Seorang konsumen dari salah satu perusahaan pembiayaan/finance, menggadaikan
objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga.
Apa akibat
hukum yang ditimbulkan kepada konsumen tsb dan kepada pihak yang menerima gadai
dari objek jaminan fidusia tersebut?
Jawaban :
Di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), pemberi
fidusia dapat menggadaikan benda yang dijadikan jaminan fidusia, asalkan ada
persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Akan tetapi, apabila Anda tidak
mendapat persetujuan tertulis dari penerima fidusia (dalam hal ini perusahaan
pembiayaan), maka berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia, Anda diancam dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000
(lima puluh juta) rupiah.
Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia
“Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan,
atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang
tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari Penerima Fidusia.”
Pasal 36 UU Fidusia
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.”
Sedangkan untuk pihak ketiga sebagai penerima barang
gadai, terlepas dari apakah pihak ketiga tersebut mengetahui atau tidak
mengetahui bahwa barang tersebut telah dijadikan jaminan fidusia, pihak ketiga
tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Ini karena pada prinsipnya ketentuan
mengenai larangan menggadaikan benda jaminan fidusia telah diatur dalam
undang-undang. Dengan demikian, semua orang dianggap mengetahuinya dan (kami
berasumsi jaminan fidusia telah didaftarkan) karena jaminan fidusia tersebut
telah didaftarkan maka dianggap semua orang dapat memeriksa pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.
Pada sisi lain, J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum
Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan Fidusia membahas masalah Kantor Pendaftaran
Fidusia yang hanya ada di kota-kota besar. J. Satrio (hal. 245) – mengatakan
bahwa pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap pihak ketiga.
Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat pada
benda yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang
disebutkan di sana, dan dalam hal pihak ketiga lalai untuk
memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia harus memikul risiko kerugian
sendiri. Namun, sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia hanya
terbatas di kota-kota besar, apakah bisa dan patut diharapkan, bahwa orang yang
hendak mengoper suatu benda tidak-atas-nama akan mengecek terlebih dahulu ke
Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum menutup transaksi mengenai benda tersebut?
Ini membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap pihak ketiga, termasuk
pemegang gadai, yang beritikad baik.
Selain itu, apabila pemberian gadai tersebut disetujui
secara tertulis oleh penerima fidusia, karena jaminan fidusia juga merupakan
hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan diberlakukan
yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi. Akan tetapi, J. Satrio juga masih mempertanyakan hal tersebut karena
selama ini prinsip tersebut hanya diberlakukan pada hak kebendaan dari jenis
yang sama, seperti umpamanya gadai pertama, kedua, dan selanjutnya, hipotik
pertama, kedua, dan selanjutnya, hak tanggungan pertama, kedua, dan
selanjutnya.
Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga
dari pemberian gadai atas benda yang telah dijadikan jaminan fidusia adalah
tidak adanya perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk mengambil
pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur wanprestasi.
Dasar Hukum:
Senin, 17
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar