Apabila ada salah seorang anak yang merupakan 9 bersaudara
ingin menjaminkan sebuah rumah milik ibunya ke bank (ibunya menyetujui), dan
notaris meminta tanda tangan dari saudaranya yang lain, yg berdasarkan artikel
di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51a5c46c6fb26/hukum-menggunakan-sertifikat-tanah-orangtua-untuk-jaminan-bank,
sebetulnya tidak memerlukan tanda tangan apabila ingin menjaminkannya ke bank.
Pertanyaan :
1.
Mengapa notaris meminta tanda tangan semua
saudaranya?
2. Apakah ada motif lain yang bisa digunakan
melalui tanda tangan dari saudaranya tersebut?
Apakah hal itu bisa berupa balik nama?
3.
Apabila salah seorang anak berada di luar
negeri, tetapi notaris mengharuskan anak itu
harus pulang untuk tanda tangan
dan tanda tangan tersebut tidak boleh dikirim, kenapa anak
tersebut harus
pulang?
Jawaban :
1. Ada beberapa keadaan atau kemungkin di dalam praktik yang dapat menjadi
pertimbangan. Dengan asumsi bahwa kondisi keluarga ibu (pemilik sertifikat),
ada di kondisi yaitu si ayah (suami ibu) sudah meninggal dunia.
Jika kondisinya
demikian, maka walaupun sertifikat atas nama ibu, namun apabila tanah/bangunan
tersebut dibeli dulu pada saat perkawinan mereka masih berlangsung, (dan antara
keduanya tidak dibuatkan perjanjian pisah harta), maka berdasarkan Pasal 119
(“KUHPerdata”) tanah/bangunan tersebut termasuk dalam harta gono gini dari
ibu dan ayah.
Jika ayah sudah meninggal
dunia, maka ½ bagian dari tanah tersebut adalah hak dari ahli warisnya, yaitu:
ibu dan 9 orang anaknya (Pasal 852 KUHPerdata). Dengan demikian, untuk
menjaminkan harta yang terdaftar atas nama ibu tersebut, diharuskan adanya
persetujuan dari seluruh anak-anak kandungnya.
2.
Mengenai apakah notaris tersebut dapat mempergunakan persetujuan dari
anak-anak (saudara kandung dari calon debitur bank tersebut) untuk balik nama
sertifikat dapat dilihat dalam bunyi akta/surat/dokumen yang ditanda-tangani.
Kalau tujuannya untuk balik nama, tentunya yang ditandatangani adalah Akta
Jual Beli atau Akta Hibah dan segala kelengkapannya.
Namun, jika
tujuannya adalah untuk menjaminkan, tentunya yang ditandatangani adalah Akta
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) atau Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) beserta kelengkapannya.
3. Untuk menjaminkan tanah maupun menjual atau mengalihkan kepemilikan atas
tanah, memang dibutuhkan persetujuan dan kuasa yang lebih kuat daripada
sekedar persetujuan dan kuasa biasa.
Jadi, kuasa tersebut memang minimal harus dilegalisir
notaris setempat atau kuasa notariil.
Berhubung posisinya di luar negeri, dan yang
bersangkutan adalah warga negara Indonesia, minimal kuasa tersebut harus
dilegalisir oleh Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal (“Konjen”)
Republik Indonesia yang berada di Negara tersebut.
Begitupun untuk kuasa menjaminkan sampai sekarang
masih debatable (diperdebatkan, ed.), apakah bisa dengan kuasa terpisah
(yang dilegalisasi Konjen RI setempat) ataukah harus tetap dalam bentuk SKMHT.
Sehingga notaris masih ada yang mengacu kepada salah satu dengan argumentasi
yang masing-masing, namun bermuara pada hal yang sama: kuasa tersebut harus
otentik (Akta SKMHT) atau minimal dilegalisir penuh oleh notaris/Konjen RI yang
berwenang.
Untuk detail
pembahasannya ada di buku Irma Devita, berjudul: Kiat Cerdas Mudah dan Bijak
Dalam memahami HUKUM JAMINAN PERBANKAN, KAIFA, 2011.
Dasar hukum:
Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51b51a8c4d914/menjaminkan-tanah-orang-tua-dan-syarat-persetujuan-seluruh-ahli-waris
Selasa, 23
Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar