01/05/13

TUGAS HUKUM JAMINAN 3 | PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK YANG MENJADI OBYEK HAK TANGGUNGAN (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG 1842 /K/Pdt/2003).

BAB I
PENDAHULUAN

. LATAR BELAKANG MASALAH
Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga diperlukan suatu kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga-lembaga pemberi piutang atau lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan lembaga keuangan lainnya. Selanjutnya kegiatan pinjam meminjam uang ini telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat, yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Hampir seluruh lapisan masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Kaitannya dengan kegiatan yang dilakukan dalam perkembangan perekonomian bagi setiap lapisan masyarakat dengan kegiatan pinjam meminjam uang pada saat ini, maka berbagai lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank memberikan suatu fungsi dalam pemberian pinjaman. Untuk menjamin kembalinya suatu hak, banyak benda yang bisa dijaminkan dalam perhutangan, bisa nerupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak.
Hak Tanggungan merupakan jaminan benda tak bergerak, yang tentang Hak Tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 April 1996 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pada dasarnya pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) telah dijanjikan bahwa akan diatur mengenai Hak Tanggungan sebagai hak yang memberikan jaminan atas tanah dan benda-benda yang berada di atas tanah itu, baik berikut dengan benda-benda atas tanah tersebut atau tidak, akan dibuat peraturannya oleh pemerintah.
Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan menghapus ketentuan tentang hypotik dan creditverband. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 yang dapat dijaminkan dengan jaminan hypotik adalah hak-hak tertentu atas tanah, seperti : Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Hak pakai belum dimungkinkan untuk dijadikan jaminan untuk hutang. Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tersebut, Hak Pakai tertentu wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan, telah dijadikan sebagai objek hak tanggungan. Undang-Undang Hak Tanggungan juga memiliki cakupan lebih luas dibanding undang-undang sebelumnya. Terutama dalam rangka proses pembangunan secara besar-besaran di bidang ekonomi pada umumnya dan real estate pada khususnya, yaitu dalam rangka pemerintah yang diselenggarakan dengan mendirikan Rumah Susun, Apartemen dan Kondominium. Ternyata atas benda seperti ini diberi kesempatan unuk dijadikan sebagai obyek hak tanggungan.
Terkait dengan hak tanggungan, dalam suatu kajian mengenai kegiatan perkreditan modern yang memberikan perlindungan khusus dan kedudukan istimewa kepada kreditur, maka juga akan berbicara terkait hukum yang mengatur perjanjian dan hubungan hutang-piutang antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menuntut penjualan lelang harta kekayaan debitur dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitur wanprestasi dan atau ingkar janji. Namun bukan hanya memperhatikan kepentingan kreditur saja, perlindungan juga diberikan secara seimbang kepada kreditur, bahkan pihak ketiga yang kepentingannya bisa terpengaruh oleh cara penyelesaian utang-piutang kreditur dan debitur dalam hal debitur wanprestrasi dan atau ingkar janji. Khususnya pada kreditur lain dan pihak yang membeli obyek yang dijadikan jaminan.
Dalam suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
Suatu perjanjian adalah sutau perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Namun materi pasal tersebut sangatlah lemah, yang teridentifikasi adalah terjadinya suatu perjanjian sepihak, dimana kelemahannya adalah menyebut “mengikatkan dirinya”, yang seharusnya adalah “saling mengikatkan diri”. Selain itu tidak termuat adanya kata kesepakatan di dalamnya. Oleh karena itu maka di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian terhadap perjanjian itu sangat luas. Maka untuk lebih mempertegas perjanjian dalam bentuk apa yang akan kami ketengahkan dalam tulisan ini, kaitannya dengan hak tanggungan adalah jenis perjanjian kebendaan dan perjanjian konsensuil.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk menyerahkan hak milik atau eigendom, sedangkan perjanjian konsensuil adalah perjanjian kesepakatan. Kesepakatan merupakan salah satu unsur dalam syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Terkait dengan kesepakatan, dapat juga terjadi suatu kesepakatan dalam perjanjian yang disebut perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura, dimana dua orang atau lebih keluar menunjukkan seolah-olah terjadi perjanian, namun sebenarnya secara rahasia mereka setuju bahwa perjanjian yang Nampak itu tidak berlaku.
Salah satu penyebab adanya ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan adalah karena para pihak tidak menginginkan akibat hokum dari apa yang mereka nyatakan, hal ini kemudian dituangkan dalam perjanjian simulasi. Dapat dikatakan bahwa di antara para pihak telah terjadi persekongkolan untuk secara diam-diam dan secara sadar melakukan suatu tindakan hukum yang menyimpang dari apa yang seharusnya terjadi.
Lebih lengkap menurut Herlien Budiono, simulasi adalah :
“Satu atau serangkaian perbuatan melalui mana dua atau lebih pihak mengesankan telah terjadi suatu hokum tertentu, padahal secara diam-diam disepakati bahwa diantara mereka tidak akan terbentuk perjanjian atau akibat hukum apapun dari simulasi yang mereka lakukan”.
Di dalam makalah ini penulis akan mengkaji suatu perjanjian simulasi yang dilakukan diantara kedua belah pihak, yang selanjutnya perjanjian tersebut kemudian dituangkan dalam suatu akta otentik sebagai akta yang dibuat oleh Notaris, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris di mana kewenangannya adalah membuat suatu akta otentik, juga sebagaimana yang dituangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang utnuk itu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang.
Selanjutnya salah satu pihak telah memanfaatkan perjanjian utang piutang tersebut dengan mensyaratkan adanya akta jual beli yang dituangkan ke dalam akta otentik di mana memasukkan suatu sertipikat hak milik yang dimiliki oleh yang berhutang sebagai jaminan hutangnya. Namun selanjutnya akta tersebut dijadikan pihak yang lainnya untuk melakukan baliknama atas dirinya. Di sini timbul suatu permasalahan hukum, yang menimbulkan terjadinya suatu perkara gugat menggugat, mulai dari gugatan konpensi, gugatan rekonpensi dari tingkat 1 hingga akhirnya sampai ke Kasasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan analisis dalam bentuk makalah dengan judul “ PEMBATALAN SERTIPIKAT HAK MILIK YANG MENJADI OBYEK HAK TANGGUNGAN (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG 1842 /K/Pdt/2003).

. PERUMUSAN MASALAH
1. Mengapa Sertipikat Hak Milik yang menjadi obyek hak tanggungan Batal demi hukum?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan terhadap pihak kreditor dalam hal sertipikat yang dijadikan jaminan hak tanggungan ternyata dibatalkan baik karena cacat yuridis maupun cacat prosedur?
3. Kerugian apa saja bagi pihak bank yang timbul apabila sertipikat yang menjadi jaminan hak tanggungan dapat batal demi hukum?

. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.​Untuk mengetahui Sertipikat Hak Milik yang menjadi obyek hak tanggungan Batal demi hukum.
2.​Untuk mengetahui bentuk perlindungan terhadap pihak kreditor dalam hal sertipikat yang dijadikan jaminan hak tanggungan ternyata dibatalkan baik karena cacat yuridis maupun cacat prosedur
3. Untuk mengetahui kerugian apa saja bagi pihak bank yang timbul apabila sertipikat yang menjadi jaminan hak tanggungan dapat batal demi hukum.

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dari dua sisi, yaitu praktis dan teoritis.
Dari sisi praktis, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi masukan bagi :
a. ​Kantor Pertanahan, agar memperhatikan penelitian data fisik dan data yuridis secara cermat dalam proses penelitian sertipikat, yang sedang dijadikan agunan kredit pada Bank untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Tanggungan.
b. Debitor atau pemilik jaminan, agar ada kepastian kelangsungan dari fasilitas kredit yang disediakan oleh kreditor karena tetap di cover dengan jaminan yang memadai dan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku serta adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah.
c. ​Pejabat Pembuat Akta Tanah, agar lebih berhati-hati dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atas Hak Milik atau hak-hak atas tanah lainnya yang diberikan untuk waktu yang terbatas.

Dari sisi teoritis, diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan Hukum Jaminan pada umumnya dan khususnya di bidang Hak Tanggungan, serta dapat dipergunakan sebagai bahan kajian untuk menyempurnakan Hak Tanggungan agar lebih akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI
Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Kajian mengenai hak tanggungan yang timbul dalam suatu perjanjian, sangat erat kaitannya dengan konsep atau teori pembentukan peraturan perundang-undangan dalam hal ini, Yuliandri menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan, terkait hal tersebut maka dalam kajian terhadap pemberian hak tanggungan sebagaimana bersumber dari hukum tanah nasional, dimana sebelum munculnya uuht, persoalan-persoalan yang terkait dengan tanah, mengenai adanya jaminan hak atas tanah pengaturannya bersumber dari Undang-undang Pokok Agraria yang merupakan kodivikasi dari hukum tanah di Indonesia.
Pengaturan terhadap persoalan yang terkait dengan tanah yang bersumber dari Undang-undang Pokok Agraria adalah tidak terlepas dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu dalam melihat metode yang pasti, baku dan standar sebagaimana yang dikemukakan oleh Yuliandri diatas bahwa pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut pembentukannya telah mengikat semua lembaga yang berwenang di dalamnya.
Pendapat para ahli hukum tentang pembentukan peraturan perundang-undangan diatas merupakan suatu penegasan akan arti pentingnya pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu asas-asas sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar ditaati dan dijadikan pedoman.
Dalam hal perjenjangan norma, kajian ini mempergunakan Teori Stufenbau dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah yang berjenjang, di mana hukun yang lebih tinggi dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar.
Hans Nawiaski dalam Maria Farida Indriati menyebutkan bahwa norma-norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.
Asas Lex Specialis derogat Legi Generalia, merupakan asas yang mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang sama adanya asas ini dapat dipahami mengingat peraturan perundang-undangan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi dapat pula dibayangkan sebaliknya, yaitu peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang dihadapi.Ketentuan demikian justru termuat didalam peraturan perundang-undangan yang telah digantikan.
Berdasarkan asas tersebut maka produk hukum uu dalam hal ini adalah Undang-Undang Hak Tanggungan yang muncul sertelah adanya peraturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang meskipun tidak termasuk dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan, namun tetap dijadikan sebagai dasar hukum dalam suatu peraturan kebendaan, yang terkait didalamnya adalah tentang perjanjian kebendaan.
​Di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan tidak termuat tentang suatu syarat sahnya perjanjian , namun menjelaskan bahwa pembebanan hak tanggungan muncul ketika terjadinya perjanjian pokok, sebab hak tanggungan memiliki sifat accesoir. Sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata memuat tentang suatu syarat sahnya perjanjian.

B. Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan ( UUP ) yang dimaksud agunan, adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank, dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Djuhaendah Hasan berpendapat, jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan debitur, yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitur atau usaha pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Menurut Hasanudin Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada pihak kreditur, karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan, bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

2. Fungsi Jaminan
Fungsi jaminan utang adalah untuk :
1. ​Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank ( kreditur ) untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah ( debitur ) melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah atau debitur berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan sendiri atau perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3.​Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Menurut ketentuan Undang-undang, kreditor mempunyai hak penuntutan pemenuhan hutang terhadap seluruh harta kekayaan debitor, baik yang berwujud benda bergerak maupun benda tak bergerak, baik benda-benda yang telah ada maupun yang masih akan ada (Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jika hasil penjualan benda-benda tersebut ternyata tidak mencukupi bagi pembayaran piutang para kreditor, maka hasil tersebut dibagi-bagi antara para kreditor, seimbang dengan besarnya piutang masing-masing ( Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Di samping para kreditor konkuren ada juga kreditor preferen, di mana pemenuhan piutangnya didahulukan (voorang) dari pada piutang-piutang yang lain, karena mereka mempunyai hak preferensi. Menurut ketentuan undangundang, ditentukan para kreditor pemegang hipotik, gadai dan privilege mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau diutamakan dari piutang-piutang lainnya (Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Hak untuk didahulukan dalam pemenuhan itu timbul, karena dua jalan. Pertama karena memang sengaja diperjanjikan lebih dulu bahwa piutangpiutang kreditor itu akan didahulukan pemenuhannya daripada piutang-piutang yang lain. Hal demikian terjadi pada piutang-piutang dengan jaminan hipotik dan gadai. Kedua, kemungkinan untuk pemenuhan yang didahulukan itu timbul karena memang telah ditentukan oleh undang-undang. Tingkatan –tingkatan dari lembaga jaminan di Indonesia, dalam arti mana harus diutamakan lebih dulu / lebih didahulukan daripada yang lain dalam pemenuhan hutang, dapat diperinci sebagai berikut: Pertama kali yang paling diutamakan adalah hipotik ( Hak Tanggungan ) dan gadai (antara hipotik/Hak Tanggungan dan gadai tidak ada persoalan yang mana lebih didahulukan karena obyeknya berbeda ). Kemudian menyusul para pemegang hak privilege. Mengapa demikian, karena pada asasnya apa yang ditentukan oleh para pihak itu lebih didahulukan daripada ketentuan undang-undang. Sedangkan privilege timbul dari undang-undang. Para pemegang hipotik, pemegang gadai dan privilege itu disebut kreditor preferen, yaitu kreditor yang pemenuhan piutangnya diutamakan dari kreditor lainnya, ia mempunyai hak preferensi ( Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengcover utang karena itu jaminan merupakan sarana pelindungan bagi para kreditor yaitu kepastian akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau penjamin debitor. Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan
pemberian kredit. Oleh karena itu jaminan yang baik ( ideal ) adalah :
a. ​Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya
b. ​Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya yang memberi kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima ( pengambil ) kredit.
3. Jenis-jenis Jaminan.
1 Jaminan Perorangan.
Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau wanprestasi. Menurut R.Subekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang ( debitur ) .
Ia bahkan dapat diadakan di luar sepengetahuan si berhutang. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jaminan perorangan merupakan penanggungan, sesuai dengan Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
2 Jaminan Kebendaan.
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta baik dari si debitur maupun dari pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji atau wanprestasi. Menurut R.Subekti pemberian jaminan kebendaan berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan ( pembayaran kewajiban ( utang ) seorang debitur. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitur sendiri atau kekayaan pihak ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara khusus itu diperuntukkan bagi keuntungan seorang kreditur tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu, bagian dari kekayaan tadi seperti halnya seluruh kekayaan debitur dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang si debitur. Pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditur tersebut, suatu hak privilege atau kedudukan istimewa terhadap para kreditur lain.
Jika terjadi tubrukan antara hak-hak yang bersifat kebendaan dan hak yang bersifat perorangan, maka hak kebendaan lebih dimenangkan daripada hak perorangan. Lembaga jaminan kebendaan adalah Gadai, Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia, Hipotik (bukan tanah), sedangkan lembaga jaminan perorangan adalah Borg Tocht/ Penanggungan.

C. Hak Tanggungan
1. ​Pengertian Hak Tanggungan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Undnag-Undang Hak Tanggungan disebutkan pengertian dari Hak Tanggungan, adapun yang dimaksud dengan Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hakjaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Hak tanggungan yang diatur Dari hal tersebut, maka suatu benda yang dibebankan dengan hak tanggungan adalah suatu perjanjian kebendaan dimana merupakan jaminan dalam pelunasan suatu hutang dan merupakan suatu perjanjian accesoir atau mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu utang piutang.
Pengertian Hak tanggungan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan di atas sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah nasional atau Undang-Undang Pokok Agraria. Asas pemisahan horizontal ini menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut. Namun demikian, kenyataan menunjukkan banyak bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, jika dilakukan, maka pihak harus menyatakannya secara tegas di dalam Akta pemberian Hak tanggungan (APHT) bahwa hak tanggungan tersebut adalah hak atas tanah beserta benda-benda lain di atasnya. Perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga diperlukan suatu kepastian hukum bagi lembaga-lembaga.

2. ​Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan​
Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditur dan debitur, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu membuat perjanjian yang menimbulkan hutang piutang.
Pemberian hak tanggungan di dalam suatu perjanjian jaminan atas suatu kebendaan, tentunya dilalui dengan adanya suatu perjanjian yang dituangkan di dalam suatu akta perjanjian yakni Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), namun kembali kepada esensi perjanjian itu sendiri, di dalam kasus yang akan kita kaji, jika dilihat dalam syarat sahnya suatu perjanjian, pada unsur obyeknya adalah terlihat obyek yang tidak halal meskipun adanya kesepakatan, namun kesepakatan di sini dilandasi dengan sebuah perjanjian pura-pura (simulasi) yang kemudian dimanfaatkan sebagai suatu syarat dan dijadikan dasar untuk pengalihan suatu hak yang kemudian dijaminkan, di sini secara implicit obyek dari awal perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan karena banyaknya kekeliruan yang disengaja di antara kedua belah pihak.

3. Hak Tanggungan Lahir dari Perjanjian
Setiap perikatan pada umumnya selalu terdapat dua unsur yang secara bersama-sama, yaitu schuld dan haftung, yang mana diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagai suatu asas,yang berarti bahwa: “setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak (benda tetap), jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung). Asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan didalam hukum perikatan yaitu dimana setiap orang yang memberikan hutang kepada seseorang percaya bahwa debitur akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Juga setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk undang-undang dikuatkan sebagai norma hukum.
Di dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu:
Hak tanggungan atas tanah beserta benfda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undsang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria , berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

​Berdasarkan pasal tersebut, maka jelas merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan yang meskipun tidak dinyatakan tegas, adalah jaminan yang lahir dari perjanjian. Selanjutnya, jika dibaca lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, dalam rumusan Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 Undang-undang Hak Tanggungan dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian hak tanggungan hanya dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian.

4. Pemberian Hak Tanggungan Harus Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjan.
Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa suatu perjanjian telah lahir ketika telah ada kata kesepakatan, namun bukan hanya kesepakatan saja tetapi melihat apakah suatu perjanjian telah memenuhi unsur syarat sahnya perjanjan. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1320, bahwa :
Untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal;
Dalam Ilmu hukum selanjutnya, membedakan keempat hal tersebut ke dalam dua syarat, yaitu syarat subyektif dan syarat objektif.
Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemenuhan syarat subjektif pemberian Hak Tanggungan adalah pemenuhan syarat subjektif sahnya perjanjian. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dibedakan ke dalam
1) adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri;
2) adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat perikatan.
Sedang untuk syarat objektif sahnya perjanjian dapat dibedakan ke dalam :
1) suatu hal tertentu;
2) suatu sebab yang halal.
Pemberian hak tanggungan di dalam suatu perjanjian jaminan atas suatu kebendaan, tentunya dilalui dengan adanya suatu perjanjian yang dituangkan di dalam suatu akta perjanjian yakni Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), namun kembali kepada esensi perjanjian itu sendiri, di dalam kasus yang akan kita kaji, jika dilihat dalam syarat sahnya suatu perjanjian, pada unsur obyeknya adalah terlihat obyek yang tidak halal meskipun adanya kesepakatan, namun kesepakatan di sini dilandasi dengan sebuah perjanjian pura-pura (simulasi) yang kemudian dimanfaatkan sebagai suatu syarat dan dijadikan dasar untuk pengalihan suatu hak yang kemudian dijaminkan, di sini secara implicit obyek dari awal perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan karena banyaknya kekeliruan yang disengaja di antara kedua belah pihak.

5. sifat-sifat dari Hak Tanggungan

a. Hak Tanggungan memberikan hak preferent (droit de preferent), atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Pasal 6).
b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi kecuali diperjanjikan (Pasal 2 UUHT).
c. Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada. (Pasal 4 ayat (4))
d. Hak Tanggungan mempunyai sifat doit de suite (selalu mengikuti bendanya, ditangan siapapun benda tersebut berada).(Pasal 7)
e. Hak Tanggungan dibebankan kepada hak atas tanah saja.
f. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
g. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
h. Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA/UU No. 5 Tahun 1960, yang meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha.

BAB III
PEMBAHASAN

. Pembatalan Sertipikat Hak Milik yang menjadi obyek hak tanggungan.
Tanah menempati posisi yang sangat penting dalam pembangunan. Oleh karena itu, tanah kemudian ditempatkan sebagai modal bagi pembangunan. Sebagai modal yang sangat penting dalam pembangunan maka kompleksnya masalah pertanahan dapat menghambat proses pembangunan yang sedang berjalan. Untuk menghindari hambatan-hambatan yang kemungkinan timbul maka salah satu langkah yang dilakukan adalah pembaruan hukum pertanahan nasional.
Salah satu upaya pembaharuan hukum pertanahan nasional yang dilakukan adalah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah yang dikenal dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) . Lahirnya Undang-undang Hak Tanggungan menunjukkan bahwa lembaga jaminan atas tanah juga mengalami unifikasi karena sebelum lahirnya Undang-undang Hak tanggungan terdapat dualisme hukum jaminan atas tanah di Indonesia. Dualisme yang dimaksud adalah keberadaan hipotik sebagai lembaga yang berasal dari hukum tanah barat dan credietverband sebagai lembaga yang berasal dari hukum adat.
Undang-undang Hak Tanggungan merupakan pelaksanaan Pasal 51 Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sehingga hak tanggungan dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dan hak pakai sebagai hak yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Pada awalnya, hak pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek hak tanggungan karena hak pakai tidak termasuk dalam hak-hak yang wajib didaftarkan sehingga tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang namun dalam perkembangan Undang-undang Hak Tanggungan, hak pakai atas tanah negara pun dapat didaftarkan dan hak pakai yang didaftarkan itu menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah serta Peraturan pemerintah No. 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
Lembaga perbankan cenderung lebih menerima jaminan kebendaan karena merupakan jaminan yang paling menguntungkan kreditor oleh karena di dalam perjanjian penjaminan ditentukan bahwa benda tertentu yang diikat perjanjian dan objek jaminan yang diutamakan adalah tanah sebab nilai tanah tidak pernah berkurang. Hak tanggungan merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang hanya memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk memperoleh pelunasan piutangnya secara mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya.
Hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (objek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji. Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani objek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”)
Ciri paling pokok dari hak tanggungan yaitu droit de suite menyebabkan pemegang hak tanggungan sangat dilindungi. Ke tangan siapapun kebendaan tersebut beralih, pemilik dengan hak kebendaan tersebut berhak untuk menuntut kembali dengan atau tanpa disertai ganti rugi. Ciri droit de suite ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
Dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan, sering timbul masalah yang dapat merugikan salah satu atau kedua belah pihak, salah satunya adalah pembatalan sertipikat hak atas tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan. Pembatalan sertipikat tersebut terjadi karena adanya gugatan dari pihak lain terhadap sertipikat yang sedang menjadi objek hak tanggungan dan diputuskan oleh pengadilan bahwa pihak penggugat menjadi pemilik sah atas tanah tersebut sehingga hak pemilik lama dinyatakan hapus. Terjadinya pembatalan sertipikat hak atas tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan tentu saja berakibat pada perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan antara kreditor dan debitor. Pembatalan sertipikat hak milik baik karena cacat prosedur maupun cacat yuridis menyebabkan terjadinya perubahan status tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan dan hapusnya hak dari pemilik sertipikat yang dibatalkan.
Dalam Pasal 18 Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa salah satu yang menyebabkan hak tanggungan hapus adalah hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Jika didasarkan pada ketentuan ini maka dengan adanya pembatalan sertipikat tanah yang sedang dijaminkan maka hapuslah hak dari debitor atas tanah tersebut dan ini berarti hak tanggungan pun terhapus. Masalah yang kemudian timbul adalah kedudukan perjanjian kredit antara debitor dan kreditor setelah hapusnya hak tanggungan akibat pembatalan sertipikat hak milik yang menjadi objek hak tanggungan.
Tanah yang menjadi objek hak tanggungan telah beralih ke pemilik baru, sementara pihak debitor (pemilik lama) belum melunasi utang pada kreditor. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak pemilik baru dan bagi pihak bank sebagai kreditor. Di satu sisi, pihak pemilik baru memiliki dasar yang kuat yaitu Putusan Pengadilan namun di sisi lain pihak bank juga memiliki ikatan perjanjian dengan pemilik lama sehingga jika pihak bank menyerahkan sertipikat untuk dibatalkan dengan sendirinya tanah yang menjadi barang jaminan bukan lagi milik pemilik lama. Adanya ketidakpastian bagi pihak kreditor inilah yang menjadi suatu masalah dalam beberapa kasus pembatalan sertipikat hak milik .
Sertipikat hak atas tanah adalah suatu produk Pejabat Tata Usaha negara (TUN) sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara. Atas perbuatan hukum tersebut seseorang selaku pejabat TUN dapat saja melakukan perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan kewajiban hukumnya. Perbuatan yang salah atau lalai menghasilkan produk hukum sertipikat yang salah, baik kesalahan atas subjek hukum dalam sertipikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertipikat tersebut. Kesalahan mana dapat terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah. Kesalahan dalam pembuatan sertipikat bisa saja karena adanya unsur penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan atau paksaan (dwang), dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertipikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum sedangkan bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara/BPN maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah, yaitu: atau penyalahgunaan kewenangan dari pejabat Tata Usaha Negara. ada
1. Ketetapan harus dibuat oleh alat yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
2. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming).
3. Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu bilaman cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah, misalnya: Ketetapan yang dibuat oleh organ atau pejabat yang berwenang (bevogd), ketetapan itu dibuat karena adanya penipuan (bedrag), ketetapan itu tidak menurut prosedur berdasarkan hukum (rechtmatige) dan ketetapan itu tidak memenuhi tujuan peraturan dasarnya (doelmatige) atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang (detounament de pauvoir). Akibat adanya tindakan tersebut, maka terhadap sebuah sertipikat, dapat diajukan pembatalan. Pembatalan sertipikat yang asli sertipikatnya sedang menjadi jaminan hak tanggungan dapat menimbulkan kerugian bagi pihak bank yaitu :
1. Pihak Bank kehilangan barang jaminan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pihak bank terutama jika pihak debitor wanprestasi.
2. Pihak bank harus menempuh jalur atau upaya yang lebih berbelit yaitu melalui pengadilan.
3. Pihak bank mengalami kerugian dalam efisiensi dan efektifitas.
Timbulnya kerugian terhadap pihak bank menyebabkan berkurangnya perlindungan kepada pihak bank. Pihak Kantor Pertanahan pada dasarnya mengusahakan agar tidak terjadi persengketaan dan secara umum upaya yang dilakukan oleh pihak kantor Pertanahan untuk menghindari terjadinya sengketa pertanahan adalah :
1. Menganjurkan agar Pemegang Hak Atas Tanah mengusahakan tanahnya secara aktif;
2. Menganjurkan agar penguasaan tanah disesuaikan dengan kemampuan untuk memanfaatkan/ mengusahakan tanahnya secara seimbang;
3. Melakukan upaya penataan administrasi pertanahan;
4. Penelitian data fisik dan data yuridis tanah secara seksama;
5. Sebisa mungkin menyelesaikan masalah dengan damai.
Fungsi dan peran Badan Pertanahan Nasional dalam penanganan masalah dan sengketa Hak Atas Tanah serta bentuk-bentuk penanganannya.
a. Menelaah dan mengolah data untuk menyelesaikan perkara di bidang pertanahan;
b. menampung gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban, memori/ kontrak memori banding, memori/ kontrak memori kasasi, memori/ kontrak memori peninjauan kembali atas perkara yang diajukan melalui peradilan terhadap perorangan dan badan hukum yang merugikan Negara;
c. Mengumpulkan data masalah dan sengketa pertanahan;
d. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan mengenai penyelesaian sengketa Hak Atas Tanah;
e. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan pembatalan Hak Atas Tanah kerena cacat administrasi dan berdasarkan kekuatan putusan peradilan;
f. Melaksanakan dokumentasi.
Adapun upaya Penanganan / penyelesaian sengketa Hak Atas Tanah adalah :
a) Sengketa pertanahan biasanya diketahui oleh Badan Pertanahan Nasional dengan adanya Pengaduan;
b) adanya pengaduan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasi masalah untuk mengenali masalah tersebut menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional atau kewenangan Instansi lainnya ;
c) Meneliti permasalahan yang menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional, untuk membuktikan kebenaran pengaduan, serta menentukan apakah pengaduan yang bersangkutan beralasan untuk diproses lebih lanjut;
d) Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik dan administrasi serta yuridis, maka Kepala Kantor dapat mengambil langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan mutasi (status quo).
e) Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan tim terpadu dari beberapa unit kerja, jika bersifat politis, sosial, ekonomis, maka tim melibatkan lembaga lain, seperti Dawan Perwakilan Rakyat, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah dan Instansi terkait lainnya;
f) Tim akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi penyelesaian.
Dalam upaya penyelesaian sengketa kemungkinan yang terjadi ada dua yaitu dapat diselesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional atau tidak dapat diselesaikan sehingga pihak BPN menganjurkan pada pihak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.Pengajuan gugatan dapat dilakukan ke Peradilan Umum dalam hal para pihak mencari kebenaran yuridis dari kepemilikan tanah dan ke Peradilan tata usaha negara dalam hal salah satu pihak keberatan atas penerbitan surat keputusan pemberian hak oleh pihak Kantor Pertanahan.
Pengajuan gugatan ke peradilan umum akan berujung pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai kepemilikan tanah objek sengketa. Putusan tersebut dapat menjadi dasar bagi pihak yang memenangkan perkara untuk mengajukan permohonan pembatalan sertipikat. Demikian pula pengajuan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara akan berujung pada putusan yang berkekuatan hukum tetap mengenai keabsahan suatu surat keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan dalam hal Peradilan Tata Usaha Negara memutuskan bahwa keputusan pejabat berwenang tidak sah maka pihak pemohon dapat mengajukan permohonan pembatalan sertipikat dengan dasar putusan pengadilan tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa pembatalan sertipikat berakibat pada banyak pihak maka diperlukan adanya satu bentuk perlindungan terhadap pihak kreditor dalam hal sertipikat yang dijadikan jaminan hak tanggungan ternyata dibatalkan baik karena cacat yuridis maupun cacat prosedur. Pada dasarnya bentuk perlindungan terhadap pihak bank sebagai kreditor tidak hanya bisa dilakukan oleh Kantor Pertanahan setelah terjadinya pembatalan sertipikat namun jauh sebelumnya yaitu pada saat penerbitan sertipikat. Bentuk perlindungan yang dimaksud adalah pihak Kantor Pertanahan benar-benar cermat dalam melakukan penelitian fisik dan yuridis tanah sehingga sertipikat yang diterbitkan benar-benar memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum ini akan memberikan pula kepastian bagi pihak lain misalnya pihak bank.Jadi, bentuk perlindungan yang dibutuhkan oleh pihak bank adalah adanya kepastian hukum sertipikat yang diterbitkan oleh BPN.
​Namun demikian dalam kenyataannnya meskipun Kantor Pertanahan telah melakukan penelitian data fisik dan data yuridis secara cermat dalam proses penelitian sertipikat, jika kemudian sertipikat tersebut ternyata dibatalkan maka hal ini tidak lepas dari keterbatasan kewenangan BPN di mana BPN hanya bisa meneliti sebatas berkas yang diberikan. Tidak ada kewenangan BPN melakukan penelitian yuridis melebihi berkas yang diberikan, misalnya, BPN tidak berwenang meneliti ada tidaknya pemalsuan dalam dokumen-dokumen yang diberikan. Pada dasarnya Pasal 32 PP NO. 24 tahun 1997 dapat menjadi salah satu perlindungan hukum bagi kreditor. Dalam Pasal 32 PP NO. 24 tahun 1997 ditegaskan bahwa pembatalan sertipikat tidak dapat diajukan terhadap tanah yang telah dimiliki selama 5 tahun berturut-turut. Dengan adanya ketentuan ini maka pada saat seseorang bermohon kredit, pihak bank dapat menghitung apakah sertipikat tersebut telah 5 tahun atau belum. Jika telah melebihi 5 tahun maka pihak bank dapat mengabulkan permohonan pemberian kredit karena tidak akan ada lagi pembatalan terhadap sertipikat tersebut. Namun ternyata ketentuan Pasal 32 PP No. 24 tahun 1997 tidak dapat dilaksanakan.
Perlindungan hukum terhadap kreditor hanya diperoleh dari perjanjian kredit antara bank dengan debitornya sedangkan dari pihak BPN \ tidak bisa menolak untuk membatalkan sertipikat yang telah diputuskan oleh Pengadilan untuk dibatalkan dengan alasan bahwa sertipikat sedang menjadi objek hak tanggungan karena asas publisitas yang dianut hukum pertanahan adalah asas positif bertendensi negatif, sehingga jika ingin memberikan perlindungan yang lebih pasti kepada pihak yang terkait dalam pembatalan sertipikat, langkah yang bisa ditempuh adalah mengubah asas publisitas menjadi asas positif sehingga tidak ada proses pembatalan terhadap sertipikat yang telah diterbitkan. Namun, untuk bisa menerapkan asas positif ini, kinerja BPN harus dioptimalkan terutama kehati-hatian dan kecermatan dalam penerbitan sertipikat.
Nurani bukan saja milik manusia, tapi suatu perjanjian juga harus dibuat dengan “nurani” atau kausa yang halal yang merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Kausa adalah tujuan atau sebab membuat perjanjian dan Undang-Undang mengenai adanya perjanjian dengan “Kausa Yang Palsu”, Perjanjian “Tanpa Kausa” dan Perjanjian dengan “Kausa Yang Terlarang”. Kausa Yang Halal merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian dan merupakan syarat obyektif dan jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjiannya menjadi batal demi hukum. Essensialia atau unsur yang mutlak ada untuk terbentuknya perjanjian adalah adanya kata sepakat.
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat jika kata sepakat diwujudkan dalam bentuk kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum yang terejawantahkan dalam pernyataan atau kehendak sesuai dengan pernyataan. Dalam suatu perjanjian, kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan. Dalam suatu perjanjian tanpa ada kata sepakat mengakibatkan perbuatan hukumnya menjadi non existent atau jika kata sepakat mengandung cacat kehendak memberikan hak kepada lawan untuk membatalkan perjanjian tersebut. Kebatalan suatu akta disebabkan karena cacat yuridisnya suatu akta, yang ditinjau dari sanksi atau akibat hukumnya dapat dibedakan menjadi : Batal demi hukum, dapat dibatalkan dan Non Existent.
Perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura atau perjanjian persekongkolan yang dimuat dalam media akta notaris dapat terjadi disebabkan oleh ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan yang serta merta tidak diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain dan adanya suatu perjanjian yang mengandung kausa yang palsu atau kausa yang terlarang yaitu motivasi membuat perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang.
Doktrin profesi yaitu asas profesionalitas yang diwujudkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, merupakan parameter bagi setiap Notaris dalam menghadapi bentuk dan subtansi perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura, yaitu untuk memberikan penyuluhan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya, yang gunanya untuk mengarahkan agar keterangan atau perbuatan hukum para pihak yang akan dituangkan dalam suatu akta notaris sesuai dengan aturan hukum. Bilamana para pihak tetap menghendaki agar keterangan atau perbuatan hukumnya dituangkan dalam akta notaris maka sesuai dengan doktrin profesionalitas, Notaris wajib menolak membuat akta, sepanjang perbuatan atau keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan aturan hukum. Tulisan singkat untuk memberikan pemahaman tentang bentuk dan subtansi perjanjian pura-pura atau perjanjian simulasi dalam media akta notaris, agar setiap Notaris dapat memahami dan melakukan penyuluhan hukum agar kata-kata yang dibuatkan terhindar dari cacat yuridis yang dapat menjadi sengketa hukum baik perkara perdata maupun dalam perkara pidana.
Parameter atau ukuran untuk menentukan suatu perjanjian termasuk perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura atau perjanjian persekongkolan didasarkan pada tatanan peraturan perundang-undangan atau prinsip-prinsip hukum yaitu :
1. Pasal 1873 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :
​“Persetujuan lebih lanjut, yang dibuat dalam suatu akta tersendiri (dimaksudkan perjanjian simulasi) yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti di antara para pihak, para ahli waris atau penerima hak, tetapi tidak dapat berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga yang beritikad baik.”
2. Pasal 1335 jo 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai adanya 3 (tiga) macam kausa yaitu :
1. Perjanjian tanpa kausa maksudnya perjanjian tanpa tujuan atau sebab dan perjanjian tanpa kausa bukan termasuk kausa yang terlarang maupun kausa yang palsu. Perjanjian tanpa kausa merupakan satu perjanjian yang dituju oleh para pihak tidak mungkin untuk dilaksanakan.
2. Contoh dari perjanjian tanpa kausa yaitu : perjanjian novasi yang maksudnya adalah untuk menggantikan perikatan lama dengan perikatan baru. Jika perikatan lama yang akan diganti tidak ada, maka perjanjian novasi adalah batal.
3. Perjanjian dengan kausa yang palsu, maksudnya suatu perjanjian memang mengandung kausa tetapi bukan kausa yang sebenarnya, Kausa yang palsu, yang bukan kausa yang sebenarnya, dapat merupakan kausa yang terlarang atau yang bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan dan bisa juga kausa yang palsu itu bukan merupakan kausa yang terlarang.
4. Perjanjian kausa yang terlarang maksudnya adalah suatu perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yaitu subtansi perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang; pelaksanaan perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang dan motivasi atau maksud dan tujuan membuat perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang.
3. Kata sepakat merupakan Essensialia atau unsur yang mutlak ada dalam lahirnya atau terbentuknya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kata sepakat terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Kehendak dimaksudkan sebagai kehendak yang dinyatakan dan ditujukan untuk timbulnya akibat hukum.
Pada umumnya pernyataan yang diberikan seseorang adalah sesuai dengan kehendak, namun juga terbuka kemungkinan ada ketidaksesuaian antara dan pernyataan, dan hal ini terjadi dalam hal pernyataan yang diinginkan sesuai dengan yang dimaksud oleh pihak lawan, tetapi akibat hukumnya tidak diinginkan.
Berdasarkan perundang-undangan, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk perjanjian simulasi atau perjanjian pura-pura atau perjanjian persekongkolan yaitu :
1. Perjanjian simulasi terjadi jika ada 2 (dua) persetujuan yaitu persetujuan lanjutan (akta Lanjutan) dibuat berbeda dengan persetujuan semula (akta asli) dan keadaan yuridis dari perbuatan hukum yang dimuat dalam akta lanjutan disembunyikan dari pihak luar ataupun pihak ketiga.
Di tinjau dari sudut kausanya maka perbuatan hukum lanjutan dapat dibagi 2 (dua) yaitu perbuatan hukum lanjutan yang memuat kausa terlarang disebut perjanjian simulasi absolute, dan perbuatan hukum yang kausanya tidak terlarang disebut Perjanjian Simulasi Relatif.
2. Perjanjian simulasi terjadi jika adanya ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, dimana yang tidak akan serta merta diketahui oleh pihak ketiga atau pernyataan oleh para pihak tidak diinginkan akibat hukumnya oleh para pihak karena bertentangan dengan kehendak. Perjanjian Simulasi demikian bisa dalam 1 (satu) persetujuan yaitu pernyataan yang dituangkan dalam suatu akta sedangkan kehendak para pihak dituamgkan dalam suatu akta dan disembunyikan atau dirahasiakan dari Pihak Ketiga
3. Perjanjian Simulasi terjadi jika suatu persetujuan mengandung kausa yang palsu dan bukan kausa yang sebenarnya. Kausa yang sebenarnya dapat merupakan kausa yang terlarang dan dapat juga merupakan kausa yang tidak terlarang. Bentuk perjanjian simulasi ini dapat terjadi dalam 1 (satu) perjanjian yang dituangkan dalam akta, dimana kausa dalam persetujuan itu adalah palsu bukan kausa yang sebenarnya.

. Posisi Kasus :
a. Kasus ini bermula ketika beberapa tahun yang lalu KOESNOTO yang selanjutnya akan disebut sebagai TERGUGAT I mendatangi JULIATI RAHAYU selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT menawarkan pinjaman uang kepada penggugat, dengan syarat penggugat menyerahkan jaminan berupa sebuah sertifikat hak miliknya dan atas nama penggugat;
b. Karena penggugat pada saat itu sangat membutuhkan uang, maka penggugat mengatakan kepada Tergugat I, bahwa dirinya akan meminjam uang kepadanya dengan jaminan sebuah sertifikat Hak Milik yang tertulis atas nama penggugat, yakni atas tanah dan rumah yang terletak di Desa Cerme Kidul, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, seluas kurang lebih 669 meter persegi selaanjutnya disebut sebagai tanah sengketa.
c. Sebelum penggugat menerima pinjaman uang dari Tergugat, maka terlebih dahulu pihak Tergugat I meminta dan mengharuskan kepada Penggugat untuk melakukan jual beli secara formalitas/pura-pura/simulasi dengan pihak Tergugat I, maksudnya terhadap tanah sengketa diadakan jual beli formalitas dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan dibalik nama menjadi atas nama Tergugat I.
d. Sejak semula baik Penggugat sendiri maupun suaminya tidak mengerti dan awam hukum tentang maksud dibuatnya akta PPAT dimaksud, dan tidak mengerti akibat hukumnya dikemudian hari, sehingga Penggugat merasa khawatir dan bertanya kepada Tergugat I, bagaimana akibatnya nanti bagi Penggugat apabila tanah sengketa di jual kepada tergugat I, maka dijawab oleh Tergugat I, bahwa jual beli tanah dan rumah sengketa masih tetap milik dan dikuasai oleh Penggugat. Penggugat percaya begitu saja dan pada tanggal 7 Mei 1996 datang kepada Notaris/PPAT Irine Manibuy, SH untuk menandatangani akta jual beli atas tanah sengketa tersebut.
e. Berdasarkan akta jual beli tersebut, pihak Tergugat I mengurus dan membalik namakan Sertifikat No.194/Gambar Situasi No.125 Tahun 1983 yang semula atas nama Penggugat dibalik nama menjadi atas nama Tergugat I dengan terbit sertifikat baru dengan Nomor 668/Gambar Situasi no. 6487/1996, tertanggal 01 Agustus 1996.
f. Tanpa sepengetahuan Penggugat, Tergugat I mengajukan permohonan kepada Tergugat II (PT. Bank Duta) guna memperoleh fasilitas kredit dari Tergugat II, sedangkan yang dipakai sebagai jaminan kepada Tergugat II adalah tanah dan rumah sengketa berdasarkan Sertifikat hak Milik No 668/gambar Situasi No. 6487/1996, tertanggal 01 Agustus 1996 atas nama tergugat I dan ternyata permohonan kredit tergugat I tersebut telah dikabulkan oleh tergugat II, sehingga terguugat I menerima kredit dari tergugat II sejumlah uang kurang lebih Rp 125.000.000,-
g. Cukup lama Penggugat tidak mengetahui kalau tanah sengketa telah dijaminkan kepada Tergugat Iiuntuk keperluan hutang pribadinya dan Penggugat baru tahu setelah berkali-kali menanyakan kepada Tergugat I dimana keberadaan sertifikat miliknya itu dan dijawab oleh Tergugat I bahwa sertifikat dimaksud berada di Bank dalam hal ini Tergugat II. Hal ini diketahui setelah Penggugat menerima pinjaman sebesar 4.500.000 dan telah mengangsurnya tiap-tiap bulan sesuai perjanjian.
h. Setelah Penggugat mengetahui dan menyadari akibatnya kalau sertifikat sengketa milik tergugat I dijaminkan secara melawan hukum kepada Tergugat II, maka Penggugat merasa bahwa tindakan Tergugat I telah merekayasa jual beli atas tanah sengketa dimana perbuatan itu sangat merugikan Penggugat selaku pemilik sah. Penggugat meminta pertanggungjawaban Tergugat I agar segara mengembalikan sertifikat atas tanah sengketa kepada Pengugat selaku pemiliknya yang sah. Kemudian seketika itu pula Tergugat I dengan Penggugat membuat dan menandatangani Surat persetujuan yang isinya antara lain bahwa jual beli tanah sengketa berdasarkan akta PPAT No.93/30/CRM/V/1996, tertanggal 07 Mei 1996 adalah “tidak benar” dan batal demi hukum, dan tanah sengketa adalah sepenuhnya milik Penggugat, demikian pula dengan hutang Penggugat kepada Tergugat I telah dinayatakan Lunas.
i. Untuk meluruskan kembali hubungan hukum yang sebenarnya antara Penggugat dengan tergugat I bersama-sama menghadap Notaris untuk membuat akta Legalisasi Notaris, yang isinya antara lain bahwa hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat I dalam hal ini hutang piutang diayatkan selesai, karena tergugat I berkewajiban untuk mengembalikan Sertifikat Hak Milik yang telah dibaliknama menjadi atas nama tergugat I dengan tanpa syarat dan dalam keadaan baik kepada Penggugat selaku pemilik yang sah. Dan antara penggugat dengan Tergugat I masing-masing menyatakan bahwa akta jual beli No. 93/30/CRM/V/1996 tertanggal 07 Mei 1996 adalah akta jual beli tanah sengketa yang seharusnya Batal Demi Hukum.
Tindakan Tergugat I yang telah menjaminkan tanah sengketa merupakan tindakan melawan hukum. Demikian pula Tergugat II yang telah menerima jaminan tanah sengketa, yakni tanah milik orang lain, dalam hal ini Penggugat, merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Karenanya Akta Pengakuan Hutang No.4 tertanggal 03 Oktober 1996 dan Akta Kuasa memasang Hak Tanggungan No.5 tertanggal 03 Oktober 1996 yang sama-sama dibuat dihadapan Notaris/PPAT H.Abdul Wahid Zainal, SH dan Hak Tanggungan No.188/21/WS/CRM/x/1996 tertanggal 17 Oktober 1996 yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT Wimphy Suwindnyo, SH demikian juga Sertifikat Hak Tanggungan No.808/1996 yang menyangkut jaminan tanah sengketa milik Penggugat seharusnya batal Demi Hukum.
Sebagai akibat Tergugat I dan tergugat II melakukan perbuatan melawan Hukum sebagaimana diuraikan diatas, maka Penggugat mengalami dan menderita kerugian baik yang bersifat materiil maupun immateriil dan kerugian dimaksud sudah seharusnya menjadi Tanggungan Tergugat I dengan Tergugat II secara Tanggung renteng.
Sejak Tergugat I tidak mengembalikan sertifikat atas tanah sengketa, maka tergugat I telah wanprestasi kepada Penggugat. Berdasarkan atas gugatan Penggugat tersebut diatas, maka pihak tergugat I dan II mengajukan gugatan balik (rekopensi) dimana dalam gugatan rekopensi itu Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan Penggugat seluruhnya dan mengabulkan Gugatan Penggugat I Rekopensi, yaitu :
a. menyatakan jual beli obyek sengketa tanah antara Tergugat Rekopensi dengan Penggugat I Rekopensi sebagaimana akta jual beli No.80/30/CRM/V/1996 sah menurut hukum.
b. Menghukum Tergugat rekopesnsi untuk mengosongkan dan menyerahkan obyek sengketa kepada Penggugat I Rekopensi.
Serta mengabulkan Gugatan Penggugat II Rekopensi yang Menyatakan bahwa akta jual beli No.80/30/CRM/V/1996, sertifikat hak Milik tercatat nama pemegang hak Koesnoto, Akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan, akta surat kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta pemberian Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan adalah sah menurut hukum.
​​Dalam tingkat banding putusan pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Tetapi pada tingkat Kasasi, mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi JULIATI RAHAYU, yaitu:
a. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah tanah dan rumah sengketa yang terletak di Desa cerme Kidul Kabupaten Gresik sebagaimana terurai dalam Sertifikat Hak Milik yang semula atas nama Penggugat dan diubah menjadi atas nama Tergugat I.
b. Membatalkan akta jual beli yang dibuat dihadapan Notaris Irine Manibuy, SH tertanggal 07 Mei 1996.
c. Membatalkan Akta Pengakuan Hutang No.04 tertanggal 03 Oktober 1996 dan membatalkan akta tentang Kuasa memasang Hak Tanggungan yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT H.Abdul Wahid Zainal,SH
d. Membatalkan pula Akta Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan
e. Menyatakan bahwa Tergugat I dan tergugat II melakukan perbuatan melawan Hukum.
f. Menghukum Tergugat II atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan Sertifikat Hak Milik kepada Penggugat selaku pemilik sah dan dalam keadaan baik.

BAB IV
PENUTUP

A.KESIMPULAN
1. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan, sering timbul masalah yang dapat merugikan salah satu atau kedua belah pihak, salah satunya adalah pembatalan sertipikat hak atas tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan. Pembatalan sertipikat tersebut terjadi karena adanya gugatan dari pihak lain terhadap sertipikat yang sedang menjadi objek hak tanggungan dan diputuskan oleh pengadilan bahwa pihak penggugat menjadi pemilik sah atas tanah tersebut sehingga hak pemilik lama dinyatakan hapus. Terjadinya pembatalan sertipikat hak atas tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan tentu saja berakibat pada perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan antara kreditor dan debitor. Pembatalan sertipikat hak milik baik karena cacat prosedur maupun cacat yuridis menyebabkan terjadinya perubahan status tanah yang sedang menjadi objek hak tanggungan dan hapusnya hak dari pemilik sertipikat yang dibatalkan.
2. Pada dasarnya bentuk perlindungan terhadap pihak bank sebagai kreditor tidak hanya bisa dilakukan oleh Kantor Pertanahan setelah terjadinya pembatalan sertipikat namun jauh sebelumnya yaitu pada saat penerbitan sertipikat. Bentuk perlindungan yang dimaksud adalah pihak Kantor Pertanahan benar-benar cermat dalam melakukan penelitian fisik dan yuridis tanah sehingga sertipikat yang diterbitkan benar-benar memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum ini akan memberikan pula kepastian bagi pihak lain misalnya pihak bank. .Jadi, bentuk perlindungan yang dibutuhkan oleh pihak bank adalah adanya kepastian hukum sertipikat yang diterbitkan oleh BPN.
3. Pembatalan sertipikat yang asli sertipikatnya sedang menjadi jaminan hak tanggungan dapat menimbulkan kerugian bagi pihak bank yaitu :
a. Pihak Bank kehilangan barang jaminan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pihak bank terutama jika pihak debitor wanprestasi.
b. Pihak bank harus menempuh jalur atau upaya yang lebih berbelit yaitu melalui pengadilan.
c. Pihak bank mengalami kerugian dalam efisiensi dan efektifitas.
B.SARAN
1. Dalam hal notaris membuat akta jual beli harus melakukan pengecekan secara detail atas transaksi dimaksud berikut bukti-bukti transaksi pembayarannya disertai dengan pernyataan bahwa transaksi tersebut tidak dalam tekanan dan tidak ada unsur penipuan.
2. Timbulnya kerugian terhadap pihak bank menyebabkan berkurangnya perlindungan kepada pihak bank. Pihak Kantor Pertanahan pada dasarnya mengusahakan agar tidak terjadi persengketaan dan secara umum upaya yang dilakukan oleh pihak kantor Pertanahan untuk menghindari terjadinya sengketa pertanahan adalah :
a) Menganjurkan agar Pemegang Hak Atas Tanah mengusahakan tanahnya secara aktif;
b) Menganjurkan agar penguasaan tanah disesuaikan dengan kemampuan untuk memanfaatkan/ mengusahakan tanahnya secara seimbang;
c) Melakukan upaya penataan administrasi pertanahan;
d) Penelitian data fisik dan data yuridis tanah secara seksama;
e) Sebisa mungkin menyelesaikan masalah dengan damai.
3. Atas batalnya demi hukum hak tanggungan yang merupakan jaminan bank bukan berarti membatalkan perjanjian kredit antara debitur dengan bank. Oleh karenanya bank berhak meminta jaminan pengganti atas kredit yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

- Herlien Budiono, dalam Wibowo Turnady, Perjanjian simulasi, www.jurnalhukum.com/ perjanjian simulasi/, 13 Maret 2013, pukul 09.00 WIB.
- Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan Yang baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 2
- Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan , (Buku I: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Penerbit Yogyakarta, hal. 264.
- Hak Tanggungan Hal Warta Hukum Edisi VIII Januari – Februari 2010 Artikel
- Remi Syahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan, Penerbit Alumni Jakarta
- ​Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, hlm 117.
- ​R.Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra AdityBakti, Bandung, 1991, hal.19
- Djuhaendah Hasan, Lembaga jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 1996, hal.233
- Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Perikatan Kredit Perbankan, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 1996, hal.233
- Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal.88
- Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan , Liberty, Yogyakarta. 1980, hal.79
- Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan Dan Perorangan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UU No.42/1999 tentang Jaminan Fidusia, di Jakarta tanggal 9-10 Mei 2000, hal.1
- R.Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra AdityBakti, Bandung, 1991, hal.19

Undang-undang :
- Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Undang-undang Hak Tanggungan
- Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria

LAMPIRAN -LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar