13/06/16

Bolehkah Kreditur Menjaminkan Kembali BPKB Milik Debitur? (Fidusia)



Seseorang memiliki satu kredit dengan jaminan berupa kendaraan dan BPKB yang dijaminkan secara Fidusia. Apabila perusahaan kreditur mengalami masalah, dan kesulitan untuk mengeluarkan BPKB secara cepat.

Pertanyaan :
Apakah kreditur memiliki hak untuk mengagunkan kembali BPKB yang dijaminkan kepada pihak lain atau bank?

Jawaban :
Kreditur tidak mempunyai hak untuk mengagunkan kembali/menjaminkan barang milik debitur kepada pihak lain. 
Bahkan kreditur tersebut dapat dijerat pidana karena melakukan tindakan penggelapan.

Mengenai fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”).
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[1]

Objek yang dijaminkan sebagai jaminan fidusia adalah BPKB mobil atas nama adalah sebagai tanda hak kepemilikan yang dialihkan, sedangkan mobilnya tetap berada pada kekuasaan debitur dan masih tetap dapat dipakai.

Mengenai apakah kreditur \berhak untuk mengagunkan kembali BPKB yang dijaminkan debitur kepada pihak lain, perlu diketahui siapa yang berhak bertindak sebagai pemberi jaminan.
Pada dasarnya Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.[2]
Jadi pada dasarnya, kreditur tidak berhak untuk menjaminkan lagi BPKB debitur kepada pihak lain karena kreditur bukanlah pemilik dari kendaraan tersebut.

Jika kreditur menjaminkan barang yang bukan miliknya, maka dapat dikatakan kreditur tersebut melakukan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menyatakan bahwa Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan hukum. Sehingga, dalam hal ini, jika kita jabarkan unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah :
1.    Barang siapa (ada pelaku);
2.    Dengan sengaja dan melawan hukum;
3.    Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;
4.    Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Yang mana dalam kasus, BPKB tersebut ada dalam kekuasan kreditur bukan karena kejahatan, tetapi karena BPKB itu memang digunakan oleh debitur sebagai jaminan.

Kemudian perlu diketahui lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “memiliki”.
Apakah “memiliki” termasuk juga menjaminkan barang milik orang lain? R. Soesilo (Ibid, hal. 258), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “memiliki” adalah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik barang itu berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya sebagai pemegang barang itu. Dipandang  sebagai “memiliki” misalnya menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan uang, dan sebagainya.

Ini berarti jika kreditur menjaminkan BPKB yang bukan miliknya, ia dapat dipidana karena melakukan penggelapan.

Jadi, kreditur tidak mempunyai hak untuk mengagunkan kembali/menjaminkan barang milik debitur kepada pihak lain. Bahkan kreditur tersebut dapat dijerat pidana karena melakukan tindakan penggelapan.

Akan tetapi, berbeda halnya jika jaminan yang debitur berikan, berpindah ke kreditur baru karena terjadi subrogasi. Jaminan debitur bisa berada pada pihak lain jika kreditur mengalihkan piutangnya kepada orang lain (kreditur baru).
Pengalihan piutang ini disebut dengan subrogasi, terjadi karena pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur (si berpiutang) baik secara langsung maupun secara tidak langsung yaitu melalui debitur (si berutang) yang meminjam uang dari pihak ketiga. Pihak ketiga ini menggantikan kedudukan kreditur lama, sebagai kreditur yang baru terhadap debitur.
Subrogasi ini diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Disebutkan dalam pasal tersebut subrogasi adalah perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun karena ditentukan oleh undang-undang.
Subrogasi harus dinyatakan secara tegas[3] karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang.
Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fidusia.

Jika dilakukan subrogasi (pengalihan piutang), maka beralih demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.[4] Yang berarti yang memegang jaminan fidusia itu setelah terjadi subrogasi adalah kreditur baru. Beralihnya Jaminan Fidusia tersebut didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.[5]
  
Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Fidusia
[2] Pasal 1 angka 5 UU Jaminan Fidusia
[3] Pasal 1401 KUHPerdata
[4] Pasal 19 ayat (1) UU Jaminan Fidusia
[5] Pasal 19 ayat (2) UU Jaminan Fidusia 

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560f2dbe2efeb/

Selasa, 27 Oktober 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar