19/11/16

Analisis Ekonomi Atas Hukum - Economic Analysis of Law

Analisis ekonomi atas hukum” merupakan terjemahan langsung dari istilah aslinya dalam bahasa Inggris, yakni: “Economic Analysis of law”. Pada dasarnya merupakan suatu studi dalam teori hukum yang menerapkan metode-metode ilmu ekonomi terhadap hukum.[1] Lebih spesifik ke mikroekonomi, Stanford Encyclopedia memberikan pengertian umum bahwa Analisis ekonomi atas hukum merupakan studi yang menerapkan alat-alat teori ekonomi mikro untuk menganalisa aturan-aturan dan lembaga hukum. [2]
Pengertian analisis ekonomi atas hukum tersebut sangat berbeda dengan pengertian hukum ekonomi di Indonesia yang biasanya mengacu pada peraturan-perundangan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Atau dalam arti luas adalah semua sumber hukum yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Pembangunan hukum ekonomi sendiri merupakan upaya mentransformasikan hukum ekonomi yang ada ke arah hukum ekonomi yang lebih baik. [3]
Trisoko SS dalam tulisannya Analisis Ekonomi Atas Hukum (Economic Analysis of Law), bahwa Critical Legal Studies,[4] telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru.  Mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari Critical Legal Studies sekarang muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga Economic Theory of Law.
Mengaitkan antara hukum ekonomi dan analisa ekonomi atas hukum berarti upaya memasukkan pendekatan analisis ekonomi atas hukum untuk mendorong tumbuhnya hukum ekonomi yang lebih baik di masa depan. Pertanyaan yang perlu dilontarkan untuk mengawali pembahasan ini dalam konteks Indonesia adalah: pertama, sejauhmanakah sumbangan hukum ekonomi Indonesia dalam pengembangan ekonomi Indonesia?
Mengingat kemerosotan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu, maka kita mungkin seharusnya bertanya: Apa yang seharusnya dilakukan oleh para ahli hukum agar hukum ekonomi kita memberikan sumbangan yang baik terhadap ekonomi Indonesia?

Teori Analisis Ekonomi atas Hukum
Tokoh utama yang dianggap memberikan inspirasi munculnya pemikiran Analisis ekonomi atas hukum tersebut adalah si utilitarian Jeremy Bentham (1789). Ia berpendapat bahwa terdapat kecenderungan orang berperilaku dengan tujuan mendapatkan sebesar mungkin kenikmatan dan meminimalisir sekecil mungkin penderitaan.[5] Tokoh pemikir utilitarianisme ini melakukan pengujian secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikirannya ini dituangkan dalam karya-karya tulisnya berupa analisis hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik dan subtantial treatment atas proses-proses hukum. [6]
 
Teori  Bentham di atas kemudian telah dikembangkan seiring dengan tumbuhnya gerakan realisme di Amerika serikat oleh seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung, yakni Richard Posner. Posner mengemukakan tiga hal fundamental dalam analisis ekonomi, yakni: pertama, terdapat hubungan antara harga yang ditetapkan dengan jumlah permintaan (hukum Permintaan); Kedua, para konsumen … --demikian pula kriminal akan diasumsikan untuk mencoba memaksimalkan nilai gunanya (Kebahagiaan, kenikmatan, kepuasan); dan yang ketiga, bahwa sumberdaya itu cenderung untuk menarik kegunaan yang paling bernilai jika pertukaran sukarela pasar mengijinkan. [7] Teori ini menggaris bawahi perilaku manusia berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan ekonomi di masyarakat. Oleh karena itu, hukum dapat memberikan arahan terhadap perilaku manusia dalam koridor perilaku hukum dan ekonomi manusia.

Posner juga mengklaim dua hal yang mjd perdebatan kontroversial, yakni:
Pertama, Common law legal rules are, in fact, efficient; (Aturan hukum Common Law, pada kenyataannya efisien) ;
Kedua, Legal Rules Ought to be efficient. (Aturan hukum seharusnyalah efisien). Klaim bahwa Common Law adalah efisien ini mengandung perbandingan bahwa ia lebih efisien dibanding sistem hukum yang lain di dunia. Klaim ini dapat kita bandingkan dengan hasil penelitian Rafael La Porta dkk. [8] terhadap 49 negara dari segi perlindungan investor, yang meletakkan negara common law sebagai negara-negara yang terbaik dalam rangka perlindungan investornya:
This paper examines legal rules covering prtection of corporate protection of corporate shreholders and creditors, the origin of this rules, and the quality of their enforcement in 49 countries. The result show that common law countries generally have the best, and French civil law is the worst, legal protection of investors, with German and Scandinavian civil law countries located in the middle…”

Bruce Chapman dalam makalahnya berjudul ‘Economic Analysis of Law and the Value of Efficiency’ mengatakan bahwa terdapat Analisa Ekonomi atas Hukum dapat dibagi dalam tiga tipe, yakni dua tipe analisa yang berbentuk positif dan yang satu tipe yang bersifat normatif. Analisa Positif yang pertama disebut dengan Positive Theory of Legal Doctrine (Teori positif tentang ajaran hukum). Ilmu ekonomi dalam hal ini sangat berguna untuk menjelaskan bagaimana ajaran hukum itu dibuat. Misalnya tentang tanggungjawab atas kewajiban pelaksanaan sesuatu. [9]  

Lewis A. Kornhauser,[10] dalam tulisannya berjudul Legal Foundations of Economic Analysis of Law, mengemukakan tiga pertanyaan, yakni: Pertama, bagaimana hukum mempengaruhi perilaku orang? Atau apakah hukum memiliki kekuatan normatif yang mengarahkan perilaku orang baik swasta maupun publik (pegawai negeri)? Kedua, apakah hukum hanya merupakan suatu alat? Dan yang ketiga adalah bagaimanakah seharusnya kita mengevaluasi aturan-aturan dan lembaga hukum itu? 

Kornhauser mengajukan tiga hal yang melatarbelakangi ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pertama, klaim yang paling mendasar adalah bahwa hukum itu adalah alat, artinya masyarakat merancang aturan dan lembaga hukum untuk suatu tujuan kedepan. Klaim ini disebut dengan analisa kebijakan (policy analysis) yang membawahi dua klaim dibawahnya yakni bahwa setiap orang akan berperilaku merespon suatu aturan hukum “secara ekonomi” dan bahwa kita harus melakukan evaluasi aturan dan lembaga hukum itu atas akibatnya terhadap kesejahteraan setiap orang.
Steven Shavell, [11] dalam tulisannya berjudul Economic Analysis of Law menyatakan bahwa dalam rangka pendekatan ekonomi untuk menganalisa hukum maka terdapat dua pertanyaan pokok yakni: pertanyaan deskriptif berkenaan dengan akibat dari aturan-aturan hukum terhadap perilaku dan hasilnya; dan pertanyaan evaluatif, berkenaan dengan kehendak masyarakat mengenai dampak dari aturan hukum. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, metode yang digunakan adalah analisa ekonomi secara umum. Setiap orang atau badan diasumsikan bersifat rasional-ke depan dan kerangka ekonomi kesejahteraan digunakan untuk menentukan apa yang sebetulnya menjadi kehendak masyarakat.

Hukum yang menaungi ekonomi
Pembangunan Hukum Ekonomi dalam arti penataan hukum di bidang ekonomi yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan merupakan kebutuhan dasar yang mendesak untuk dilakukan. Ekonomi bangsa Indonesia semakin lama semakin lemah terhadap bangsa-bangsa luar. Fondamen dasar ekonomi Indonesia mulai dipertanyakan karena terbukti tidak tahan terhadap gempuran asing sebagai akibat globalisasi ekonomi. Bahkan krisis ekonomi yang telah dimulai di tahun 1997/1998 terus berlanjut hingga sekarang bahkan menjalar menjad krisis multi-dimensi. 

Sebagai pegangan arah besar pembangunan hukum ekonomi, Hart mengemukakan adanya 6 (enam) konsep dalam ilmu hukum yang memiliki pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi:
1.    Pertama, prediktabilitas. Hukum harus memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan-keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa sekarang.
2.      Kedua, kemampuan prosedural. Hukum acara yang disediakan memungkinkan setiap hukum materiel akan berjalan dengan lancar dan efisien. Termasuk dalam hal ini sistem penyelesaian alternatif di luar sengketa.
3.      Ketiga, kodifikasi dari tujuan-tujuan. Tujuan merupakan jiwa dari setiap keputusan. Apakah itu perundang-undangan, putusan hakim, atau kontrak-kontrak di antara masyarakat. Jelasnya tujuan memiliki dampak terhadap bidang ekonomi.
4.  Keempat, faktor penyeimbangan. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat.
5.    Kelima, akomodasi. Sebagai akibat perubahan yang cepat akan terdapat individu atau kelompok yang terpinggirkan. Hukum harus menyediakan tembat bagi mereka untuk melakukan pemulihan sehingga keseimbangan masyarakat akan terjaga dengan baik.
6.   Keenam, definisi dan kejernihan status. Dalam hal ini hukum memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.
Kekurangan dalam memenuhi kelima konsep tersebut di atas akan berakibat lemahnya tingkat kepastian hukum. Dalam arti orang sulit membuat prediksi-prediksi ke depan dengan jaminan lancarnya saluran-saluran acara pengadilan (jika terdapat sengketa) dan prosedur-prosedur hukum lainnya. Pelaku usaha akan dihantui dengan kerusuhan massa, pencurian, perampokan dengan motif-motif sosial karena ketimpangan sosial yang sangat tinggi. 

Belajar dari Kegagalan Masa Lalu
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Selalu terdapat hikmah di balik pengalaman bagi mereka yang mau mempelajarinya. Di masa awal orde baru, pembangunan hukum ekonomi seolah-olah menjadi jargon utama. Pada prakteknya bidang ini memperoleh perhatian yang sangat kecil. Terbukti dengan lemahnya daya kerja hukum di bidang ini. 
Arah pengembangan hukum ekonomi seolah-olah malah lebih mengarah pada pemberian fasilitas bagi konglomerat dan multi national corporation daripada pada petani/peternak, nelayan dan usaha kecil. Pemerintah terbuai dengan angka tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak melihat kemampuan riel ekonomi yang sesungguhnya. Akibatnya krisis moneter yang berkepanjangan tak terelakkan yang membuat mata uang Indonesia anjlok parah di hadapan mata uang asing.
Pemerintah orde baru mengarahkan pembangunan dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan gaya trickle down effect
Diharapkan hasil pembangunan yang menumpu pada konglomerat dan perusahaan multi nasional tersebut akan ‘meneteskan’ rejekinya kepada masyarakat miskin sehingga diharapkan terjadi pemerataan ekonomi. Kemudian ternyata strategi pembangunan ini tidak tahan banting. Pertumbuhan ekonomi itu hanya ‘lipstik’ dari kecenderungan yang sebetulnya tidak sehat, yakni semakin melemahnya ekonomi riel Indonesia.
Ada kecenderungan hutang luar negeri yang meningkat tajam sementara ekonomi riel yang menjadi basis ketahanan ekonomi nasional kian melemah. Swasembada beras yang merupakan kebanggaan nasional hanya terjadi sesaat. Dunia pertanian dan peternakan kembali berhadapan dengan berbagai kendala sosial dan pemerintahan yang membawanya pada penurunan kwalitas dan kwantitas hasil usaha. Dampak yang nyata saat ini terasa memaksa Indonesia harus impor bahan pertanian dari luar negeri. Dengan semakin besarnya jumlah impor maka harga komoditi yang bersangkutan dikendalikan oleh pihak asing, tidak terkecuali Beras. BULOG hanya dapat mengontrol pada tingkat tertentu.
Studi tentang faktor-faktor penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan di Asia, terutama Indonesia menunjukkan bahwa terdapat lima faktor akar penebab masalah (root of causes), yakni:
1.   
   Pertama: Boom investasi swasta pada tahun 1990-1n dan timbulnya asset bubbles yang dipicu adanya anggapan bahwa kredit luar negeri murah yang sebagian besar dalam bentuk utang jangka pendek pada bank dan lembaga keuangan dan perusahaan.
2.       Kedua, semakin membesarnya defisit transaksi berjalan yang terjadi berdasarkan rezim nilai tukar tetap atau hampir tetap. Ketiga, menurunnya produktivitas investasiyang dimanivestasikan dala peningkatan yang cepat incremental capita outout rations (ICOR), dan melemahnya daya saing produk ekspor. Keempat, lemah dan tidak memadainya peraturan sistem lembaga keuangan sehingga tidak dapat secara berhati hati (prudent) menyerap pertumbuhan resiko kredit dan harga domestik yang cepat. Kelima, tidak transparannya praktik dan pengelolaan (practices dan governance) perusahaan.[12]
Erman Rajagukguk,[13]  mengemukakan bahwa krisis ekonomi Indonesia antara lain karena terjadinya moral Hazard di berbagai sektor ekonomi dan politik. Dalam skala yang luas, faktor moral dan etika merupakan variabel ekonomi yang penting dalam tingkah laku berekonomi dan berbisnis. Lemahnya moral akan menurunkan pula kepercayaan (trust) yang merupakan unsur penting dalam berbisnis. Oleh karena itu pembangunan hukum yang baik diharapkan akan membawa dampak berkembangnya etika yang mendukung hubungan-hubungn bisnis yang bermoral dan beretika sehat.

CFG Sunaryati Hartono, mengemukakan bahwa beberapa pertanyaan yang diperlukan oleh sarjana hukum untuk menyusun suatu sistem hukum ekonomi yang diharapkan mampu menunjang pembangunan ekonomi adalah antara lain: [14]
1.    sistem ekonomi yang ideal seperti apakah yang dulu dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita dan sistem ekonomi nasional seperti apa yang perlu (ideally) dan (secara realistik) dapat kita bangun dipermulaan abad ke 21 ini?
Benarkah bangsa Indonesia menginginkan suatu sistem ekonomi pasar yang sebebas-bebasnya, ataukah (mengingat mayoritas bangsa masih hidup dalam era masyarakat agraria dan permulaan industrialisasi) ekonomi pasar yang kita butuhkan adalah apa yang di Jerman dikenal sebagai Soziale-Markt-wirtschaft atau sistem ekonomi pasar sosial, sebagaimana telah sejak tahun 1953 (setengah abad) diterapkan di Jerman?
Dan bukan sistem ekonomi pasar dengan persaingan yang sebebas-bebasnya seperti yang diterapkan di Amerika Serikat?
Jika benar, maka kebijaksanaan hukum ekonomi dan peraturan, organisasi, serta menejemen sebagai segmen perekonomian juga sebaiknya juga tidak terlalu mengacu kepada kebijaksanaan dan hukum ekonomi Amerika Serikat tetapi sebaiknya lebih bercermin pada teori ekonomi kebijaksanaan dan/atau hukum ekonomi Jerman, misalnya.
2. hal-hal apa saja yang menjadi ciri-ciri dan kekurangan sistem ekonomi Indonesia dewasa ini?
Dan dalam hal apa diperlukan perbaikan atau perubahan agar lebih mendekati sistem ekonomi yang kita cita-citakan.
3. Hal-hal apa di dalam bidang hukum yang oleh para ahli ekonomi dan pengusaha dirasakan sebagai penghambat atau penghalang kemajuan ekonomi;
4. unsur-unsur apa pula di dalam sistem hukum kita yang diharapkan dapat diperbaiki dan bagaimana memperbaikinya agar hukum lebih menunjang kegiatan ekonomi;
5. paradigma dan dan peraturan hukum apa yang harus kita ubah sebagai akibat globalisasi ekonomi; agar diseatu pihak kita dapat bersaing dengan pelaku ekonomi asing (termasuk dari negara tetangga), tetapi dilain pihak tetap setia (walaupun dalam bentuk yang lebih modern) pada cita-cita bangsa dan arahan konstitusi. 

Analisis Ekonomi atas Hukum, Naturalisme baru
Berdasarkan kegagalan ekonomi dan hukum ekonomi Indonesia, adalah merupakan alternatif yang perlu diperhitungkan untuk lebih serius menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dalam pembangunan hukum ekonomi. Hukum tak dapat berdiri sendiri lepas dari sifat-sifat obyek yang diaturnya. Dalam rangka ini perlu kita simak kembali apa yang dikatakan Thomas Aquinas, seorang filsuf aliran hukum alam, yang pada intinya berpendapat bahwa hukum yang tidak adil, dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang. [15]
Kecenderungan alamiah manusia merupakan obyek dari analisis ekonomi. Perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhannya terhadap barang-barang yang langka. Kecenderungan manusia tersebut juga digerakkan oleh insentif-insentif yang memberikan kebahagiaan, kenikmatan. Ia akan berupaya memaksimalkan kenikmatan tersebut dan meminimalisir penderitaan. Dengan mengetahui kecenderungan ekonomi manusia, aturan-aturan di bidang ekonomi dibuat. Hukum yang dibuat tersebut akan dianalisis sepanjang masa, apakah meminimalisir penderitaan (efisien) ataukah boros (inefisien). Demikianlah akan lahir hukum yang mungkin relatif lebih efisien.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang telah menyiapkan orientasi pembangunan hukum ekonominya seiring dengan konsep pembangunan ekonomi negaranya ke depan. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dapat memprediksi perkembangan ke depan dan menyediakan berbagai aspek yang dibutuhkan oleh waga negaranya dalam rangka menyongsong perubahan-perubahan dunia ke depan. 

Beberapa contoh analisis ekonomi atas Hukum dalam Perundang-Undangan di Indonesia, yang didasarkan atas  prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency).
Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
  1. Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
  2. ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi. [16]
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono, SH.MH., Prof., Dr., Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tanggal 17 Nopember 2007. di download dari www.adisulistyono.com
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, PENGANTAR KE FILSAFAT HUKUM, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan Pertama, 2007.
Bhingyuan Hsiung, Economic Analysis of Law: An Inquiry of its Underlying Logic, Erasmus Law and Economics Review 2, no. 1 (March 2006):1-33 di download dari: www.eler.org.
Bismar Nasution, Mengkaji ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Makalah disampaikan pada pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilhu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 1004.
CFG Sunaryati Hartono,SH., Prof. Dr., dalam makalahnya “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003” disampaikan dalam Seminar Pembangunan Nasional VIII di Denpasar, 14-18 Juli 2003
Hukum Ekonomi Indonesia, memperkuat persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan dan memperluas Kesejahteraan Sosial, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh BPHN, Depkehham, di Denpasar 14-18 Juli 2003.
Khudzaifah Dimyati, Dr., SH., M.Hum., TEORISASI HUKUM, Muihammadiyah University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, Cetakan Ketiga, September, 2004.
Law and Economics, dari Wikipedia encyclopedia, di download dari http://en.wikipedia.org.
Lewis A. Kornhauser, 31 May 2006 di download dari www.law.nyu.edu.
Peri Umar Faruk, Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia,di download dari: http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
Rafael La Porta dkk. Law and Finance, National Bureau of Economic Research, Cambridge, July 1996 di download dari: http://www.nbr.org
Satjipto Rahardjo, ILMU HUKUM, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan kelima, 2000.
Soetiksno, FILSAFAT HUKUM (Bagian 1), Pradnya Paramita, Cetakan Kesepuluh, tahun 2003.
Steven Shavell, (Harvard Law School, Cambridge) in Internasional Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, Forthcoming 2001


[1] http://en.wikipedia.org/wiki/law_and_economics “...an approach to legal theory that applies methods of economics to law.”
[2]  http://plato.stanford.edu : “Economic analysis of law applies the tools of microeconomic theory to the analysis of legal rules and institutions”
[3]  Lihat Adi Sulistiyono, SH.MH., Prof., Dr., Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tanggal 17 Nopember 2007.
[4]  Fokus sentral pendekatan Critikal Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan  tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain  yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan  dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan (Munir Fuady, 2003,Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya, hal 2.)
[5] Prinsip ini sederhana karena secara alamiah orang akan cenderung menyetujui sesuai dengan pengalamannya. Namun prinsip itu dapat diteruskan dengan mengatakan bahwa kalau kita memaksimalkan kemampuan kita untuk menerima penderitaan maka kenikmatan yang akan kita dapatkan pun akan semakin maksimal.
[6]    Peri Umar Faruk, Analisis Eko Atas Perkembangan Hkm Bisnis Ind, http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
[7]    Peri Umar Faruk, Analisis Eko Atas Perkemb. Hukum Bisnis Ind, http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
[8]   www.nper.org. Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer dan Robert W. Vishny, LAW AND FINANCE, National Bureau of Economic Researc, Cambridge, July 1996.
[9]  Forthcoming in Aristides N. Hatzis ed. Economic Analysis of Law: A European Perspective (Cheltenham, U.K:Elgar 2003)
[10]  Lewis A. Kornhauser, 31 May 2006
[11] Steven Shavell, (Harvard Law School, Cambridge) in Internasional Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, Forthcoming 2001
[12] Bismar Nasution mengutip dari Javad K Shirazi dalam makalah: Mengkaji ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Makalah disampaikan pada pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilhu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 1004.
[13] Dalam makalah Hukum Ekonomi Indonesia, memperkuat persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan dan memperluas Kesejahteraan Sosial, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh BPHN, Depkehham, di Denpasar 14-18 Juli 2003.
[14] CFG Sunaryati Hartono,SH., Prof. Dr., dalam makalahnya “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003” disampaikan dalam Seminar Pembangunan Nasional VIII di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[15] Satjipto Rahardjo, Prof., Dr., SH., ILMU HUKUM, PT Citra Aditya Bhakti Bandung, 2000, hal 265. Dalam telaahnya Thomas mengutarakan bahwa lex naturalis sebagai perwujudan dari lex aeterna (akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta) merupakan kecenderungan alamiah pada manusia. Pertama, insting alamiah manusia untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan menddik anak-anak. Ketiga, manusia memiliki hasrat untuk mengenal tuhan dan menolak kketidak tahuan. Dan Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya.
[16] www, mhugm.wikidot.com, Peri Umar Farouk , Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia, pernah dipublikasi di jurnal ‘Bank & Manajemen’, Jakarta, 2001

https://breath4justice.wordpress.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar