Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
(Alwesius, SH,Mkn)
1. Pendahuluan
Pada tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, yang terkait dengan gugatan mengenai Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan, yang diajukan oleh Ike Farida. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Perjanjian Perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon isteri sebelum atau pada saat perkawinan, sekarang dapat dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Namun demikian dengan adanya Putusan Mahmah Konstitusi tersebut, Notaris tidak serta merta dapat melayani permintaan pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan. Masih terdapat permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengann pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa:
a. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga?
b. Bagaimana tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan?
c. Sejak kapan mulai berlakunya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan?
2. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Jika kita melihat ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan maka tidak terdapat pengertian yang jelas mengenai perjanjian perkawinan. Oleh karena itu banyak para ahli yang memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan.
Dari berbagai perngertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda/harta kekayaan mereka, dengan menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan menurut undang-undang.
3. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan
Ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketetntuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah.
UU Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dengan demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut KUHPerdata dan UUPerkawinan, yaitu:
1) Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan;
2) Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
3) Menurut KUHPerdata, sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah sepanjang perkawinana kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
4. Pencatatan Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar perjanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat tiad mengikat pihak ketiga akan tetapi hanya mengikat para pihak yang membuatnya.
Menurut 152 KUHPerdata, pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut dilangusngkan. Apabila tersebut perkawinan dilangusngkan diluar negeri maka pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.
Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawin. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat etentuan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak berarti apabila perjajina kawin tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut tidak sah.Menurut “disahkan” dalam kalimat tersebut artinya adalah bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus “dicatat”, dan apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatat maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga.
Pencatatan perjanjian perkawinan seteklah berlakunya UU Perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dina Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor Urusan Agama.
5. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
a. Perjanjian Perkawinan Dapat Dibuat Sepanjang Perkawinan Suami Isteri
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka.
Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka pasangan suami isteri, yang sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan ingin membuat perjanjian perkawinan, jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi. Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat membuatnya secara tertulis dan kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau mereka dapat meminta bantuan notaris untuk membuat akta Perjanjian Perkawinan tersebut.
Berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tentunya Notaris tidak serta begitu saja memberikan bantuannya untyuk membuat perjanjian perkawinan tersebut. Notaris harus memperoleh kepastian bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
b. Bentuk Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Jika kita melihat ketentuan mengenai perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata maupun pendapat para ahli, maka dapat kita ketahui ada beberapa bentuk perjanjian perkawinan, antara lain:
1) Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau harta terpisah berupa apapun juga;
2) Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi;
3) Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan;
Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda dibuat dengan maksud agar dinatara suami isteri tidak terdapat harta persatuan berupa apapaun juga. Jadi semua harta yang dibawa kedalam perkawinan maupun semua harta atau penghasilan yang diperoleh sepanjang perkawinan, darimanapun harta tersebut berasal dan aappun sebab perolehannya merupakan milik pribadi/harta pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya.
Perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi dibuat dengan maksud agar semua harta yang dibawa ke dalam perkawinan, demikian juga harta yang diperoleh dari warisan atau hibah tetap merupakan milik pribadi pihak yang membawa atau memperolehnya, sementara segala keuntungan dan kerugian sepanjang perkawinan dibagi dua dinatara suami isteri masing-masing dengan bagian yang sama besarnya.
Perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, hampir sama dengan perjanjian perkawinan persatuan untung dan rugi. Perbedaannya adalah bahwa didalam perjanjian perkawinan persatuan hasil dan pendapatan, yang dibagi dua diantara sumai siteri adalah hasil dan pendapatannya saja (keuntungan), sedangkan apabila di dalam perkawinan tersebut terdapat kerugian (lebih besar utang/beban dari pada penghasilan) maka utang tersebyut ditanggung dan dibayar oleh suami.
Disamping bentuk-bentuk perjanjian perkawinan sebagaimana diuraikan diatas tentunya masih ada berbagai bentuk perjanjian perkawinan lain. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya bentuk perjanjian perkawinan yang mana yang akan dibuat oleh suami oisteri sepanjang perkawinan mereka tergantung dari tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Namun apabila kita melihat latar belakang dari adanya tuntutan nonya Ike Farida yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya yang diinginkan untuk dibuat adalah perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda atau perjanjian perkawinan harta terpisah berupa apapun juga, agar Warga Negara Indonesia yang melangusungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing dapat tetap membeli tanah denganstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan (HGB) di dalam perkawinan mereka.
c. Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan Tidak Boleh Merugikan Pihak Ketiga
Oleh karena pembuatan pembautan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan membawa akibat terhadap perubahan status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut maka tentunya pembautan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya kita dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan.
Putusan Mahkamah konstitusi maupun UU Perkawinan tidak mengatur hal tersebut. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila perjajian kawin tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjkanjian perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga. Alangka tidak adilnya seandainya terdapat suatu perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, dimana perjanjian perkawinan tersebut nerugikan pihak ketiga, kemudian atas perjanjian perkawinan tersebut dilakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Dengan dilakukannya pencatatan tersebut pihak ketiga terikat atas perjanjian perkawinan tersebut, sementara perjanjian perkawinan tersebut merugikan dirinya.
Untuk melindungi kepentingan pihak ketiga tersebut sudah seharusnya terdapat tatacara yang harus ditempuh agar pihak ketiga diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan terhadap perjanjian perkawinan yang akan dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan yang ternyata merugikan dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut menurut pendapat penulis, sepanjang belum diatur tatacara tersebut maka sebaiknya para notaris di dalam melayani permintaan pembuatan akta perjanjian perkawinan terlebih dahulu meminta kepada para pihak untuk melakukan pengumuman di dalam surat kabar yang terbit di kota dimana para pihak berdomisili, yang mempunyai peredaran yang luas dan tentunya ditempatkan pada halaman yang mudah terbaca.
d. Mulai Berlakunya Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Di atas telah diuraikan bahwa untyuk perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, sesuai ketentuan Pasa 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Lalu bagaimana dengan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, apakah perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian perkawinan atau berlaku surut sejak tanggal perkawinan.
Jika kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan juga berlaku terhitung sejak perkawinan dilangusngkan, kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Pasal 29 UU Perkawinan yang berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan.” menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai bahwa berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”
Sehubungan dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi tersebut maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku maka perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Apabila perjanjian perkawinan berlaku terhitung sejak perjanjian perkawinan tersebut dibuat menurut penulis tidak akan membawa banyak permasalahan hukum terkait dengan adanya pembautan perjanjian perkawinan tersebut, sebab perjanjian perkawinan tersebut hanya membawa akibat hukum terhadap harta benda yang diperoleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut.
Apabila perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak dilangsungkannya perkawinan maka akan menimbulkan beberapa permasalahan terkait dengan status harta benda yang telah ada sebelumnya yang menurut hukum merupakan harta bersama/harta gono gini suami isteri karena diperoleh sepanjang perkawinan. Apakah harta benda yang semula statusnya sebagai harta bersama/harta gono gini, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan dan mulai berlaku terhitung sejaka perkawinan dilangusngkan, demi hukum beruba statusnya menjadi harta pribadi pihak yang memperolehnya atau para pihak harus melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya melakukan pemisahan dan pembagian harta untuk menentukan status baru atas harta tersebut. Hal ini tentunya tidak dimungkinkan karena pemisahan harta tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penetapan pengadilan.
Dengan adanya permasalahan tersebut, menurut penulis seandainya ada suami isteri yang hendak membuat perjanjian perkawinan, sebaiknya para notaris menyarankan agar para pihak sepakat bahwa perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak tanggal dibuatnya perjanjian perkawinan.
e. Pencatatan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Sepanjang Perkawinan
Sebagaimana telah diuraikan diatas, dengan berlakunyan UU Perkawinan, pencatatan perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri. Pencatatan Perkawinan dilakukan di Kantor Pegawai Pencatatan Perkawinan/Nikah, yaitu di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Namun demikian harus diperhatikan juga bahwa di dalam praktek ternyata masih terdapat hambatan-hambatan teknis didalam melakukan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut. Kenapa demikian? Ini terjadi karena ternyata ada pejabat kantor catatan sipil yang hanya berpegang pada petunjuk teknis terkait dengan pencatatan perkawinan, dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku perihak pencatatan perkawinan dan pencatatan perjanjian perkawinan tersebut. Hambatan tersebut terjadi oleh karena di dalam Formulir (Formulir F2.12) yang digunakan untuk melakukan pencatatan perkawinan tersebut tidak terdapat kolom mengenai perjanjian perkawinan.
Pencatatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan tentunya akan menghadapi hambatan yang sama sepanjang belum ada ketentuan baru yang mengatur tatacara pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan tersebut. Untuk mengatasi hambatan tersebut tentunya Mentyeri Dalam Negeri harus segera mengeluarkan peraturan terkait dengan pencatatan perjanjian perkawinan, termasuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, yang segera diikuti dengan dikeluarkannya petunjuk teknis perihal pencatatan perjanjian perkawinan tersebut.
Sepanjang belum adanya ketentuan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan maka tentunya pencatatannya belum dapat dilakukan. Dan apabila perjanjian perkawinan tersebut belum dicatat maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku dianatara para pihak. Berkaitan dengan hal ersebut maka para notaris di dalam pembuatan akta-akta kepemilikan (pemindahan hak maupun penjaminan) tetap wajib meminta persetujuann dari pasangan kawin dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut.
6. Penutup
a. Simpulan
Sehubungan dengan apa yang diuraikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan setelah perkawinan dilangsungkan;
2) Pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Untuk itu harus ada tata cara yang harus ditempuh sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut untuk memberi kesempatan kepada pigak ketiga yang ingin mengajukan keberatannya atas pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, misalnya dengan melakukan pengumukman di surat kabar yang terbit di kota tempat tinggal dan tempat perkawinan tersebut dilangusngkan yang peredarannya luas.
3) Perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangusngkan, akan tetapi para pihak dapat menentukan di dalam perjanjian perkawinan tersebut saat mulai berlaku perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya mulai berlaku terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawiann tersebut.
4) Pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepnjang perkawinan masih menjadi persoalan karena belum adanya ketentuan mengenai pencatatannya. Oleh karena masih adanya permasalahan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan tersebut, dapat mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pencatatan atas perjanjian perkawinan yang telah dibuat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatat mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku diantara para pihak.
b. Saran
1) Pemerintah segera membuat peraturan yang mendukung terlaksananya ketentuan Mahkamah Konstitusi tersebut, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
2) Para notaris di dalam menerima pembauatn akta perjanjian perkawinan yang dilangusngkan sepanjang perkawinan hendaknya berhati-hati, oleh karena walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dibolehkannya pembutan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan, akan ttapi masih ada kendala atau permasalahan terkait dengan pembutan perjanjian perkawinan tersebut, khusunya terkait dengan pembutan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga dan juga terkait dengan pencatatannya.
3) Jika terdapat pembuatan akta kepemilikan (pemindahan hak atau penjaminan) dan penghadap menunjukkan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan atas perjanjian perkawinan tersebut belum dilakukan pencatatan maka terhadap perbuatan hukum pemilikan tersebut kita harus tetap memandang bahwa dinatara mereka tidak terdapat perjanjian perkawinan, sehingga untuk melakukan perbuatan hukum tersebut penghadap harus memperoleh persetujuan dari pasangan kawinnya.
4) Terkait dengan mulai berlakunya perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan, sebaiknya para notaris menyarankan kepada para pihak agar mereka sepakat bahwa perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku terhitung sejak tanggal perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar