19/08/16

Kritik Positivistik Fanatik - Para ahli hukum Indonesia mensikapi persoalan menteri ESDM yang diberhentikan Presiden

Bagaimana para ahli hukum kita mensikapi soal menteri ESDM baru diberhentikan Presiden, menggambarkan pendidikan tinggi hukum kita hanya menghasilkan ahli hukum positivistik fanatik yg bercirikan hukum difahami hanya sekedar undang-undang dan adanya separasi yg tegas antara hukum dan moral sementara bangunan hukum yg kita cita- citakan adl hukum kebalikannya yakni hukum yg berbasis hukum adat yg tdk mengenal separasi antara hukum dan moral;

H L A Hart sendiri yg menganut separasi antara hukum dg moral mengakui manusia mempunyai keterbatasan natural unt menciptakan hukum shg hukum positip betapa lengkap tetaplah terbatas sehingga UU yg dihasilkanpun tdk akan selalu adil krnnya dlm pelaksanaannya hrs diadilkan oleh aparatus, sementara pandangan para ahli hukum kita lbh posivistik ketimbang Hart, berkutat kepada fakta (undang-undang) saja,  terkait soal menteri ESDM Arcandra para ahli hukum lgs menilai bhw telah terjadi pelanggaran UU Kewarganegaraan dan meminta agar ada tindakan hukum. 
Dalam pandangan hukum adat yg mirip dg pandangan Ronald Dworkin, hukum tidak hanya sebagai undang-undang (fakta) tetapi juga sebagai yang seharusnya (moralitas). Hukum (undang-undang) tidak bisa dipakai untuk mengukur baik-buruk manusia sebagai manusia, yang bisa dijadikan ukuran baik-buruknya manusia sebagai manusia adalah moralitas. Hukum (undang-undang) hanya terkait soal tertib tatanan. Jika apa yang dilakukan seseorang tidak sesuai dengan undang-undang tidak berarti ia jahat sebagai manusia. Atau sebaliknya jika yang dilakukan sesuai dengan undang-undang tidak berarti ia baik sebagai manusia. Lagipula jika memandang moralitas (prinsip-prinsip) sebagai dasar apa yang secara faktual berlaku (undang-undang) bahkan jika memandang moralitas (prinsip-prinsip) sebagai hukum maka kita tidak terjebak pada perselisihan yang dangkal yakni hanya soal fakta atau peraturan perundang-undangan dan tidak melibatkan perselisihan soal dasar-dasar hukum (tidak hanya aturan tapi juga prinsip). Akibatnya positivisme tidak menyediakan strategi bagaimana mengatasi pertentangan antara aturan dan perinsip (pertentangan atau perselisihan teoritis) yang kerap terjadi dalam hukum;

Jika kita suka mengatakan taat asas, kira-kira apa yang kita pikirkan ketika mengatakan itu; taat asas itu berarti setiap kita (termasuk presiden sebagai pelaksana hukum dan para penegak hukum) terikat pada asas/prinsip. 
Bertolak pada keterikatan pada prinsip itu, seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu memberhentikan menteri ESDM; sekalipun yang dilakukan tidak sesuai dengan undang-undang tentang kewarnegaraan tidak berarti ia jahat sebagai manusia, kecuali jika ia melakukan kejahatan yang merugikan orang lain dan negara;

Kita menyaksikan perguruan tinggi, pemerintah, legislatif, penegak hukum didominasi oleh orang-orang yang positivistik fanatik, yang membuat hukum lebih mirip seperti monster dan ilmu hukum hanya serupa ilmu undang-undang dan turutan teorinya yang parsial. Sebagai pembanding di AS sendiri unt urusan kepentingan negara menganut kebenaran pragmatis, Konstitusinya memberikan ruang bagi negara unt melakukan tindakan hukum apa saja demi kebaikan negaranya. Tindakan operasi di LN scr prinsip2 internasional dimana AS terikat, dilarang, namun krn dianggap unt kebaikàn negara maka operasi itu dihalalkan.

Moral hukum adat kita berkaitan dg warga kita yg di LN sekalipun sdh bermukim lama di sana namun klo warga itu kecilnya mainnya, sunatnya, sekolahnya dll di sini, dia tetap WNI dan politik hukum kita hrs memberi kemudahan bagi warga yg ingin pulang unt mengabdi kpd bangsa (naluri manusia ingin pulang) dan klo lah ada persoalan administrasi maka hukum hrs mencarikan jalan keluar;

UU Kewarganegaraan kita spt monster dlm menghadapi WN yg ingin pulang untuk mengabdi.

DR. Udin Narsudin, SH, MHum, SpN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar