08/06/13

MANFAAT LEGALISASI DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN | Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.

MANFAAT  LEGALISASI  DALAM  PERJANJIAN

KREDIT  PERBANKAN



Hukum Perbankan

Dosen Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum.


PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM


BAB I

PENDAHULUAN


I.    Latar Belakang

Notaris, sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik sangat dibutuhkan dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya adalah dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang melibatkan nasabah dan bank, guna untuk menjamin kebenaran dari isi yang dituangkan dalam perjanjian kredit perbankan tersebut, supaya secara publik kebenarannya tidak diragukan lagi.

Dalam hal perjanjian kredit, kedudukan bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitor tidak pernah seimbang. Ada kalanya memang bank lebih kuat dari nasabah (debitor), dalam hal nasabah (debitor) termasuk pengusaha ekonomi lemah , misalnya sebelum akad kredit yang ditandatangani, debitor diminta membaca seluruh klausul perjanjian yang berlembar-lembar hanya dalam beberapa menitpada saat dia datang ke bank, namun karena debitor sangat membutuhkan uang (pinjaman), maka mau tidak mau mereka akan menyetujui saja dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh pihak bank, atau contoh lainnya adalah pihak bank (kreditor) berhak menaikkan suku bunga kredit tanpa terlebih dahulu melakukan kesepakatan dengan pihak debitor. 

Perjanjian kredit bank apabila dilihat dari bentuknya, pada umumnya berbentuk perjanjian baku. Perjanjian baku, ialah konsep-konsep janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan dalam sejumlah tidak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.  

Mariam Darus Badrulzaman menegaskan, bahwa dengan menggunakan perjanjian baku, maka pengusaha memperoleh efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga, dan waktu.  Di samping itu, dengan perjanjian baku, pengusaha dapat menuangkan kehendaknya secara leluasa, tanpa campur tangan pihak lain,  sehingga pihak lain (masyarakat) hanya tinggal menyetujui atau tidak dari isi  perjanjian baku itu.

Masalah perjanjian baku ini sudah lama menjadi masalah, akan tetapi belum mendapatkan pengaturan yang jelas dalam UU Perbankan. Yang disoroti dalam perjanjian baku adalah mengenai sifatnya (karakternya), karena ditentukan secara sepihak dan di dalamnya ditentukan sejumlah klausula yang membebaskan kreditor dari kewajibannya (eksonerasi klausula). Perjanjian baku dalam praktek bisnidan dunia perbankan sudah bukan merupakan hal baru lagi. 

Praktek penggunaan perjanjian baku pada masa kini, yang menuntut gerak langkah hidup yang cepat, rupanya tidak dapat dibendung, bahkan ada yang meramalkan penggunaan perjanjian baku cenderung akan meningkat, meskipun disana sini ada keluhan atau rasa tidak puas dari berbagai kalangan, terutama masyarakat (konsumen). 

Didalam praktek, setiap bank telah menyediakan blanko (formulir, model). Perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standar form). Formulir ini disodorkan kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir itu atau tidak. Umumnya isi dari perjanjian kredit yang bentuknya standar (baku) itu isinya tidak seimbang, dalam arti lebih banyak menguntungkan pihak bank sebagai pihak yang membuatnya. 

Sebagai contoh ada suatu klausula baku dalam perjanjian kredit yang isinya sebagai berikut: “Ketentuan suku bunga kredit dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak oleh pihak bank. Terhadap perubahan suku bunga tersebut, pihak bank cukup memberitahukannya secara tertulis, pemberitahuan dimaksud mengikat pengambil kredit “ .

Klausula perjanjian kredit sebagaimana di atas jelas-jelas tidak seimbang, dan merugikan nasabah bank. Suatu perjanjian, pemberlakuan, perubahan dan pengakhirannya, tetap harus dengan dasar persetujuan kedua belah pihak, dan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Posisi nasabah demikian lemah, dibandingkan dengan pihak bank. Terhadap adanya perubahan atau penyesuaian tingkat suku bunga, sebagaimana disampaikan dalam contoh klausula perjanjian kredit yang disampaikan dalam contoh klausula perjanjian kredit di atas sudah semestinya mendapat persetujuan kedua belah pihak. 

Apa yang diuraikan diatas tersebut hanyalah salah satu contoh kecil saja. Masih banyak jenis klausul perjanjian kredit, yang model demikian tersebar di masyarakat. Dalam hal yang lebih khususnya adalah pada masalah pembebanan biaya legalisasi akta notariil ini adalah dibebankan kepada konsumen disini khususnya adalah debitur bank. Sedangkan, pembebanan biaya tersesbut pada masing-masing bank besarnya ditetapkan oleh pihak bank.

Perjanjian baku tidak hanya terlihat pada perjanjian kredit bank, akan tetapi juga dalam perjanjian-perjanjian yang lain, misalnya perjanjian angkutan laut, udara, perjanjian asuransi dan lain-lainnya. Fenomena perjanjian kredit dengan klausula bakunya, menimbulkan  persoalan hukum baru dengan diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur tentang ketentuan Pencantuman Klausula Baku. Klausula Baku, adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan  terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Profesi Notaris sangat penting dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan, Notaris sebagai Pejabat Publik, dituntut profesionalitasnya yang salah satunya adalah menjembatani kepentingan debitor dan kreditor dalam pembuatan akta perjanjian kredit, namun kenyataannya sikap profesionalitas tersebut berhadapan dengan tuntutan dunia perbankan, yaitu efisiensi dalam prosedur perbankan dan keamanan dalam pemberian kredit, sehingga dalam praktek lembaga perbankan  cenderung menggunakan perjanjian baku dalam perjanjian kreditnya.


II.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membatasi pembahasan masalah ini dalam kerangka pertanyaan sebagai berikut :

1.    Bagaimakah manfaat legalisasi pembuatan perjanjian kredit bank dengan akta notariil dibandingkan dengan akta di bawah tangan ?

2.    Apakah perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan dipandang dari asas kebebasan  berkontrak ?

3.    Bagaimanakah biaya pembuatan akta notariil tersebut bila dipandang dari segi keuntungan terhadap debitur  yaitu nasabah bank ?


BAB II

PEMBAHASAN


Pembuatan Perjanjian Kredit Bank dengan Akta Notariil Dibandingkan dengan Akta Di Bawah Tangan

Dalam Pasal satu angka 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatakan, “ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Pasal 1 Reglement op het Notaris (Peraturan Jabatan Notaris) Stbl. 1860 No. 3, selanjutnya disingkat dengan PJN, yaitu Notaris adalah pejabat umum khusus (satu-satunya), yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan atau kutipan, semuanya itu apabila pembuatan akta yang demikian itu, oleh peraturan umum tidak pula ditugaskan atau dikhususkan kepada pejabat atau orang lain. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Penggunaan kata “satu-satunya” dalam Pasal 1 PJN dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat yang mempunyai wewenang “tertentu” , artinya wewenang mereka hanya meliputi pembuatan akta otentik yang secara tegas sudah ditugaskan kepada mereka oleh Undangundang. Adapun pejabat lain yang dimaksud antara lain adalah PPAT, Pegawai Catatan Sipil dan Ketua Pengadilan Negeri

Ketentuan Pasal 1 PJN tersebut merupakan pelaksanaan dan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menentukan bahwa : “ suatu akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat di mana akta itu dibuat. “  Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut hanya menjelaskan tentang apa yang disebut akta otentik, sedangkan apa yang disebut pejabat umum tidak dijelaskan dan untuk melaksanakan ketentuan dan Pasal 1868 KUH Perdata itulah pembuat Undang-undang harus membuat peraturan perundang-undangan yang menunjuk pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik itu, sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 PJN tersebut.

Dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas pokok Notaris adalah membuat akta-akta otentik, yaitu suatu akta yang menurut Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak dan sempurna maksudnya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang tetap diakui. Notaris dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat bertanya di bidang hukum perdata dan diyakini oleh penanya bahwa dirinya akan mendapatkan jawaban atau nasehat yang dapat dipercaya. Fungsi notaris sebagai pemberi informasi dan nasehat kepada masyarakat secara umum menjadi ciri dari jabatan notaris. Notaris dipercaya karena segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan oleh notaris adalah benar, dan notaris adalah pembuat dokumen-dokumen dalam suatu proses hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.Pasal satu angka (1) Undang-Undang No, 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris memberikan pengertian tentang kedudukan notaris, bahwa tugas pokok dari notaris adalah membuat akta otentik, sebagi alat bukti yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima ,bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, akan tetapi karena juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak, demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum pihak yang berkepentingan itu sendiri. Wewenang notaris, secara umum digariskan dalam Bab III Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam ayat (1) berbunyi : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau dikendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, memberikan groose, salinan dan kutipan akta,semuanya itu sepanjang perbuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Ayat ( 2 )Notaris berwenang pula :

    Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus ;

    Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus ;

    Membuat kopi dari surat-surat asli dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagai mana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;

    Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya ;

    Memberikan penyuluhan hukum sehubunghan dengan pembuatan akta ;

    Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan ;

    Membuat akta risalah lelang.

Sebagaimana fungsi akta pada umumnya, maka akta notaris memiliki dua fungsi yaitu yang pertamaadalah Fungsi Formil ( Formalitas Causa ), yaitu berarti bahwa untuk lengkap atau sempurnanya ( bukan untuk sahnya ) suatu perbuatan hukum, maka harus dibuatkan suatu akta atas perbuatan hukum tersebut. Para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum tersebut. Para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum harus membuatnya dalam bentuk tertulis, baik akta otentik maupun akta di bawah tangan. Yang kedua adalah Fungsi sebagai Alat Bukti ( Probationis Causa ), sejak semula para pihak dengan sengaja membuat akta ( otentik ataupun di bawah tangan ) untuk suatu pembuktian di kemudian hari. 

Sifat tertulis suatu perjanjian tidaklah membuat sahnya suatu perjanjian, akan tetapi agar akta yang dibuat dapat dipergunakan sebagai alat bukti apabila timbul perselisihan di kemudian hari. Sebagai suatu akta yang otentik maka akta notaris itu memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap. 

Bukti lengkap ialah bukti yang sedemikian, sehingga hakim memperoleh kepastian yang cukup (genoegzaam) untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oeh penggugat, tanpa mengurangi kemungkinan ada bukti tentang kebalikannya.

Dalam  akta perjanjian kredit notariil, beberapa hal yang perlu diketahui :

1.    Kekuatan Pembuktian ; Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian :Pertama : membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi (kekuatan pembuktian formal); Kedua : membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan pembuktian material atau yang kita namakan kekuatan pembuktian mengikat); Ketiga : membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan pembuktian ke luar).

2.    Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan lain dari pada akta perjanjian kredit / pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (otentik) yaitu dapatnya dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang tersebut. Khusus grosse akta pengakuan hutang ini, mempunyai kekuatan eksekutorial dan di samakan dengan keputusan hakim. Oleh bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasa menyita waktu lama dan memakan biaya yang besar.

3.    Ketergantungan Terhadap Notaris yaitu adanya legal officer pada bank juga mempunyai peran yang besar dalam pembuatan akta perjanjian kredit, sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh atau dihadapan notaris, Legal Officer tetap dituntut peran aktifnya guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara notariil dapat saja terjadi. Sehingga Legal Officer tidak secara mutlak bergantung kepada notaris, notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam hubungan itu, bank akan meminta notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah disiapkan oleh bank.

Terhadap akta notariil ini, akan memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, sempurna dalam artian kebenaran menyangkut isi akta yang berkaitan dengan kehendak para pihak, waktu pelaksanaan berkaitan dengan tanggal dibuatnya akta dan kebenaran para pihak yang menandatangani akta tersebut. 

Akta notariil sangat penting, hal ini berhubungan erat dengan beban pembuktian terhadap dokumen-dokumen pendukung terhadap lahirnya suatu perjanjian. 

Pembuktian melalui akta notariil memiliki kekuatan yang berbeda dengan akta di bawah tangan, terhadap akta di bawah tangan beban pembuktian harus melalui proses persidangan biasa, dimana para pihak dihadapkan pada pemeriksaan saksi menyangkut kebenaran para pihak, kebenaran tandatangan dan kebenaran persetujuan para pihak dalam isi perjanjian, pembuktian dengan akta di bawah tangan menjadi sangat fatal lagi apabila ada pihak yang tidak mengakui kebenaran kehadirannya menurut waktu dan tandatangan dalam akta di bawah tangan tersebut, sehingga memerlukan beban pembuktian bagi pihak yang disanggah untuk memberikan bukti-bukti lain. Terhadap akta notariil sebaliknya, kebenaran dalam akta notariil sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya dianggap sah, pihak yang menyanggah kebenarannya harus membuktikan sanggahannya tersebut. 

Di dalam pembuatan akta perjanjian kredit bank, sering dalam praktek notaris dihadapan pada persoalan kedudukannya sebagai Pejabat Publik yang harus menjamin kehendak kuat para pihak yang tertuang dalam isi perjanjian kredit tersebut, kehendak kuat ini termasuk juga kebenaran dari persetujuan para pihak terhadap pembentukan isi perjanjian kredit tersebut, namun biasanya dalam perjanjian kredit bank, notaris harus bertindak kooperatif dengan menuruti keinginan bank seperti menandatangani akta yang dibawa oleh debitor tanpa perlu kehadiran kreditor sebagai penghadap yang sebenarnya tidak datang saat tersebut, sehingga sebenarnya bank secara langsung telah mengatur kerja dari notaris.

Dalam praktek perbankan, pada umumnya pembuatan perjanjian kredit dengan menggunakan akta notariil dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan dipakai nilai-nilai minimal dalam menetapkan biaya pembuatan akta notariilnya. Misalkan ntuk kredit-kredit yang kurang dari nilai 50 juta dapat menggunakan akta bawah tangan, sedangkan kredit dengan jumlah lebih dari nilai 50 juta dipergunakan akta notariil, tidak ada perbedaan isi materi antara akta di bawah tangan dan akta notariil. 

Tindakan perbankan menggunakan akta di bawah tangan dan akta notariil ini lebih disebabkan adanya tuntutan efisiensi dan biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit perbankan. Dengan pembuatan format materi/isi perjanjian kredit secara standar jelas akan memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menganalisa dan menutupi kelemahan-kelemahan yang dapat saja timbul di kemudian hari yang disebabkan perkembangan dalam dunia hukum.

Pada dasarnya walaupun perjanjian antara debitor dan kreditor dibuat dengan perjanjian di bawah tangan tetapi selanjutnya terhadap perjanjian tersebut dilakukan penandatangannya di hadapan notaris, setelah para pihak dijelaskan maksud dari isi akta tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa legalisasi yang dilakukan notaris terhadap akta perjanjian di bawah tangan tersebut dapat diterima sebagai bukti yang kuat, yang sebenarnya isinya telah disetujui oleh pihak debitor

Pembuatan perjanjian kredit dengan akta notariil pada kredit kecil akan menyebabkan biaya bertambah besar karena kredit yang diterima harus dipotong berbagai macam biaya ( yang sebenarnya debitor telah dikenakan biaya provisi dan asuransi ), maka nasabah kecil tersebut akan menerima kredit yang banyak terpotong biaya-biaya termasuk juga biaya SKMHT bila tanah jaminan tidak berada di lokasi kewenangan notaris. Karena itu dengan pembuatan akta di bawah tangan, nasabah hanya dikenakan biaya pendaftaran atau legalisasi yang biayanya ringan. 

Terhadap nilai kredit di atas 50 juta, akan dibuatkan perjanjian kredit notariil yang diikuti dengan akta penjaminan (APHT), dan SKMHT jika lokasi Notaris berbeda dengan jaminan. Sehingga biaya yang dibebankan pada debitor adalah akta perjanjian kredit notariil dan penjaminan notariil. Biaya-biaya terhadap akta tersebut dihitung dalam prosentasi ¼ % - 1 %.

Perjanjian kredit perbankan, menurut kenyataannya ada yang dibuat secara notariil dan ada juga yang dibuat di bawah tangan. Namun terhadap akta yang dibuat di bawah tangan tersebut oleh bank dimintakan legalisasinya pada notaris. 

Akibat dari tindakan legalisasi tersebut maka secara prinsip hukum sesuai dengan Peraturan Jabatan Notaris akta tersebut telah memiliki kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat, tindakan legalisasi tersebut tidak merubah akta di bawah tangan menjadi akta otentik, akta tersebut tetap akta di bawah tangan, dengan kekuatan pembuktian yang lebih baik dari pada akta di bawah tangan yang tidak dilegalisasi.

Dalam beberapa kasus wanprestasi, terhadap perjanjian kredit dengan akta notariil maupun di bawah tangan tidak menjadi persoalan atau dasar keberatan, karena dalam kasus-kasus tersebut yang menjadi pokok adalah pembuktian mengenai tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh debitor. Hal ini berkaitan dengan jaminan debitor, sehingga dalam kasus-kasus wanprestasi debitor cenderung mencoba melepaskan beban tanggung jawabnya dengan alasan adanya overmacht dalam dirinya menyangkut kegiatan usaha dan kondisi perekonomian secara nasional. Terhadap kasus-kasus wanprestasi, yang pada akhirnya mempermasalahkan kedudukan akta perjanjian kreditnya dibuat secara notariil atau akta di bawah tangan.

Dari penjabaran di atas dapat dikemukakan manfaat akta notariil dalam perjanjian kredit banksebenarnya adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna jika terjadi dalam hal debitor mempermasalahkan keabsahan atau kebenaran akta perjanjian kredit yang telah dibuat, misalnya dengan tidak mengakui adanya perjanjian kredit tersebut. 

Walaupun hal tersebut belum jarang terjadi karena biasanya yang dipermasalahkan hanya mengenai wanprestasi seperti yang telah diuraikan. Tetapi untuk mengamankan kredit dalam jumlah yang besar, akta notariil tetap diperlukan.

Sebenarnya antara akta di bawah tangan dengan akta notariil secara praktek tidak memberikan perbedaan yang cukup penting, karena eksistensi akta tidak menjadi persoalan dalam suatu tindakan wanprestasi, yang menjadi persoalan adalah wanprestasi itu sendiri, menyangkut bagaimana selanjutnya tindakan debitor untuk membayar angsurannya.


Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan dan Asas Kebebasan Berkontrak

Perjanjian berdasarkan pada definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 

Dalam hukum perjanjian, ada beberapa asas penting antara lain adalah Asas Kebebasan Berkontrak. Berbeda halnya dengan Buku II KUH Perdata yang menganut suatu sistem tertutup, sebaliknya Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah, setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “ Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya “.

Suatu perjanjian kredit bank, secara jelas akan mengikat kreditor dan debitor untuk mentaati isi perjanjian tersebut, perjanjian tersebut akan berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.

Selain asas kebebasan berkontrak, hukum perjanjian juga mengharuskan adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian, kata sepakat menjadi penting untuk menentukan lingkup dari aturan tersebut, asas ini dikenal dengan Konsensualisme. Asas lainnya adalah asas itikad baik, bahwa orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, Asas Pacta Sun Servanda, merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian.

Berdasarkan ketentuan di atas jelas penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank yang dibuat secara baku, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g “Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”, termasuk lingkupnya adalah penetapan ketentuan dimungkinkannya penyesuaian suku bunga oleh kreditor kepada debitor sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Terhadap pertentangan perjanjian baku dengan asas kebebasan berkontrak ini, sanksinya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) dari Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. 

Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis, bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank untuk menetapkannya, setidaknya harus mengatur hal-hal mengenai jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit.

Hal-hal pokok tersebut harus selalu menjadi dasar dalam pembuatan suatu perjanjian kredit, dan sebenarnya dasar-dasar tersebut telah diterima sebagai acuan pokok. Pada beberapa bank dilakukan tambahan sesuai dengan kebutuhan dan dijadikan format perjanjian standar dalam kegiatan perbankan khususnya dalam bidang perjanjian kredit.

Dalam prakteknya diketahui bahwa akta dalam perjanjian kredit yang ada di Bank menggunakan format baku, tetapi ada proses negoisasi dengan nasabahnya sebelum perjanjian kredit tersebut disetujui oleh pihak bank.

Praktek perjanjian baku pada perjanjian kredit bank sudah merupakan hal umum, tetapi terhadap praktek tersebut, diusahakan adanya kehendak yang sama oleh para pihak untuk menuangkan keinginannya dalam perjanjian. Keinginan yang sama ini oleh bank diartikan dengan tidak adanya penolakan debitor terhadap isi perjanjian sehingga debitor menandatangani kredit.

Sedangkan notaris, sebagai pejabat publik, selama tidak adanya keberatan dari pihak debitor tetap menganggap bahwa perjanjian kredit bank tersebut memang merupakan kesepakatan kedua pihak, sebab untuk menyatakan dan mencari kebenaran baku tidaknya suatu perjanjian di luar dari tugas dan tanggungjawab notaris, pembuktian tersebut harus diungkapkan oleh pihak yang merasa dirugikan

Klasifikasi perjanjian baku secara umum adalah salah satu pihak tidak terlibat, memiliki format yang sama, ciri-ciri ini adalah sama dengan format perjanjian kredit bank.

Dalam perjanjian baku tersebut, notaris lebih berkedudukan sebagai “legislator”, dalam artian format tersebut dibuat oleh bank dan ditandatangani oleh debitor di depan notaris. Terhadap kenyataan ini notaris tetap beranggapan materi yang ada, merupakan materi perjanjian yang dibentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Sepanjang debitor bersedia menandatangani akta perjanjian tersebut dianggap debitor mengerti dan menundukkan diri dalam perjanjian itu, sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-undang baik bagi debitor maupun kreditor Perjanjian baku yang dibuat dalam perjanjian kredit pada Bank, tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena terhadap perjanjian baku tersebut tidak terdapat suatu keinginan/iktikad yang sesungguhnya dari kreditor menggunakan posisinya yang kuat tersebut untuk menekan debitor menyetujui perjanjian kredit.

Perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan baru dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak bila ada klausula yang tidak disadari/dimengerti debitor pada waktu menandatanganinya, atau bila ada klausula yang sedemikian mungkin menekan debitor sebagai pihak yang lemah dan terpaksa harus menandatangani akta perjanjian tersebut. Hal-hal ini sangat subyektif namun dapat diketahui akan secara tegas bertentangan bila debitor tidak diberikan kesempatan melakukan negoisasi terhadap isi yang ada dalam perjanjian kredit, kenyataan ini yang tidak ada dalam perjanjian kredit perbankan yang dibuat dengan perjanjian baku tersebut. 


ANALISIS

Menurut analisis penulis, pembuatan perjanjian baku dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan peranan notaris, karena sebenarnya kehendak yang ada merupakan kehendak dari para pihak kreditor dan debitor, notaris hanya menjembatani kepentingan tersebut, menjelaskan maksud dari perjanjian.

Adanya tindakan perbankan yang memformatkan perjanjian kredit dapat saja dikatakan adalah pembuatan perjanjian baku, namun perlu juga diperhatikan bakunya perjanjian tersebut masih dalam alasan hukum yang wajar, sehingga belum dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, dan tidak merugikan Debitor terlalu besar dalam hal ini khususnya adalah nasabah Bank. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bila ditinjau dari segi pembebanan biaya pembuatan akta notariil kepada Debitor. Sehingga dalam segi ini, dituntut kebijaksaan dari pihak Bank dalam menetapkan biayanya.

Bank dalam hal ini membuat perjanjian baku hanya untuk mengarahkan maksud dan isi pokok-pokok dari perjanjian kredit, dan bukan berkehendak menjebak atau menyudutkan debitor pada posisi yang tidak berdaya, perjanjian kredit yang menurut kita dibuat secara baku, ternyata dalam aplikasi di lapangan masih dimungkinkan terjadinya negoisasi, antara lain koreksi / perubahan karena negosiasi dari debitor yang bersangkutan, terhadap hal ini penulis beranggapan maksud dari perjanjian baku tersebut belum menyentuh aspek pertentangan seperti yang dimaksud dari Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Notaris dalam perjanjian tersebut hanya melakukan prosedur pengesahan terhadap akta perjanjian kredit yang dianggap telah disepakati oleh para pihak. Notaris membacakan, menjelaskan maksud dan isi perjanjian kredit pada para pihak. Karena secara prosedur sebelum akta tersebut dibawa dan dimintakan tandatangan notaris, telah terlebih dahulu dibicarakan oleh pihak kreditor dan debitor.


BAB III

PENUTUP


I.    Simpulan

Bahwa akta perjanjian kredit perbankan yang dibuat secara notariil akan sangat bermanfaat khususnya bagi kreditor, tentang kekuatan pembuktiannya, walaupun dalam praktek di perbankan pembuatan perjanjian kredit dengan akta dibawah tangan juga dapat memberikan jaminan eksekusi, karena baik terhadap akta notariil maupun di bawah tangan selalu diikuti denganlembaga jaminan lain yang aktanya bersifat eksekutorial seperti APHT.

Disamping itu apabila terjadi sengketa wanprestasi antara debitor dan kreditor, akta-akta tersebut tidak menjadi alasan yang digunakan karena  pihak hanya mempermasalahkan wanprestasinya dan bukan aktanya.

Perjanjian kredit perbankan memang dibuat secara baku, dalam bentuk yang sama dan dibuat oleh satu pihak saja, namun hal ini bukan berarti perjanjian tersebut bertentangan dengan aturan yang dilarang dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena sebenarnya format baku tersebut hanya merupakan format pokok dari perjanjian kredit bank, yang dalam perkembangan selanjutnya tehadap format ini masih dimungkinkan adanya negosiasi yang berarti cerminan atas asas kebebasan berkontrak. 

Perubahan sesuai dengan negosiasi antara debitor dan kreditor (pada saat sebelum akta notariil diterbitkan) akan dibuat dalam format perjanjian kredit, sehingga perjanjian baku sebagaimana yang dimaksud bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak tidak terumuskan sebagai pertentangan yang  dilarang.

Perjanjian kredit antara nasabah debitor dan Bank biasanya dibentuk atas dasar kesepakatan (konsensualisme). Dengan adanya penandatanganan oleh nasabah debitor atas  perjanjian kredit yang ditawarkan oleh pihak bank, maka itu berarti nasabah debitor telah menerima tawaran itu dan dengan demikian secara yuridis formal nasabah debitor telah menyetujui atau menyepakati syarat-syarat yang ada dalam perjanjian kredit tersebut. Walaupun dibuat berdasarkan kesepakatan, namun pada kenyataannya pembuatannya adalah merupakan penawaran persetujuan yang disodorkan oleh Bank kepada Debitor, Debitor tinggal menyutujui atau menolaknya saja.


II.    Saran

Dalam rangka ikut memberikan kontribusi terhadap permasalahan yang dibahas, maka dapat kiranya diberikan saran-saran sebagai berikut :

Sebaiknya bank melakukan legalisasi dihadapan Notaris jika ada perjanjian kredit dibuat dalam bentuk di bawah tangan, sehingga dapat memberi pembuktian yang kuat atau dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna.

Perbankan harus lebih membantu dalam hal negosiasi yang dilakukan dengan debitor, sebab dengan begitu konsep perjanjian baku semakin terlihat tidak ada pertentangannya dengan asas kebebasan berkontrak, sekaligus sebagai bentuk membantu perekonomian kecil yang baru mencoba berusaha. 

Dan karena pembebanan biaya diberikan kepada debitur maka alangkah baiknya biaya legalisasi  ditekan seminimal mungkin agar tidak memberatkan pihka debitur. Dapat pula bank menetapkan batasan biaya legalisasi misalnya memberikan perbedaan biaya antara pinjaman kredit dibawah Rp. 10.000.000,00 dengan pinjaman diatas Rp.50.000.000,00. Disini karena pihak Bank sebagai Kreditor dituntut kebijaksaannya dalam hal pemberian biaya pembuatan akta notariil khususnya sehingga tidak memberatkan nasabah bank sebagai Debitor.

Karena perjanjian biasanya adalah  hanya dengan penyodoran blanko yang sudah disediakan oleh pihak bank, maka untuk  mencegah tindakan kesewenangan pihak bank dalam menentukan isi perjanjian kredit,  maka pemerintah juga diharapkan dapat memberikan perannya, dalam hal ini hendaknya dapat memberikan pengawasan serta melakukan pendaftaran (melakukan seleksi) terhadap rancangan klausula baku perjanjian sebelum disebarluaskan di masyarakat. Khususnya penetapan biaya legalisasi perjanjian kredit, sehingga  pihak bank tidak bebas sendirinya khususnya dalam menentukan  menentukan biaya legalisasi, sehingga pada akhirnya hanya akan memberatkan pihak Debitor.


DAFTAR PUSTAKA


Jamal, Wiwoho. 2011. Hukum Perbankan Indonesia. Surakarta : Sebelas Maret University Press.


A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985.


Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1982.


Edy Putra The Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1986.


Henry P. Pangabean, Penyalahgunaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta


I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktek, edisi Revisi, Cetakan I, Megapoin, Jakarta, 2003.


Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewa, Hukum Bisnis Dalam Manusia Modern, Cetakan I, Refika Aditama, 2004.


J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.


Marhaynis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975.


Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung, 1980.



Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.


Hanintijo Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1990.


Rony Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa ini, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.


Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung, 1985.


Rudy Indrajaya, Era Baru Perlindungan Konsumen, IMNO, Bandung, 2000.


Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.


Sri Gambir Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung, Cetakan I, Alumni Bandung, 1999.


R. Subekti , Hukum Perjanjian, Cetakan VI, PT.Intermasa Jakarta, 1979.


Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1998.


Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grafindo, Jakarta, 2000.


Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2000.


R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar