12/11/16

mayoritas dan minoritas - memaafkan dan cinta kasih adalah keindahan

Mayoritas dan Minoritas

Dalam negara demokrasi-konstitusional berdasarkan Pancasila sebenarnya tidak mengenal mayoritas dan minoritas karena kebijakan negara akan dibuat dengan konsensus yang fair antara berbagai pihak agar bisa disebut adil.
Jika ada hukum dipaksakan karena didukung banyak pihak (mayoritas) yang kepentingannya sama namun tidak diterima oleh salah satu atau lebih pihak yang kecil jumlahnya (minoritas) maka muncul masalah berkaitan dengan keadilan.

Gagasan ”justice as fairness” John Rawls yang menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya adalah fairness sangat relevan untuk Indonesia.
Justice as fairness itu bersifat politis artinya perlu ada prinsip-prinsip yang dipegang dalam berkonsensus dalam mencari keadilan bersama yang memuaskan semua pihak, meski minimal, dan fair. Jadi keadilan adalah hasil konsensus.
Dan sejauh prinsip-prinsip itu dipegang dalam berkonsensus, keadilan yang minimal pun akan terpenuhi.

Pokok gagasan dari keadilan sebagai fairness itu adalah dua prinsip:
Prinsip pertama : " Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seiring dengan kebebasan yang serupa bagi orang lain."
Prinsip pertama ini adalah prinsip kesamaan berdasarkan kesamaan martabat pribadi setiap orang.
Sedang prinsip kedua, mengatakan bahwa " Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur sedemikian rupa sehingga (a) secara rasional diharapkan dapat memberi keuntungan bagi setiap orang dan
(b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.”
Prinsip kedua ini menggarisbawahi perbedaan, tetapi menempatkan perbedaan itu dalam konteks bersama, sehingga perbedaan itu tidak merugikan yang lemah. Dengan kata lain, diharapkan ada win-win solution dalam prinsip kedua itu karena di satu pihak tetap menghargai perbedaan tetapi di lain pihak menempatkan perbedaan itu dalam konteks kepentingan bersama.

Pancasila  adalah konsensus ataupun konsepsi politis
yang mengakui dan menghargai persamaan harkat dan martabat manusia,
menyatukan perbedaan yang ada, dan tidak menjadikan perbedaan itu
sebagai penghalang untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi Pancasila adalah konsensus bagaimana mewujudkan keadilan sosial
 atau jalan/rambu bagaimana keadilan sosial itu terwujud. (Petrus Bello, 12/11/2016)

Jalan menuju Kesejatian, konon, sebanyak tarikan nafas makhluk.
Namun jika dipetakan, setidaknya minimal ada empat jalan besar yaitu, Agama, Filsafat, Sains dan Sastra. Terlepas jalan mana yang ditempuh, 'Aql dan Cinta menempati posisi sentral dan menentukan.

Apakah kamu mampu mencintai dengan hatimu,
jikalau mampu, tak perlulah berbangga.
Karena fungsi hati memang untuk mencintai.
Tapi Berbanggalah jika kamu telah mampu mencintai dengan Akalmu.

Tentunya bukan akal dalam pengertian Barat yang telah direduksi dan dikebiri semata mata menjadi rasio an sich.
Akal dalam tradisi filsafat Islam adalah Inteleksi, yang tak sekedar rasio, namun juga meliputi ruh, jiwa dan spirit.

Aku berada di hati hamba hambaku yang hancur, demikian kata Tuhan.
"Menemui" Tuhan bukan hanya bisa di kitab suci.
Tapi di hati hamba hamba yang lemah di pinggiran,
yang mudah dipinggirkan dan disingkirkan oleh kekuasaan.
Menggusur dan meminggirkan kaum yang sudah dipinggir,
bukan hanya sebentuk penistaan,
tapi bahkan pengkhianatan akan Tuhan dan kemanusiaan.
Apapun agamanya, apapun ras nya, siapapun penguasanya.

Cinta itu Memaafkan :

"Jadikanlah maaf kepada musuhmu,
sebagai bentuk syukurmu atas kemenanganmu"
demikian kata seorang Sahabat Nabi SAW.
Nabi SAW sendiri, saat meraih kemenangan dalam futuh Makkah,
beliau memilih untuk memaafkan semua musuh musuhnya,
termasuk Abu Sufyan, sang musuh besar.
Alih alih memilih menumpahkan darah, Nabi SAW menebarman pesan cinta.
Memaafkan. Pada poin inilah kebesaran Nabi SAW terlihat.
Di saat seseorang jatuh, kalah, tentu maaf menjadi hal mudah adanya.
Namun manakala seseorang berada di puncak kuasanya,
memegang kemenangan mutlak, memberikan maaf kepada lawan, tentu tak mudah.
Hanya mereka yang jiwanya telah mencapai ketinggian spiritual tertentu yang mampu melakukannya. Dan begitulah Nabi SAW sebagai junjungan alam
memberikan percontohan bentuk syukur atas kemenangan.

Filosofi maaf di zaman modern, diantaranya dibahas secara menarik oleh Hannah Arendt.
Mantan murid Martin Heidegger, sekaligus pacar gelap sang filsuf raksasa tsb,
juga mencontohkan permafaan yang sangat menarik.
Saat dia memaafkan Heidegger yang kebijakannya telah membuat dia menderita
dan harus bertaruh nyawa, karena dia terlahir sebagai Yahudi.
Sebuah status primordial yang tak pernah dipilih oleh Arendt,
namun harus ia sandang dalam hidupnya.

Saya tak ragu untuk menyebut motif Cinta yang melandasi ucapan Sahabat Nabi,
dan juga keteladanan Nabi SAW sendiri saat di puncak kuasanya.
Pun juga permaafan dari Arendt kepada Heidegger.
Maaf merupakan salah satu buah cinta.

Dan saya percaya, serta meyakini bahwa Islam adalah agama Cinta.
Setidak tidaknya, muatan Cinta dalam ajaran Islam sangatlah kental.
Bahkan misalnya dalam lafazh Bismillahirahmanirahim,
ada dua sifat jamaliyah (kelembutan Allah) dan hanya satu sifat Jalaliyah (keperkasaan Allah).
Artinya Allah lebih menekankan sisi kelembutan dibandingkan kemahaperkasaannya.
Rahmat Ku, mendahului murka Ku, demikian Sabda Nya.

Maka saya sangat percaya, bahwa Islam yang beralaskan Cinta itu lebih masuk akal,
lebih manusiawi dan lebih kompatibel dengan kebutuhan manusia modern.
Lebih jauh, disertasi Alwi Shihab membuktikan secara ilmiah
bahwa Islam yang bersifat ramah seperti itu,
yang bisa diterima di awal penyebarannya di Nusantara.
Jika kini Islam secara sosial berubah bentuk, malih rupa, menjadi garang, keras,
tentu ada banyak faktor yang menyebabkannya.
Dan disini saya tak bermaksud membahasnya.
Namun saya kira apapun kondisinya, keteladanan Nabi SAW
perlu untuk selalu dikenang dan coba diamalkan.
Terlebih bagi mereka yang membawa simbol simbol Islam dalam segenap aktivitasnya.
Wallahua'lam.

Petrus Bello
Rahmat Omen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar