15/06/16

DAN/ATAU

Ada anggota DPRD suatu daerah yang mengeluhkan alotnya perdebatan dalam pembahasan Ranperda  untuk menentukan syarat seorang untuk menjadi kepala desa. 
Salah satunya tentang domisili yang harus dibuktikan dengan KTP, Kartu keluarga (KK). Perdebatannya adalah .... iru diisi kata (dan) ataukah kata (atau). 
Lalu saya tanya konsep usulan pemda apa? 
Jawabnya konsep dari pemda adalah dan/atau. 
Saya tanya mengapa bukan itu yang dipakai? Dia jawab karena melanggar kaidah bahasa Indonesia. 
Menurut Prof. Dr. Sudikno  Mertokusumo  pernah menyampaikan bahwa bahasa hukum Indonesia harus mengikuti hukum bahasa Indonesia. 
Namun ternyata Bahasa hukum tidak selalu sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Contohnya adalah dan/atau. 
Selain  asing di telinga kita, memang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. 
Berdasarkan kaidah bahasa Indonesia tidak boleh ada  2 kata sambung yang ditempatkan secara berurut. Jadi harus ditulis salah satunya (dan) ataukah (atau). Namun dalam bahasa hukum jika kedua kata itu ditulis berpisah atau ditulis berurut masing-masing mempunyai makna yang berbeda. Kata (dan) jika unsur itu kumulatif dan kata (atau) kalau itu alternatif. 
Oleh karenanya jika ditulis berdempetan berarti unsurnya alternatif kumulatif. 
Mari kita lihat betapa besar konsekwensinya jika kata (dan) serta (atau) ditulis terpisah dan ditulis berangkai dengan contoh kasus yang ada yaitu syarat bukti domisili calon kepala desa.
1. KTP dan KK konsekwensinya calon kepala desa harus punya keduanya yaitu KTP dan KK. Jika hanya salah satunnya maka tidak memenuhi syarat.
2. KTP atau KK konsekwensinya harus punya hanya salah satunya yaitu KTP atau KK. Jadi kalau calon punya KTP dan KK maka tidak boleh menjadi calon.
3. KTP dan/atau KK konsekwensinya calon boleh punya salah satunya atau keduanya. Jadi calon punya KTP saja atau KK saja atau keduanya tetap  bisa maju.

Prof. Anwar Borahima
Minggu, 12 Juni 2016. 16.55 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar