19/11/16

Stiglitz dan Globalisasi - Making Globalization Work (Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil)



Ditengah masih berusaha memahami makna filosofi dari perkuliahan strata ini, dimana dari teori yang hanya ditempuh dalam dua semester selanjutnya adalah rentetan panjang perjuangan kami menyelesaikan disertasi supaya bisa dipanggil bu doktor :D, pada tanggal 11 Nopember 2016 kemarin, kami mendapatkan lebih tepatnya membeli dari seorang rekan yang sudah dengan sangat baik hati menterjemahkan buku karya JOSEPH STIGLITZ “Making Globalization Work” (red. Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil) yang hampir 500 halaman, bisa ga terbayang bakal berapa lama mengunyahnya kalau masih dalam terjemahan bahasa inggris. 

Kenapa bisa malah membahas masalah ekonomi? Apa hubungannya dengan hukum?
Selain karena masih terengah-engah tugas dari profesor-profesor yang tak kenal ampun memberikan serentetan tugasnya, ada yang minta meresume buku asing yang dengan syarat-syarat njlibetnya, analisis undang-undang hukum ekonomi yang berdasarkan teori hukum ekonomi, paper tentang hukum ekonomi, paper dengan menerapkan teorinya Gerald Edelman (red. ilmuwan Amerika Serikat yang memenangkan Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran) – andai bisa ditampilkan gambar panah-panahnya dan bahasa ilmiahnya yang sangat butuh perjuangan otak ini menelaahnya :D


Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Edrijani Azwaldi 
dari Buku Making Globalization Work, Joseph Stiglitz, V.M.Norton 7 Company, Inc, New York, 2006
 

Jadi ya sudahlah, lanjut ke bukunya Pak Stiglitz yang berwarna biru syahdu ini dan membuka lembar daftar isinya, timbul perenungan dan menjadi sangat menarik ketika skeleton dari buku setebal disertasi ini adalah kok bisa pemikiran seperti ini muncul dari seseorang yang lahir di Amerika, sedangkan menjadi wajar apabila pemikiran dan kritik Pak Stiglitz ini muncul dari orang Indonesia katakanlah.
Stiglitz sangat memperhatikan aspek keadilan. Luar biasa bukan?
Bagaimana mereformasi Globalisasi yang seperti cantik diluar, namun busuk didalamnya.
Globalisasi yang bagi SEMUA orang, bukan hanya kaum yang kuat ekonominya saja, dan semakin menggerus, menghisap kaum miskin lalu meninggalkannya sebagai bangkai ditengah gurun pasir yang tandus demi keuntungan mereka saja.
Hal tersebut membuat globalisasi menjadi bermuka dua, disatu sisi dia sangat cantik namun disatu sisi dia menjadi sangat jahat. (seperti cerita bawang merah bawang putih kan...)               
"Globalisasi tidak otomatis menguntungkan orang miskin. Harus dipikirkan siapa yang paling terkena dampak buruk dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Jawaban untuk ini tergantung dari situasi setempat. Misalnya, tidak adil untuk petani beras Indonesia bersaing dengan Washington (yang menyubsidi petani beras AS). Untuk membuat arena bermain searas, bila Washington menyubsidi petaninya 50 persen, Indonesia dapat memajaki beras dari AS 50 persen." (Stiglitz di Kompas tahun 2007).
Kutipan kata-katanya di atas menyiratkan inti penyebab persoalan ’ketidakadilan’ yang ingin dibelanya.
Apakah ketidakadilan tersebut sifat intrinsik pasar atau justru karena ulah faktor eksternal; pasarkah yang menimbulkan ketaksetaraan dalam level permainan?
Jawaban intuitif dapat diperoleh manakala kita kembali kepada pemahaman kita terhadap pasar, yang tampaknya oleh Stiglitz tergolong sebagai fundamentalisme.
Sementara itu, persoalan ketidakadilan untuk petani beras Indonesia, solusi pragmatis yang ditawarkan adalah semacam perban bagi luka pendarahan yang muncul sebagai akibat; sementara penyebabnya masih mengelak darinya, atau ia elakkan.
Stiglitz juga mengatakan bahwa pasar bebas adalah konsekuensi dari globalisasi.
Untuk kasus Indonesia dia juga mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar masyarakat lemah sehingga pemerintah seharusnya melakukan upaya nyata untuk melindungi rakyatnya.
Stiglitz mengingatkan, Amerika Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas (liberalisasi pasar) ternyata tetap memberi proteksi terhadap sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh sebab itu, sewajarnya negara-negara berkembang juga melakukan hal yang sama.
Washington Consensus merupakan "kesepakatan" atau resp yang dicapai IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan Departemen Keuangan AS (US Treasury Department) pada akhir tahun 1990an tentang paket kebijakan ekonomi yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan pembangunan berbagai negara berkembang. Ada bebrapa pilar utama konsensus ini stabilisasi makro, liberalisasi perdagangan, investasi dan sektor keuangan, serta privatisasi. Resep ini menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah, deregulasi, serta liberalisasi dan privatisasi secara cepat. Penganut paham ini mempercayai bahwa kebijakan ekonomi semestinya hanya bicara pada efisiensi, yang hanya bisa dicapai dengan Washington Consencus dan mempercayai trickel-down effect, bagi mereka pemerataan ekonomi bukanlah urusan kebijakan ekonomi, itu adalah urusan politik. Dan dengan kesalah pahaman pengertian mereka itu membuat dan mendorong globalisasi memakan banyak sekali korban.
Stiglitz menentang washington consensus ini dikarekanan banyak negara-negara berkembang yang menerapkan resep ini malah terpuruk dan terjerumus kedalam resesi ekonomi yang buruk, seperti Rusia, Argentina, Venezuela, Indonesia dan beberapa negara di Asia Timur.
Dia percaya bahwa pemerintah harus mengambil bagian penting dalam pembangunan serta melindungi kelompok miskin, tidak bisa semuanya diserahkan begitu saja kepadamekanisme pasar. Peranan yang sama juga harus diambil oleh lembaga-lembaga publik internasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO.
Negara-negara kaya dan berpenghasilan menengah harus membuka pasarnya kepada negara yang lebih miskin, dan memberi perlakuan khusus kepada mereka sama dengan perlakuan kepada negara kaya (tidak ada perbedaan-kesetaraan) mendorong demokratisasi globalisasi sehingga lembaga publik internasional menjadi lebih transparan dan demokratis. Dimana menjadi sangat ironis ketika mereka memaksa negara-negara miskin untuk menjadi demokratis dan transparan sedangkan mereka TIDAK. (terkesan hanya sebagai alat politik dan kepentingan saja).
Stiglitz mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi (perdagangan bebas) dan stabilisasi itu penting. Akan tetapi, menurut stiglitz ketiga hal tersebut seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan serta Konsensus Washington melupakan bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi. Stiglitz juga mengatakan bahwa liberalisasi (perdagangan bebas) dan privatisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington.
Stiglitz dalam Making Globalization Work juga mengatakan bahwa konsensus ini kurang memperhatikan keadilan (equity), lapangan kerja, dan kompetisi, untuk menjalankan reformasi ekonomi atau bagaimana privatisasi dilaksanakan. Stiglitz menekankan peran pemerintah sebagai kritik atas Washington Consensus. Dalam prinsip umum, pemerintah harus berperan dalam mengatasi persoalan lingkungan, campur tangan dalam riset, pendidikan, kesehatan dasar, dan beberapa sektor lainnya. Stiglitz dan Pendidikan. Stiglitz mengutarakan pendidikan adalah sebuah investasi besar yang berarti dan berdampak jangka panjang. Dia juga mengatakan bahwa pendidikan merupakan modal dasar yang penting bagi sebuah negara. Stiglitz dan Asimetri Information. Dalam bidang ekonomi, asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya.Stiglitz mengatakan tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain terkait informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Pemikiran Stiglitz ini merupakan sebuah masukan penting bagi ekonom dan khususnya bagi para pengambil kebijakan, agar mengerti akan keberadaan informasi asimteri dalam proses ekonomi sehingga peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor tersebut sehingga kue pembangunan ekonomi bisa dinikmati semua kalangan atau kelompok.

Pemikiran Stiglitz ini memang masih sangat jauh dari realisasi, resistensi dari kelompok status-quo pemenang globalisasi memang sudah terlanjur sangat besar. Namun, apabila kita gagal mengelola globalisasi secara MANUSIAWI dan BERSAHABAT maka globalisasi tak ubahnya hanya menjadi bentuk KEANGKUHAN KAPITALISME.

Bagi Indonesia sendiri, disamping sangat menyadari kita memang sangatlah jauh dari kata memadai untuk terjun dalam pertarungan keras pada kontes Olimpiade Globalisasi, khususnya Ekonomi. Maka kita perlu belajar untuk bisa menolak atau berkata TIDAK untuk kebijakan yang akhirnya akan menjebloskan kita pada tahapan mendekati sakaratul maut alias sentik-sentik dalam bernafas. Contoh Argentina yang mampu meningkatkan pendapatannya 8 tahun berturut-turut karena tidak membayar cicilan hutang.
Hemat saya, kita memiliki kunci masuknya arus tekanan globalisasi yang pertama adalah hukum yang baik, namun hukum yang baik masih bisa dipatahkan oleh kepentingan, maka kita punya senjata yang super oke yang sekarang malah terkadang kita terkesan mengabaikannya yaitu CULTURE, kita harus memegang kebudayaan sebagai gembok globalisasi, contoh negara seperti Jepang yang tetap berkarakter kuat, mempertahankan budayanya ditengah derasnya terpaan air terjun Globalisasi. Karena menurut saya adalah kunci, agar kita tidak terzolimi. Betul kata Prof. Adi deh kalau begini dalam buku beliau Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Memang Prof. Adi, ruaar biasa..

Sun, 20/11/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar