Seseorang
memiliki satu kredit dengan jaminan berupa kendaraan dan BPKB yang dijaminkan
secara Fidusia. Apabila perusahaan kreditur mengalami masalah, dan kesulitan
untuk mengeluarkan BPKB secara cepat.
Pertanyaan :
Apakah
kreditur memiliki hak untuk mengagunkan kembali BPKB yang dijaminkan kepada
pihak lain atau bank?
Jawaban :
Kreditur
tidak mempunyai hak untuk mengagunkan kembali/menjaminkan barang milik debitur
kepada pihak lain.
Bahkan kreditur tersebut dapat dijerat pidana karena
melakukan tindakan penggelapan.
Mengenai fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
(“UU Jaminan Fidusia”).
Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[1]
Objek yang dijaminkan sebagai jaminan fidusia adalah BPKB mobil atas nama adalah
sebagai tanda hak kepemilikan yang dialihkan, sedangkan mobilnya tetap berada
pada kekuasaan debitur dan masih tetap dapat dipakai.
Mengenai apakah kreditur \berhak untuk mengagunkan kembali BPKB yang dijaminkan
debitur kepada pihak lain, perlu diketahui siapa yang berhak bertindak sebagai
pemberi jaminan.
Pada dasarnya Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.[2]
Jadi pada dasarnya, kreditur tidak berhak untuk menjaminkan lagi BPKB debitur
kepada pihak lain karena kreditur bukanlah pemilik dari kendaraan tersebut.
Jika kreditur menjaminkan barang yang bukan miliknya, maka dapat dikatakan
kreditur tersebut melakukan tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal
372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
R. Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menyatakan
bahwa Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi
pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di tangannya
tidak dengan jalan kejahatan/melawan hukum. Sehingga, dalam hal ini, jika kita
jabarkan unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah :
1. Barang siapa (ada pelaku);
2. Dengan sengaja dan melawan hukum;
3. Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain;
4. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan.
Yang mana dalam kasus, BPKB tersebut ada dalam
kekuasan kreditur bukan karena kejahatan, tetapi karena BPKB itu memang
digunakan oleh debitur sebagai jaminan.
Kemudian perlu diketahui lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan “memiliki”.
Apakah “memiliki” termasuk juga menjaminkan barang milik orang lain? R.
Soesilo (Ibid, hal. 258), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
“memiliki” adalah pemegang barang yang menguasai atau bertindak sebagai pemilik
barang itu berlawanan dengan hukum yang mengikat padanya sebagai pemegang
barang itu. Dipandang sebagai “memiliki”
misalnya menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan uang,
dan sebagainya.
Ini berarti jika kreditur menjaminkan BPKB yang bukan miliknya, ia dapat
dipidana karena melakukan penggelapan.
Jadi, kreditur tidak mempunyai hak untuk mengagunkan kembali/menjaminkan
barang milik debitur kepada pihak lain. Bahkan kreditur tersebut dapat dijerat
pidana karena melakukan tindakan penggelapan.
Akan tetapi, berbeda halnya jika jaminan yang debitur
berikan, berpindah ke kreditur baru karena terjadi subrogasi. Jaminan debitur
bisa berada pada pihak lain jika kreditur mengalihkan piutangnya kepada orang
lain (kreditur baru).
Pengalihan piutang ini disebut dengan subrogasi, terjadi karena pembayaran
yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur (si berpiutang) baik
secara langsung maupun secara tidak langsung yaitu melalui debitur (si
berutang) yang meminjam uang dari pihak ketiga. Pihak ketiga ini menggantikan
kedudukan kreditur lama, sebagai kreditur yang baru terhadap debitur.
Subrogasi ini diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Disebutkan dalam pasal tersebut subrogasi adalah perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar
kepada kreditur. Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun karena
ditentukan oleh undang-undang.
Subrogasi harus dinyatakan secara tegas[3]
karena subrogasi berbeda dengan pembebasan utang.
Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur adalah untuk menggantikan
kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan debitur dari kewajiban membayar
utang kepada kreditur.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak
melakukan penagihan utang terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka
kreditur baru mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur
yang dibebani dengan jaminan seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, dan
fidusia.
Jika dilakukan subrogasi (pengalihan piutang), maka beralih demi hukum
segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.[4]
Yang berarti yang memegang jaminan fidusia itu setelah terjadi subrogasi adalah
kreditur baru. Beralihnya Jaminan Fidusia tersebut didaftarkan oleh kreditor
baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.[5]
Dasar Hukum:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560f2dbe2efeb/
Selasa, 27
Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar