Seperti judul Buku karya Prof. Adi
Sulistyono, SH, MH dan Muhammad Rustamaji yang kebetulan Prof. Adi adalah
pengampu mata kuliah Hukum dan Ekonomi kami..
How lucky i am, ketika pergi ke
sekretariat program dan ternyata buku ini tinggal satu-satunya yang tersisa.
Dalam pandangan penulis, hukum yang
progresif sesungguhmya memiliki watak humanis
untuk diabdikan kepada sosial yang berkeadilan.
Disini beliau selalu menekankan
kami dalam setiap penulisan hukum agar selalu tidak meninggalkan Pancasila
sebagai falsafah negara kita. Seperti memakai baju, kita cuma mengenakannya
sebagai baju tapi jiwa kita berkiblat ke asing (barat), jangan sampai kita lupa
kita memiliki budaya dan norma yang
harus tetap kita pegang teguh sebagai ruh kita. Rumusan ekonomi
kita telah tersusun cantik dalam Pasal 33 UUD 45, sebagai suatu sistem
yang memadukan kearifan lokal nilai kultur bangsa sehingga norma ini menjadi
sangat maju dan visioner.
Politik hukum di Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan hukum pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah sangat mendesak untuk
direalisir dengan program yang nyata oleh Pemerintah. Namun yang patut mendapat
perhatian, jangan sampai terjebak lagi dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi tanpa
memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana yang
dilakukan pada era Orde Baru.
Dimana Indonesia sempat terjebak dalam memposisikan hukum dalam konteks
sebagai alat pembangunan semata, yang memang pada orde tersebut orientasi
kebijakan ekonominya adalah pada perekonomian yang tinggi sebagai alat
pemancing devisa negara yang bercengkerama erat dengan tatanan politik,
sehingga hukum menjadi terperangkap menjadi media untuk memberi justifikasi
kebijakan negara tanpa koreksi, sehingga membuat terjebak dalam lingkaran
kapitalismesemu yang menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan
saja.
Hukum ekonomi sebagai panglima, menurut buku ini menuntut mekanisme integral yang runtut, menjadi obor bagi kebijakan ekonomi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta merta menjadi pengayom dan memayungi isu pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan pemilahan sektor ekonomi kerakyatan.
Hukum ekonomi sebagai panglima, menurut buku ini menuntut mekanisme integral yang runtut, menjadi obor bagi kebijakan ekonomi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta merta menjadi pengayom dan memayungi isu pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan pemilahan sektor ekonomi kerakyatan.
Pada era globalisasi ini, Indonesia tidak perlu mengunyah mentah-mentah
pengaruh asing yang dicangkokkan pada kebijakan negara, nasionalisme harus dipegang
teguh oleh lembaga-lembaga yang merupakan aktor utama perekonstruksi kebijakan
di negara.
Mengutip dari http://soddis.blogspot.co.id bahwa Cina
sebagai macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di
dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang
berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan
menjawab semua masalah ekonomi yang ada.
Since the beginning of the 1980s, rapid development of
China’s system of vesting legislative power is inevitable. An important legal
mechanism for a modern country to strengthen administration, this system of
vesting legislative power also promotes development of the state, a reflection
of the positive consequences of the re-establishment of China’s legal system
and the restructuring of its economy.
Pemerintah Orde Baru, menyelenggarakan pembangunan dengan mengultuskan
pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya trickle down effect. Secara teoritis jika orang kaya meninvestasikan uangnya
di sektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi
yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat
persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga akan
terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut.
Dengan
penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat yang telah
‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada masyarakat miskin,
sehingga terjadi pemerataan ekonomi.
Pada saat itu, program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari
dunia internasional, diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya
memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu Negara
Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban
Asia’.
Disamping itu, lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji keberhasilan pembangunan ekonomi
Indonesia.
Namun demikian, ternyata
pertumbuhan ekonomi tinggi diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto tersebut
merupakan window dressing yang digunakan untuk mengelabui mata dunia dan
masyarakat Indonesia. Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang
pertumbuhan tinggi tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan dunia perbankan yang
pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa mendapatkan keistimewaan
dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan banker dalam arti yang
sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking (pemburu rente) dan para penjarah
kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia. Akibatnya ‘tetesan’ rezeki ke
masyarakat miskin yang kemudian akan berbuah kemakmuran dikonsepkan para
arsitektur ekonomi ternyata tidak pernah terjadi. Puncak dari semua permsalahan
ini adalah ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan
betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut
untuk dilakukannya reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada
krisis lainnya seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di
Inonesia, sebagaimana yang digambarkan oleh Harold Crouch:
Economic disruption brought great suffering to much of
the population and contributed to regular outbreaks of social conflict, including
several ethnic and religious clashes, in various part of the country.
Long-standing separatist demands in aceh and irian Jaya gained increasing
popular support and East Timor won its independence following a UN supervised
referendum.
Konsekuensi demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan diantisipasi
ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya terminologi trickle down effect.
Di Amerika, pada
saat kepemimpinan Ronald Reagan,
kebijakan ekonomi trickle down effect
ini dikenal dengan Reaganomic atau supply side economics. Inti dari
kebijakan ini adalah pengurangan pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya
dapat diinvestasikan pada bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.
Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk
mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan
pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan
tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah secara sadar
dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan dibawah kendali
Negara-negara maju menjadi system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan
(ukhuwah) atau kerakyatan,
sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. System
hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’
atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya
juga merupakan system hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of
moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian
diintegrasikan secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.
Maka diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada penegakan hukum yang
lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan, tidak terpaku pada penegakan
hukum yang kaku hanya pada undang-undang saja, tanpa memandang berani
menafsirkan hukum demi terwujudnya keadilan. Indonesia sebagai Negara yang
menganut positivism hukum, harus berani keluar dengan memberikan
penafsiran-penafsiran yang luas demi terwujudnya keadilan.
Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A number of scholar believe that interpretation is the path to saving
the law’s objectivity. Pembangunan hukum yang bersifat ‘revolusioner’
pernah juga dilakukan oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen
penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk mengubah Jepang Feodal menjadi
Negara modern, seperti penghapusan wilayah-wilayah feodal ke dalam provinsi,
sistem militer wajib, sistem pajak terpusat, serta penghapusan hak-hak feodal
dan kelas prajurit. Dengan pendekatan ‘revolusioner’
diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030 dilandasi dan dituntun oleh suatu
sistem hukum ekonomi yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
serta norma-norma yang hidup ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).
Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga memerhatikan konsep
pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan
tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu
undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi memerhatikan aspek
yang lain. Aspek-aspek yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi yang
luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai berikut:
(1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture. Ketiga aspek ini diambil dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering dirujuk
dalam berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia.
Dengan
demikian, hukum dapat berkembang sesuai dengan pola perkembangan ekonomi dan
hukum dapat menjawab semua permasalahan ekonomi yang ada.
Berkaitan dengan pengaruh sistem
hukum dalam pembuatan produk perundang-undangan dibidang ekonomi, pada saat
sekarang ini sistem hukum di Indonesia setidaknya sedang mengalami dua fenomena
kolaboratif diametral yang acapkali tidak menunjukkan warna yang seirama.
Fenomena pertama adalah disatu sisi ‘tarikan dari atas dan kebawah terhadap
sistem hukum Indonesia’ oleh globalisasi hukum, dan di sisi adalah otonomi
daerah. Kedua tarikan ini tentunya memberikan pengaruh terhadap bidang hukum
ekonomi, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Adapun fenomena
kedua adalah ‘terjadinya disharmonisasi akibat dualisme sistem hukum yang
berlaku di Indonesia’, yaitu antara sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem
hukum Anglo Saxon dan Common Law yang mewarnai hukum ekonomi terkini.
Prof Adi menerangkan bahwa harus ada Tarikan dari Atas dan ke
Bawah dlm Sistem Hukum Indonesia
Tarikan dari Atas dan ke Bawah Terhadap Sistem Hukum di Indonesia.
Fenomena
tarikan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut. Walaupun
saat ini common law mendominasi tradisi hukum di Indonesia, namun setelah
Undang-Undang otonomi daerah diberlakukan sejak tahun 2001, sistem hukum adat
dan sistem hukum Islam ternyata semakin melihatkan identitasnya sebagai
nilai-nilai yang patut diperhitungkan kebangkitannya didaerah-daerah tertentu.
Diera otonomi, elit birokrasi sudah relative lebih memaham substansi Hukum
Islam dan Hukum Adat guna pencapaian pemenuhan kebutuhan dan visi daerahnya.
Hal ini tentunya tidak lain karena kedekatan kultural kedua sistem hukum dimaksud
yang dijumpai dan telah lama ada di keseharian kehidupan masyarakat
dimasing-masing daerah.
Masih hidupanya hukum adat ditengah-tengah masyarakat
karena inilah warna hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, lebih
mencerminkan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih banyak
masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan setiap
permasalahan hukum, hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Van Volenhoven:
Indonesia
Adat Law, ignorance of legal procedures on the hand, and the cultural
inclination to reach an out of court settlement on the other, contribute
signicantly to the absence of a litigation culture. Van Volenhoven points out
that there was a countless number of disputes, but they were not brought to
court. People avoided the court.…..Leaving the rural areas alienated from any
litigation culture.
Disamping itu, saat ini beragam organisasi masyarakat (ormas) maupun
lembaga swadaya masyarakat (NGO) lebih banyak tersebar diseluruh pelosok daerah
sehingga kedua sistem hukum tersebut berpotensi tersosialisasi secara cepat dan
luas di tengah-tengah masyarakat.
Munculnya era desentralisasi menjadi faktor
pendorong pula dalam merealisasikan keinginan dari bawah (daerah).
Daerah-daerah yang sudah siap dengan sistem desentralisasi dapat mewujudkan
hukum Islam maupun Hukum Adat dengan dua cara. Pertama, melalui otonomi khusus,
yang tentunya dapat ditempuh setelah mempunyai sandaran Ketetapan MPR (TAP
MPR).
Kedua, melalui Peraturan Daerah (Perda), yang dalam hal ini Pemerintah
Daerah dapat membuat Perda yang substansinya memperkokoh penegakan hukum
terhadap ketentuan Undang-Undang yang sudah berlaku. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tarikan dari bawah terhadap sistem hukum di Indonesia terwujud
dengan munculnya trend ‘mikro nasionalisme sistem hukum’ di beberapa daerah di
Indonesia.
Mikronasionalisme sistem hukum yang dimaksud adalah dimulainya orde hukum
baru yang ditandai dengan bermunculannya peraturan-peraturan lokal beserta
derivasinya sebagai akibat dibukanya keran otonomi daerah. Dewasa ini sudah
diakui denga luas, betapa peraturab yang lebih rendah dari Undang-Undang itu
mampu membentuk ‘orde hukum’ tersendiri.
Guna menumbuhkan sinergi antara orde
Undang-Undang dan orde peraturan lokal yang notabene merupakan bentuk tarikan
kebawah terhadap sistem hukum Indonesia, diperlukan upaya-upaya pengawasan
hukum. Namun ketika keterbatasan sistem pengawasan hukum formal yang dijalankan
Mahkamah Agung muncul sebuah kendala, maka pengawasan hukum informal agaknya
menjadi penting untuk dilakukan. Inilah tugas para akademisi, yaitu para
doctor, professor dan cendikiawan diberbagai kampus di tanah air untuk
menelurkan opinion doctorum. Sebuah upaya pengawasan informal yang juga dapat
dilakukan secara sinergis dengan keterlibatan badan dan lembaga lain, seperti
DPR, Lembaga Konsumen, Pers, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya.
Adapun tarikan
dari atas pada sistem hukum di Indonesia berupa pengaruh adanya
globalisasi hukum terjadi melalui standarisasi hukum, antara lain, melalui perjanjian-perjanjian
multilateral. Dalam hal ini hukum berusaha untuk melintasi atau membongkar
hambatan ruang dan waktu, dengan menisbikan perbedaan sistem hukum. Globalisasi
hukum merupakan gelombang kedua yang membawa kepentingan ekonomi global yang dikembangkan
melalui prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau
perdagangan bebas (free trade) lainnya.
Oleh karenanya, ketika globalisasi
hukum ini melegitimasi arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dalam
suatu kesepakatan keseragaman hukum maka gelombang globalisasi ekonomi dan
globalisasi hukum ini sulit untuk ditolak dan harus diikuti.
Tarikan magnet globalisasi hukum dan globalisasi ekonomi ini saling terkait
dan tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan ketika globalisasi hukum
mengikuti globalisasi ekonomi yang notabene merupakan muatan yang dikandungnya,
maka substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian tersebut
menyebar melewati batas-batas Negara (cross-border).
Kondisi demikian sekaligus
mengubah pandangan kaum positivis kearah pandangan Lawrence Meir Freidman, yang
menyatakan bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum
bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh dari luar.
Pada tahap ini dapat
dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan
akibat yang sangat besar pada bidang hukum.
Negara-negara didunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan
perdagangan bebas itu, baik Negara maju, maupun Negara sedang berkembang,
bahkan Negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan
ekonominya.
Sebagimana dijelaskan sebelumnya, disepakatinya GATT-PU telah
membawa konsekwensi Negara-negara anggota kehilangan kedaulatan untuk membuat
perundang-undangan dalam bidang ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan
perdagangan, penanaman modal (investasi), jasa dan bidang hak kekayaan
intelektual (HKI) dengan semua ketentuan yang ada pada GATT-PU. Kondisi ini
jelas akan berpengaruh pada proses bekerjanya sistem hukum dalam masyarakat.
Perancang Undang-Undang, baik ditingkat pusat maupun daerah, harus mampu
mengakomodasi ‘tarikan kebawah dan ke atas’ pada sistem hukum yang sekarang
terjadi di Indonesia tersebut, yang kemudian secara cerdas diramu dengan isi
Pasal 33 UUD 1945.
Jika pembuat Undang-Undang berhasil melakukan langkah
tersebut, produk peraturan dibidang ekonomi, tidak saja mampu mengantisipasi
tren perdagangan internasional dan mengakomodasi kepentingan daerah, tetapi
juga mampu merealisir amanat konstitusi agar
pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan mengabdi pada
kepentingan asing maupun konglomerat.
Selama ini banyak ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi
hanya sekedar mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan hukum
dengan diselimuti kata ‘mengingat’, tanpa secara konsisten menindaklanjutinya
dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak jarang kita melihat ketentuan pasal-pasal
dalam undang-undang tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pasal
33 UUD 1945, khususnya Ayat (1), (2) dan (3). Ha demikian menunjukkan bahwa
produk perundang-undangan tidak lebih dari tumpukan peraturan yang sarat
kepentingan dan telah kehilangan rohnya, yaitu nilai luhur yang dikandungnya.
Oleh sebab itu, sudah pada tempatnya jika didalam peraturan hukum dan
perundangan terdapat bagian yang mampu mengalirkan nilai-nilai luhur tersebut.
Bagian itu adalah asas hukum yang akan memberikan orientasi yang jelas, hendak
kemana masyarakat sebagai adresat akan dibawa oleh hukum yang mengaturnya.
Urgensi pendayagunaan asas hukum ini disampaikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai ‘nutrisi’ yang akan menyuplai kebutuhan
hukum, sistem hukum dan sistem perundang-undangan. Dikatakan bahwa, sistem
hukum itu tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris, melainkan juga
memiliki ‘’semangat‘’.
Undang-Undang Dasar kita dengan tegas
mengatakan, bahwa Negara ini berdasarkan “kekeluargaan”. Maka, kekeluargaan ini
pulalah yang selanjutnya akan menjadi pegangan, landasan, orientasi, serta
prinsip besar yang dipakai dalam membangun sistem hukum kita lebih lanjut.
Oreintasi dan semangat kekeluargaan tersebut member nutrisi bagi sistem hukum.
Memang hukum juga membutuhkan nutrisi. Seperti vitamin bagi manusia, demikian
pula makna nilai-nilai yang terkandung dalam asas hukum tersebut. Asas hukum
memberikan nutrisi kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya
merupakan bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan yang sarat dengan
nilai dan mempunyai filsafat, serta semangatnya sendiri.
Menurut Profesor M.P. Jain, LL.M.,
Law has become the instrument of social
change. Law is needed for taking any action affecting any’s body’s person,
property or any right. The demand for law is practically insatiable today. Untuk itu diperlukan pranata-pranata hukum yang memiliki
nilai-nilai keadilan dan keseimbangan sehingga kegiatan perekonomian bisa
berjalan dan berkembang dengan baik.
Pada era reformasi sebenarnya pemerintah bersama badan legislative telah
banyak menghasilkan perundang-undangan dibidang ekonomi. Namun demikian
keberadaan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mendukung bidang
ekonomi ternyata belum mampu berperan optimal untuk menciptakan suasana
kondusif bagi investor, meningkatkan kehadiran investasi asing, dan menopang
perumbuhan ekonomi dalam rangka mengurangi angka penganguran, maupun menekan
angka kemiskinan. Mencermati hal ini, pandangnan Satjipto Raharjo mengenai asas
hukum patut mendapatkan perhatian.
Konsep asas hukum sebagai nutrisi sistem hukum dan Undang-Undang sebagai
produk hukum yang dihasilkannya, pada tahap selanjutnya juga berkaitan erat
dengan pola dan kualitas penagakan hukumnya.
Menurut Mochtar Kusuma Atmadja,
yang menjadi masalah utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan oleh investor
asing adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang didalamnya ditemukan banyak hal yang masih tidak
jelas dan saling bertentangan, maupun mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
Menurut Erman Rajagukguk,
ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga) factor
yang menjadi penyebab tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama,
hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang
tindihnya materi yang diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan
ketiga, penyelesaian sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan.
Oleh karena itu, menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin cepat,
kompleks dan unpredictable, substansi hukum ekonomi di Indonesia disamping
harus mampu menjamin adanya kepastian hkum khususnya adanya sinkronisasi
peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai tingkat peraturan
daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang menghambat investasi, melakukan
keberpihakan kepada rakyat miskin, reformasi peraturan perpajakan, juga harus
mampu melakukan refleksivitas dengan langkah manageable, available, workable,
and interwoven easily with all aspect of social life, jika hal ini tidak
dilakukan maka hukum ekonomi semakin mengalami alinasi di masyarakat, seperti yang
tengah terjadi sekarang ini.
Penegakan Etika Bisnis di Lingkungan Pengusaha.
Salah satu prasyarat dari pencapaian Visi Indonesia 2030 yang dilupakan
para penyususnnya adalah adanya penegakan etika bisnis yang konsisten. Hal ini
dirasakan penting karena penyebab terpuruknya ekonomi Indonesia yang dalam
menjalankan bisnisnya tidak mengabdi pada kepentingan nasional, tetapi justru
menjarah harta rakyat untuk dibawa ke luar negeri. Itu semua disebabkan karena
sejak pertama kali menjalankan bisnisnya, para konglomerat tersebut tidak
melandasi kegiatan ekonomi dan bisnisnya dengan etika bisnis yang kuat.
Di Indonesia, khususnya di lingkungan pelaku ekonomi, keberadaan etika
bisnis tampaknya masih merupakan suatu konsep. Naskah kode etik pengusaha
Indonesia sejak tahun 1989 telah disetujui oleh rapim Kadin (Kamar Dagang dan
Industri) untuk disosialisasikan dan ditegakkan di lingkungan pengusaha. Namun
dalam tataran praktis, masyarakat dengan mata telanjang telah melihat kekotoran
sepak terjang pengusaha-pengusaha Indonesia dalam melakukan aktivitas
bisnisnya.
Menurut I.S. Susanto, dimensi etik dikalangan bisnis sangat tipis
bahkan terabaikan. Dalam suatu Negara yang masyarakatnya beragama, mempunyai
idiologi Pancasila, dan masih menjunjung nilai moral, kondisi tersebut tampak
sangat memprihatinkan.
Konsep etika bisnis, yang didalamnya mengandung prinsip otonomi, prinsip
kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip kejujuran, prinsip tidak
berbuat jahat, prinsip keadilan dan prinsip hormat kepada diri sendiri, jelas
merupakan suatu konsep yang sifatnya universal bagi manusia yang beradab, dan
sudah seharusnya konsep tersebut dijadikan pemandu didalam pergaulan bisnis
sehari-hari.
Peran moral dalam etika bisnis tersebut dalam praksis tidak hanya sekedar
penerapan etika umum pada kegiatan bisnis, tetapi bisa berkembang hingga
ketaraf metaetika. Sebab bisnis modern saat ini, merupakan realiatas yang
sangat kompleks. Banyak faktor turut memengaruhi dan menentukan keberhasilan
kegiatan bisnis, antara lain faktor organisatoris manajerial, ilmiah
teknologis, dan politik sosial-kultural. Kompleksitas bisnis sebagai kegiatan
sosial tersebut, merefleksikan hubungan bisnis dengan kompleksitas masyarakat
modern miliu terkini. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara
terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua faktor yang membentuk
kompleksitas bisnis modern ini memerlukan arahan dan kode etik agar
mengantarkan kegiatan bisnis yang sehat dan bermoral, memapar motivasi, kemauan
dan tujuan suatu tindakan dalam kegiatan bisnis membongkar latar belakang
tindakan-tindakan bisnis, prinsip-prinsip dalam bisnis,hingga menyelami
kesusilaan dan pernyataan etika didalam kegiatan bisnis.
Hal ini sependapat dengan yang dikatakan oleh Kofi A. Annan, bahwasanya ekonomi dan kewajiban social merupakan
dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dalam menjalankan kegiatan
perekonomian jangan hanya mencari keuntungan semata, tetapi penerapan etika
bisnis yang bernilai moral dan sosial harus diterapkan.
Economic rights
and social responsibilities are two sides of the same coin. That is why a year
ago in Davos I proposed a global compact between business and theUnited
Nations. I asked them to act, within their sphere of influence, according to
internationally accepted standards in the areas of human rights, labour
standards, and the environment and I offered the services of the United Nations
system to help them do so.
Dalam kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai permainan
judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang dan meraih keuntungan.
Oleh karena itu, dalam persaingan bisnis yang semakin ketat dan tajam,
orang-orang cenderung mengejar laba maksimal dalam jangka pendek. Dengan
perilaku berorientasi pada laba sebesar-besarnya, pelaku-pelaku ekonomi bisa
kejam dan menyingkirkan etika. Mereka berpendapat bahwa mematuhi aturan moral
akan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan untuk mengejar laba.
Dengan menawarkan konsep hukum ekonomi kerakyatan atau kekeluargaan, yang
dalam hal ini terkandung etika bisnis, mitos seperti tersebut diatas harus
diubah secara mendasar. Dalam konsep ini kegiatan bisnis harus dianggap sebagai
kegiatan manusiawi yang dapat dinilai dari sudut pandang moral. Tujuan jangka
panjang dari konsep ini diharapkan didalam kehidupan masyarakat tertanam suatu
pandangan atau menggugah kesadaran pelaku-pelaku ekonomi agar tercipta suatu
mitos bahwa pelaku ekonomi yang tidak mengindahkan moral justru akan berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan di lingkungan masyarakat.
Para pelaku ekonomi harus sadar dan mengerti bahwa sasaran-sasaran utama
badan usaha pada dasarnya tidak hanya sekedar profitability dan growth, tapi
juga image. Pengembangan citra atau image building adalah salah satu sasaran
yang tidak terlepas dari tujuan jangka panjang setiap institusi bisnis. Citra
yang positif, baik di kalangan internal maupun pada masyarakat umumnya
merupakan ‘aset’ atau kekayaan yang tidak bernilai yang senantiasa justru
menjadi pusat perhatian utama dari pimpinan institusi-institusi dunia
usaha.
Disamping itu, para pelaku usaha ekonomi harus tahu bahwa berdasarkan riset
telah terbukti perusahaan-perusahaan besar yang ratusan tahun tetap survive
sampai sekrang adalah perusahaan-perusahaan yang patuh pada etika bisnis.
Untuk mendukung penegakan etika bisnis, sebenarnya Majelis Permusyaearatan
Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa, didalamnya juga mengatur tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di
dalamnya juga mengatur tentang etika ekonomi dan bisnis. Hal ini dimaksudkan
agar prinsip dan perilaku ekonomi baik perseorangan, isntitusi maupun pengambil
keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi
yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya
etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya
Susana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil
melalui kebijakan secara berkesinambungan.
Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan mengenai
etika bisnis juga sangat diperlukan. Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan
sengketa bisnis harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan
ekonomi, upaya penyelesaian-penyelesaian sengketa bisnis yang lebih dinamis dan
bisa menjawab semua permasalahan yang ada tanpa terpaku secara monoton pada
pengadilan.
Hal ini dijelaskan oleh Lawrence Meir Freidmen,
Ultimately,
if the Court cannot solve the problem and if the problem does not vanish of its
own accord (through a radical change in popular tastes or levels of
toleration), some extrajudicial solution will have be reached.
Dengan pedoman etika ini diharapkan mampu mencegah terjadinya
praktik-praktik monopoli, oligopoly, kebijakan ekonomi yang mengarah pada
perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negative
terhadap efisiensi, persaingan sehat dan keadilan, serta menghindarkan perilaku
menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.
Mon, 21 /11/2016
Adi Sulistyono
, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar