Ditengah masih berusaha memahami
makna filosofi dari perkuliahan strata ini, dimana dari teori yang hanya
ditempuh dalam dua semester selanjutnya adalah rentetan panjang perjuangan kami
menyelesaikan disertasi supaya bisa dipanggil bu doktor :D, pada tanggal 11
Nopember 2016 kemarin, kami mendapatkan lebih tepatnya membeli dari seorang
rekan yang sudah dengan sangat baik hati menterjemahkan buku karya JOSEPH STIGLITZ
“Making
Globalization Work” (red. Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang
Lebih Adil) yang hampir 500 halaman, bisa ga terbayang bakal berapa lama
mengunyahnya kalau masih dalam terjemahan bahasa inggris.
Kenapa bisa
malah membahas masalah ekonomi? Apa hubungannya dengan hukum?
Selain karena
masih terengah-engah tugas dari profesor-profesor yang tak kenal ampun
memberikan serentetan tugasnya, ada yang minta meresume buku asing yang dengan
syarat-syarat njlibetnya, analisis undang-undang hukum ekonomi yang berdasarkan
teori hukum ekonomi, paper tentang hukum ekonomi, paper dengan menerapkan teorinya
Gerald Edelman (red. ilmuwan
Amerika Serikat yang memenangkan Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau
Kedokteran) – andai bisa ditampilkan gambar panah-panahnya dan bahasa ilmiahnya
yang sangat butuh perjuangan otak ini menelaahnya :D
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Edrijani Azwaldi
dari Buku Making Globalization Work, Joseph Stiglitz, V.M.Norton 7 Company, Inc, New York, 2006
Jadi ya sudahlah, lanjut ke bukunya Pak Stiglitz yang berwarna biru syahdu ini dan membuka lembar daftar isinya, timbul perenungan dan menjadi sangat menarik ketika skeleton dari buku setebal disertasi ini adalah kok bisa pemikiran seperti ini muncul dari seseorang yang lahir di Amerika, sedangkan menjadi wajar apabila pemikiran dan kritik Pak Stiglitz ini muncul dari orang Indonesia katakanlah.
Stiglitz sangat memperhatikan aspek keadilan. Luar biasa
bukan?
Bagaimana mereformasi Globalisasi yang seperti cantik
diluar, namun busuk didalamnya.
Globalisasi yang bagi SEMUA orang, bukan hanya kaum
yang kuat ekonominya saja, dan semakin menggerus, menghisap kaum miskin lalu meninggalkannya
sebagai bangkai ditengah gurun pasir yang tandus demi keuntungan mereka saja.
Hal tersebut membuat globalisasi menjadi bermuka dua,
disatu sisi dia sangat cantik namun disatu sisi dia menjadi sangat jahat.
(seperti cerita bawang merah bawang putih kan...)
"Globalisasi tidak otomatis
menguntungkan orang miskin. Harus dipikirkan siapa yang paling terkena dampak
buruk dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Jawaban untuk ini
tergantung dari situasi setempat. Misalnya, tidak adil untuk petani beras
Indonesia bersaing dengan Washington (yang menyubsidi petani beras AS). Untuk
membuat arena bermain searas, bila Washington menyubsidi petaninya 50 persen,
Indonesia dapat memajaki beras dari AS 50 persen." (Stiglitz di
Kompas tahun 2007).
Kutipan kata-katanya di atas
menyiratkan inti penyebab persoalan ’ketidakadilan’
yang ingin dibelanya.
Apakah
ketidakadilan tersebut sifat intrinsik pasar atau justru karena ulah faktor
eksternal; pasarkah yang menimbulkan ketaksetaraan dalam level permainan?
Jawaban
intuitif dapat diperoleh manakala kita kembali kepada pemahaman kita terhadap
pasar, yang tampaknya oleh Stiglitz tergolong sebagai fundamentalisme.
Sementara
itu, persoalan ketidakadilan untuk petani beras Indonesia, solusi pragmatis
yang ditawarkan adalah semacam perban bagi luka pendarahan yang muncul sebagai akibat;
sementara penyebabnya masih mengelak darinya, atau ia elakkan.
Stiglitz juga mengatakan bahwa pasar bebas adalah konsekuensi dari
globalisasi.
Untuk kasus Indonesia dia juga
mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering merugikan sebagian besar
masyarakat lemah sehingga pemerintah seharusnya melakukan upaya nyata untuk
melindungi rakyatnya.
Stiglitz mengingatkan, Amerika
Serikat yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas (liberalisasi
pasar) ternyata tetap memberi proteksi terhadap sejumlah sektor pertanian dan
industrinya. Oleh sebab itu, sewajarnya negara-negara berkembang juga
melakukan hal yang sama.
Washington Consensus merupakan
"kesepakatan" atau resp yang dicapai IMF (International Monetary
Fund), Bank Dunia (World Bank), dan Departemen Keuangan AS (US Treasury
Department) pada akhir tahun 1990an tentang paket kebijakan ekonomi yang
dianggap tepat untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan pembangunan berbagai
negara berkembang. Ada bebrapa pilar utama konsensus ini stabilisasi makro,
liberalisasi perdagangan, investasi dan sektor keuangan, serta privatisasi.
Resep ini menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah,
deregulasi, serta liberalisasi dan privatisasi secara cepat. Penganut paham ini
mempercayai bahwa kebijakan ekonomi semestinya hanya bicara pada efisiensi,
yang hanya bisa dicapai dengan Washington Consencus dan mempercayai
trickel-down effect, bagi mereka pemerataan ekonomi bukanlah urusan kebijakan
ekonomi, itu adalah urusan politik. Dan dengan kesalah pahaman pengertian
mereka itu membuat dan mendorong globalisasi memakan banyak sekali korban.
Stiglitz menentang washington
consensus ini dikarekanan banyak negara-negara berkembang yang menerapkan resep
ini malah terpuruk dan terjerumus kedalam resesi ekonomi yang buruk, seperti
Rusia, Argentina, Venezuela, Indonesia dan beberapa negara di Asia Timur.
Dia percaya
bahwa pemerintah harus mengambil bagian penting dalam pembangunan serta
melindungi kelompok miskin, tidak bisa semuanya diserahkan begitu saja
kepadamekanisme pasar. Peranan yang sama juga harus diambil oleh
lembaga-lembaga publik internasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO.
Negara-negara
kaya dan berpenghasilan menengah harus membuka pasarnya kepada negara yang
lebih miskin, dan memberi perlakuan khusus kepada mereka sama dengan perlakuan
kepada negara kaya (tidak ada perbedaan-kesetaraan) mendorong demokratisasi
globalisasi sehingga lembaga publik internasional menjadi lebih transparan dan
demokratis. Dimana menjadi sangat ironis ketika mereka memaksa negara-negara miskin untuk menjadi demokratis dan
transparan sedangkan mereka TIDAK. (terkesan hanya sebagai alat politik dan
kepentingan saja).
Stiglitz mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi (perdagangan
bebas) dan stabilisasi itu penting. Akan tetapi, menurut stiglitz ketiga hal
tersebut seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan serta Konsensus
Washington melupakan bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap
dengan liberalisasi dan swastanisasi. Stiglitz juga mengatakan bahwa
liberalisasi (perdagangan bebas) dan privatisasi tidak serta merta harus
meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus
Washington.
Stiglitz dalam Making Globalization Work juga mengatakan bahwa konsensus ini kurang
memperhatikan keadilan (equity),
lapangan kerja, dan kompetisi, untuk menjalankan reformasi ekonomi atau bagaimana
privatisasi dilaksanakan. Stiglitz menekankan peran pemerintah sebagai kritik
atas Washington Consensus. Dalam prinsip umum, pemerintah harus berperan dalam
mengatasi persoalan lingkungan, campur tangan dalam riset, pendidikan,
kesehatan dasar, dan beberapa sektor lainnya. Stiglitz dan Pendidikan. Stiglitz
mengutarakan pendidikan adalah sebuah investasi besar yang berarti dan
berdampak jangka panjang. Dia juga mengatakan bahwa pendidikan merupakan modal
dasar yang penting bagi sebuah negara. Stiglitz dan Asimetri Information. Dalam
bidang ekonomi, asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu
transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak
lainnya.Stiglitz mengatakan tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang
sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain terkait
informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan
informasi ketimbang yang minim informasi. Pemikiran Stiglitz ini merupakan
sebuah masukan penting bagi ekonom dan khususnya bagi para pengambil kebijakan,
agar mengerti akan keberadaan informasi asimteri dalam proses ekonomi sehingga
peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor tersebut
sehingga kue pembangunan ekonomi bisa dinikmati semua kalangan atau kelompok.
Pemikiran Stiglitz
ini memang masih sangat jauh dari realisasi, resistensi dari kelompok status-quo pemenang globalisasi memang
sudah terlanjur sangat besar. Namun, apabila kita gagal mengelola globalisasi
secara MANUSIAWI dan BERSAHABAT maka globalisasi tak ubahnya hanya menjadi
bentuk KEANGKUHAN KAPITALISME.
Bagi Indonesia sendiri, disamping
sangat menyadari kita memang sangatlah jauh dari kata memadai untuk terjun
dalam pertarungan keras pada kontes Olimpiade Globalisasi, khususnya Ekonomi. Maka
kita perlu belajar untuk bisa menolak atau berkata TIDAK untuk kebijakan yang
akhirnya akan menjebloskan kita pada tahapan mendekati sakaratul maut alias
sentik-sentik dalam bernafas. Contoh Argentina yang mampu meningkatkan
pendapatannya 8 tahun berturut-turut karena tidak membayar cicilan hutang.
Hemat saya, kita memiliki kunci
masuknya arus tekanan globalisasi yang pertama adalah hukum yang baik, namun
hukum yang baik masih bisa dipatahkan oleh kepentingan, maka kita punya senjata
yang super oke yang sekarang malah terkadang kita terkesan mengabaikannya yaitu
CULTURE, kita harus memegang kebudayaan sebagai gembok globalisasi, contoh
negara seperti Jepang yang tetap berkarakter kuat, mempertahankan budayanya
ditengah derasnya terpaan air terjun Globalisasi. Karena menurut saya adalah
kunci, agar kita tidak terzolimi. Betul kata Prof. Adi deh kalau begini dalam
buku beliau Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Memang Prof. Adi, ruaar biasa..
Sun, 20/11/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar