki oleh WNI yg menikah dg org asing karena "merupakan Harta Bawaan" yg tidak melebur menjadi harta bersama dalam perkawinan gono gini, sehingga tidak melanggar ketentuan ttg org yg berhak memiliki hak atas tanah di Indonesia yg diatur dlm UU 5/1960 (UUPA) & peraturan pelaksanaannya.
2. bagi WNA/orang asing,
rumah/hunian dan tanah hak pakai atau HMRS diatas Hak Pakai yg diperoleh/dimiliki berdasarkan PP 41/1996 sebelum kawin/nikah, adalah tetap merupakan "harta bawaan" dan tidak/bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan.
3. bagi WNI & WNA/orang asing,
rumah/hunian yang diperoleh/dimiliki setelah perkawinan mrk yg mana perkawinan mrk tunduk pada UU 1/1974 merupakan "harta bersama dalam perkawinan" dan krn nya tunduk dan berlaku ketentuan PP 103/2015 yaitu bidang tanah yg dapat dimiliki "hanya" berupa "Hak Pakai & HMRS diats Hak Pakai", tidak dapat memiliki/memperoleh hak atas tanah yg lain, kecuali "Hak Sewa", karenanya mrk "tdk dapat/tidak boleh" memiliki/memperoleh HM, HGB, HGU & HMRS diatas HGB.
Oleh karena itu, untuk "WNI yg menikah dg orang asing" & untuk "orang asing/WNA yg perkawinannya dilangsungkan dengan percampuran harta gono gini", maka saya, penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan hukum sbb :
1. TIDAK DAPAT MEMBELI/MEMPEROLEH bidang tanah yg hak atas tanahnya berupa HM, HGB, HGU, HMRS diatas HGB, sehingga mereka "hanya" bisa memiliki/memperoleh tanah dg Hak Pakai & HMRS diatas Hak Pakai;
2. TIDAK DAPAT MEMBELI/MEMPEROLEH bidang tanah dg Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai yg "peruntukan & pemilikan" bidang tanah Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai tsb dipergunakan untuk menjalankan usaha, bisnis, kantor dsb, karenanya pemilikan bidang tanah oleh org asing yg menikah dg WNI & WNI yg menikah dg org asing yg perkawinannya gono gini "hanya" untuk "rumah tinggal/hunian" saja tidak dapat dipergunakan untuk hal yg lain;
3. karena PP 103/2015 mengatur ketentuan hanya tentang bidang tanah Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai yg dapat dimiliki/diperoleh oleh org asing yg berkedudukan di Indonesia hanya untuk rumah tinggal, maka dapat dilakukan "logika hukum" bahwa kebutuhan utk rumah tinggal "hanyalah untuk memiliki 1 rumah tinggal/hunian", karenanya sekalipun PP 103/2015 tidak mengatur secara tegas mengenai "batas maksimum jumlah" yg dapat diperoleh/dimiliki, maka untuk WNA/orang asing & WNI yg menikah dg WNA/org asing yg pernikahannnya secara gono gini "dapat diasumsi hukumkan" TIDAK DAPAT atau DILARANG untuk memiliki/memperoleh lebih dari 1 rumah tinggal/hunian & tanah Hak Pakai serta lebih dari 1 HMRS diatas Hak Pakai untuk rumah tinggal/hunian.
Akan tetapi disamping hal tersebut di atas, menjadi sebuah pertanyaan
BERAPA LUAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL/HUNIAN YG DAPAT DIPEROLEH/DIMILIKI OLEH ORANG ASING DI INDONESIA ?
Mengenai hal ini dalam PP 103/2015 "tidak mengatur" secara tegas "batas maksimum pemilikan luas tanah hak pakai", akan tetapi dalam hukum pertanahan untuk kepemilikan rumah tinggal berlaku ketentuan "setiap orang/kepala keluarga untuk rumah tinggal/huniam 'hanya dapat' memiliki maksimum 5 bidang tanah "atau" maksimum seluas 5.000 m2" dan UUPA pun dalam pasal 17 ayat (1) mengatur bahwa "dengan mengingat ketentuan pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yg dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yg boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dlm pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum". Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan "batas maksimum pemilikan tanah Hak Pakai oleh orang asing" adalah maksimum 5.000 m2. Akan tetapi hal ini sebaiknya perlu ditegaskan secara tegas kembali mengenai batas maksimum luas tanah hak pakai yg dpt dimiliki org asing dlm suatu "Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN".
BERAPA LUAS BIDANG HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN YG DAPAT DIMILIKI OLEG ORANG ASING ?
Mengenai hal ini PP 103/2015 tdak mengatur secara tegas, demikian pula dalam UU Rumah Susun dan peraturan pelaksanaannya tidak mengatur batas maksimum pemilikan Sarusun & batas maksimum luas HMRS yg dpt dimiliki seseorg/satu keluarga. Akan tetapi dng menggunakan ketentuan yg diuraikan di atas, sudah selayak nya logika hukum yg dipergunakan untuk pemilikan rumah tinggal/hunian untuk org asing atau WNI yg menikah dg org asing yg perkawinannya secara gono gini dapat diberlakukan logika hukum yg sama dengan batas maksimum jumlah kepemilikan atas suatu bidang tanah hak pakai oleh org asing. Hal ini pun sesuai dg ketentuan dlm UUPA serta untuk mencegah terjadinya penguasaan yg berlebih oleh org asing.
APAKAH PERLU DIATUR MENGENAI BATAS MAKSIMUM PEMILIKAN SARUSUN DAN LUAS BIDANG HMRS YG DAPAT DIMILIKI SESEORANG ATAU SATU KELUAGA SEPERTI HAL NYA PADA BATAS MAKSIMUM PEMILIKAN BIDANG TANAH ?
pemikiran ilmiah, arah kebijakan politik & kepentingan bisnis properti yang dapat merumuskan dan menjawab pertanyaan tsb, akan tetapi kalo mendasarkan UUPA sudah semestikan perlu dicegah pemilikan bidang tanah dan Sarusun yg berlebih.
3. PENUTUP.
semoga tulisan ini berguna & bermanfaat utk dapat didiskusikan dan menjadi bahan kajian hukum oleh para praktisi hukum, akademik dan para mahasiswa pada fakultas hukum. selebih nya mohon koreksi dan diskusi untuk dapat tercapainya suatu kesamaan olah pikir dalam pengembangan hukum & ilmu hukum di Indonesia serta semoga tulisan ini dapat menjadi masukan untuk pembuatan peraturan yg terkait dg PP 103/2015.
terimakasih
Catatan Terhadap Peraturan Pemerintah Momor 103 tahun 2015 | Bp.Alwesius, SH, MKn
Beberapa Catatan Terhadap Peraturan Pemerintah Momor 103 tahun 2015
1. Pendahuluan
Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2015 (PP 103) diterbitkan untuk lebih memberikan kepastian hukum pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia demikian dinyatakan di dalam diktum “menimbang” huruf a PP 103, oleh karena itu perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Pemerintah sebelumnya yaitu Peratiran Pemerintah nomor 41 tahun 1996 (PP 41).
Berkaitan dengan tujuan diterbitkannya PP 103 tersebut ada beberapa hal yang menurut penulis belum dapat dikatakan memeberikan jaminan kepastian hukum berkaitan dengan kepemilikan rumah tinggal/hunian bagi orang asing tersebut. Untuk itu penulis mencoba memberikan beberapa catatan terhadap hal-hal yang dituangkan di dalam PP 103.
2. Rumah Tinggal yang dapat dimiliki oleh orang asing
PP 103 menentukan rumah yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah “Rumah Tunggal”. Pasal 1 angka 2 PP 103 menentukan “Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.”
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 PP 103 tersebut maka orang asing hanya dapat memiliki rumah tinggal yang berupa “Rumah Tunggal”. Orang asing tidak dapat memikili rumah tinggal yang didirikan dalam bentuk “rumah kopel” atau “rumah deret”, dimana dinding rumah yang satu berdempetan dengan dinding rumah yang lain yang berada disebelahnya. Penulis kurang mengerti maksud dari ketentuan tersebut, apakah karena rumah-rumah yang mempunyai dinding yang dibangun di atas perbatasan kaveling pada umumnya merupakan rumah-rumah yang masuk dalam kategori rumah sederhana atau rumah sangat sederhana, yang pembangunannya pada umumnya ditujukan kepada masyarakat Indonesia yang berpenghasilan kecil atau ada maksud lain.
3. Jumlah rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh Orang Asing
Di dalam PP nomor 41 tahun 1996 (PP 41) di dalam pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa “Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah tinggal untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu”. Jadi jelas sekali bahwa sebelumnya telah diatur secara tegas jumlah pemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing yaitu hanya “sebuah” rumah tinggal/hunian saja. PP 103 tidak mengatur mengenai pembatasan jumlah kepemilikan rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing.
Tidak ditentukannya pembatasan atau jumlah rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing menimbulkan pertanyaan apakah orang asing dapat memiliki rumah tinggal/hunian lebih dari 1 (satu) rumah tinggal/hunian, apakah pembatasan pemilikan rumah tinggal/orang asing sama dengan pembatasan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Pertanyaan tersebut tentunya harus mendapatkan jawaban yang pasti, sehingga tercipta kepastian hukum sebagaimana tujuan diadakannya PP 103. Kepastian tersebut tentunya dapat dituangkan didalam peraturan menteri agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Penulis berpendapat sebaiknya tetap dilakukan pembatasan pemilikan rumah tinggal/hunian orang asing dan pemilikan itu dikaitkan dengan tempat tinggal dimana izin tinggal kepada orang asing tersebut diberikan.
4. Orang Asing yang dapat memiliki rumah/hunian di Indonesia
Sesuai ketentuan UUPA dan PP 40, orang asing yang dapat memiliki fhak atas tanah dan karenannya dapat memiliki rumah ringgal di Indonesia adalah orang asing berkedudukan di Indonesia. Pasal 1 angka 1 PP 103 menentukan “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Inddonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) PP 103 menentukan “Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya. PP 41 tidak menentukan persyaratan “izin tinggal di Indonesia”.
Dengan adanya persyaratan mempunyai “izin tinggal di Indonesia” maka yang dapat memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia adalah benar-benar orang asing yang tinggal di Indonesia, baik tinggal untuk sementara waktu maupun bersifat menetap. Persyaratan yang diatur didalam Pasal 1 dan Pasal 2 PP 103 tersebut merupakan persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi oleh orang asing yang hendak memiliki rumah tinggal/hunian di Indonesia.
Apabila Orang Asing atau ahli waris yang merupakan Orang Asing yang memiliki rumah yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah tidak lagi berkedudukan di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut hak atas rumah dan tanahnya tersebut belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat maka rumah di lelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara atau rumah menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak milik ( Pasal 10 ayat 2 PP 103)
5. Hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh Orang Asing untuk keperluan rumah tinggal/hunian
Berdasarkan ketentuan UUPS, orang asing hanya dapat memeiliki hak pakai atau hak sewa tanah untuk bangunan. Hal ini ditegasklan lebihn lanjut di dalam PP nomor 40 tahiun 1996 (PP 40) maupun PP 41. PP 103 hanya mengatur kepemilikan rumah tinggal/hunian untuk orang asing atas rumah tinggal/hunian diatas hak pakai, baik hak pakai di atas tanah negara maupun hak pakai di atas tanah hak milik. PP 103 tidak mengatur mengenai hak sewa.
Pasal 102 ayat (1) PP 103 menentukan “Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai”. Selanjutnya Pasal 4 PP 103 menentukan :
“(3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan.
(4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jadi jelas berdasarkan ketentuan PP 103 rumah tinggal/hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah rumah tinggal/hunian yang berada di atas tanah hak pakai. Tidak diaturnya rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa bukan berarti orang asing tidak dapat memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa.Orang asing tetap boleh memiliki rumah tinggal/hunian di atas tanah hak sewa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Pemindahan hak atas rumah tinggal/hunian orang asing
Mengenai pengalihan hak pakai diatur di dalam Pasal 54 PP 40. Sesuai ketentuan Pasal 54 PP 40 tersebut, pemindahan hak dapat dilakukan, antara lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar. Untuk pemindahan hak atas hak pakai atas tanah negara harus memperoleh izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan untuk pemindahan hak pakat di atas hak milik harus memperoleh izin dari pemegang hak milik yang bersangkutan.
Berkaitan dengan hak pakai yang dimiliki oleh orang asing tentunya disamping harus memenuhi syarat tersebut, calon penerima haknya juga harus memneuhi syarat yang ditetapkan di dalam PP 103, jika calon penerima hak tersebut merupakan orang asing yaitu yang bersangkutan juga harus memiliki izin tinggal di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undang yang beralku.
7. Pewarisan rumah tinggal/hunian orang asing
Prinsip umum dalam pewarisan, dengan meninggalnya seseorang maka segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, dengan batasan-batasan atau syarat-syarat tertentu.Asas tersebut terdapat di dalam Pasal 830 KUHPerdata dan berlaku bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata, emikian juga di dalam hukum Islam, walaupun terdapat perdendaan prinsip bahwa di dalam hukum Islam para ahli waris hanya menanggung hutanh/kewajiban Pewaris sebatas harta penginggalan yang ditinggalkan Pewaris. Demikian juga dengan ketentuan pewarisan lainnya yang penulis pahami dari literatur yang penulis baca dan selanjutnya tergantungb kepada sistem pewarisan yang dianut.
Sehubungan dengan hal tersebut maka pada prinsipnya jika seorang asing meninggal dunia maka haknya atas rumah tinggal/hunian tersebut beralih kepada ahli warisnya.Oleh karena rumah tinggal/hunian yang diwarisi oleh para ahli waris tersebut berada di Indonesia maka tentunya terhadap kepemlikan tanah berdasarkan pewarisan tersebut berlaku ketentuan-ketentuan mengenai hukum pertanahan di Indonesia.
Ketentuan mengenai pewarisan rumah tinggal/hunian orang asing diatur didalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) yang menentukan:
“(3) Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwariskan. (4) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Orang Asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) PP 103 tersebut jelas bahwa apabila orang asing yang memiliki rumah tinggal/hunian meninggal dunia maka rumah tinggal tersebut beralih kepada ahli warisnya. Apabila ahli waris orang asing tersebut juga merupakan orang asing maka ahli waris yang bersangkutan harus mempunyai izin tinggal di Indonesia. Jika izin tersebut tidak dimiliki maka ia tidak lagi memenuhi syarat sebagai orang asing yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia dan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ia harus mengalihkan tanah tersebut kepada orang lain yang memenuhi syarat, dengan segala akibat hukumnya sebagaimana diatur didalam Psal 7 PP 103.
8. Perpanjangan jangka waktu bagi Hak Pakai di atas tanah Hak Milik
Jangka waktu hak pakai atas tanah negara untuk keperluan rumah tinggal/hunian bagi orang asing adalah 30 tahun, demikian ditentukan di dalam Pasal 6 ayat (1) PP 103. Hak pakai tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan selanjutnya dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun.(Pasal 6 ayat 2 dan ayat 3 PP 103).
Pasal 7 PP 103 memnetukan bahwa untuk hal Pakai di atas tanah hak milik dapat diberikan sesuai jangka waktu yang disepakati dengan ketentuan tidak lebih lama dari 30 tahun. Dan kemudian dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dan selanjutnya dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai sesuai kesepakatan dengan pemegang hak milik atas tanah yang bersangkutan.
Di dalam PP 103 ada perubahan jangka waktu yang diberikan untuk hak pakai di atas tanah negara. Di dalam PP 40 hak pakai atas tanah negara diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun dan kemudian dapat diperbnaharui paling lama 30 tahun. Sehingga dengan demikian akan terdapat perbedaan jangka waktu antara hak pakai untuk orang asing dan hak pakai untuk Warga Negara Indonesia.
Perbedaan juga terjadi terhadap jangka waktu hak palai di atas tanah hak milik. Jika sebelumnya hak pakai tersebut tidak dapat diperpanjang melainkan hanya dapat diperharui, namun di dalam PP 103 hak pakai tersebut dapat diperpanjang jangka waktunya. Yang menjadi pertanyaan bagaimana cara melakukan perpanjangannya. Jika pemberiannya dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tentunya perpanjanganya juga harus dilakukan dengan akta PPAT dan Mentyeri Agraria/Kepala BPN tentunya harus melakukan perubahan terhadap peraturan meneteri yang megatur mengenai bentu-nemtuk akta pertanahan, yang saat ini diatur di dalam Perkaban nomor 8 tahun 2012.Berkaitan dengan hal tersebut tentunya terdapat tambahan bentuk akta yaitu berupa Akta Perubahan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik atau Akta Perpanjangan Jangka Waktu Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
9. Perjanjian Pemisahan Harta
Catatan terkahir penulis berkaitan dengan PP 103 adalah berkaitan dengan ketentuan pasal 3 PP 103. Pasal 3 ayat 2 PP 103b menentukan Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Ketentuan ini sebenarnya hanya merupakan penegasan dari ketentuan yang terdapat di dalam UUPA maupun PP 40. Sesuai ketentuan UUPA dan PP 40, seorang warga negara Indonesia dapat menjadi subyek Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai.
Sebenarnya sekalipun seorang WNI tersebut menikah dengan orang asing, sepanjang tanah yang dimiliki oleh WNI tersebut tidak ikut menjadi milik suami atau isterinya yang orang asing maka WNI tersebut tetap dapat memiliki tanahnya tersebut sama seperti dengan WNI lainnya. Yang menjadi permasalahan hukum adalah apabila disamping dimiliki oleh seorang WNI, tanah tersebut juga ikut dimiliki oleh suami atau isterinya yang orang asing . Apabila hal ini terjadi maka bagi mereka berlaku ketantuan Pasal 21 ayat 3 atau pasal 26 ayat 2 UUPA. Untuk menghindari yang bersangkutan terkena ketentuan Pasal 21 ayat 3 atau 26 ayat 2 UUPA yang mengakibatkan hak atas tanahnya hapus dan tanahnya menjadi tanah negara maka tentunya seorang WNI yang hendak melangsungkan perkawinan dengan orang asing, yang merupakan hak asasinya untuk menikah dengan sispapun juga tanpa ada yang dapat menghambatnya, sudah sepatutnya jika tidak dapat dikatakan seharusnya, dia juga harus melakukan upaya untuk melindungi hak asasi yang dimilikinya berdasarkan konstitusi tersebut. Ia harus melakukan upaya untuk melindungi hak asasinya tersebut yaitu dengan membuat Perjanjian Perkawinan.
Pasal 103 ayat 2 menentukan “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.”. Menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “perjanjian pemisahan harta” di dalam Pasal 3 ayat 2 tersebut?. Menurut penulis yang dimaksud “perjanjian pemisahan harta” tersebut adalah “perjanjian perkawinan” yang isinya menyangkut pemisahan harta diantara suami isteri. Perjanjian Perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan.Perjanjian Perkawinan tidak dapat dibuat sepanjang perkawinan dilangsungkan. Jika benar yang dimausd di dalam pasal 3 ayat 2 tersebut adalah “perjanjian perkawinan” maka pasal tersebut sifatnya hanya mempertegas ketentuan yang sudah berlaku sebelumnya yang siatur di dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Yang menjadi persolan apabila “perjanjian pemisahan harta” tersebut ditafsirkan nulan sebagi perjanjian perkawinan melainkan perjanjian lain yang dapat dibuat oleh suami dan isteri sepanjang perkawinan mereka. Jika ini yang terjadi maka tentunya telah terjadi ketidakpastian hukum di dalan hukum perkawinan kita, khususnya hukum yang menyangkut harta benda perkawinan. Yang terakhir ini dapat menimbulkan berbagai pembuatan perjanjian simulasi, yang sebenarnya “terlarang”, akanm tetapi sekarang mendapat perlidungan di dalam hukum positif kita atau dilindungi oleh Pemerintah.
10. Kesimpulan
Dari catatan-catatan diatas maka terlihat bahwa PP 103 ini belumlah tmemberikan kepastian hukum sebagaimana tujuan pembuatannya.Untuk itu perlu dilengkapi dengan penyusunan peraturan pelaksanaannya yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada semua pihak
https://www.facebook.com/groups/forumnotarisppat/
Terbitkan PP, Pemerintah Resmi Izinkan Orang Asing Miliki Rumah Tempat Tinggal di Indonesia
Dengan pertimbangan untuk lebih
memberikan kepastian hukum pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian
oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia, Presiden Joko Widodo
pada tanggal 22 Desember 2015 lalu, telah menandatangani Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
http://setkab.go.id/
akses : 12 Jan 2016
Dalam PP itu disebutkan, yang dimaksud
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut
Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang
keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau
berinvestasi di Indonesia.
“Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai,” bunyi Pasal 2 ayat (1) PP ini.
Orang Asing yang dapat memiliki rumah
tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud adalah Orang Asing
pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal Orang Asing meninggal dunia,
menurut PP ini, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud
dapat diwariskan. Ahli waris sebagaimana dimaksud harus mempunyai izin
tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PP ini juga menegaskan, bahwa Warga
Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat
memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
“Hak atas tanah sebagaimana dimaksud, bukan merupakan harta bersama
yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan
istri, yang dibuat dengan akta notaris,” bunyi Pasal 3 ayat (2) PP ini.
Adapun rumah tempat tinggal atau hunian
yang dapat dimiliki oleh Orang Asing sebagaimana dimaksud merupakan: a.
Rumah Tunggal di atas tanah: 1. Hak Pakai; atau 2. Hak Pakai di atas Hak
Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas
Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. b. Sarusun (satuan
rumah susun) yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
Menurut PP ini, Rumah Tunggal yang
diberikan di atas tanah Hak Pakai yang dapat dimiliki Orang Asing
diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka
waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud berakhir, Hak Pakai dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Adapun Rumah Tunggal di atas tanah Hak
Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian sebagaimana
dimaksud diberikan Hak Pakai untuk jangka waktu yang disepakati tidak
lebih lama dari 30 (tiga puluh) tahun.
Hak Pakai dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan
pemegang hak atas tanah, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak
atas tanah.
“Perpanjangan dan pembaharuan
sebagaimana dimaksud dilaksanakan sepanjang Orang Asing masih memiliki
izin tinggal di Indonesia,” bunyi Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 103
Tahun 2015 itu.
Wajib Melepas
PP No. 103 Tahun 2015 ini juga
menegaskan, apabila Orang Asing atau ahli waris yang merupakan Orang
Asing yang memiliki rumah yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atau
berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah tidak lagi
berkedudukan di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak
lain yang memenuhi syarat.
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud (1 tahun) hak atas rumah dan tanahnya tersebut belum dilepaskan
atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat, menurut PP ini,
rumah dilelang oleh Negara, dalam hal dibangun di atas tanah Hak Pakai
atas tanah Negara; dan rumah menjadi milik pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, dalam hal rumah tersebut dibangun di atas tanah
berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud.
“Hasil lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menjadi hak dari bekas pemegang hak,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemberian, pelepasan, atau pengalihan hak atas pemilikan rumah
tempat tinggal atau hunian oleh Orang Asing, menurut PP ini, diatur
dengan peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 103
Tahun 2015 yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly
pada tanggal 28 Desember 2015 itu. (Pusdatin/ES)
http://setkab.go.id/
akses : 12 Jan 2016
14/01/16
Up Date & Up Grade Kenotariatan | PENTING!
Oleh : DR. Habib Adjie, SH, MHum
Up Date & Up Grade Kenotariatan
1. AKTA
NOTARIS WAJIB DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA – APAKAH ADA SANKSINYA JIKA AKTA
NOTARIS TIDAK DIBUAT DALAM BAHASA INDONESIA ?
BAHASA HUKUM KONTRAK.
a.
Secara umum Kontrak yang dibuat (lisan atau
tertulis) menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para pihak, baik bahasa
internasional, bahasa nasional ataupun bahasa daerah. Bahwa yang dimaksud
dengan Bahasa (Hukum) Kontrak merupakan bahasa yang biasa dipergunakan
(nasional, internasional atau daerah) sesuai dengan tata kaidah bahasa yang
bersangkutan yang mengikat (daya ikat) para pihak yang bertransaksi dan dapat
dieksekusi.
b.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, komunikasi
yang jelas dengan bahasa yang mudah dimengerti merupakan salah satu prinsip
yang sangat penting diingat dalam perancangan suatu kontrak yang baik dan aman.
Kalimat yang berbelit-belit ataupun penggunaan terminologi-terminologi yang
tidak jelas dan bias, akan sangat membuat suatu kontrak rentan dengan konflik.
c.
Bahasa yang paling aman bagi para pihak yang
berkontrak adalah ba¬hasa yang paling dimengertinya. Artinya, bila para pihak
yang berkontrak tersebut adalah orang Indonesia, seharusnyalah kontrak tersebut
dirancang dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesialah bahasa yang paling
mudah untuk dipahaminya. Penggunaan bahasa Inggris pun ataupun bahas lainnya
sesuatu yang harus dilakukan menurut persetujuan diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.
d.
Dalam kontrak terkadang tidak hanya dibuat dalam
satu bahasa tertentu, tapi juga dapat dibuat atau diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa yang dimengerti oleh pihak, misalnya kontrak yang multilateral
yang diikuti oleh negara-negara yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, maka
bisa saja Kontrak dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dikehendaki
oleh para pihak.
e.
Jika hal tersebut dilakukan, maka pada akhir
Kontrak harus disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan, misalnya mengenai
istilah (hukum) tertentu ataupun istilah lainnya, maka harus ditentukan akan
dikembalikan kepada Kontrak yang dibuat dalam bahasa tertentu yang sebelumnya
telah disepakati oleh para pihak tersebut.
f.
Dalam kaitan ini harus harus dibedakan antara
bahasa yang dipergunakan dalam kontrak, dengan kontrak yang diterjemahkan dari
bahasa tersebut, dalam kaitannya jika terjadi sengketa. Jika ada persetujuan
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa tertentu (misalnya bahasa Inggris),
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa lain yang dikehendaki oleh para pihak,
maka jika terjadi sengketa, maka penyelesaiannya harus berdasarkan kepada
bahasa yang telah disepakati tersebut (misalnya bahasa Inggris). Atau Kontrak
dapat dibuat dalam 2 (dua)/lebih bahasa yang dikehendaki oleh para pihak yang
keduanya mempunyai kekuatan yang sama. Jika ini dilakukan maka harus
persesuaian pemahaman/pengertian dengan substansi kontrak tersebut.
g.
Dalam Pasal 43 UUJN – P mengatur mengenai
penggunaan bahasa dalam akta Notaris, yaitu :
(1) Akta
wajib dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam
hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap.
(3) Jika
para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing.
(4) Dalam
hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Notaris wajib
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila
Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(6) Dalam
hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
h.
Pasal 43 ayat (1) UUJN – P telah mewajibkan
bahwa akta Notaris dibuat dalam bahasa Indonesia. Penggunaan kata wajib berarti
jika tidak dilaksanakan akan ada sanksinya, ternyata UUJN – P tidak mengatur
sanksinya, artinya kewajiban tanpa sanksi jika dilanggar. Apakah tepat
penafsirannya seperti itu ?
i. Dalam
hal ini perlu dikaitkan pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa :
Pasal 31 :
(1) Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota
kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan
pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau
bahasa Inggris.
j.
Baik Akta (Notaris) maupun Perjanjian wajib
dibuat dalam bahasa Indonesia dan dari segi formalitas harus mengikuti
ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang Syarat Sahnya
Perjanjian. Akta juga merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu, jika semua kaidah secara formal, matreril dan lahir
dipenuhi, maka akta tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya dan para ahli
waris yang mendapatkan keuntungan dari akta atau perjanjian tersebut. Bahwa
akta atau perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia, tapi ternyata ada akta
atau perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat
dikategorikan telah melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal
Pasal 31 Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009 (untuk Perjanjian
pada umumnya) ? Secara normatif jika hal tersebut dilanggar tidak ada sanksi
apapun. Meskipun tidak ditegaskan ada sanksinya, apakah bisa ditinjau dari
Sahnya perjanjian sebagai sebab yang terlarang ?
k.
Dalam Pasal 1 angka 7, 8, 9, 10 UUJN – P ada
istilah :
(1) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(3) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(4) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
(1) Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
(3) Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.
(4) Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.
l.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UUJN – P bahwa
Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia, dan hal ini sesuai pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009.
m. Bahwa
sudah tentu yang menghadap Notaris untuk membuat akta tidak selalu bisa bahasa
Indonesia, bahkan mungkin hanya bisa bahasa daerah yang ada di Indonesia, hal
ini dapat dikategorikan tidak bisa berbahasa Indonesia juga. Secara normatif
Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Minuta Akta,
Salinan Akta dan Kutipan Akta merupakan bagian aspek formal akta Notaris,
karena akta Notaris harus dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini. Sehingga Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan
Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran aspek
formal, dan pelanggaran terhadap aspek formal akta Notaris ada sanksinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUJN – P.
n.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris,
Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta dapat pula ditinjau berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya mengenai Syarat Objektif suatu Perjanjian
yaitu tentang Suatu Sebab Yang Terlarang Menurut Hukum. Sudah menjadi kaidah
umum dalam Hukum Perjanjian bahwa Perjanjian yang melanggar salah satu syarat
objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan demikian apakah
bisa dalam Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat
dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar
salah satu syarat objektif, yaitu sebab yang terlarang ?
o.
Pasal 1337 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Jika menggunakan
ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut sudah tentu Akta Notaris, Minuta Akta,
Salinan Akta dan Kutipan Akta yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa
Indonesia Batal Demi Hukum karena melanggar salah satu syarat objektif, yaitu
sebab yang terlarang. Jika undang-undang mewajibkan setiap kontrak atau
perjanjian (termasuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta)
menggunakan bahasa Indonesia, harus diikuti. Dengan ancama Batal Demi Hukum
jika dilanggar.
p.
Berdasarkan uraian di atas, apakah boleh Minuta
Akta dibuat selain dalam bahasa Indonesia ? Dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, maka untuk Akta
Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa
Indonesia, sehingga tidak boleh ada Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan
Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia.
q.
Sehingga jika para penghadap menginginkan
Salinan Akta, Kutipan Akta dalam bahasa yang lain, juga dalam bahasa dan huruf
yang lain, maka harus dilakukan penterjemahan dari Salinan Akta, Kutipan Akta
yang berbahasa Indonesia tersebut. Dan penterjemahan tersebut dilakukan oleh
penterjemah tersumpah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 43 Ayat (4)
UUJN – P, yaitu :
Penerjemah resmi dalam ketentuan ini antara lain
penerjemah tersumpah yang bersertifikat dan terdaftar atau menggunakan staf
pada kedutaan besar negara asing jika tidak ada penerjemah tersumpah.
r.
Meskipun demikian tetap dibuka kemungkinan akta
(Minuta, Salinan, Kutipan dan Grosse Akta) dapat dibuat dalam bahasan lain
(selain bahasa Indonesia) jika hal tersebut dikehendaki oleh para penghadap
(Pasal 43 ayat (3) UUJN – P). Hal ini berlaku ketentuan khusus untuk Akta
Notaris. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN – P ada kontradiksi jika dikaitkan
dengan Pasal 43 ayat (6) UUJN – P, yaitu jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai
isi akta, maka yang dipergunakan adalah akta Notaris yang berbahasa Indonesia.
Kalau pada akhirnya jika terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi akta yang
akan dijadikan acuan adalah akta yang berbahasa Indonesia, lebih tepat sejak
awal akta Notaris (Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta) dibuat
menggunakan bahasa Indonesia saja.
• Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Minuta
Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia.
2.
Jika
ingin menggunakan bahasa lain (selain bahasa Indonesia) dapat dilakukan
penterjemahan kepada bahasa lain yang dikehendaki oleh para penghadap oleh
penterjemah resmi berbahankan dari Salinan atau Kutipan Akta.
3.
Minuta Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta yang
tidak menggunakan bahasa Indonesia telah melanggar aspek formal akta Notaris
dengan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 41 UUJN – P dan juga telah
melanggar Syarat Objektif sebagai hal terlarang berdasarkan undang-undang,
sehingga Batal Demi Hukum.
• Dalam akta Notaris selain wajib penggunaan bahasa Indonesia, perlu juga diperhatikan
mengenai penafsiran terhadap bahasa yang dipergunakan dalam akta Notaris
dan bahasa
hukum yang dipergunakan untuk akta Notaris.
• Ketika sebuah akta (atau kontrak atau
perjanjian) telah sempurna, artinya aspek formal dan materil telah dipenuhi,
dan berjalankan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak, maka terkadang
dalam menimbulkan permasalahan, yang berkaitan dengan segala hal yang tersebut
dalam akta yang bersangkutan, misalnya mengenai kata atau kalimat atau istilah
yang dipergunakan. Jika hal ini terjadi, maka terhadap akta tersebut dilakukan
penafsiran atau interpretasi. Masalah penafsiran akta (perjanjian/kontrak)
termasuk salah satu hal yang penting dalam setiap akta, baik pada saat
pembuatan akta maupun pada waktu penerapannya dikemudian hari.
• Akta sebagai suatu komunikasi yang mengatur hak
dan kewajiban para pihak atau para penghadap. Karena itu, sejalan dengan maksud
dan tujuannya, maka kata ataupun kalimat yang artinya jelas dan dan tegas serta
ada keharusan untuk mempergunakan kata-kata yang tepat, (istilah atau kalimat
yang berpotensi mempunyai pengertian multitafsir), dalam akta telah menyediakan
tempat khusus mengenai penjelasan pengertian dari kata-kata, frase yang mempunyai
arti ganda tersebut, yaitu dalam klausula definisi, juga yang mempunyai
pengertian yang mudah untuk membantu dan upaya penerjemahannya.
2. PERUBAHAN
ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/KETIK – PASAL 48 UUJN – P HANYA
MEMBOLEHKAN PERUBAHAN ISI AKTA, JIKA TERJADI KESALAHAN TULIS/ KETIK
Mengenai Isi Akta, dihubungkan
dengan Larangan yang tercantum dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
(1) Isi Akta dilarang untuk diubah dengan :
a. diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
(2) Perubahan
isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi
tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
·
Dalam praktek Notaris kesalahan ketik (kata atau
kalimat yang salah) bisa saja terjadi dan diketahui ketika sedang dilakukan
pembacaan, tapi bukan hanya kesalahan ketik bisa saja data yang diketikkan
tidak sesuai dengan faktanya atau isi akta tidak semuanya sesuai dengan
keinginan penghadap. Kesalahan tersebut bisa saja terjadi pada semua bagian
akta (Awal – Isi dan Akhir) akta, atas kesalahan tersebut dapat dilakukan
Perubahan, tapi dalam hal Pasal 48 UUJN – P hanya memperbolehkan perubahan
hanya pada Isi akta saja. Perubahan tersebut dapat dilakukan karena masih
berupa rancangan akta yang belum ada paraf dan tanda tangan penghadap, saksi
dan Notaris.
· Pasal
48 ayat (1) UUJN – P secara imperatif (jelas – tegas – lugas) melarang
Perubahan terhadap Isi Akta. Padahal kontruksi formalitas akta Notaris selain
badan (yang di dalamnya ada Isi Akta) juga ada awal dan akhir akta. Bahwa Awal
dan Akhir Akta merupakan tanggungjawab Notaris sepenuhnya. Oleh karena itu
terhadap Isi Akta Notaris dilarang membuat kesalahan, meskipun demikian menurut
Pasal 48 ayat (2) UUJN – Pada perkecualian untuk perubahan yang meliputi :
a.
diganti;
b.
ditambah;
c.
dicoret;
d.
disisipkan;
dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.Tapi untuk huruf (e)dihapus; dan/atau (f) ditulis tindih tetap dilarang untuk dilakukan. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, yaitu melakukan Perubahan berupa Penggantian, Penambahan, Pencotetan dan Penyisipan tidak dilakukan paraf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan melakukan penghapusan, ditulis tindih, menurut Pasal 48 ayat (3) UUJN – P akan ada sanksi terhadap :
1. Aktanya : Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
2. Notaris : dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita rugi untuk menuntut
dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.Tapi untuk huruf (e)dihapus; dan/atau (f) ditulis tindih tetap dilarang untuk dilakukan. Pelanggaran terhadap pasal tersebut, yaitu melakukan Perubahan berupa Penggantian, Penambahan, Pencotetan dan Penyisipan tidak dilakukan paraf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan melakukan penghapusan, ditulis tindih, menurut Pasal 48 ayat (3) UUJN – P akan ada sanksi terhadap :
1. Aktanya : Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
2. Notaris : dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita rugi untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
· Ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P sebenarnya
tidak melarang (dikecualikan) mengubah Isi Akta sebagaimana ditentukan di atas,
tapi dalam praktek Notaris bahwa kesalahan (misalnya kesalahan ketik berupa
kurang huruf atau kurang kata kalimat atau salah penyebutan nama) bisa juga
terjadi pada Awal dan Akhir Akta. Dalam hal ini apakah Pasal 48 ayat (1) dan
(2) UUJN – P melarang perubahan berupa :
a. diganti;
b. ditambah;
c. dicoret;
d. disisipkan;
e. dihapus; dan/atau
f. ditulis tindih.
untuk dilakukan pada Awal dan Akhir Akta ?
·
Secara normatif larangan tersebut hanya
khusus untuk Isi Akta, meskipun sebenaranya diperboleh untuk perubahan
tertentu saja (tidak untuk dihapus; dan/atau ditulis tindih) dan atas perubahan
tersebut dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda
pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris dan sanksinyapun untuk yang
melanggar ketentuan pasal tersebut. Sehingga jika dilakukan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 48 ayat (1) dan (2) UUJN – P pada Awal dan Akhir Akta
merupakan suatu pelanggaran ? Dan akan ada sanksi untuk akta dan Notarisnya ?
·
Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa :
1.
Jika tidak diatur berarti boleh dilakukan pada
awal dan akhir akta, atau
2.
Jika tidak diatur tidak boleh dilakukan pada
awal dan akhir akta.
·
Sebagai bahan perbandingan bahwa ketentuan Pasal
48 ayat (1) dan (2) UUJN – P, pernah juga diatur dalam Pasal 33 PJN (Peraturan
Jabatan Notaris), yaitu :
Pasal 33 :
Tidak diperkenankan mengadakan penulisan di atasnya,
sisipan atau tambahan perkataan atau huruf dalam akta atau dalam
perubahan-perubahan dan tambahan yang diadakan di sisi atau sebelum penutupan
akta atau dengan cara apapun juga menghapuskan atau menghilangkannya serta
menggantikannya dengan tulisan lain, dengan ketentuan bahwa penggantian dan
tambahan perkataan dan huruf itu tidak sah.
· Pasal 33 PJN tersebut Perubahan boleh dilakukan
terhadap akta (tidak menyebutkan bagian tertentu), hal ini dapat dimegerti
karena dalam PJN tidak ditegaskan ada bagian-bagian tertentu dalam akta.
Pembagian tersebut dimulai ada dalam Pasal 38 UUJN dan Perubahannya hanya dapat
dilakukan pada Isi Akta (Pasal 48 ayat (1) UUJN). Dalam kenyataannya tidak
sedikit Notaris melakukan Perubahan pada Awal dan Akhir meskipun pada saat itu
ada sanksinya bagi Notaris yang melanggarnya berdasarkan Pasal 84 UUJN. Dan
ketentuan sanksi dalam Pasal 84 UUJN ini sudah dicabut.
·
Pasal 49 dan 50 UUJN – P merupakan aturan secara
teknis untuk melakukan perubahan jika terjadi kesalahan pada Isi Akta yang
disebutkan dalam Pasal 48 UUJN – P, yaitu :
Pasal 49 :
(1)
Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta.
(2)
Dalam hal suatu perubahan tidak dapat dibuat di
sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta, sebelum penutup
Akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar
tambahan.
(3)
Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian
yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi
pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga kepada Notaris.
Pasal 50 :
(1) Jika
dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan
dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang
tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan
pada sisi kiri Akta.
(2) Pencoretan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi
tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Dalam
hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), perubahan itu dilakukan pada sisi kiri Akta sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).
(4) Pada
penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atas
pencoretan.
(5) Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), serta dalam Pasal 38 ayat (4) huruf d tidak dipenuhi, Akta tersebut hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
·
Bahwa Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 UUJN – P merupakan suatu Renvooi.
·
Renvooi
hanya untuk perubahan yang dilakukan terhadap rancangan akta. Ketentuan ini
meminta kepada Notaris jangan sampai salah atau membuat kesalahan dalam membuat
Awal dan Akhir Akta, kecuali Isi Akta karena jika terjadi kesalahan boleh
diubah.
·
Jika sejak berlakunya Pasal 48 UUJN – P ini
ketika Notaris membacakan akta ternyata menemukan kesalahan (apapun) dalam Awal
dan Akhir Akta, apa yang harus dilakukan :
• Langsung lakukan perubahan atas rancangan akta
tersebut dengan melakukan cetak (print) ulang, jika penghadapnya masih
ada/menghadap dan ada peralatan kantor untuk mendukungnya.
• Jika penghadapnya sudah tidak ada (sudah tidak
ada di hadapan Notaris) harus menghubungi para penghadap lagi untuk membuat
perbaikan akta (bukan Perubahan).
• Jika penghadapnya sudah tidak bisa dihubungi
dengan cara apapun, apakah tetap harus dilakukan Perubahan sebagaimana
dilakukan pada Isi Akta ? Jika berprinsip jangan dilakukan jika tidak diatur,
maka tidak perlu dilakukan. Tapi jika berprinsip jika tidak tidak diatur boleh
dilakukan, maka lakukan saja karena tidak ada sanksinya.
Langganan:
Postingan (Atom)