13/06/16

OLAH PIKIR PRAKTISI NOTARIS & PPAT TERHADAP PEMILIKAN RUMAH TINGGAL/HUNIAN & BIDANG TANAH SERTA SATUAN RUMAH SUSUN OLEH ORANG ASING YANG MENIKAH DENGAN WNI SECARA GONO GINI PASCA BERLAKUNYA PP 103/2015.


Peraturan Pemerintah yg mengatur tentang kepemilikan rumah tinggal/hunian dan bidang tanah oleh orang asing sebenarnya telag ada sejak tahun 1996 yaitu dg ada nya PP 41/1996 yg berlaku sejak tgl 17 juni 1996, terbitnya PP 103/2005 ttg Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berdudukan Di Indonesia era Presiden Ir H. Joko Widodo bukanlah hal yg baru bagi praktisi hukum, apalagi bagi praktisi hukum Notaris & PPAT. PP 103/2015 yg berlaku mulai tgl 22 Desember 2015 adalah hanyalah untuk menyempurnakan PP 41/1996, akan tetapi untuk para praktisi hukum terutama para Notaris & PPAT perlu dipelajari, dicermati dan dipahami serta didalami agar dalam menjalankan jabatan sbg Notaris & PPAT untuk melayani masyarakat yg membutuhkan akta otentik berupa akta Notaris & akta PPAT tidak sampai melanggar ketentuan hukum yg berlaku. Salah satu hal yg saya, penulis anggap menarik dari ketentuan hukum yg diatur dalam PP 103/2015 adalah tentang Kepemilikan Rumah Tinggal/Hunian oleh WNA (org asing) yg menikah dengan WNI. PP 103/2015 pada pasal 3 mengatur :
(1) WNI yg melaksanakan perkawinan dg org asing dapat memiliki HAT yg sama dg WNI lainnya.
(2) HAT sbgmn dimaksud pd ayat (1), bukan merupakan harta bersama yg dibuktikan dg perjanjian pemisahan harta antara suami & istri, yg dibuat dg akta notaris.
Dalam hukum perkawinan sebenarnya sdh tegas hal tsb diatur dlm pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 bhw "pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yg disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut".
Menjadi persoalan :
1.    BAGAIMANA STATUS HUKUMNYA RUMAH TINGGAL/HUNIAN DAN BIDANG TANAH YG DIMILIKI ORANG ASING YANG MENIKAH DENGAN WNI YG PERKAWINANNYA DILANGSUNGKAN DENGAN PERCAMPURAN HARTA PERKAWINAN (GONO GINI) ? hal inilah justru yg tidak atau belum diatur dg tegas dlm PP 103/2015.
2.  HARTA DALAM SUATU PERKAWINAN BERDASARKAN UU 1/1974 TERKAIT STATUS HUKUM PEMILIKAN RUMAH TINGGAL/HUNIAN DAN BIDANG TANAH OLEH ORANG ASING YG MENIKAH DENGAN WNI PASKA BERLAKUNYA PP 103/2015.

Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 : Harta benda yg diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 : Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974 : Harta Bawaan dari masing2 suami dan istri dan harta benda yg diperoleh masing2 sbg hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing2 sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974 : Mengenai harta bawaan masing2, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Berdasarkan ketentuan tsb dlm UU 1/1974, dapat disimpulkan atau bolehlah disimpulkan bahwa dalam suatu perkawinan mengenai harta benda dalam suatu perkawinan terdiri atas :
1. Harta Bersama dalam perkawinan
2. Harta Bawaan masing2 suami atau istri dalam perkawinan.
sejak berlakunya UU 1/1974 segala ketentuan yg terkait dg perkawinan dan hal2 yg sdh diatur dlm UU 1/1974 berdasarkan pasal 66 UU 1/1974 telah menghapuskan ketentuan yg diatur dlm KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Kristen (S.1933-74) Peraturan Perkawinan Campuran (S.11898-158) & peraturan2 lain yg mengatur ttg perkawinan yg telah diatur dal UU 1/1974. Dengan terbit nya PP 9/1975 tgl 1 April 1975 yg berlaku sejak tg 1 Oktober 1975, maka segala hal ttg perkawinan yg diatur dlm UU 1/1974 berlaku di Indonesia. Dengan demikian dalam hal status hukum kepemilikan suatu rumah tinggal/hunian dan/atau bidang tanah oleh orang asing atau WNI yg terikat dalam suatu perkawinan gono gini menjadi hal yg menarik utk dikupas, didalami diteliti dikaji dipahami dan dimengerti oleh setiap praktisi hukum Notaris & PPAT agar tidak salah dalam menerapkan hukum dan menjalankan jabatan sbg Notaris & PPAT.


Apabila, baik org asing atau WNI, yg telah mempunyai rumah tinggal/hunian dan tanah atau hak milik satuan rumah susun (HMRS) sebelum mereka terikat dalam suatu perkawinan dg percampuran harta/gono gini berdasarka UU 1/1974, maka :
1.       bagi WNI,
rumah dan tanah yg dimiliki yg diperoleh dari "hadiah atau warisan" yg "diperoleh sebelum perkawinan" dg org asing adalah "merupakan harta bawaan, bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan" dan karena nya hak atas tanah yg ada pada bidang tanah tsb, baik Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), & Hak GUna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) maupun Hak Sewa (HS), "tetap dan tidak tunduk menjadi obyek PP 103/2015" dan tetap dapat dimiliki oleh WNI yg menikah dg org asing karena "merupakan Harta Bawaan" yg tidak melebur menjadi harta bersama dalam perkawinan gono gini, sehingga tidak melanggar ketentuan ttg org yg berhak memiliki hak atas tanah di Indonesia yg diatur dlm UU 5/1960 (UUPA) & peraturan pelaksanaannya.
2.       bagi WNA/orang asing,
rumah/hunian dan tanah hak pakai atau HMRS diatas Hak Pakai yg diperoleh/dimiliki berdasarkan PP 41/1996 sebelum kawin/nikah, adalah tetap merupakan "harta bawaan" dan tidak/bukan merupakan harta bersama dalam perkawinan.
3.       bagi WNI & WNA/orang asing,
rumah/hunian yang diperoleh/dimiliki setelah perkawinan mrk yg mana perkawinan mrk tunduk pada UU 1/1974 merupakan "harta bersama dalam perkawinan" dan krn nya tunduk dan berlaku ketentuan PP 103/2015 yaitu bidang tanah yg dapat dimiliki "hanya" berupa "Hak Pakai & HMRS diats Hak Pakai", tidak dapat memiliki/memperoleh hak atas tanah yg lain, kecuali "Hak Sewa", karenanya mrk "tdk dapat/tidak boleh" memiliki/memperoleh HM, HGB, HGU & HMRS diatas HGB.
Oleh karena itu, untuk "WNI yg menikah dg orang asing" & untuk "orang asing/WNA yg perkawinannya dilangsungkan dengan percampuran harta gono gini", maka saya, penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan hukum sbb :
1.    TIDAK DAPAT MEMBELI/MEMPEROLEH bidang tanah yg hak atas tanahnya berupa HM, HGB, HGU, HMRS diatas HGB, sehingga mereka "hanya" bisa memiliki/memperoleh tanah dg Hak Pakai & HMRS diatas Hak Pakai;
2.    TIDAK DAPAT MEMBELI/MEMPEROLEH bidang tanah dg Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai yg "peruntukan & pemilikan" bidang tanah Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai tsb dipergunakan untuk menjalankan usaha, bisnis, kantor dsb, karenanya pemilikan bidang tanah oleh org asing yg menikah dg WNI & WNI yg menikah dg org asing yg perkawinannya gono gini "hanya" untuk "rumah tinggal/hunian" saja tidak dapat dipergunakan untuk hal yg lain;
3.    karena PP 103/2015 mengatur ketentuan hanya tentang bidang tanah Hak Pakai/HMRS diatas Hak Pakai yg dapat dimiliki/diperoleh oleh org asing yg berkedudukan di Indonesia hanya untuk rumah tinggal, maka dapat dilakukan "logika hukum" bahwa kebutuhan utk rumah tinggal "hanyalah untuk memiliki 1 rumah tinggal/hunian", karenanya sekalipun PP 103/2015 tidak mengatur secara tegas mengenai "batas maksimum jumlah" yg dapat diperoleh/dimiliki, maka untuk WNA/orang asing & WNI yg menikah dg WNA/org asing yg pernikahannnya secara gono gini "dapat diasumsi hukumkan" TIDAK DAPAT atau DILARANG untuk memiliki/memperoleh lebih dari 1 rumah tinggal/hunian & tanah Hak Pakai serta lebih dari 1 HMRS diatas Hak Pakai untuk rumah tinggal/hunian.
Akan tetapi disamping hal tersebut di atas, menjadi sebuah pertanyaan
BERAPA LUAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL/HUNIAN YG DAPAT DIPEROLEH/DIMILIKI OLEH ORANG ASING DI INDONESIA ?
Mengenai hal ini dalam PP 103/2015 "tidak mengatur" secara tegas "batas maksimum pemilikan luas tanah hak pakai", akan tetapi dalam hukum pertanahan untuk kepemilikan rumah tinggal berlaku ketentuan "setiap orang/kepala keluarga untuk rumah tinggal/huniam 'hanya dapat' memiliki maksimum 5 bidang tanah "atau" maksimum seluas 5.000 m2" dan UUPA pun dalam pasal 17 ayat (1) mengatur bahwa "dengan mengingat ketentuan pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yg dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yg boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dlm pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum". Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan "batas maksimum pemilikan tanah Hak Pakai oleh orang asing" adalah maksimum 5.000 m2. Akan tetapi hal ini sebaiknya perlu ditegaskan secara tegas kembali mengenai batas maksimum luas tanah hak pakai yg dpt dimiliki org asing dlm suatu "Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN".

BERAPA LUAS BIDANG HAK MILIK ATAS SAT.RUMAH SUSUN YG DAPAT DIMILIKI ORANG ASING ?
Mengenai hal ini PP 103/2015 tdak mengatur secara tegas, demikian pula dalam UU Rumah Susun dan peraturan pelaksanaannya tidak mengatur batas maksimum pemilikan Sarusun & batas maksimum luas HMRS yg dpt dimiliki seseorg/satu keluarga. Akan tetapi dng menggunakan ketentuan yg diuraikan di atas, sudah selayak nya logika hukum yg dipergunakan untuk pemilikan rumah tinggal/hunian untuk org asing atau WNI yg menikah dg org asing yg perkawinannya secara gono gini dapat diberlakukan logika hukum yg sama dengan batas maksimum jumlah kepemilikan atas suatu bidang tanah hak pakai oleh org asing. Hal ini pun sesuai dg ketentuan dlm UUPA serta untuk mencegah terjadinya penguasaan yg berlebih oleh org asing.


APAKAH PERLU DIATUR MENGENAI BATAS MAKSIMUM PEMILIKAN SARUSUN DAN LUAS BIDANG HMRS YG DAPAT DIMILIKI SESEORANG ATAU SATU KELUAGA SEPERTI HAL NYA PADA BATAS MAKSIMUM PEMILIKAN BIDANG TANAH ?
pemikiran ilmiah, arah kebijakan politik & kepentingan bisnis properti yang dapat merumuskan dan menjawab pertanyaan tsb, akan tetapi kalo mendasarkan UUPA sudah semestikan perlu dicegah pemilikan bidang tanah dan Sarusun yg berlebih.

semoga tulisan ini berguna & bermanfaat utk dapat didiskusikan dan menjadi bahan kajian hukum oleh para praktisi hukum, akademik dan para mahasiswa pada fakultas hukum. selebih nya mohon koreksi dan diskusi untuk dapat tercapainya suatu kesamaan olah pikir dalam pengembangan hukum & ilmu hukum di Indonesia serta semoga tulisan ini dapat menjadi masukan untuk pembuatan peraturan yg terkait dg PP 103/2015.
terimakasih


Sumber  :
MJ. Widijatmoko
Jakarta, 14 januari 2015
jl. Otista Raya 149 Jakarta Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar