Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian Jaminan Fidusia Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 213-K-Pid-Sus 2010
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Jaminan
ABSTRAK
Penelitian ini selain menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 213-K-Pid-Sus 2010 juga mengkaji mengenai perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian jaminan fidusia yakni kreditur, debitur, dan pihak ketiga terutama dalam hal pendaftaran obyek jaminan fidusia, pengalihan obyek jaminan fidusia kepada pihak ketiga, dan dalam hal eksekusi obyek jaminan fidusia. Pembahasan yang merupakan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan salah satu sarana untuk memacu pembangunan nasional yang dewasa ini telah banyak dipergunakan baik oleh lembaga keuangan bank maupun non bank, dan untuk memenuhi kebutuhan hukum yaitu menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan maka Pemerintah telah menyusun dan mengesahkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Obyek Jaminan Fidusia berdasarkan undang-undang ini harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan obyek jaminan fidusia tidak boleh sembarangan dialihkan kepada pihak lain tanpa seijin penerima fidusia. Tidak diaturnya kapan suatu obyek jaminan fidusia wajib didaftarkan dapat menimbulkan permasalahan hukum bagi pihak yang berkepentingan terutama apabila sampai terjadi wanprestasi dan masuk ke ranah pengadilan, selain itu banyak juga lembaga pembiayaan yang semena-mena mengeksekusi obyek jaminan fidusia apabila terjadi wanprestasi dan keterlambatan pembayaran diakibatkan kurangnya pengetahuan debitur terhadap kharakteristik obyek jaminan fidusia berdasarkan undang-undang ini. Pendaftaran obyek jaminan fidusia mempunyai peranan penting dalam upaya menjamin kepastian dan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian fidusia karena dapat mencegah timbulnya penyimpangan yang bisa dilakukan di kemudian hari baik oleh pemberi fidusia, penerima fidusia, maupun pihak ketiga dalam memperlakukan obyek jaminan fidusia.
Kata kunci : fidusia, perlindungan hukum, kreditur, debitur, pihak ketiga.
BAB I
PENDAHULUAN
. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan peningkatan pelaksananan pembangunan nasional yang berkesinambungan, adil dan makmur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah harus melakukan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional yang memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur ini adalah Lembaga Keuangan bankatau non bank. Peran strategis lembaga keuangan bank/non bank dalam menyerasikan dan menyeimbangkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, yaitu dengan pemberian pinjaman dana kepada masyarakat melalui utang piutang atau kredit. Sementara itu, suatu hal yang sangat penting dalam masalah utang piutang atau kredit ini adalah adanya kesanggupan dari orang yang berutang untuk mengembalikan utangnya. Hal ini berhubungan dengan jaminan yang diberikan dalam pembayaran utang debitor, terutama bagi pihak yang meminjamkan utang, jaminan mutlak diperlukan dalam utang piutang sehingga ada kepastian bahwa uang yang dipinjamkan akan terbayar.
Jaminan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi Jaminan adalah hak mutlak atas suatu benda yang merupakan milik atau kekayaan seorang peminjam/debitur atau penjaminnya, sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) pada peminjam/debitur. Benda yang dijadikan jaminan akan dijual oleh kreditur untuk melunasi hutang debitur apabila terjadi debitur wanprestasi (kredit macet) atau kepailitan.
Salah satu lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum jaminan di Indonesia adalah lembaga jaminan fidusia. Fidusia yang berarti penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan memberikan kedudukan kepada debitur untuk tetap menguasai barang jaminan, walaupun hanya sebagai peminjam pakai untuk sementara waktu atau tidak lagi sebagai pemilik. Apalagi lembaga fidusia ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1152 KUHPerdata memang tampaknya sangat bertentangan karena menurut ketentuan Pasal tersebut mengharuskan barang jaminan diserahkan secara fisik kepada pemberi kredit.
Lembaga Jaminan Fidusia telah diakui eksistensinya dengan adanya Undang-undang Nomor: 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dalam pendaftaran jaminan fidusia ada suatu keharusan untuk mencantumkan benda-benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Hal tersebut sangat penting dilakukan karena benda-benda tersebutlah yang dapat dijual untuk mendapatkan pembayaran utang-utang fidusier. Obyek jaminan perlu dipahami karena hak jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang melekat pada obyek fidusia dan akan tetap mengikuti obyeknya di tangan siapapun benda tersebut berada (droit de suite) selama jaminan fidusia tersebut belum dihapuskan/dicoret.
Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accessoir dari suatu perjanjian pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6-huruf b Undang-undang No. 42 Tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia Pasal 11 jo Pasal 13 jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Penerima fidusia ini dapat seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama (misalnya dalam, pemberian kredit secara konsorsium sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 8), akan tetapi jaminan fidusia ulang tidaklah diperkenankan, artinya pemberi fidusia tidak boleh menjaminkan lagi obyek jaminan fidusia untuk jaminan fidusia utang lain (Pasal 17 UU No. 42 tahun 1999). Oleh karena itu, berdasarkan uraan di atas penulis ingin meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian Jaminan Fidusia Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 213-K-Pid-Sus 2010”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perjanjian Jaminan Fidusia berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 213-K-Pid-Sus 2010 tersebut?
2. Bagaimanakah Perlindungan Hukum bagi Kreditur dalam Suatu Perjanjian jaminan Fidusia ?
3. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Suatu Perjanjian jaminan Fidusia ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
. Pengertian Jaminan Fidusia
Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kita jumpai pengertiaan fidusia, yaitu:
“Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”
Sedangkan definisi Jaminan Fidusia dalam Pasal 1 angka 2 UUJF adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Fidusia atau lengkapnya “Fiduciare Eigondomsoverdracht” (FEO) sering disebut sebagai jaminan Hak Milik Secara Kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda bergerak disamping gadai dimana dasar hukumnya yurisprudensi. Pada fidusia, berbeda dengan gadai, yang diserahkan sebagai jaminan kepada kreditor adalah hak milik sedang barangnya tetap dikuasai oleh debitor, sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possessorium. Constitutum possessorium merupakan bentuk penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali. Bentuk rincian dari constitutum possessorium tersebut dalam hal fidusia pada prinsipnya dilakukan melalui proses tiga fase, yaitu :
1) Fase perjanjian obligatoir ;
2) Fase perjanjian kebendaan, berupa penyerahan hak milik dari debitor kepada kreditor yang dilakukan secara constitutum possessorium yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik benda ; dan
3) Fase perjanjian pinjam pakai.
. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia
1. Subjek Jaminan Fidusia
Yang dimaksud dengan subjek dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UUJF adalah Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
2. Objek Jaminan Fidusia
Di dalam Pasal 1 angka 4 UUJF yang disebut dengan benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Mengenai ruang lingkup dan objek jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan 4, Pasal 2 dan Pasal 3 UUJF. Dalam Pasal 2 dikatakan bahwa UUJF berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia dan kemudian dipertegas oleh Pasal 3 yang menyatakan bahwa UUJF tidak berlaku terhadap :
a) Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
b) Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih ;
c) Hipotik atas pesawat terbang ; dan
d) Gadai.
. Asas-asas jaminan Fidusia
Salah satu unsur yuridis dalam system hukum jaminan adalah asas hukum. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya asas hukum dalam suatu Undang-Undang. Kata principle atau asas adalah sesuatu yang dijadikan sebagai alat, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk menjelaskan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. Asas-asas hukum jaminan fidusia adalah :
1. Asas Droit de Preferences.
Asas bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditor yang diutamakan dari kreditor-kreditor lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF. Di dalam Pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditor-kreditor lainnya. Asas ini di dalam hukum jaminan fidusia disebut dengan hak preferensi.
2. Asas Droit de Suite.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 20 UUJF, asas ini tidak berlaku terhadap semua objek jaminan fidusia, tetapi terdapat pengecualiannya yakni tidak berlaku bagi objek jaminan fidusia berupa persediaan.
3. Asas Asesoritas .
Dalam Pasal 4 UUJF, asas ini secara tegas dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok.
4. Asas Kontinjen.
Pasal 7 UUJF menjelaskan bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Dalam UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada.
5. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada.
Asas ini tertampung dalam Pasal 9 UUJF. Ketentuan ini secara tegas membolehkan Jaminan Fidusia mencakup benda yang diperoleh di kemudian hari
6. Asas Pemisahan Horizontal.
Bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain seperti yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 huruf a UUJF.
7. Asas Spesialitas.
Bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia, terdapat dalam Pasal 6 UUJF.
8. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.
Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke KPF. Namun di dalam UUJF asas ini belum dicantumkan secara tegas. Berbeda dengan jaminan Hak Tanggungan yang dijelaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan.
9. Asas Publikasi.
Bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Dari asas ini timbulah kepastian hukum dari jaminan fidusia. Dasar hukumnya adalah Pasal 12 UUJF.
10. Asas Pengakuan
Bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki
oleh kreditor penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan, dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUJF.
11. Asas Prioritas
Bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditor yang mendaftarkan kemudian. Asas ini terdapat pada Pasal 28 UUJF
12. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik.
Dalam artian bahwa penerima jaminan harus memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan, dan menggadaikan kepada pihak lain.
13. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi
Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Asas ini terdapat dalam Pasal 15 UUJF.
. Perjanjian Jaminan Fidusia
Jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari suatu perjanjian pokok yang dalam hal ini bisa berupa perjanjian kredit, utang piutang, leasing, dan perjanjian pembiayaan lainnya yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut untuk memenuhi prestasi. Maka sebagai perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut .:
1) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
2) Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;
3) Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.
Dengan demikian Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor mencantumkan ketentuan bahwa debitor dan kreditor secara bersama-sama, berkewajiban untuk menyerahkan barang-barang tertentu kepada kreditor (sebagai penerima fidusia), untuk menjamin pelunasan seluruh utang debitor tersebut. Sementara dalam perjanjian fidusia, pengalihan hak kepemilikan suatu benda terjadi atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Kemudian pengalihan jaminan fidusia terikat pada Pasal 19 sampai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
. Akta Jaminan Fidusia
Suatu jaminan fidusia dibentuk dalam suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta jaminan baik itu akta jaminan fidusia otentik, maupun akta jaminan fidusia di bawah tangan.
1. Akta jaminan fidusia otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh dan atau dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam Pasal 5 sub 1 UUJF bahwa bentuk akta perjanjian jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia.
Isi dari akta perjanjian jaminan fidusia yang dibuat oleh debitor dengan kreditornya adalah bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada kreditornya sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor bilaman utangnya sudah dibayar lunas. Isi akta jaminan fidusia dalam Pasal 6 UU Jaminan Fidusia ditentukan minimum yang harus termuat di dalamnya, di antaranya :
1. Identitas pemberi dan penerima fidusia. Mengingat akta tersebut merupakan akta notariil maka identitas para pihak secara otomatis harus sudah disebutkan secara lengkap di dalamnya.
2. Data perjanjian pokok. Yang dimaksud dengan data perjanjian pokok adalah mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.
3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya.
4. Nilai penjaminan
5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
2) Akta jaminan fidusia di bawah tangan
Meskipun di dalam Pasal 5 UU Jaminan Fidusia disebutkan bahwa perjanjian jaminan fidusia harus dengan akta otentik, namun dalam praktek masih ada masyarakat yang menggunakan akta di bawah tangan. Penggunaan akta di bawah tangan ini tentunya memberikan akibat atau kerugian, salah satunya adalah tidak ada kepastian hukumnya.
. Eksekusi Jaminan Fidusia
Eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam ketentuan Pasal 29 UUJF. Di dalam ayat (1) disebutkan bahwa apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), penjualan benda jaminan melalui pelelangan umum, dan penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan di dalam ayat (2) dijelaskan bahwa pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis Pemberi Fidusia dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
Eksekusi obyek jaminan dalam pemberian kredit mecet dengan jaminan fidusia dilakukan karena terjadi wanprestasi disebabkan ketidakmampuan debitur melakukan kewajibannya sebagai cara penyelesaian terakhir karena upaya penyelamatan tidak berhasil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJF, Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan titel eksekutorial ini Penerima Fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) UUJF. Pada prinsipnya penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.
Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1) tersebut, eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
1. Secara fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial), yang tanpa melalui Pengadilan.
2. Secara parate eksekusi, yaitu dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di depan pelelangan umum.
3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.
4. Sungguhpun tidak disebutkan dalam UUJF, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan biasa ke pengadilan .
Yang harus dilakukan oleh penerima fidusia (kreditor) apabila pemberi fidusia (debitor) berbuat kesalahan yang berupa kesengajaan yang dilakukan pemberi fidusia (debitor) berupa mamalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak. Melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia., maka dalam peristiwa seperti itu, penerima fidusia (kreditor) bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia dan menuntut secara pidana yang diatur dalam pasal 35 Undang-undang No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitor. Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa yang dinamakan eksekusi adalah pelaksanaan keputusan pengadilan atau akta. Tujuan dari pada eksekusi adalah pengambilan pelunasan kewajiban debitor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitor atau pihak ketiga pemberi jaminan.
. Skema Pembebanan Jaminan Fidusia
www.kemenkumham.go.id
BAB III
HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
. ANALISIS HUKUM DALAM PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 213-K PID-SUS-2010.
Kasus Posisi
Kasus ini bermula ketika H. Bachtiar Zoelficar bin Mattangaran (alm) selaku terdakwa membeli satu unit mobil minibus merk Toyota Type AVANZA warna kuning metalik Nomor Polisi DA 7130 TD, Nomor rangka MHFFMRGK34K001774 Nomor Mesin DA02268 kepada saksi H. MARLIASYAH NOOR bin H.M. TABERI selaku pemilik Show Room Mobil CV. Bina Mulia di Jalan Sultan Adam Banjarmasin dengan harga sebesar Rp 107.000.000,- (seratus tujuh juta rupiah ) dengan cara mengangsur / kredit. Bulan Agustus 2007 Terdakwa mengajukan permohonan pembiayaan kredit pembelian 1 (satu ) unit mobil minibus merk Toyota Type AVANZA warna kuning metalik Nomor Polisi DA 7130 TD Nomor rangka MHFFMRGK34K001774 Nomor Mesin DA02268 kepada PT Magna Finance Cabang Banjarmasin kemudian pada tanggal 23 Agustus 2007 saksi GUNTUR DERMAWAN bin M. DARSAH karyawan PT Magna Finance Cabang Banjarmasin melakukan survey ke rumah Terdakwa untuk memeriksa dan melengkapi persyaratan - persyaratan yang harus dipenuhi Terdakwa yaitu persyaratan foto copy Kartu Tanda Penduduk suami isteri, Kartu Keluarga, rekening listrik, Surat Perjanjian Konsumen, foto copy buku, dan foto copy Surat Ijin Usaha Konsumen dan setelah Terdakwa memenuhi semua persyaratan tersebut lalu PT Magna Finance Cabang Banjarmasin memproses secara administrasi permohonan pembiayaan kredit Terdakwa dan disetujui oleh PT Magna Finance Cabang Banjarmasin lalu dibuat surat perjanjian pembiayaan konsumen tanggal 29 Agustus 2007 nomor perjanjian 161006 antara PT Magna Finance sebagai penerima Fidusia dengan Terdakwa sebagai Pemberi Fidusia dan Terdakwa menyanggupi untuk melakukan pembayaran pembelian mobil tersebut dengan cara mengangsur selama 36 ( tiga puluh enam) bulan atau selama 3 (tiga) tahun dengan angsuran tiap bulannya sebesar Rp 3.398.000,-( tiga juta tiga ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah ).
Setelah beberapa bulan berjalan ternyata Terdakwa baru membayar angsuran sebanyak 3 (tiga) kali yaitu masing- masing sebesar Rp 3.398.000,-( tiga juta tiga ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah ) dan total yang sudah dibayar Terdakwa sebesar Rp 10.194.000,- (sepuluh juta seratus sembilan puluh empat ribu rupiah ) karena Terdakwa tidak mampu untuk membayar sisa angsuran selanjutnya tanpa mendapat persetujuan secara tertulis dari PT Magna Finance Cabang Banjarmasin Terdakwa telah mengalihkan 1 (satu) unit mobil minibus merk Toyota Type AVANZA warna kuning metalik Nomor Polisi DA 7130 TD Nomor rangka MHFFM RGK34K001774 Nomor Mesin DA02268 kepada saksi ANDRIE bin AGUS melalui WIKKIE A. WAURAN dan dari pengalihan mobil tersebut Terdakwa menerima uang sebesar Rp 15.000.000,- ( lima belas juta rupiah ) sebagai penggantian uang muka yang telah dikeluarkan Terdakwa. Berdasarkan hal tersebut kemudian PT Magna Finance melaporkan peristiwa pengalihan obyek jaminan fidusia secara ilegal tersebut kepada pihak kepolisian dimana oleh hakim pengadilan negeri terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan kemudian melalui kasasi yang diajukan JPU, hakim Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) atau pidana kurungan 2 (dua) bulan apabila denda tersebut tidak dibayar.
Analisis
Pada POKOK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 213-K/PID-SUS-2010 menerangkan :
1. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, majelis hakim berpendapat, bahwa Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan pada bulan November 2007 adalah sebelum lahirnya Jaminan Fidusia menurut Undang- Undang RI Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia , sehingga pada waktu itu Terdakwa bukan sebagai “Pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia ” ;
2. Bahwa dari pertimbangan hukum tersebut diatas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam putusannya Nomor : 1016/Pid .B/2009 /PN.BJM tanggal 10 November 2009, menurut pemohon kasasi pertimbangan hukum tersebut adalah keliru dan ceroboh ;
3. Bahwa kekeliruan tersebut dapat Pemohon Kasasi jelaskan sebagai berikut :
a. Bahwa pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan lahirnya Jaminan Fidusia tidak didasarkan pada perjanjian pokok, adalah merupakan pertimbangan hukum yang keliru dan salah fatal ;
Sebab Perjanjian Jaminan Fidusia adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian pokok, jadi sifatnya Asesor (Accessoir), yang diadakan untuk kepentingan Perjanjian Pokok sehingga timbul dan hapusnya tergantung pada Perjanjian Pokok ;
b. Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya yang menyebutkan “Lahirnya Jaminan Fidusia adalah baru pada tanggal 17 April 2008. Sedangkan Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan pada bulan November 2007 sebelum lahirnya Jaminan Fidusia ” ;
• Dengan pembaharuan terhadap pokok- pokok penting kepemilikan atas benda tersebut, maka kerangka berfikir majelis hakim atas hukum Jaminan Fidusia agar terbentuk dengan system yang telah disepakati kita bersama, system tersebut yaitu Sistem Kodifikasi Hukum Nasional yang dilakukan secara parsial ;
c. Bahwa pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin telah keliru dan salah menerapkan hukum ;
Menurut kami, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam pertimbangan hukumnya tidak menyeluruh dan tidak mengakomodasikan ketentuan asas- asas jaminan yang ditentukan sebagai berikut :
a. Benda yang menjadi obyek Jaminan adalah benda bergerak;
b. Mempunyai sifat Hak Kebendaan (Real right) sebagaimana diatur dalam pasal 528 KUHPerdata , sifat dari pada Hak Kebendaan ini terdiri dari :
1. Absolut yaitu dapat dipertahankan pada setiap orang ;
2. Droi t de suite yaitu Hak Kebendaan mengikuti benda pada siapa pun dia berada ;
c. Memiliki Hak Accessoir yaitu suatu hak yang hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya ( Accessorium) seperti perjanjian Kredit ;
d. Adanya Hak Preferen yaitu hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain (Pasal 1133, 1134 dan pasal 1198 KUHPerdata);
Hal tersebut diatas sama sekali belum dipertimbangkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin. Oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 1016 /Pid .B/2009 /PN.BJM tanggal 10 November 2009 sepatutnya dibatalkan .:
Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin yang dengan serta merta menyebutkan “ lahirnya Jaminan Fidusia tanggal 17 April 2008 sedangkan Terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan pada bulan November 2007 ( tanpa alternatif ), yakni tanpa mendapat persetujuan secara tertulis dari PT Magna Finance;
Selanjutnya Terdakwa dinyatakan tidak terbukti dan diputus bebas; Menurut Pemohon Kasasi pembebasan tersebut adalah tidak murni tetapi bebas terselubung, oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor : 1016/Pid .B/2009 /PN.BJM tangga l 10 November 2009 harus dibatalkan karena bertentangan dengan Yurisprudensi MA No.1500 K/SiP/1978 tangga l 02 Pebruari 1980 jo Yurisprudensi MA No.3216 K/Pdt /1984 dan seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin menerapkan ketentuan Pasal 15, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Lembaga Parate Eksekusi ex Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg atau penerapan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata;
Bahwa terhadap alasan- alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat mengenai alasan- alasan berikut:
• Bahwa alasan- alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pemohon dapat membuktikan bahwa Judex Facti salah dalam menerapkan hukum, putusan dan pertimbangannya tidak tepat yaitu membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan padahal telah terbukti secara sah meyakinkan perbuatan Terdakwa telah memenuhi semua unsur pelanggaran yang didakwakan;
• Bahwa Judex Facti keliru dalam menentukan saat lahirnya perjanjian jaminan fiducia . Bahwa lahirnya perjanjian fiducia bukan di tentukan berdasarkan tanggal terbitnya sertifikat jaminan fiducia seperti diterapkan oleh Judex Facti dalam perkara a quo akan tetapi sejak lahirnya perjanjian pokoknya karena perjanjian jaminan fiducia adalah perjanjian asesor ;
• Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Terdakwa terbukti bersalah, karena ketika melakukan pengalihan kendaraan kepada saksi Andrie, perjanjian fiducia telah lahir, Terdakwa telah berstatus sebagai pemberi jaminan fiducia karena perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pembiayaan konsumen antara Terdakwa dengan PT. Marga Finance Cabang Banjarmas in dibuat pada tanggal 29 Agustus 2007 yaitu 3 (tiga) bulan sebelum tanggal pengalihan kendaraan di lakukan yaitu bulan November 2007, sehingga dengan demikian Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 36 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fiducia dan oleh karena itu Terdakwa harus dijatuhi pidana sesuai kesalahannya ;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1016/Pid.B/2009 /PN.Bjm tanggal 10 November 2009 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut.
Bahwa oleh karena permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada Terdakwa ; Dengan Memperhatikan Pasal 36 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang- Undang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang- undangan lain yang bersangkutan,
Atas Permohonan kasasi tesebut Mahkamah Agung Mengadili :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin tersebut ;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1016/Pid.B/ 2009/PN.Bjm tanggal 10 November 2009 ;
3. Mahkamah Agung Kemudian mengadili sendiri :
a. Menyatakan Terdakwa H. BACHTIAR ZOELFICAR bin MATTANGARAN (alm) terbukti secara sah dan meyakinkan bersa lah melakukan Tindak Pidana “Pemberi Fidusia yang mengalihkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia”
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan ;
c. memerintahkan agar Terdakwa tetap di tahan diRumah Tahanan Negara ;
d. Menyatakan pula denda sebesar Rp 2.000.000, - (dua juta rupiah ) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan ;
e. Menetapkan barang bukti berupa :
• 1 (satu) buah Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor : W12-6658 AH.05.01 . TH.2008/STD ;
• 1 (satu) buah Perjanjian Pembiayaan Konsumen atasnama H. BACHTIAR ZOELFICAR Nomor : 1610066 tanggal 29 Agustus 2007 ;
• Lampiran Surat Peringatan I , I I dan I I I ;
• 1 (satu ) buah Akta Notaris Nomor 135 tanggal 31 Januar i 2008 ;
• 1 (satu) unit mobil minibus merk Toyota Type AVANZA warna kuning metalik nomor polisi DA 7130 TD Nomor rangka MHFFMRGK34K001774 Nomor Mesin DA02268;
• 1 (satu) lembar Surat Tanda Nomor Kenderaan Bermotor (STNK) Toyota Type AVANZA warna kuning metalik nomor polisi DA 7130 TD dikembalikan kepada PT Magna Finance Cabang Bajarmasin ;
• 1 (satu) lembar surat pelimpahan leasing dari H.BACHTIAR ZOELFIKAR yang tidak di tandatangani oleh PT Magna Finance Cabang Bajarmasin dikembalikan kepada Terdakwa ;
f. Menghukum Termohon Kasasi /Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini di tetapkan sebesar Rp 2.500, - (dua ribu lima ratus rupiah ) ;
Putusan Mahkamah Agung tesebut dapat dijadikan dasar bagi hakim lainnya dalam memberi keputusan hukum atas kasus yang sama bahwa adanya perjanjian Kredit yang ditandatangani oleh para pihak merupakan perjanjian pokok yang dapat digunakan sebagai dasar berlakunya Pejanjian baru yaitu Jaminan Fidusia, jadi sifatnya Asesor (Accessoir), yang diadakan untuk kepentingan Perjanjian Pokok sehingga timbul dan hapusnya tergantung pada Perjanjian Pokok. Dalam Hal ini pada tanggal 29 Agustus 2007 (pemberi fidusia menyerahkan jaminan fidusia kepada penerima fidusia). Dianggap telah melahirkan suatu hak dan kewajiban (perikatan), sehingga apabila ada pengalihan juga harus ada persetujuan (kesepakatan).
. Perlindungan Hukum terhadap Kreditur (PENERIMA FIDUSIA) LEASING
Menurut Pasal 1 angka 6 UUJF disebutkan "Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang dan pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia" Konsep di atas menterjemahkan bahwa seseorang, atau korporasi yang menjadi penerima fidusia disyaratkan memiliki suatu hubungan hukum berupa piutang yang dimiliki terhadap atau merupakan tanggngjawab dari pemberi fidusia, terhadap piutang tersebut penerima fidusia menerima suatu benda jaminan.
Masalah-Masalah yang mungkin timbut dalam pembebanan dan pendaftaran terhadap kreditur :
1) Dalam sebuah jaminan fidusia pada dasamya telah terjadi pemindahan hak milik. Dalam praktek sehari - hari maka segala bentuk kepemilikan harus dimasukkan dalam neraca laba rugi suatu perusahaan. Ketentuan mengenai pengalihan hak ini dapat menyulitkan para kreditor, karena apabila benda jaminan tersebut tidak dimasukkan dalam daftar neraca perusahaan dapat dianggap sebagai suatu penggelapan, namun apabila dimasukkan dalam suatu daftar neraca perusahaan, maka harus selalu dijelaskan pada tahun buku sesudahnya tentang aset perusahaan yang dikeluarkan dari neraca.
2) Hal lain yang menjadi masalah bagi kreditur adalah ; di dalam pelaksanaan perjanjian. jaminan fidusia. meskipun akta pembebanan jaminan fidusia diselenggarakan dengan. Akta notariil yang melahirkan eksekutorial akta, serta didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang menyebabkan penerimaan fidusia menjadi kreditur preferen, namun dalam pelaksanaannya, eksekusi terhadap obyek jaminan tidak diatur secara tegas, sehingga penerima fidusia kesulitam melakukan eksekusi. Sering dalam kasus-kasus serupa ini terpaksa. Jalan damai ditempuh, yang berarti sifat dari sertipikat jaminan fidusia dinomorduakan.
Salah satu cara untuk melindungi kepentingan Kreditur (sebagai Fidusia) adalah dengan memberikan ketentuan yang pasti akan Kreditur. Diatumya data yang lengkap yang harus termuat dalam jaminan Fidusia (Pasal 6 UUJF), secara tidak langsung memberikan pegangan yang kuat bagi Kreditur sebagai Penerima Fidusia, khususnya tagihan mana yang dijamin dan besamya nilai jaminan, yang menentukan seberapa besar tagihan kreditur preferen.
Perlindungan hukum dan kepentingan kreditur dalam UUJF dapat dilihat pada Pasal 20 UUJF :
‘Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda tersebut, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang monjadi objek Jaminan Fidusia"
Perlindungan yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 23 ayat (2) :
‘Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dan Penerima Fidusia".
Sanksi terhadap ketentuan di atas adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UUJF :
“Setiap orang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000.- (seputuhjuta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.- (seratus juta rupiah)"
Atas segala tindakan dan kelalaian pemberi fidusia, penerima fidusia berdasarkan karena kelalaian tersebut tidak bertanggungjawab, Sebagamana dimaksud dalam Pasal 24 UUJF :
“Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia".
Pada intinya maksud/tujuan dari perjanjian jaminan fidusia dari segi perlindungan hukum bagi kreditur adalah memberikan hak istimewa atau hak didahulukan baginya guna pelunasan hutang-hutang, debitur padanya (asas schuld dan haftung).
Lebih jauh perlindungan hukum terhadap hak atas piutang yang didahulukan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 27 UUJF :
(1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
(2) Hak didahulukan sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
(3) Hak yang didahulukan dan Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Secara keseluruhan maka, beberapa hal yang dapat menunjukkan adanya perlindungan hukum terhadap kreditur (Penerima Fidusia) menurut UU No. 42 tahun 1999 antara lain sebagai berikut:
a. Adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia, yang tidak lain adalah untuk menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia;
b. Adanya larangan pemberi fidusia untuk memfidusiakan ulang obyek jaminan fidusia (pasal 17);
c. Adanya ketentuan bahwa Pemberi Fidusia tidak diperbolehkan untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan (pasal 23 Sub 2);
d. Adanya ketentuan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda jaminan, kalau kreditur hendak melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan fidusia;
e. Adanya ketentuan pidana dalam Undang-undang Jaminan Fidusia.
Hasil penelitian yang penulis peroleh pada Kantor Pendaftaran Fidusia (pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum Departemen Kehakiman dan HAM Kantor Wilayah Jawa Tengah) adalah sebagai berikut:
Dasar pelaksanaan Pendaftaran jaminan fidusia :
1. UUJF No. 42 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889);
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran jaminan Fidusia;
3. Keputusan Presiden RI Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap lbukota Propinsi di Wilayah Negara. Republik Indonesia;
4. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak asasi Manusia RI Nomor M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia;
Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) maka pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF), Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman (Pasal 12 Ayat (3)), yang sekarang pelaksanaannya dilakukan pada Bidang Hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di setiap lbukota Propinsi, dalam hal ini adalah Seksi Pelayanan dan Jasa. Hukum.
Pembebanan jaminan fidusia dilakukan melalui dua tahap yaitu :
a. Tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Dalam Pasal 5 (1) UUJF dinyatakan :
"Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta jaminan Fidusia"
Akta Notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata.
b. Tahap kedua dalam proses perjanjian jaminan fidusia ialah pemberian jaminan dalam bentuk akta notaris dan kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia itu, tindakan tersebut untuk memenuhi salah satu asas dari perjanjian pembebanan beban dengan jaminan fidusia. adalah yaitu asas publisitas. Dengan didaftarkannya jaminan fidusia maka asas publisitas terpenuhi sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia.
Jaminan fidusia lahir pada. tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku pendaftaran fidusia. Seperti yang dapat dilihat dalam Alur di bawah ini :
Dalam skema di atas, dijelaskan :
1. Pada bagian 1 debitor A dan kreditor B, melakukan kesepakatan berupa suatu utang piutang dengan pembebanan jaminan fiduasi terhadap harta benda milik debitor A berupa satu unit mobil MINIBUS AVANSA.
2. Pada bagian 2, perjanjian utang piutang tersebut dengan jaminan fidusia, oleh debitor dan kreditor dibuatkan akta jaminan fidusia dihadapan Notaris, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat 1 (1) UUJF, pada saat inilah tahap tahap pertama pembebanan fidusia dilakukan yaitu pada saat dibuatnya akta Notaris terhadap benda jaminan fidusia.
3. Pada bagian 3, merupakan pelaksanaan tahap kedua dari pembebanan jaminan fidusia pada tahap ini akta jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada di lingkungan kerja Kanwil Depatemen Hukum dan HAM. Pada tahap ini asas publisitas dianggap telah terlaksana dikarenakan daftar umum pendaftaran fidusia terbuka bagi masyarakat luas untuk mengakses dan mengetahui benda-benda fidusia yang sudah dibebankan sebagai jaminan, dengan terselenggaranya asas publisitas melalui pendaftaran ini maka pihak penerima fidusia dianggap sebagai kreditor preferent.
4. Penerbitan Sertipikat Jaminan Fidusia
Dapat dipaparkan lebih rinci lagi berdasarkan penjelasan Pasal 11 UUJF maka pendaftaran fidusia dilakukan pada tempat kedudukan si Pemberi Fidusia, tetapi masih banyak pemohon (Penerima Fidusia) yang mendaftarkan jaminan fidusia pada tempat berada benda yang akan dijaminkan. Hal ini yang menyebabkan beberapa permohonan pendaftaran pada KPF ditolak dan disarankan untuk didaftarkan di KPF tempat kedudukan si Pemberi Fidusia. Dalam hal pendaftaran ini KPF tidak boleh melakukan penelitian tentang kebenaran data yang tercantum dalam akta yang akan didaftarkan. KPF hanya meneliti pada kelengkapan administrasi dan data yang akan dimohonkan. Menurut UUJF tata cara pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia di KPF, permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur lebih lanjut berdasarkan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran jaminan Fidusia :
1. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pemyataan pendaftaran jaminan fidusia yang memuat : (lihat contoh formulir pernyataan)
2. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi nama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;
3. Tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta. jaminan fidusia;
4. Data perjanjian pokok;
5. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
6. Nilai penjaminan;
7. Data Bukti hak (kepemilikan); dan
8. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah menerima permohonan tersebut memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan. Apabila tidak lengkap, harus langsung dikembalikan berkas permohonan tersebut.
1. Apabila sudah lengkap, Pejabat Pendaftaran Fidusia memberikan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada pemohon yang dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Dalam praktek pelaksanaan penyerahan sertifikat fidusia ini dilakukan satu sampai dua mingggu dari tanggal pendaftaran, hal ini mengingat sarana dan prasarana yang sangat terbatas pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
2. Apabila terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat jaminan fidusia pemohon memberitahu kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat jaminan fidusia ini memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula.
Pendaftaran jaminan fidusia akan memberikan informasi data-data baik mengenai ikatan jaminannya, maupun bendanya, karena dalam suatu pendaftaran fidusia semua hal tersebut dicatat dengan teliti oleh Kantor Pendaftaran Fidusia, sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 13 Ayat (2) UUJF yang semuanya bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, dengan pendaftaran tersebut akan diketahui :
a. siapa para pihaknya;
b. perikatan pokok mana yang dijamin;
c. besamya utang;
d. besarnya beban jaminan;
e. data kepemilikan atas benda yang dijaminkan;
f. klausula-klausulanya.
Kesemuanya dicatat dengan rinci, benda jaminan juga dicatat dengan rinci, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut :
3. Pendaftaran benda, pemilik mempunyai bukti kepemilikan yang relatif pasti ;
4. Pendaftaran ikatan jaminan, kreditor punya bukti hak jaminan yang pasti; sertipikat jaminan fidusia memberikan alasan hak bagi kreditor.
5. Pendaftaran benda, pihak ketiga tidak bisa lagi mengatakan bahwa ia tidak tahu siapa pemilik benda itu ; hat ini berkenan dengan adanya asas publisitas dalam pembebanan benda jaminan
6. Pendaftaran ikatan jaminan pihak ketiga tidak lagi mengemukakan bahwa ia tidak tahu barang benda tertentu, milik orang tertentu, sedang memikul beban jaminan untuk kreditor tertentu.
Dalam pelayanan permohonan Sertifikat Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia sering menerima permohonan sebagai berikut :
Tempat kedudukan Pemberi Fidusia tidak termasuk dalam wilayah Kantor Pendaftaran Fidusia (sesuai penjelasan Pasal 11 UUJF tempat pendaftaran adalah sesuai dengan tempat kedudukan si Pemberi Fidusia);
Dalam pemyataan pendaftaran fidusia tidak tercantum data hutang pokoknya (demikian juga dalam akta notaris yang dijadikan dasar pendaftaran). Menurut penjelasan notaris sebagai pihak yang diberi kuasa oleh Bank sebagai pemohon, ada beberapa pemohon (bank) yang tidak ingin hutang pokoknya dicantumkan.
Dalam hal jenis benda yang menjadi obyek jaminan masih banyak ditemukan beberapa penerima fidusia yang menerima benda obyek jaminan yang tidak mempunyai sifat kebendaan itu sendiri, misalnya obyek jaminan fidusia berupa terinin proyek. Ada juga pemohon yang mengajukan akta Cessie untuk dimintakan sertifikat jaminan fidusia' padahal akta Cessie hanya bisa digunakan untuk pengajuan perubahan sertifikat jaminan fidusia.
Terjadinya fidusia ulang hanya karena sebetulnya materi yang diajukan adalah untuk Perubahan sertifikat, tetapi oleh penerima fidusia melalui kuasanya didaftarkan sebagai permohonan baru.
Dalam hal pengajuan permohonan penghapusan/pencoretan tidak disertai surat pernyataan (sesuai Pasal 25 UUJF) dari Penerima Fidusia.
Dengan didaftamya akta perjanjian fidusia, maka Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat akta jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kepada kreditor diberikan Sertifikat jaminan Fidusia. Saat pendaftaran akta pembebanan fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi pemberi fidusia, memberikan kepastian kepada kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor dan untuk memenuhi asas publisitas karena Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.
Jika terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam Sertifikat jaminan Fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Setelah syarat-syarat kelengkapan administrasi dipenuhi maka Kantor Pendaftaran jaminan Fidusia mengeluarkan satu Sertifikat jaminan Fidusia untuk si pemohon (Penerima Fidusia) dan satu Buku Daftar Fidusia untuk disimpan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Suatu yang sangat menguntungkan bagi kreditor penerima jaminan fidusia adalah bahwa Sertifikat jaminan Fidusia mengandung kata-kata yang biasa disebut irah-irah, "DEMI BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJF. (lihat contoh dalam lampiran 1).
. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR (PEMBERI FIDUSIA)
C.1 Perlindungan Hukum Terhadap Debitur dalam Pengalihan Obyek
Jaminan Fidusia terhadap Pihak Ketiga
Pada praktiknya pihak bank sering meminta jaminan khusus yaitu berupa barang-barang milik debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, mengingat sering terjadinya bahwa pihak debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji. Adanya jaminan bagi debitur tersebut adalah demi keamanan modal dan kepastian hukum bagi pemberi modal, disinilah pentingnya lembaga jaminan. Dalam praktik pihak bank sebagai kreditur lebih menyukai jaminan kebendaan mengingat jaminan ini lebih menguntungkan pihak kreditur karena sifat dari jaminan ini memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dari kreditur-kreditur lain yang tidak mempunyai hak-hak jaminan khusus.
Pihak pemberi fidusia diperbolehkan mengalihkan atau menggadaikan obyek jaminan fidusia asalkan terdapat persetujuan dari si penerima fidusia. Pengalihan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 19 sampai dengan pasal 24 Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Pasal 19 UUF bunyinya sebagai berikut :
a. Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru.
b. Beralihnya jaminan fidusia didaftarkan oleh kreditur baru kepada kantor pendaftaran fidusia.
Pengalihan hak atas hutang (cession), yaitu pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan mengalihkan antara lain termasuk dengan menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Pengalihan hak atas hutang dengan jaminan fidusia dapat dialihkan oleh penerima fidusia kepada penerima fidusia baru (kreditur baru). Kreditur baru inilah yang melakukan pendaftaran tentang beralihnya jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dengan adanya cession ini, maka segala hak dan kewajiban penerima fidusia lama beralih kepada penerima fidusia baru dan pengalihan hak atas piutang tersebut diberitahukan kepada pemberi fidusia. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Fidusia menyatakan bahwa Pemberi fidusia dilarang untuk mengalihkan menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Apabila obyek jamina fidusia tersebut beralih maka jaminan fidusia tetap mengikat benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada. Pengecualian dari ketentuan ini adalah bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Penjelasan Pasal 23 ayat 2 undang-undang fidusia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda yang tidak merupakan benda persediaan misalnya mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi obyek jaminan fidusia. Namun, pengalihan obyek jaminan fidusia tersebut akhir-akhir ini telah menjadi hal yang umum yang dilakukan oleh para pemberi fidusia kepada pihak ketiga dalam bentuk oper kredit kepada pihak ketiga.
Oper kredit adalah proses pemindahan fasilitas kredit atau pinjaman di lembaga keuangan dari seseorang kepada orang atau pihak lain. Hal ini dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya tidak mampu mengangsur, tidak menyukai barang yg di kredit, atau hal lain. Transaksi oper kredit biasa terjadi pada kredit rumah, kredit mobil, atau kredit motor Bentuk perjanjian pun seringkali dibuat di bawah tangan bahkan kadang hanya dilakukan secara lisan saja dengan bukti kwitansi pembelian. Harus di pastikan bahwa oper kredit dilakukan saecara legal yaitu dengan cara membuat Perjanjian Pengalihan Hak dan Kewajiban yang diketahui oleh pihak kreditur. Selain itu, khususnya bagi pihak ketiga harus memastikan tidak ada masalah pada transaksi kredit sebelum proses over kredit dilaksanakan seperti ada kredit macet atau denda atas tunggakan keterlambatan pembayaran sebelumnya yang dilakukan oleh pemneri fidusia.
Setiap perbankan atau lembaga pembiayaan selaku penerima obyek jaminan fidusia sendiri pada dasarnya memiliki aturan dan tata cara oper kredit mobil yg berbeda-beda satu sama lain. Pihak Debitur selaku pemberi fidusia harus terlebih dahulu melaporkan kepada leasing/perbankan apabila akan mengalihkan benda yang merupakan obyek jaminan fidusia. Pihak ketiga selaku pihak yang akan menerima oper kredit ketika berniat membeli obyek jaminan fidusia dengan melakukan oper kredit pun harus memastikan bahwa pihak perbankan/leasing memperbolehkan dilakukan oper kredit, jangan sampai melakukan proses ilegal yang nantinya akan merugikan semua pihak. Secara garis besar terdapat dua proses yang harus dijalani, yaitu tahap negosiasi dan tahap administrasi.
Penting bagi pihak ketiga untuk memperhatikan hal-hal tersebut sebelum melakukan oper kredit terhadap obyek jaminan fidusia karena jaminan fidusia mempunyai hak prefensi dari penerima fidusia. Hak preferensi dari penerima fidusia telah diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUJF yang bunyinya, hak preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Mengenai kedudukan hak preferensi dari penerima fidusia jika debitur mengalami pailit atau likuidasi, telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF, yang bunyinya: ”hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasinya debitur.”
Dengan demikian jika debitur terkena pailit atau dilikuidasi maka penerima fidusia lah yang terlebih dahulu menerima pelunasan hutangnya yang diambil dari penjualan barang objek fidusia dan jika ada sisa baru diberikan kepada kreditur lainnya. Selanjutnya mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu fidusia atas satu objek jaminan fidusia, maka berdasarkan Pasal 28 hak preferensi diberikan kepada hak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia
Meskipun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan pemerintah, pihak ketiga dalam melakukan oper kredit dengan penjual selaku pemilik obyek jaminan fidusia harus dilakukan secara legal di hadapan perbankan/ leasing karena oper kredit yang dilakukan secara ilegal bisa menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri di kemudian hari, pemindah tanganan harus diketahui oleh perusahaan pemberi kredit selaku penerima obyek jaminan fidusia. Pengalihan obyek jaminan fidusia yang legal akan memberikan perlindungan hukum utamanya bagi Pihak Ketiga selaku pembeli obyek jaminan fidusia tersebut agar dapat tercatat oleh leasing ataupun ketika akan melakukan pelunasan tidak muncul kendala pada saat pengambilan obyek jaminan fidusia tersebut. Pihak ketiga akan memperoleh kepastian hukum terhadap barang yang menjadi obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan dan mengurangi resiko terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari.
Setiap perbankan atau lembaga pembiayaan selaku penerima obyek jaminan fidusia sendiri pada dasarnya memiliki aturan dan tata cara oper kredit mobil yg berbeda-beda satu sama lain. Pihak Debitur selaku pemberi fidusia harus terlebih dahulu melaporkan kepada leasing/perbankan apabila akan mengalihkan benda yang merupakan obyek jaminan fidusia. Pihak ketiga selaku pihak yang akan menerima oper kredit ketika berniat membeli obyek jaminan fidusia dengan melakukan oper kredit pun harus memastikan bahwa pihak perbankan/leasing memperbolehkan dilakukan oper kredit, jangan sampai melakukan proses ilegal yang nantinya akan merugikan semua pihak. Secara garis besar terdapat dua proses yang harus dijalani, yaitu :
1. Tahap negosiasi : adalah proses negosiasi jumlah nilai alih kredit yang harus dibayarkan pembeli sebagai pihak pertama. Beberapa variasi nilai alih kredit bisa berupa nilai alih kredit adalah sejumlah uang muka yang telah dibayar saja atau bisa juga berupa nilai alih kredit adalah sejumlah uang muka ditambah sejumlah persentase dati total cicilan yag sudah dibayar. Pada saat negosiasi ini juga harus jelas betul pada cicilan ke berapa kredit akan diambil alih, agar pihak ketiga dapat segera melunasi cicilan bulanan yang menjadi kewajiban dan pihak yang mengambil alih juga mengetahui kapan harus membayar cicilan kredit dan berapa kali lagi sisa kredit yang harus diangsurnya.
2. Tahap administrasi : adalah proses penyelesaian administrasi dan legalisasi pengambil alihan kredit dengan obyek jaminan fidusia atas nama pihak pertama (debitur lama) kepada pihak kedua (debitur baru) atau proses balik nama. Pengurusan administrasi ini dilakukan kepada perbankan atau dealer/leasing yang bersangkutan mencakup pengikatan fidusia untuk jaminan, balik nama pihak yang bertanggung jawab pada asuransi mobil, dan balik nama atas surat-surat kendaraan seperti STNK, BPKB, dan lain-lain.
Penting bagi pihak ketiga untuk memperhatikan hal-hal tersebut sebelum melakukan oper kredit terhadap obyek jaminan fidusia karena jaminan fidusia mempunyai hak prefensi dari penerima fidusia. Hak preferensi dari penerima fidusia telah diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUJF yang bunyinya, hak preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Mengenai kedudukan hak preferensi dari penerima fidusia jika debitur mengalami pailit atau likuidasi, telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF, yang bunyinya: ”hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasinya debitur.”
Dengan demikian jika debitur terkena pailit atau dilikuidasi maka penerima fidusia lah yang terlebih dahulu menerima pelunasan hutangnya yang diambil dari penjualan barang objek fidusia dan jika ada sisa baru diberikan kepada kreditur lainnya. Selanjutnya mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu fidusia atas satu objek jaminan fidusia, maka berdasarkan Pasal 28 hak preferensi diberikan kepada hak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia
Menurut Munir Fuady, bahwa tidak ada hak preferensi kepada penerima fidusia yang kedua dengan alasan sebagai berikut:
a. Jika sistem pendaftarannya berjalan secara baik dan benar, maka hampir tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang kedua;
b. Jika fidusia tidak mungkin didaftarkan, maka fidusia yang tidak terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia dianggap lahir setelah didaftarkan;
c. Karena fidusia ulang memang dilarang oleh Undang-Undang Fidusia No.42 Tahun 1999.
Meskipun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan pemerintah, pihak ketiga dalam melakukan oper kredit dengan penjual selaku pemilik obyek jaminan fidusia harus dilakukan secara legal di hadapan perbankan/ leasing karena oper kredit yang dilakukan secara ilegal bisa menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri di kemudian hari, pemindah tanganan harus diketahui oleh perusahaan pemberi kredit selaku penerima obyek jaminan fidusia. Pengalihan obyek jaminan fidusia yang legal akan memberikan perlindungan hukum utamanya bagi Pihak Ketiga selaku pembeli obyek jaminan fidusia tersebut agar dapat tercatat oleh leasing ataupun ketika akan melakukan pelunasan tidak muncul kendala pada saat pengambilan obyek jaminan fidusia tersebut. Pihak ketiga akan memperoleh kepastian hukum terhadap barang yang menjadi obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan dan mengurangi resiko terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari.
Selain pengalihan obyek jaminan fidusia, pendaftaran obyek jaminan fidusia juga merupakan suatu pengaturan yang harus dipahami betul oleh pihak ketiga. Pendaftaran obyek jaminan fidusia juga dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat pada benda yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan disana, dan dalam hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/ mengontrol register/daftar, maka ia harus memikul risiko kerugian sendiri. Namun, sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia hanya terbatas di kota-kota besar, apakah bisa dan patut diharapkan, bahwa orang yang hendak mengoper suatu benda tidak-atas-nama akan mengecek terlebih dahulu ke Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum menutup transaksi mengenai benda tersebut.
Ini membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap pihak ketiga, termasuk pemegang gadai, yang beritikad baik. Selain itu, apabila pemberian gadai tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima fidusia, karena jaminan fidusia juga merupakan hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan diberlakukan yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, J. Satrio juga masih mempertanyakan hal tersebut karena selama ini prinsip tersebut hanya diberlakukan pada hak kebendaan dari jenis yang sama, seperti umpamanya gadai pertama, kedua, dan selanjutnya, hipotik pertama, kedua, dan selanjutnya, hak tanggungan pertama, kedua, dan selanjutnya. Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga dari pemberian gadai atas benda yang telah dijadikan jaminan fidusia adalah tidak adanya perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk mengambil pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur wanprestasi.
Didalam masa periode pembayaran kredit, kadang kala debitur atau pemberi fidusia melakukan wanprestasi, baik keterlambatan pembayaran, maupun tidak melakukan pembayaran angsuran sama sekali. Lembaga pembiayaan atau bank sebagai penerima fidusia berhak melakukan upaya penagihan terhadap debitur atau pemberi fidusia apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran kredit. Upaya penagihan inipun tidak berjalan lancar, adakalanya harus dilaksanakan beberapa kali.
Pelaksanaan penagihan kepada debitur dapat dilakukan sendiri oleh lembaga pembiayaan atau bank ini dengan bantuan pihak ketiga (biro jasa). Sebelumnya kreditur mengirimkan surat tagihan resmi yang menegaskan agar debitur melunasi jumlah kredit yang tertunggak beserta biaya dan bunga yang terutang dengan mencantumkan batas waktu untuk melunasinya. Surat tagihan kredit ini kemudian diikuti dengan beberapa peringatan, terutama bila debitur ternyata tidak melunasinya atau memperhatikan peringatan yang diberikan. Apabila debitur bersifat kooperatif, berbagai jalan keluar masih dapat dirundingkan untuk dapat membayar dan melunasi pinjaman yang terutang. Dalam menggunakan bantuan biro jasa, penagihan dilakukan atas nama dan untuk kepentingan bank. Khusus bagi bank-bank umum milik negara (BUMN dan BUMD) ketentuan yang berlaku mewajibkan untuk menyerahkan penyelesaian piutang negara melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Hubungan hukum antara bank dan biro jasa atau pihak ketiga lainnya adalah perbuatan pemberian kuasa yang perlu dituangkan dalam suatu akta yang harus dilakukan untuk kepentingan bank (KUHPerdata Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819).
Jika telah dilakukan penagihan dan peringatan oleh lembaga pembiayaan atau bank, debitur tetap tidak mengindahkan untuk mempertanggungjawabkan kreditnya yang tertunggak, selanjutnya lembaga pembiayaan atau bank mulai mempertimbangkan kemungkinan penyelesaian melalui penarikan obyek jaminan atau eksekusi. Pencairan jaminan yang dibebani jaminan kebendaan fidusia yang menjadi hak kreditur sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu dengan jalan lembaga pembiayaan atau bank melelang barang yang dijaminkan tanpa diperlukan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Sebagai prinsip yang berlaku dalam hukum jaminan fidusia, pencairan dilakukan dengan cara penjualan obyek jaminan tersebut, baik secara lelang maupun di bawah tangan.
Permintaan eksekusi yang diajukan langsung oleh bank atas dasar Sertifikat Jaminan Fidusia yang menurut ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, dilakukan dengan melampirkan Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut. sebagaimana diketahui bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia dapat dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
C.2. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur dalam Eksekusi Jaminan Fidusia oleh Lembaga Pembiayaan
Pada prakteknya banyak lembaga pembiayaan (finance) menyelenggarakan sewa guna usaha (leasing) menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya Jaminan Fidusia bagi obyek benda Jaminan Fidusia, tetapi tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Jadi lembaga pembiayaan tersebut menggunakan akta Jaminan Fidusia di bawah tangan.
Sebagian perusahaan pembiayaan berpendapat, sebenarnya menurut azas kebebasan berkontrak, masing-masing pihak bebas saling mengikatkan diri dan para pihak bebas menyusun klausul kontrak, juga selama syarat sahnya perjanjian terpenuhi. Perjanjian kredit yang disusun dengan konsep Jaminan Fidusia, akan tetapi tidak didaftarkan, sebagaimana konsep fidusia lama (fiduciarie eigendom overdracht/FEO) tetap sah dan berlaku mengikat kedua belah pihak. Alasan perusahaan pembiayaan adalah adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan yang menjadikan proses jual beli menjadi mudah. Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen yang kemudian menjadi debitur, dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan. Namun perjanjian di bawah tangan seperti itu tidak memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) dan tidak memberikan hak mendahului pada kreditur untuk mengambil pelunasan lebih dahulu (Pasal 27 ayat (1) UUJF).
Akan tetapi dari sisi manapun, pihak debiturlah yang berada dalam posisi lemah. Selain menerapkan klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha, sedangkan klausula baku tersebut sering kali tidak dipahami oleh debitur. Juga apabila terjadi keterlambatan pembayaran angsuran, lembaga pembiayaan menganggap terjadi kemacetan pembayaran angsuran, ini berarti debitur telah menikmati obyek jaminan sebagaimana kewajiban yang telah ditunaikan karena debitur hanya bertindak selaku peminjam pakai. Serta merta lembaga pembiayaan melakukan eksekusi/penarikan terhadap obyek jaminan fidusia karena kreditur memposisikan mengambil kembali hak miliknya. Dalam hal ini yang sering kali terjadi pada penjaminan fidusia yang obyeknya kendaraan bermotor.
BAB IV
PENUTUP
. Kesimpulan
1. Keputusan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 1016/PID.B/2009/PN.BJM tanggal 10 November 2009 merupakan suatu langkah yang tepat agar dapat dijadikan dasar bagi hakim lainnya dalam memberi keputusan hukum atas kasus yang sama bahwa adanya perjanjian Kredit yang ditandatangani oleh para pihak merupakan perjanjian pokok yang dapat digunakan sebagai dasar berlakunya Pejanjian baru yaitu Jaminan Fidusia, jadi sifatnya Asesor (Accessoir), yang diadakan untuk kepentingan Perjanjian Pokok (Perjanjian Kredit) sehingga timbul dan hapusnya tergantung pada Perjanjian Pokok. Dalam Hal ini pada tanggal 29 Agustus 2007 (pemberi fidusia menyerahkan jaminan fidusia kepada penerima fidusia). Dianggap telah melahirkan suatu hak dan kewajiban (perikatan), sehingga apabila ada pengalihan juga harus ada persetujuan (kesepakatan). Walaupun dalam kasus ini Putusan Mahkamah Agung tersebut hanya diatas kertas saja, akan tetapi eksekusinya tidak dapat dijalankan karena termohon kasasi (terdakwa) yaitu H. BACHTIAR ZOELFICAR bin MATTANGARAN telah meninggal dunia.
2. Perlindungan hukum terhadap kreditur (leasing) akan terwujud apabila pihak kreditur mematuhi dan mentaati prosedur pendaftaran fidusia sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia.Sehingga apabila terjadi suatu wanprestasi maka kreditur dapat memberikan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
3. Perlindungan hukum terhadap debitur akan terwujud apabila pada awalnya pihak debitur mempunyai itikad baik, berhati-hati dalam memahami klausula baku perjanjian tersebut terutama ketika akan melakukan oper kredit kepada pihak ketiga sehingga pihak ketiga pun akan memperoleh perlindungan hukum. Selain itu, Debitur juga harus mempunyai wawasan mendalam mengenai fidusia mulai dari pendaftaran sampai dengan eksekusinya. Sehingga apabila terjadi suatu sengketa, maka debitur dapat memperjuangkan hak-haknya dan juga bisa meminta pertimbangan penyelesaian kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
. Saran
1. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jaminan fidusia harus mengatur kapan suatu obyek fidusia wajib didaftarkan dan apa konsekwensinya jika objek jaminan fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat akta jaminan nya saja agar hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh dan pemberi fidusia tidak salah memperlakukan suatu objek jaminan fidusia yang masih dalam penguasaaannya.
2. Para pihak dalam perjanjian jaminan fidusia harus mematuhi prosedur sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Salah satunya berupa pendaftaran fidusia sehingga para pihak mendapatkan perlindungan hukum.Untuk itu, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh debitur sebagai konsumen adalah sebagai berikut :
a. Konsumen diharapkan beritikad baik untuk selalu membayar angsuran tepat waktu.
b. Konsumen seharusnya lebih kritis dan teliti dalam membaca klausul baku, terutama mengenai :
1) Hak-hak dan kewajiban para pihak;
2) Kapan perjanjian itu jatuh tempo;
3) Akibat hukum bila konsumen tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
1 Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
J. Satrio. 1996. Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Bandung, Citra Aditya Bakti.
_______. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kashadi. 2000. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Semarang : Badan Penerbit Undip.
Munir Fuady. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung : PT. Citra aditya Bakti
Salim. HS.2011. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta Rajawali Pers.
Sri Soedewi Masjchoen, 2003, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, Liberty.
Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan. Bandung : P.T. Alumni.
Jurnal:
Annuar Syarifudin. 2012. TINDAK PIDANA DALAM MASA PEMBIAYAAN PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PASAL 372 DAN PASAL 378 KUHP DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG FIDUSIA (Studi Kasus di Wilayah Polsekta Pontianak Selatan). Vol. 2 No.2. Pontianak: Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura.
David Kurniawan. 2012. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PEMBERI JAMINAN FIDUSIA YANG KARENA KESENGAJAANNYA MELAHIRKAN PERJANJIAN FIDUSIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PASAL 35 UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 1999 TENTANG FIDUSIA. Vol. 2 No.2 . Pontianak: Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura.
Winda Pebrianti. 2012. TINJAUAN HUKUM ATAS EKSEKUSI OBYEK JAMINAN FIDUSIA MELALUI PARATE EKSEKUSI APABILA OBYEK JAMINAN BERALIH KEPADA PIHAK KETIGA ATAU MUSNAH. Vol. 2 No 2. ISSN 1693-766X.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Internet
www.kemenkumham.go.id (diakses tanggal 13 Maret 2013 pukul 11.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar