19/11/16

Krisis Ekonomi adalah Salah Satu Buah Kapitalisme



Amerika Serikat adalah negara adidaya yang sangat mengedepankan kekuatan negaranya dalam segala aspek, baik hukum, ekonomi dan optimismenya yang sangat tinggi. Cocok atau tidak cocok, sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang ada dalam alam ideos kita masing-masing, perlu diakui dan diapresiasi atas semua keberhasilanya dalam mengorganisasi negaranya bila dipandang dari optik di mengelola satu organisasi tingkat kampung saja susahnya sudah sangat luar biasa. Apalagi ditengah pluralisme yang tentu sangat rawan konflik dan permasalahan. Secara pribadi, saya sangat kagum atas keberhasilan negara satu itu, luar biasa. Tanpa harus mengesampingkan sisi negatif yang lain, yaaa.. memang begitu, itulah kompetensi kadang memang ada banyak yang harus menjadi korban ataupun menjadi pihak yang terzolimi, tetapi sekali lagi itulah kompetensi pasti ada yang unggul baik keunggulan itu didapatkan dengan fair ataupun dengan cara yang kurang sehat (subjektif).

Namun tentu menjadi sangat kaget ketika ada ilmuwan Amerika yang “melawan” (sebagian) mimpi-mimpi indah sang negara adikuasa tersebut, Amerika.
Mengutip dari http://www.kompasiana.com, Joseph Eugene Stiglitz adalah seorang pakar ekonomi, pengarang buku dan peraih nobel bidang ekonomi tahun 2011. lahir di Gary, Indiana, Amerika Serikat pada tanggal 9 Februari 1943. Pria kelahiran Gary ini pernah menjabat sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton (1995-1997). Selain itu, Stiglitz juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Senior dan Ekonom Kepala di bank dunia pada tahun 1997 hingga 2000. Stiglitz menyelesaikan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat dan Cambridge University. 

Amerika Serikat akhirnya menelan pil pahit setelah sistem kapitalis yang diterapkannya mengoyak perekonomian bangsa. Atas kondisi ini, tentu membuat masyarakat AS menjadi korban atas kebijakan pemerintah (kapitalisme). Pada awal dekade 1990-an, setelah runtuhnya komunisme, paham kapitalis sangat disanjung sebagian besar masyarakat  AS, termasuk pengusaha yang merasa diuntungkan. Sistem kapitalis pun dianggap sebagai sistem yang paling tepat untuk diterapkan di muka bumi. Program-program pasar bebas dan deregulasi akhirnya diintensifkan oleh AS, baik di dalam maupun di luar negeri. Kala itu pertumbuhan ekonomi memang melonjak secara signifikan, namun tidak berlangsung lama. Beberapa tahun setelah sistem kapitalis dimaksimalkan, sejumlah negara yang mengaplikasikan sistem itu pun mengalami krisis keuangan, termasuk Indonesia. Akhirnya terkuak berbagai skandal korporasi yang berbau kecurangan. Tata perekonomian dunia yang direkayasa AS ini dinilai telah gagal.

Note: Padahal saat AS mengalami krisis ekonomi pada 1930-an, pemerintah masih bisa memberikan bantuan kepada publiknya lewat pajak yang diambil dari pengusaha-pengusaha kakap. Hal ini tentu menjadi sangat berbeda bila kita melihat langkah pemerintah saat ini, pemerintah justru memberikan utang kepada perusahaan yang diambang kebangkrutan. 

Joseph Stiglitz sempat menyebutkan, jika suatu negara ingin mencapai perekonomian yang sehat, maka jangan meniru apa yang dilakukan AS. Pada sistem kapitalis yang diterapkan AS, kata dia, masyarakat cederung menjadi korban persekongkolan pengusaha dan politisi.
Pakar ekonomi yang pernah menjadi Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS Bill Clinton ini menegaskan, kebijakan kapitalis ala AS tidak hanya berdampak pada negara itu sendiri, namun juga terhadap negara-negara berkembang. Kalau saja negara-negara tersebut tidak mengikuti gaya kapitalis AS, kata pria kelahiran 1943 itu, tentu perekonomian bangsanya bisa berjalan lebih sehat, adil dan berdaulat.

Krisis ekonomi adalah salah satu buah dari kapitalisme yang frekuensi kedatangannya makin cepat saat ini. Kata Stiglitz, dalam tiga puluh tahun terakhir dia mencatat lebih dari seratus kali krisis. Wow, angka yang menakjubkan bukan? 

Pasti satu di antaranya yang melanda Indonesia tahun 1998 dan 2008 silam.
Sudah lama Stiglitz bicara soal kebobrokan sistem ekonomi kapitalis. Dia pengritik sistem ekonomi kapitalisme yang menyatakan peran pemerintah harusnya ditiadakan dalam persaingan pasar bebas. Kata dia, itu hanya mungkin kalau ada tingkat informasi yang sama. Dia mengkhawatirkan adanya asymetric information yang mengakibatkan sesuatu menjadi tidak pada kondisi sebenarnya. Dari berbagai krisis itu, peraih nobel ekonomi tahun 2001 selalu menegaskan bahwa campur tangan pemerintah dalam ekonomi pasar diperlukan. Karena, kata dia, tanpa campur tangan mereka akan terjadi krisis yang makin parah di berbagai belahan dunia.

Bagi Stiglitz, Amerika adalah sebentuk negera “hanya untuk si kaya.” Walaupun kebanyakan pandangan Amerika tumbuh soal ketidakadilan, tetapi dalam impian mereka adalah memperkaya diri. Dalam mekanisme memperkaya diri tersebut sesungguhnya terdapat bentuk kapitalisme semu, yang hilang karena ekonomi baru “sosialisme dengan karakter Amerika” yang amat peduli pada hak-hak istimewa individu.
bagaimana perbandingannya dengan negara kita? 
Sebagai gambaran kontras, Amerika hanya menolong sedikit untuk jutaan penduduk yang kehilangan rumah. Para buruh yang kehilangan pekerjaan hanya menerima 39 pekan dana tunjangan, dan mereka harus bisa berusaha sendiri. Dan, ketika mereka kehilangan pekerjaan, kebanyakan dari mereka juga kehilangan asuransi kesehatan. Hari ini, Amerika tengah memperluas jaminan keamanan perusahaan melalui jalan yang tak pernah diduga, dari bank komersial ke bank investasi, lalu ke asuransi, dan sekarang ke perusahaan otomotif, tanpa berupaya melihat kekurangannya sedikit pun. Dus, bila bicara kebenaran, ini bukan sosialisme namun perluasan masa hidup kesejahteraan perusahaan besar (MNC). Singkatnya, kaum kaya dan berkuasa kini membutuhkan bantuan pemerintah, padahal banyak orang hanya mendapat sedikit bantuan dan perlindungan sosial dari pemerintah.

Joseph E. Stiglitz—ketika wawancara 27 April 2009—mengatakan bahwa, “krisis ekonomi Amerika tidak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa subsidi alam Amerika akan berperan destruktif.” Sebagai buktinya, kita akan mengalami tahun terburuk bagi ekonomi global sejak Perang Dunia ke II. Bank Dunia memperkirakan ekonomi hanya akan tumbuh 2%. Meski negara berkembang sudah melakukan semua hal dengan benar–-dan memiliki kebijakan peraturan dan kondisi makroekonomi lebih baik dari Amerika Serikat—tetapi mereka akan tetap merasakan dampaknya. Kebanyakan hasilnya adalah sebuah kejatuhan ekspor. China dan India sepertinya akan tetap tumbuh, namun akan tumbuh lebih lambat 11-12% dari rata-rata pertumbuhan tahunan. Singkatnya, krisis Amerika ini akan menyebabkan 200 juta penduduk dunia terjatuh ke jurang kemiskinan.

Berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar