20/11/16

Hukum Ekonomi Sebagai Panglima



Seperti judul Buku karya Prof. Adi Sulistyono, SH, MH dan Muhammad Rustamaji yang kebetulan Prof. Adi adalah pengampu mata kuliah Hukum dan Ekonomi kami..
How lucky i am, ketika pergi ke sekretariat program dan ternyata buku ini tinggal satu-satunya yang tersisa.
Dalam pandangan penulis, hukum yang progresif sesungguhmya memiliki watak humanis untuk diabdikan kepada sosial yang berkeadilan. 
Disini beliau selalu menekankan kami dalam setiap penulisan hukum agar selalu tidak meninggalkan Pancasila sebagai falsafah negara kita. Seperti memakai baju, kita cuma mengenakannya sebagai baju tapi jiwa kita berkiblat ke asing (barat), jangan sampai kita lupa kita memiliki budaya dan norma yang  harus tetap kita pegang teguh sebagai ruh kita. Rumusan ekonomi  kita telah tersusun cantik dalam Pasal 33 UUD 45, sebagai suatu sistem yang memadukan kearifan lokal nilai kultur bangsa sehingga norma ini menjadi sangat maju dan visioner.

Politik hukum di Indonesia yang telah mengarahkan pembangunan hukum pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tampaknya sudah sangat mendesak untuk direalisir dengan program yang nyata oleh Pemerintah. Namun yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak lagi dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi tanpa memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat miskin, sebagaimana yang dilakukan pada era Orde Baru.
Dimana Indonesia sempat terjebak dalam memposisikan hukum dalam konteks sebagai alat pembangunan semata, yang memang pada orde tersebut orientasi kebijakan ekonominya adalah pada perekonomian yang tinggi sebagai alat pemancing devisa negara yang bercengkerama erat dengan tatanan politik, sehingga hukum menjadi terperangkap menjadi media untuk memberi justifikasi kebijakan negara tanpa koreksi, sehingga membuat terjebak dalam lingkaran kapitalismesemu yang menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan saja.
Hukum ekonomi sebagai panglima, menurut buku ini menuntut mekanisme integral yang runtut, menjadi obor bagi kebijakan ekonomi sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta merta menjadi pengayom dan memayungi isu pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan pemilahan sektor ekonomi kerakyatan.
Pada era globalisasi ini, Indonesia tidak perlu mengunyah mentah-mentah pengaruh asing yang dicangkokkan pada kebijakan negara, nasionalisme harus dipegang teguh oleh lembaga-lembaga yang merupakan aktor utama perekonstruksi kebijakan di negara.

Mengutip dari http://soddis.blogspot.co.id bahwa Cina sebagai macan asia yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah ekonomi yang ada. 
Since the beginning of the 1980s, rapid development of China’s system of vesting legislative power is inevitable. An important legal mechanism for a modern country to strengthen administration, this system of vesting legislative power also promotes development of the state, a reflection of the positive consequences of the re-establishment of China’s legal system and the restructuring of its economy.

Pemerintah Orde Baru, menyelenggarakan pembangunan dengan mengultuskan pertumbuhan eknomi melalui pendekatan ekonomi gaya trickle down effect. Secara teoritis jika orang kaya meninvestasikan uangnya di sektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan ada kegiatan ekonomi yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih kecil, dan membuat persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada akhirnya harga akan terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat tersebut.  
Dengan penggunaan strategi tersebut, diharapkan konglomerat-konglomerat yang telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’ rezekinya pada masyarakat miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi.

Pada saat itu, program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia internasional, diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu Negara Asia yang mendapat julukan ‘keajaiban Asia’
Disamping itu, lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. 
Namun demikian, ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto tersebut merupakan window dressing yang digunakan untuk mengelabui mata dunia dan masyarakat Indonesia. Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang pertumbuhan tinggi tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan konglomerat dan dunia perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan senantiasa mendapatkan keistimewaan dari pemerintah ternyata bukan entrepreneur dan banker dalam arti yang sebenarnya, tetapi mereka hanya rent seeking (pemburu rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia. Akibatnya ‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan berbuah kemakmuran dikonsepkan para arsitektur ekonomi ternyata tidak pernah terjadi. Puncak dari semua permsalahan ini adalah ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk dilakukannya reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis lainnya seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di Inonesia, sebagaimana yang digambarkan oleh Harold Crouch:
Economic disruption brought great suffering to much of the population and contributed to regular outbreaks of social conflict, including several ethnic and religious clashes, in various part of the country. Long-standing separatist demands in aceh and irian Jaya gained increasing popular support and East Timor won its independence following a UN supervised referendum.

Konsekuensi demikian seharusnya sudah dapat diketahui dan diantisipasi ketika optik sejarah diarahkan pada kali pertama munculnya terminologi trickle down effect
Di Amerika, pada saat kepemimpinan Ronald Reagan, kebijakan ekonomi trickle down effect ini dikenal dengan Reaganomic atau supply side economics. Inti dari kebijakan ini adalah pengurangan pajak bagi orang-orang kaya, agar uangnya dapat diinvestasikan pada bisnis-bisnis yang mempunyai dampak luas.

Untuk mencapai pembangunan hukum ekonomi yang berkualitas ‘reformasi’ untuk mendukung Visi Indonesia 2030 sekaligus juga konsisten dengan tujuan pembangunan hukum sebagaimana tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, pembangunan hukum dilakukan secara berkelanjutan, dengan tetap mengacu pada fundamental hukum.
Pembangunan hukum yang bersifat revolusioner, yaitu mengubah secara sadar dan mendasar system hukum ekonomi yang selama ini berkualitas ‘liberal’ dan dibawah kendali Negara-negara maju menjadi system hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan (ukhuwah) atau kerakyatan, sebagaimana tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. System hukum ekonomi yang berkualitas ‘kekeluargaan’ atau ‘kerakyatan’, ini sebenarnya juga merupakan system hukum yang tidak sekedar mengandalkan pada rule of law tapi lebih menaruh perhatian pada rule of moral atau rule of justice. Sistem hukum tersebut kemudian diintegrasikan secara timbal balik dengan system ekonomi Pancasila.

Maka diperlukan sebuah penafsiran hukum yang mengarah pada penegakan hukum yang lebih menjunjung nilai moral dan nilai keadilan, tidak terpaku pada penegakan hukum yang kaku hanya pada undang-undang saja, tanpa memandang berani menafsirkan hukum demi terwujudnya keadilan. Indonesia sebagai Negara yang menganut positivism hukum, harus berani keluar dengan memberikan penafsiran-penafsiran yang luas demi terwujudnya keadilan.

Menurut Richard A. Posner mengatakan bahwa A number of scholar believe that interpretation is the path to saving the law’s objectivity. Pembangunan hukum yang bersifat ‘revolusioner’ pernah juga dilakukan oleh Jepang pada tahun 1868, pada saat itu Kaisar Meiji mengeluarkan dokumen penting yang memuat kebijaksanaan dasar untuk mengubah Jepang Feodal menjadi Negara modern, seperti penghapusan wilayah-wilayah feodal ke dalam provinsi, sistem militer wajib, sistem pajak terpusat, serta penghapusan hak-hak feodal dan kelas prajurit. Dengan pendekatan ‘revolusioner’ diharapkan pencapaian Visi Indonesia 2030 dilandasi dan dituntun oleh suatu sistem hukum ekonomi yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta norma-norma yang hidup ditengah masyarakat (hukum adat dan hukum Islam).

Strategi pembangunan hukum ekonomi Indonesia perlu juga memerhatikan konsep pembangunan hukum ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic law development), yang melakukan pembangunan tidak lagi hanya sekedar melakukan ‘bongkar pasang’ pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan Undang-Undang baru saja, tetapi memerhatikan aspek yang lain. Aspek-aspek yang dimaksud disini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat disarikan menjadi tiga anasir sebagai berikut: (1) structur, (2) substance, dan (3) legal culture. Ketiga aspek ini diambil dari pendapat Lawrence M. Freidman, yang mana pendapat ini sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan kajian sistem hukum di Indonesia. 
Dengan demikian, hukum dapat berkembang sesuai dengan pola perkembangan ekonomi dan hukum dapat menjawab semua permasalahan ekonomi yang ada. 

Berkaitan dengan pengaruh sistem hukum dalam pembuatan produk perundang-undangan dibidang ekonomi, pada saat sekarang ini sistem hukum di Indonesia setidaknya sedang mengalami dua fenomena kolaboratif diametral yang acapkali tidak menunjukkan warna yang seirama. Fenomena pertama adalah disatu sisi ‘tarikan dari atas dan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia’ oleh globalisasi hukum, dan di sisi adalah otonomi daerah. Kedua tarikan ini tentunya memberikan pengaruh terhadap bidang hukum ekonomi, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Adapun fenomena kedua adalah ‘terjadinya disharmonisasi akibat dualisme sistem hukum yang berlaku di Indonesia’, yaitu antara sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon dan Common Law yang mewarnai hukum ekonomi terkini. 

Prof Adi menerangkan bahwa harus ada Tarikan dari Atas dan ke Bawah dlm Sistem Hukum Indonesia 

Tarikan dari Atas dan ke Bawah Terhadap Sistem Hukum di Indonesia. 
Fenomena tarikan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut. Walaupun saat ini common law mendominasi tradisi hukum di Indonesia, namun setelah Undang-Undang otonomi daerah diberlakukan sejak tahun 2001, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam ternyata semakin melihatkan identitasnya sebagai nilai-nilai yang patut diperhitungkan kebangkitannya didaerah-daerah tertentu. 
Diera otonomi, elit birokrasi sudah relative lebih memaham substansi Hukum Islam dan Hukum Adat guna pencapaian pemenuhan kebutuhan dan visi daerahnya. Hal ini tentunya tidak lain karena kedekatan kultural kedua sistem hukum dimaksud yang dijumpai dan telah lama ada di keseharian kehidupan masyarakat dimasing-masing daerah.

Masih hidupanya hukum adat ditengah-tengah masyarakat karena inilah warna hukum masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, lebih mencerminkan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang masih menggunanakan hukum adat menyelesaikan setiap permasalahan hukum, hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Van Volenhoven:
 Indonesia Adat Law, ignorance of legal procedures on the hand, and the cultural inclination to reach an out of court settlement on the other, contribute signicantly to the absence of a litigation culture. Van Volenhoven points out that there was a countless number of disputes, but they were not brought to court. People avoided the court.…..Leaving the rural areas alienated from any litigation culture.

Disamping itu, saat ini beragam organisasi masyarakat (ormas) maupun lembaga swadaya masyarakat (NGO) lebih banyak tersebar diseluruh pelosok daerah sehingga kedua sistem hukum tersebut berpotensi tersosialisasi secara cepat dan luas di tengah-tengah masyarakat. 
Munculnya era desentralisasi menjadi faktor pendorong pula dalam merealisasikan keinginan dari bawah (daerah). 
Daerah-daerah yang sudah siap dengan sistem desentralisasi dapat mewujudkan hukum Islam maupun Hukum Adat dengan dua cara. Pertama, melalui otonomi khusus, yang tentunya dapat ditempuh setelah mempunyai sandaran Ketetapan MPR (TAP MPR). 
Kedua, melalui Peraturan Daerah (Perda), yang dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat membuat Perda yang substansinya memperkokoh penegakan hukum terhadap ketentuan Undang-Undang yang sudah berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarikan dari bawah terhadap sistem hukum di Indonesia terwujud dengan munculnya trend ‘mikro nasionalisme sistem hukum’ di beberapa daerah di Indonesia.

Mikronasionalisme sistem hukum yang dimaksud adalah dimulainya orde hukum baru yang ditandai dengan bermunculannya peraturan-peraturan lokal beserta derivasinya sebagai akibat dibukanya keran otonomi daerah. Dewasa ini sudah diakui denga luas, betapa peraturab yang lebih rendah dari Undang-Undang itu mampu membentuk ‘orde hukum’ tersendiri. 
Guna menumbuhkan sinergi antara orde Undang-Undang dan orde peraturan lokal yang notabene merupakan bentuk tarikan kebawah terhadap sistem hukum Indonesia, diperlukan upaya-upaya pengawasan hukum. Namun ketika keterbatasan sistem pengawasan hukum formal yang dijalankan Mahkamah Agung muncul sebuah kendala, maka pengawasan hukum informal agaknya menjadi penting untuk dilakukan. Inilah tugas para akademisi, yaitu para doctor, professor dan cendikiawan diberbagai kampus di tanah air untuk menelurkan opinion doctorum. Sebuah upaya pengawasan informal yang juga dapat dilakukan secara sinergis dengan keterlibatan badan dan lembaga lain, seperti DPR, Lembaga Konsumen, Pers, Lembaga Bantuan Hukum dan sebagainya.

Adapun tarikan dari atas pada sistem hukum di Indonesia berupa pengaruh adanya globalisasi hukum terjadi melalui standarisasi hukum, antara lain, melalui perjanjian-perjanjian multilateral. Dalam hal ini hukum berusaha untuk melintasi atau membongkar hambatan ruang dan waktu, dengan menisbikan perbedaan sistem hukum. Globalisasi hukum merupakan gelombang kedua yang membawa kepentingan ekonomi global yang dikembangkan melalui prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya. 
Oleh karenanya, ketika globalisasi hukum ini melegitimasi arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dalam suatu kesepakatan keseragaman hukum maka gelombang globalisasi ekonomi dan globalisasi hukum ini sulit untuk ditolak dan harus diikuti. 

Tarikan magnet globalisasi hukum dan globalisasi ekonomi ini saling terkait dan tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan ketika globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi yang notabene merupakan muatan yang dikandungnya, maka substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian tersebut menyebar melewati batas-batas Negara (cross-border). 
Kondisi demikian sekaligus mengubah pandangan kaum positivis kearah pandangan Lawrence Meir Freidman, yang menyatakan bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh dari luar. 
Pada tahap ini dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang sangat besar pada bidang hukum.
Negara-negara didunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik Negara maju, maupun Negara sedang berkembang, bahkan Negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. 
Sebagimana dijelaskan sebelumnya, disepakatinya GATT-PU telah membawa konsekwensi Negara-negara anggota kehilangan kedaulatan untuk membuat perundang-undangan dalam bidang ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan, penanaman modal (investasi), jasa dan bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dengan semua ketentuan yang ada pada GATT-PU. Kondisi ini jelas akan berpengaruh pada proses bekerjanya sistem hukum dalam masyarakat.

Perancang Undang-Undang, baik ditingkat pusat maupun daerah, harus mampu mengakomodasi ‘tarikan kebawah dan ke atas’ pada sistem hukum yang sekarang terjadi di Indonesia tersebut, yang kemudian secara cerdas diramu dengan isi Pasal 33 UUD 1945. 
Jika pembuat Undang-Undang berhasil melakukan langkah tersebut, produk peraturan dibidang ekonomi, tidak saja mampu mengantisipasi tren perdagangan internasional dan mengakomodasi kepentingan daerah, tetapi juga mampu merealisir amanat konstitusi agar pertumbuhan ekonomi itu digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan asing maupun konglomerat.

Selama ini banyak ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang ekonomi hanya sekedar mencantumkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam pertimbangan hukum dengan diselimuti kata ‘mengingat’, tanpa secara konsisten menindaklanjutinya dalam pasal-pasalnya, bahkan tidak jarang kita melihat ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut tidak sinkron dan bahkan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat (1), (2) dan (3). Ha demikian menunjukkan bahwa produk perundang-undangan tidak lebih dari tumpukan peraturan yang sarat kepentingan dan telah kehilangan rohnya, yaitu nilai luhur yang dikandungnya. Oleh sebab itu, sudah pada tempatnya jika didalam peraturan hukum dan perundangan terdapat bagian yang mampu mengalirkan nilai-nilai luhur tersebut. Bagian itu adalah asas hukum yang akan memberikan orientasi yang jelas, hendak kemana masyarakat sebagai adresat akan dibawa oleh hukum yang mengaturnya.

Urgensi pendayagunaan asas hukum ini disampaikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai ‘nutrisi’ yang akan menyuplai kebutuhan hukum, sistem hukum dan sistem perundang-undangan. Dikatakan bahwa, sistem hukum itu tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris, melainkan juga memiliki ‘’semangat‘’
Undang-Undang Dasar kita  dengan tegas mengatakan, bahwa Negara ini berdasarkan “kekeluargaan”. Maka, kekeluargaan ini pulalah yang selanjutnya akan menjadi pegangan, landasan, orientasi, serta prinsip besar yang dipakai dalam membangun sistem hukum kita lebih lanjut. Oreintasi dan semangat kekeluargaan tersebut member nutrisi bagi sistem hukum. Memang hukum juga membutuhkan nutrisi. Seperti vitamin bagi manusia, demikian pula makna nilai-nilai yang terkandung dalam asas hukum tersebut. Asas hukum memberikan nutrisi kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya merupakan bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan yang sarat dengan nilai dan mempunyai filsafat, serta semangatnya sendiri. 

Menurut Profesor M.P. Jain, LL.M., Law has become the instrument of social change. Law is needed for taking any action affecting any’s body’s person, property or any right. The demand for law is practically insatiable today. Untuk itu diperlukan pranata-pranata hukum yang memiliki nilai-nilai keadilan dan keseimbangan sehingga kegiatan perekonomian bisa berjalan dan berkembang dengan baik.
Pada era reformasi sebenarnya pemerintah bersama badan legislative telah banyak menghasilkan perundang-undangan dibidang ekonomi. Namun demikian keberadaan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mendukung bidang ekonomi ternyata belum mampu berperan optimal untuk menciptakan suasana kondusif bagi investor, meningkatkan kehadiran investasi asing, dan menopang perumbuhan ekonomi dalam rangka mengurangi angka penganguran, maupun menekan angka kemiskinan. Mencermati hal ini, pandangnan Satjipto Raharjo mengenai asas hukum patut mendapatkan perhatian. 

Konsep asas hukum sebagai nutrisi sistem hukum dan Undang-Undang sebagai produk hukum yang dihasilkannya, pada tahap selanjutnya juga berkaitan erat dengan pola dan kualitas penagakan hukumnya.
Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, yang menjadi masalah utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan oleh investor asing adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang didalamnya ditemukan banyak hal yang masih tidak jelas dan saling bertentangan, maupun mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.

Menurut Erman Rajagukguk, ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga) factor yang menjadi penyebab tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama, hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi yang diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan ketiga, penyelesaian sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan.

Oleh karena itu, menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin cepat, kompleks dan unpredictable, substansi hukum ekonomi di Indonesia disamping harus mampu menjamin adanya kepastian hkum khususnya adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai tingkat peraturan daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang menghambat investasi, melakukan keberpihakan kepada rakyat miskin, reformasi peraturan perpajakan, juga harus mampu melakukan refleksivitas dengan langkah manageable, available, workable, and interwoven easily with all aspect of social life, jika hal ini tidak dilakukan maka hukum ekonomi semakin mengalami alinasi di masyarakat, seperti yang tengah terjadi sekarang ini.

Penegakan Etika Bisnis di Lingkungan Pengusaha. 
Salah satu prasyarat dari pencapaian Visi Indonesia 2030 yang dilupakan para penyususnnya adalah adanya penegakan etika bisnis yang konsisten. Hal ini dirasakan penting karena penyebab terpuruknya ekonomi Indonesia yang dalam menjalankan bisnisnya tidak mengabdi pada kepentingan nasional, tetapi justru menjarah harta rakyat untuk dibawa ke luar negeri. Itu semua disebabkan karena sejak pertama kali menjalankan bisnisnya, para konglomerat tersebut tidak melandasi kegiatan ekonomi dan bisnisnya dengan etika bisnis yang kuat.

Di Indonesia, khususnya di lingkungan pelaku ekonomi, keberadaan etika bisnis tampaknya masih merupakan suatu konsep. Naskah kode etik pengusaha Indonesia sejak tahun 1989 telah disetujui oleh rapim Kadin (Kamar Dagang dan Industri) untuk disosialisasikan dan ditegakkan di lingkungan pengusaha. Namun dalam tataran praktis, masyarakat dengan mata telanjang telah melihat kekotoran sepak terjang pengusaha-pengusaha Indonesia dalam melakukan aktivitas bisnisnya. 
Menurut I.S. Susanto, dimensi etik dikalangan bisnis sangat tipis bahkan terabaikan. Dalam suatu Negara yang masyarakatnya beragama, mempunyai idiologi Pancasila, dan masih menjunjung nilai moral, kondisi tersebut tampak sangat memprihatinkan.

Konsep etika bisnis, yang didalamnya mengandung prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip kejujuran, prinsip tidak berbuat jahat, prinsip keadilan dan prinsip hormat kepada diri sendiri, jelas merupakan suatu konsep yang sifatnya universal bagi manusia yang beradab, dan sudah seharusnya konsep tersebut dijadikan pemandu didalam pergaulan bisnis sehari-hari.

Peran moral dalam etika bisnis tersebut dalam praksis tidak hanya sekedar penerapan etika umum pada kegiatan bisnis, tetapi bisa berkembang hingga ketaraf metaetika. Sebab bisnis modern saat ini, merupakan realiatas yang sangat kompleks. Banyak faktor turut memengaruhi dan menentukan keberhasilan kegiatan bisnis, antara lain faktor organisatoris manajerial, ilmiah teknologis, dan politik sosial-kultural. Kompleksitas bisnis sebagai kegiatan sosial tersebut, merefleksikan hubungan bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern miliu terkini. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern ini memerlukan arahan dan kode etik agar mengantarkan kegiatan bisnis yang sehat dan bermoral, memapar motivasi, kemauan dan tujuan suatu tindakan dalam kegiatan bisnis membongkar latar belakang tindakan-tindakan bisnis, prinsip-prinsip dalam bisnis,hingga menyelami kesusilaan dan pernyataan etika didalam kegiatan bisnis. 

Hal ini sependapat dengan yang dikatakan oleh Kofi A. Annan, bahwasanya ekonomi dan kewajiban social merupakan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dalam menjalankan kegiatan perekonomian jangan hanya mencari keuntungan semata, tetapi penerapan etika bisnis yang bernilai moral dan sosial harus diterapkan. 
Economic rights and social responsibilities are two sides of the same coin. That is why a year ago in Davos I proposed a global compact between business and theUnited Nations. I asked them to act, within their sphere of influence, according to internationally accepted standards in the areas of human rights, labour standards, and the environment and I offered the services of the United Nations system to help them do so.

Dalam kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai permainan judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang dan meraih keuntungan. Oleh karena itu, dalam persaingan bisnis yang semakin ketat dan tajam, orang-orang cenderung mengejar laba maksimal dalam jangka pendek. Dengan perilaku berorientasi pada laba sebesar-besarnya, pelaku-pelaku ekonomi bisa kejam dan menyingkirkan etika. Mereka berpendapat bahwa mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan untuk mengejar laba.

Dengan menawarkan konsep hukum ekonomi kerakyatan atau kekeluargaan, yang dalam hal ini terkandung etika bisnis, mitos seperti tersebut diatas harus diubah secara mendasar. Dalam konsep ini kegiatan bisnis harus dianggap sebagai kegiatan manusiawi yang dapat dinilai dari sudut pandang moral. Tujuan jangka panjang dari konsep ini diharapkan didalam kehidupan masyarakat tertanam suatu pandangan atau menggugah kesadaran pelaku-pelaku ekonomi agar tercipta suatu mitos bahwa pelaku ekonomi yang tidak mengindahkan moral justru akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di lingkungan masyarakat.

Para pelaku ekonomi harus sadar dan mengerti bahwa sasaran-sasaran utama badan usaha pada dasarnya tidak hanya sekedar profitability dan growth, tapi juga image. Pengembangan citra atau image building adalah salah satu sasaran yang tidak terlepas dari tujuan jangka panjang setiap institusi bisnis. Citra yang positif, baik di kalangan internal maupun pada masyarakat umumnya merupakan ‘aset’ atau kekayaan yang tidak bernilai yang senantiasa justru menjadi pusat perhatian utama dari pimpinan institusi-institusi dunia usaha. 

Disamping itu, para pelaku usaha ekonomi harus tahu bahwa berdasarkan riset telah terbukti perusahaan-perusahaan besar yang ratusan tahun tetap survive sampai sekrang adalah perusahaan-perusahaan yang patuh pada etika bisnis. 

Untuk mendukung penegakan etika bisnis, sebenarnya Majelis Permusyaearatan Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, didalamnya juga mengatur tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalamnya juga mengatur tentang etika ekonomi dan bisnis. Hal ini dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi baik perseorangan, isntitusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya Susana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan.

Campur tangan pemerintah untuk menegakkan peraturan-peraturan mengenai etika bisnis juga sangat diperlukan. Selain itu upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis harus bisa memenuhi rasa keadilan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi, upaya penyelesaian-penyelesaian sengketa bisnis yang lebih dinamis dan bisa menjawab semua permasalahan yang ada tanpa terpaku secara monoton pada pengadilan.
Hal ini dijelaskan oleh Lawrence Meir Freidmen,
Ultimately, if the Court cannot solve the problem and if the problem does not vanish of its own accord (through a radical change in popular tastes or levels of toleration), some extrajudicial solution will have be reached.

Dengan pedoman etika ini diharapkan mampu mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoly, kebijakan ekonomi yang mengarah pada perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, diskriminasi yang berdampak negative terhadap efisiensi, persaingan sehat dan keadilan, serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

Mon, 21 /11/2016
Adi Sulistyono , Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar