“Analisis ekonomi atas hukum”
merupakan terjemahan langsung dari istilah aslinya dalam bahasa Inggris, yakni:
“Economic Analysis of law”. Pada
dasarnya merupakan suatu studi dalam teori hukum yang menerapkan metode-metode
ilmu ekonomi terhadap hukum.[1] Lebih spesifik ke mikroekonomi, Stanford Encyclopedia
memberikan pengertian umum bahwa Analisis ekonomi atas hukum merupakan studi
yang menerapkan alat-alat teori ekonomi mikro untuk menganalisa aturan-aturan
dan lembaga hukum. [2]
Pengertian analisis ekonomi atas hukum tersebut sangat berbeda dengan pengertian
hukum ekonomi di Indonesia yang biasanya mengacu pada peraturan-perundangan
yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Atau dalam arti luas adalah semua
sumber hukum yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Pembangunan hukum ekonomi
sendiri merupakan upaya mentransformasikan hukum ekonomi yang ada ke arah hukum
ekonomi yang lebih baik. [3]
Trisoko SS dalam tulisannya Analisis Ekonomi
Atas Hukum (Economic Analysis of Law), bahwa Critical Legal
Studies,[4] telah
melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan
perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas
sosial yang baru. Mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik
hukum dan tatanan sosial yang muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral,
di dalamnya penuh dengan bias terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua
dari Critical Legal Studies sekarang muncul dalam wujud Feminist
Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga Economic
Theory of Law.
Mengaitkan antara hukum ekonomi dan analisa ekonomi
atas hukum berarti upaya memasukkan pendekatan analisis ekonomi atas hukum
untuk mendorong tumbuhnya hukum ekonomi yang lebih baik di masa depan.
Pertanyaan yang perlu dilontarkan untuk mengawali pembahasan ini dalam konteks
Indonesia adalah: pertama, sejauhmanakah sumbangan hukum ekonomi Indonesia
dalam pengembangan ekonomi Indonesia?
Mengingat kemerosotan ekonomi Indonesia dari waktu ke
waktu, maka kita mungkin seharusnya bertanya: Apa yang seharusnya dilakukan
oleh para ahli hukum agar hukum ekonomi kita memberikan sumbangan yang baik
terhadap ekonomi Indonesia?
Teori Analisis Ekonomi atas Hukum
Tokoh utama yang
dianggap memberikan inspirasi munculnya pemikiran Analisis ekonomi atas hukum
tersebut adalah si utilitarian Jeremy Bentham (1789). Ia berpendapat bahwa
terdapat kecenderungan orang berperilaku dengan tujuan mendapatkan sebesar
mungkin kenikmatan dan meminimalisir sekecil mungkin penderitaan.[5] Tokoh pemikir
utilitarianisme ini melakukan pengujian secara sistemik bagaimana orang
bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi
hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare).
Pemikirannya ini dituangkan dalam karya-karya tulisnya berupa analisis hukum
pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik dan subtantial treatment
atas proses-proses hukum. [6]
Teori Bentham di atas kemudian telah dikembangkan
seiring dengan tumbuhnya gerakan realisme di Amerika serikat oleh seorang Hakim
Agung di Mahkamah Agung, yakni Richard Posner. Posner mengemukakan tiga hal
fundamental dalam analisis ekonomi, yakni: pertama,
terdapat hubungan antara harga yang ditetapkan dengan jumlah permintaan (hukum
Permintaan); Kedua, para konsumen …
--demikian pula kriminal akan diasumsikan untuk mencoba memaksimalkan nilai
gunanya (Kebahagiaan, kenikmatan, kepuasan); dan yang ketiga,
bahwa sumberdaya itu cenderung untuk menarik kegunaan yang paling bernilai jika
pertukaran sukarela pasar mengijinkan. [7] Teori ini menggaris bawahi perilaku manusia berhadapan
dengan insentif-insentif hukum dan ekonomi di masyarakat. Oleh karena itu,
hukum dapat memberikan arahan terhadap perilaku manusia dalam koridor perilaku
hukum dan ekonomi manusia.
Posner juga mengklaim dua hal yang mjd perdebatan kontroversial, yakni:
Pertama, Common law legal
rules are, in fact, efficient; (Aturan hukum Common
Law, pada kenyataannya efisien) ;
Kedua, Legal Rules Ought to
be efficient. (Aturan hukum seharusnyalah efisien). Klaim bahwa Common Law adalah
efisien ini mengandung perbandingan bahwa ia lebih efisien dibanding sistem
hukum yang lain di dunia. Klaim ini dapat kita bandingkan dengan hasil
penelitian Rafael La Porta dkk. [8] terhadap 49 negara dari segi perlindungan investor, yang meletakkan negara
common law sebagai negara-negara yang terbaik dalam rangka perlindungan
investornya:
“This paper examines legal rules covering prtection of corporate
protection of corporate shreholders and creditors, the origin of this rules,
and the quality of their enforcement in 49 countries. The result show that
common law countries generally have the best, and French civil law is the
worst, legal protection of investors, with German and Scandinavian civil law
countries located in the middle…”
Lewis A.
Kornhauser,[10] dalam tulisannya berjudul Legal Foundations of Economic Analysis of Law,
mengemukakan tiga pertanyaan, yakni: Pertama, bagaimana hukum mempengaruhi
perilaku orang? Atau apakah hukum memiliki kekuatan normatif yang mengarahkan
perilaku orang baik swasta maupun publik (pegawai negeri)? Kedua, apakah hukum
hanya merupakan suatu alat? Dan yang ketiga adalah bagaimanakah seharusnya kita
mengevaluasi aturan-aturan dan lembaga hukum itu?
Kornhauser mengajukan tiga hal
yang melatarbelakangi ketiga pertanyaan tersebut di atas. Pertama, klaim yang
paling mendasar adalah bahwa hukum itu adalah alat, artinya masyarakat
merancang aturan dan lembaga hukum untuk suatu tujuan kedepan. Klaim ini
disebut dengan analisa kebijakan (policy analysis) yang membawahi dua
klaim dibawahnya yakni bahwa setiap orang akan berperilaku merespon suatu
aturan hukum “secara ekonomi” dan bahwa kita harus melakukan evaluasi aturan
dan lembaga hukum itu atas akibatnya terhadap kesejahteraan setiap orang.
Steven
Shavell, [11] dalam tulisannya berjudul Economic Analysis of Law
menyatakan bahwa dalam rangka pendekatan ekonomi untuk menganalisa hukum maka
terdapat dua pertanyaan pokok yakni: pertanyaan deskriptif berkenaan dengan
akibat dari aturan-aturan hukum terhadap perilaku dan hasilnya; dan pertanyaan
evaluatif, berkenaan dengan kehendak masyarakat mengenai dampak dari aturan
hukum. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, metode yang digunakan adalah
analisa ekonomi secara umum. Setiap orang atau badan diasumsikan bersifat
rasional-ke depan dan kerangka ekonomi kesejahteraan digunakan untuk menentukan
apa yang sebetulnya menjadi kehendak masyarakat.
Hukum yang menaungi
ekonomi
Pembangunan Hukum Ekonomi dalam arti penataan hukum di
bidang ekonomi yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan merupakan
kebutuhan dasar yang mendesak untuk dilakukan. Ekonomi bangsa Indonesia semakin
lama semakin lemah terhadap bangsa-bangsa luar. Fondamen dasar ekonomi
Indonesia mulai dipertanyakan karena terbukti tidak tahan terhadap gempuran
asing sebagai akibat globalisasi ekonomi. Bahkan
krisis ekonomi yang telah dimulai di tahun 1997/1998 terus berlanjut hingga
sekarang bahkan menjalar menjad krisis multi-dimensi.
Sebagai pegangan arah besar pembangunan hukum ekonomi,
Hart mengemukakan adanya 6 (enam) konsep dalam ilmu hukum yang memiliki
pengaruh bagi pengembangan kehidupan ekonomi:
1.
Pertama, prediktabilitas. Hukum harus memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran
pasti di masa depan mengenai keadaan-keadaan atau hubungan-hubungan yang
dilakukan pada masa sekarang.
2.
Kedua, kemampuan prosedural. Hukum acara yang disediakan memungkinkan
setiap hukum materiel akan berjalan dengan lancar dan efisien. Termasuk dalam
hal ini sistem penyelesaian alternatif di luar sengketa.
3. Ketiga, kodifikasi dari tujuan-tujuan. Tujuan merupakan jiwa dari setiap
keputusan. Apakah itu perundang-undangan, putusan hakim, atau
kontrak-kontrak di antara masyarakat. Jelasnya tujuan memiliki dampak terhadap
bidang ekonomi.
4. Keempat, faktor penyeimbangan.
Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di
antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam masyarakat.
5. Kelima, akomodasi. Sebagai akibat
perubahan yang cepat akan terdapat individu atau kelompok yang terpinggirkan.
Hukum harus menyediakan tembat bagi mereka untuk melakukan pemulihan sehingga
keseimbangan masyarakat akan terjaga dengan baik.
6. Keenam, definisi dan kejernihan
status. Dalam hal ini hukum memberikan ketegasan mengenai status orang-orang
dan barang-barang di masyarakat.
Kekurangan dalam memenuhi kelima
konsep tersebut di atas akan berakibat lemahnya tingkat kepastian hukum. Dalam arti orang sulit
membuat prediksi-prediksi ke depan dengan jaminan lancarnya saluran-saluran
acara pengadilan (jika terdapat sengketa) dan prosedur-prosedur hukum lainnya.
Pelaku usaha akan dihantui dengan kerusuhan massa, pencurian, perampokan dengan
motif-motif sosial karena ketimpangan sosial yang sangat tinggi.
Belajar dari Kegagalan Masa Lalu
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Selalu terdapat hikmah di balik
pengalaman bagi mereka yang mau mempelajarinya. Di masa awal orde baru,
pembangunan hukum ekonomi seolah-olah menjadi jargon utama. Pada prakteknya
bidang ini memperoleh perhatian yang sangat kecil. Terbukti dengan lemahnya
daya kerja hukum di bidang ini.
Arah pengembangan hukum ekonomi seolah-olah
malah lebih mengarah pada pemberian fasilitas bagi konglomerat dan multi
national corporation daripada pada petani/peternak, nelayan dan usaha
kecil. Pemerintah terbuai dengan angka tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
namun tidak melihat kemampuan riel ekonomi yang sesungguhnya. Akibatnya krisis
moneter yang berkepanjangan tak terelakkan yang membuat mata uang Indonesia
anjlok parah di hadapan mata uang asing.
Pemerintah orde baru mengarahkan pembangunan dengan
mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan gaya trickle down effect .
Diharapkan hasil pembangunan yang menumpu pada konglomerat dan perusahaan multi
nasional tersebut akan ‘meneteskan’ rejekinya kepada masyarakat miskin sehingga
diharapkan terjadi pemerataan ekonomi. Kemudian ternyata strategi pembangunan
ini tidak tahan banting. Pertumbuhan ekonomi itu hanya ‘lipstik’ dari
kecenderungan yang sebetulnya tidak sehat, yakni semakin melemahnya ekonomi
riel Indonesia.
Ada kecenderungan hutang luar negeri yang meningkat
tajam sementara ekonomi riel yang menjadi basis ketahanan ekonomi nasional kian
melemah. Swasembada beras yang merupakan kebanggaan nasional hanya terjadi
sesaat. Dunia pertanian dan peternakan kembali berhadapan dengan berbagai
kendala sosial dan pemerintahan yang membawanya pada penurunan kwalitas dan
kwantitas hasil usaha. Dampak yang nyata saat ini terasa memaksa Indonesia
harus impor bahan pertanian dari luar negeri. Dengan semakin besarnya jumlah
impor maka harga komoditi yang bersangkutan dikendalikan oleh pihak asing,
tidak terkecuali Beras. BULOG hanya dapat mengontrol pada tingkat tertentu.
Studi tentang faktor-faktor penyebab krisis ekonomi
yang berkepanjangan di Asia, terutama Indonesia menunjukkan bahwa terdapat lima
faktor akar penebab masalah (root of causes), yakni:
1.
Pertama: Boom investasi swasta pada tahun 1990-1n dan timbulnya asset
bubbles yang dipicu adanya anggapan bahwa kredit luar negeri murah yang
sebagian besar dalam bentuk utang jangka pendek pada bank dan lembaga keuangan
dan perusahaan.
2.
Kedua, semakin membesarnya defisit transaksi berjalan yang terjadi
berdasarkan rezim nilai tukar tetap atau hampir tetap. Ketiga, menurunnya
produktivitas investasiyang dimanivestasikan dala peningkatan yang cepat
incremental capita outout rations (ICOR), dan melemahnya daya saing produk
ekspor. Keempat, lemah dan tidak memadainya peraturan sistem lembaga keuangan
sehingga tidak dapat secara berhati hati (prudent) menyerap pertumbuhan resiko
kredit dan harga domestik yang cepat. Kelima, tidak transparannya praktik dan
pengelolaan (practices dan governance)
perusahaan.[12]
Erman
Rajagukguk,[13] mengemukakan bahwa krisis ekonomi Indonesia antara
lain karena terjadinya moral Hazard di berbagai sektor ekonomi dan
politik. Dalam skala yang luas, faktor moral dan etika
merupakan variabel ekonomi yang penting dalam tingkah laku berekonomi dan
berbisnis. Lemahnya moral akan menurunkan pula kepercayaan (trust) yang merupakan
unsur penting dalam berbisnis. Oleh karena itu pembangunan hukum yang baik
diharapkan akan membawa dampak berkembangnya etika yang mendukung
hubungan-hubungn bisnis yang bermoral dan beretika sehat.
CFG Sunaryati Hartono, mengemukakan bahwa
beberapa pertanyaan yang diperlukan oleh sarjana hukum untuk menyusun suatu
sistem hukum ekonomi yang diharapkan mampu menunjang pembangunan ekonomi adalah
antara lain: [14]
1.
sistem ekonomi yang ideal seperti apakah yang dulu dicita-citakan oleh
pendiri bangsa kita dan sistem ekonomi nasional seperti apa yang perlu
(ideally) dan (secara realistik) dapat kita bangun dipermulaan abad ke 21 ini?
Benarkah bangsa Indonesia menginginkan suatu sistem
ekonomi pasar yang sebebas-bebasnya, ataukah (mengingat mayoritas bangsa masih
hidup dalam era masyarakat agraria dan permulaan industrialisasi) ekonomi pasar
yang kita butuhkan adalah apa yang di Jerman dikenal sebagai
Soziale-Markt-wirtschaft atau sistem ekonomi pasar sosial, sebagaimana telah
sejak tahun 1953 (setengah abad) diterapkan di Jerman?
Dan bukan sistem ekonomi pasar dengan persaingan yang
sebebas-bebasnya seperti yang diterapkan di Amerika Serikat?
Jika benar, maka kebijaksanaan hukum ekonomi dan
peraturan, organisasi, serta menejemen sebagai segmen perekonomian juga
sebaiknya juga tidak terlalu mengacu kepada kebijaksanaan dan hukum ekonomi
Amerika Serikat tetapi sebaiknya lebih bercermin pada teori ekonomi
kebijaksanaan dan/atau hukum ekonomi Jerman, misalnya.
2. hal-hal apa saja yang menjadi ciri-ciri dan kekurangan sistem ekonomi
Indonesia dewasa ini?
Dan dalam hal apa diperlukan perbaikan atau perubahan
agar lebih mendekati sistem ekonomi yang kita cita-citakan.
3. Hal-hal apa di dalam bidang hukum yang oleh para ahli ekonomi dan
pengusaha dirasakan sebagai penghambat atau penghalang kemajuan ekonomi;
4. unsur-unsur apa pula di dalam sistem hukum kita yang diharapkan dapat
diperbaiki dan bagaimana memperbaikinya agar hukum lebih menunjang kegiatan
ekonomi;
5. paradigma dan dan peraturan hukum apa yang harus kita ubah sebagai
akibat globalisasi ekonomi; agar diseatu pihak kita dapat bersaing dengan
pelaku ekonomi asing (termasuk dari negara tetangga), tetapi dilain pihak tetap
setia (walaupun dalam bentuk yang lebih modern) pada cita-cita bangsa dan
arahan konstitusi.
Analisis Ekonomi atas Hukum, Naturalisme baru
Berdasarkan kegagalan
ekonomi dan hukum ekonomi Indonesia, adalah merupakan alternatif yang perlu
diperhitungkan untuk lebih serius menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dalam
pembangunan hukum ekonomi. Hukum tak dapat berdiri sendiri lepas dari
sifat-sifat obyek yang diaturnya. Dalam rangka ini perlu kita simak kembali apa
yang dikatakan Thomas Aquinas, seorang filsuf aliran hukum alam, yang pada
intinya berpendapat bahwa hukum yang tidak adil, dan tidak dapat diterima akal,
yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi
hukum yang menyimpang. [15]
Kecenderungan
alamiah manusia merupakan obyek dari analisis ekonomi. Perilaku manusia untuk
memenuhi kebutuhannya terhadap barang-barang yang langka. Kecenderungan manusia
tersebut juga digerakkan oleh insentif-insentif yang memberikan kebahagiaan,
kenikmatan. Ia akan berupaya memaksimalkan kenikmatan tersebut dan
meminimalisir penderitaan. Dengan mengetahui kecenderungan ekonomi manusia,
aturan-aturan di bidang ekonomi dibuat. Hukum yang dibuat tersebut akan
dianalisis sepanjang masa, apakah meminimalisir penderitaan (efisien) ataukah
boros (inefisien). Demikianlah akan lahir hukum yang mungkin relatif lebih efisien.
Pemerintahan yang baik
adalah pemerintahan yang telah menyiapkan orientasi pembangunan hukum
ekonominya seiring dengan konsep pembangunan ekonomi negaranya ke depan.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dapat memprediksi perkembangan
ke depan dan menyediakan berbagai aspek yang dibutuhkan oleh waga negaranya
dalam rangka menyongsong perubahan-perubahan dunia ke depan.
Beberapa contoh
analisis ekonomi atas Hukum dalam Perundang-Undangan di Indonesia, yang didasarkan atas prinsip efisiensi ekonomi
(economic efficiency).
Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada
kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis
ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah
berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency)
dari pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan
perundang-undangan.
- Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
- ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi. [16]
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono, SH.MH., Prof., Dr., Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tanggal 17 Nopember 2007. di download
dari www.adisulistyono.com
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, PENGANTAR KE FILSAFAT HUKUM,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cetakan Pertama, 2007.
Bhingyuan Hsiung, Economic Analysis of Law: An Inquiry of its Underlying
Logic, Erasmus Law and Economics Review 2, no. 1 (March 2006):1-33 di download
dari: www.eler.org.
Bismar Nasution, Mengkaji
ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Makalah disampaikan pada
pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilhu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 1004.
CFG Sunaryati Hartono,SH., Prof. Dr., dalam makalahnya “Upaya Menyusun
Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003” disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Nasional VIII di Denpasar, 14-18 Juli 2003
Hukum Ekonomi Indonesia, memperkuat persatuan
Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan dan memperluas Kesejahteraan
Sosial, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Hukum Nasional ke VIII,
diselenggarakan oleh BPHN, Depkehham, di Denpasar 14-18 Juli 2003.
Khudzaifah Dimyati, Dr., SH., M.Hum., TEORISASI HUKUM, Muihammadiyah
University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, Cetakan Ketiga, September,
2004.
Law and Economics, dari Wikipedia encyclopedia, di download dari http://en.wikipedia.org.
Lewis A. Kornhauser, 31 May 2006 di download dari www.law.nyu.edu.
Peri Umar Faruk, Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis
Indonesia,di download dari: http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
Rafael La Porta dkk. Law and Finance, National Bureau of Economic Research,
Cambridge, July 1996 di download dari: http://www.nbr.org
Satjipto Rahardjo, ILMU HUKUM, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan
kelima, 2000.
Soetiksno, FILSAFAT HUKUM (Bagian 1), Pradnya Paramita, Cetakan Kesepuluh,
tahun 2003.
Steven
Shavell, (Harvard Law School, Cambridge) in Internasional Encyclopedia of the
Social and Behavioral Sciences, Forthcoming 2001
[1]
http://en.wikipedia.org/wiki/law_and_economics
“...an approach to legal theory that applies methods of economics to law.”
[2]
http://plato.stanford.edu : “Economic
analysis of law applies the tools of microeconomic theory to the analysis of
legal rules and institutions”
[3]
Lihat
Adi Sulistiyono, SH.MH., Prof., Dr., Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret tanggal 17 Nopember 2007.
[4]
Fokus sentral pendekatan Critikal
Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan
doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang
menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan
tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain
yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan
politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi
kemanusiaan (Munir Fuady, 2003,Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya, hal 2.)
[5] Prinsip
ini sederhana karena secara alamiah orang akan cenderung menyetujui sesuai
dengan pengalamannya. Namun prinsip itu dapat diteruskan dengan mengatakan
bahwa kalau kita memaksimalkan kemampuan kita untuk menerima penderitaan maka
kenikmatan yang akan kita dapatkan pun akan semakin maksimal.
[6] Peri Umar Faruk, Analisis Eko Atas
Perkembangan Hkm Bisnis Ind, http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
[7] Peri Umar Faruk, Analisis Eko Atas
Perkemb. Hukum Bisnis Ind, http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
[8] www.nper.org. Rafael La Porta, Florencio
Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer dan Robert W. Vishny, LAW AND FINANCE,
National Bureau of Economic Researc, Cambridge, July 1996.
[9] Forthcoming in Aristides N. Hatzis ed.
Economic Analysis of Law: A European Perspective (Cheltenham,
U.K:Elgar 2003)
[10] Lewis A. Kornhauser, 31 May 2006
[11] Steven
Shavell, (Harvard Law
School, Cambridge)
in Internasional Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences,
Forthcoming 2001
[12] Bismar
Nasution mengutip dari Javad K Shirazi dalam makalah: Mengkaji ulang Hukum
sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Makalah disampaikan pada pidato
pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilhu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan
17 April 1004.
[13]
Dalam makalah Hukum Ekonomi Indonesia, memperkuat persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan dan memperluas Kesejahteraan Sosial, disampaikan
dalam Seminar dan Lokakarya Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh BPHN,
Depkehham, di Denpasar 14-18 Juli 2003.
[14] CFG
Sunaryati Hartono,SH., Prof. Dr.,
dalam makalahnya “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003”
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Nasional VIII di Denpasar, 14-18 Juli
2003.
[15] Satjipto Rahardjo, Prof., Dr., SH., ILMU HUKUM, PT
Citra Aditya Bhakti Bandung, 2000, hal 265. Dalam telaahnya Thomas mengutarakan
bahwa lex naturalis sebagai perwujudan dari lex aeterna (akal keilahian yang
menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta) merupakan kecenderungan
alamiah pada manusia. Pertama, insting alamiah manusia untuk mempertahankan
hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk
membesarkan dan menddik anak-anak. Ketiga, manusia memiliki hasrat untuk
mengenal tuhan dan menolak kketidak tahuan. Dan Keempat, manusia ingin hidup dalam
masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk
menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya.
[16] www,
mhugm.wikidot.com,
Peri Umar Farouk , Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis
Indonesia, pernah dipublikasi di jurnal ‘Bank & Manajemen’, Jakarta,
2001
https://breath4justice.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar