BAB I
PENDAHULUAN
Dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak anggota masyarakat yang meminjam uang di bank. Kegiatan pinjam-meminjam itu dituangkan secara tertulis di dalam perjanjian kredit dengan bank sebagai pihak kreditor dan nasabah sebagai pihak debitor. Hal-hal yang dinyatakan dalam perjanjian itu antara lain jangka waktu pembayaran, besar angsuran, bunga yang dikenakan, barang jaminan yang dijadikan jaminan kredit, sanksi yang diberikan apabila kreditor melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Dalam hal ini untuk melindungi kreditor dari kerugian karena wanprestasi debitor, maka ada perjanjian kredit yang dituangkan dalam grosse akta pengakuan hutang. Grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitor kepada pernyataan pengakuan hutang. Grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitor kepada kreditor. Tujuan dari pembuatan grosse akta pengakuan hutang ini adalah agar apabila debitur melakukan cidera janji / wanprestasi, maka kreditur dapat langsung mengeksekusi barang jaminan tanpa harus meminta ketetapan hukum dari perngadilan.
Berhubungan dengan hal-hal tersebut diatas, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu membentuk Undang-undang yang mengatur mengenai jaminan kebendaan yang digunakan untuk jaminan hutang. Pengaturan tersebut dituangkan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996, selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 UUHT ditetapkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA), menyatakan : “Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan merupakan lembaga jaminan yang kuat karena Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Objek yang akan dibebani Hak Tanggungan, harus menurut syarat-syarat antara lain :
Subjek Hak Tanggungan, yaitu:
Dari penjelasan umum UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai dimilkikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.
Dari sedikit pemaparan mengenai Hak Tanggungan diatas, Penulis akan menganalisis / mengkaji Permasalahan mengenai Hak tanggungan yang diputus MA dengan Nomor 396 K/Pdt/2009, pemberian hak tanggungan antara Limar Maryadi dengan Budiman dan Bank Mandiri. Budiman mengadakan perjanjian kredit dengan Bank Mandiri dengan pembebanan Hak Tanggungan berupa tanah dengan sertifikat Hak Milik Limar Maryadi yang sebelumnya dijadikan jaminan pembayaran hutang antara Limar Maryadi dan Budiman.
BAB II
PEMBAHASAN
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yangmemberikan keudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan :
Pengertian hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA. Asas pemisahan horizontal ini menyebabkan ha katas tanah dapat dipisahkan dengan ha katas benda-benda di atas tanah tersebut. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa banyak bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, jika hal ini dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara tegas didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan tersebut adalah hak atas tanah beserta benda-bendalain.
Sifat Hak Tanggungan.
Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan manggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut.
Objek Hak Tanggungan.
Di dalam pasal 4 UUHT diatur tentang pelbagai macam hak atas tanahyang dapatdijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selain hak-hak diatas tanah seperti dikemukakan di atas, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada diatas tanah maupun dibawah tanah) tanaman dan hasil karya (misalnya candi,patung, gapura, relief) yang telah ada atau akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut harus dinyatakan dengan tegas didalam APHT yang bersangkutan. Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama)pada APHT yang bersangkutan oleh pemilik bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menadatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda- banda diatas tanah tersebut.
Dengan penjelasan umum UUHT, disebut 2 unsur mutlak dari hak atas tanah yangdapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
Berdasarkan kedua unsur mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka, hak milik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan hakekat perwakafan yakni hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, semua hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci liannya tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas tanah hak Negara. Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan UUHT ini tidak dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi syarat publisitas.
Dalam perkembangannya sekarang hak pakai atas tanah Negara harus didaftarkan, sehingga dapat dipindah tangankan. Hak pakai yang tidak dapat dipindah tangankan antara lain hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan social, hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan dan hak pakai tersebut diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan instansi atau badan diatas. Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan objek hak anggungan, karena hingga saat ini tidak terdapat kewajiban untuk mendaftarkan hak pakai diatas tanah hak milik. Akibatnya, salah satu syarat mutlak agar suatu hak atas tanah dapat dijadikan objek hak tanggungan tidak terpenuhi. Menurut pasal 4 ayat 3 UUHT, pembebanan hak tanggungan atas hak pakai diatas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditordan debitor, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan :
Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
Ringkasan Kasus Posisi :
Penggugat mengajukan kredit kepada Tergugat II sebesar Rp. 10.000.000,00 pada tahun 2003 dengan jaminan Sertipikat Hak Milik Nomor 691/Parung Serab. Pada tahun 2004 Penggugat mengajukan tambahan kredit kepada Tergugat II, berhubung Tergugat II tidak mempunyai uang, maka Tergugat II mengenalkan Penggugat kepada Tergugat I. Hingga akhirnya pada bulan April 2004 Tergugat I memberikan fasilitas kredit kepada Penggugat sebesar Rp. 70.000.000,- dipotong sebesar Rp. 10.000.000,00 untuk pembayaran pinjaman terhadap Tergugat II.
Transaksi pinjam meminjam tersebut dituangkan dalam sebuah surat yang diberi materai (Perjanjian dibawah tangan), yang isinya lengkap mengenai bunga yang harus dibayar, jatuh tempo pembayaran, rekening tujuan pembayaran (Bank Mandiri dengan nama Tergugat I).
Cicilan bulan Pertama hingga bulan ke empat telah Penggugat bayar secara tepat waktu, tetapi setelah menginjak bulan ke lima Penggugat ingin melunasi hutang pokok + bunganya. Itikad baik Penggugat tersebut tidak direspon oleh Tenggugat I dan Tergugat II. Tergugat I dan Tergugat II tiba-tiba sulit untuk dihubungi. Penggugat mendatangi Tergugat II, selaku perantara yang mengenalkan kepada Tergugat I, untuk meminta kejelasan status pinjamannya. Akan tetapi Tergugat II tidak memberi jawaban dimana Tergugat I berada.
Penggugat merasa khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap sertipikat yang dijadikan jaminan, Sehingga kemudian Penggugat melakukan pengecekan sertipikat di Badan Pertanahan Nasional (Agraria) dan betapa terkejutnya bahwa sertipikat 691/Parung Serab telah diberi hak tanggungan atas nama Tergugat I sejak tanggal 8 Maret 2004 berdasarkan akta jual beli 23/2004 tanggal 5 Maret 2004 yang dibuat oleh PPAT Hasriwaty (Tergugat III).
Perbuatan Tergugat I tidak hanya pada pemutasian atas nama sertipikat saja, tetapi telah membebankan Hak Tanggungan kepada Tergugat IV dengan kucuran kredit sebesar Rp. 900.000.000,00 berdasarkan SPPK No.CBC.JTH/047/2004 tertanggal 19 Januari 2004 jo CBC.JTH/1595/2004 tertanggal 3 Januari 2004.
Bahwa perbuatan Tergugat I dan Tergugat III serta Tergugat V yang telah memutasi SertifiKkat Hak Milik No. 691 Desa/Kelu rahan Parung Serab dari atas nama Penggugat keatas nama Tergugat I tanpa seijin Penggugat dengan cara memfigur H. Limar MaryadiAsli atau Penggugat dengan H. Limar Maryadi palsu jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum bahkan untuktindak pidananya telah kami laporkan kepada Kepolisian Republik Indonesia Resort Tangerang No. Pol. LP/K/1038/X/2005/Resort Tangerang dan telah diputus oleh Pengadilan Tangerang pada tanggal 25 April 2007 dan Tergugat I dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana pemalsuan.
Oleh karena Para Tergugat, Tergugat I, II, III, IV dan V telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian baik material maupun moril yang jika dinilai uang diperinci sebagai berikut:
- Biaya mencari Tergugat Rp. 10.000.000,-
- Biaya Pengacara dan Biaya Perkara Rp.110.000.000,-
Eksepsi Tergugat antara lain sebagai berikut :
Tergugat II,menyatakan bahwa Tergugat II hanya sebatas sebagai saksi dalam proses transaksi pinjaman uang antara Penggugat dengan Tergugat I dengan jaminan sertifikat No.691 atas nama Penggugat. Adapun hubungan Tergugat II dengan Penggugat telah selesai setelah Penggugat mengembalikan uang pinjamannya kepada Tergugat II.
Tergugat IV, Gugatan kabur (obscuurlibel) :Penggugat mengajukan gugatan yang di tujukan kepada Di reksi Bank Mandiri, namun dialamatkan di Gedung Menara BDNI, Jalan Muh. Husni Tamr in No. 3 Kebon Sirih Jakarta Pusat. Sesuai data dan fakta yang sebenarnya bahwa Gedung Menara BDNI bera lamat di Jalan Hayam Wuruk No. 8 Jakarta Pusat bukan di Jalan MH. Tamrin No. 3 Jakarta Pusat sedangkan yang bera lamat di Jalan M.H. Thamr in No. 3 Jakarta adalah Kantor Perwakilan Bangkok Bank di Jakarta . Bahwa Direksi Bank Mandiri tidak berkedudukan/bertempat di Gedung Menara BDNI maupun di Jalan MH. Thamrin No. 3 Jakarta. Dengan demikian, maka gugatan Penggugat telah salah tempat dan salah alamat, sehingga karenanya gugatan menjadi kabur (obscuurlibel), karena alamat tempat tinggal atau kedudukan hukum subyek yang digugat tidak jelas. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka gugatan Penggugat agar di tolak atau setidak-tidaknya gugatan dinyatakan tidak diterima (Nietonvantkelijk Verklaard)
Tergugat V, Gugatan kabur (obscuurlibel), yang pada intinya Posita dan Petitum saling bertentangan.
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Tangerang telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 128/Pdt.G/2007/PNTNG tanggal 13Februar i 2008 yang amarnya sebagai berikut :
Dalam Eksepsi ;
- Menerima eksepsi Tergugat II ;
- Menolak eksepsi Tergugat III, IV dan Tergugat IV;
Pokok Perkara :
Akibat hukum atas pembebanan hak tanggungan tanah milik menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan adalah menimbulkan hak bagi Kreditor atau pemegang Hak Tanggungan untuk diutamakan dari Kreditor-Kreditor lain yaitu apabila debitor cidera janji, Kreditor (Pemegang Hak Tanggungan) berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang akan dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu (disebut juga Kreditor Preferen) daripada Kreditor-kreditor yang lain. Hal ini dikarenakan debitor (Pemberi Hak Tanggungan) telah berjanji untuk memberikan kewenangan kepada kreditor (Pemegang Hak Tanggungan) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan sebagai berikut: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”.
Selain berhak menjual melalui pelelangan umum, tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kreditor (Pemegang Hak Tanggungan) walaupun tidak menguasai tanah milik yang dibebankan Hak Tanggungan secara fisik berwenang untuk berbuat sesuatu terhadap tanah yang dijadikan agunan (jaminan) jika Debitor (Pemberi Hak Tanggungan) cidera Janji dengan menjualnya dan mengambil hasil penjualan tersebut, baik sebagian atau keseluruhan sebagai pembayaran utang lunas Debitor.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, akibat hukum atas pembebanan Hak Tanggungan tanah milik menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan adalah menimbulkan hak bagi Kreditor atau pemegang Hak Tanggungan untuk menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain apabila debitor cidera janji. Dengan demikian, maka apabila pemilik tanah selaku debitor cidera janji untuk melunasi utang kepada kreditor, kreditor berhak untuk melakukan eksekusi atas tanah tersebut berupa pelelangan berdasarkan peraturan yang berlaku untuk melunasi utang dari debitor.
Sedangkan untuk sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 691 yang dibebankan Hak Tanggungan oleh Budiman selaku pihak yang bukan memiliki sertifikat tersebut adalah bahwa sertifikat tersebut menjadi penguasaan Bank Mandiri selaku kreditor dalam perjanjian kredit Bank dengan Budiman selaku debitor. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian kredit bank tersebut, Budiman tidak dapat melunasi utang atau pinjaman kredit bank tersebut, maka Bank mandiri selaku kreditor berhak untuk melakukan pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan sebagai pelunasan dari pinjaman kerdit bank tersebut. Oleh karena Budiman tersebut bukan si pemilik (atas nama sendiri ) Sertifikat Hak Milik Nomor 691, maka Hak Tanggungan yang dibebankan oleh Budiman batal demi hukum.
Dalam sengketa yang diputus MA dengan Nomor 396 K/Pdt/2009, Penulis menganalisis adanya tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), yang berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hokum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapus piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Hal tersebut terlihat jelas pada posita Putusan MA Nomor 396 k/Pdt/2009 nomor 4. “Bahwa pinjam meminjam tersebut dibuat dibawah tangan diatas kertas bermaterai antara penggugat dengan tergugat dan seterusnya.” Dalam perbuatan hukum tersebut, penulis mempunyai gambaran bahwa yang ditandatangani dibawah tangan tersebut bisamerupakan akta jual beli atau Surat Kuasa Jual. Terbukti dengan Posita Nomor 6, “Setelah di cek, ternyata sertifikat tersebut telah dibebankan Hak Tanggungan dengan dibalik nama terlebih dahulu dari Penggugat ke Tergugat I.
Beralihnya hak kebendaan, bisa melalui jual beli, hibah, warisan, dan tukar menukar. Dari pengertian tersebut, menurut penulis kemungkinan besar pengalihan hak kebendaan tersebut melalui jual beli dengan cara mengklamufase/mengelabui/menipu penggugat untuk tanda tangan (tidak dihadapan pejabat yang berwenang / dibawah tangan).
Selain itu penulis berpendapat adanya tindak pidana pemalsuan surat.
Pasal 263 ayat (1), yang berbunyi,“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Pasal tersebut dikaitkan dengan posita 9, adanya perbuatan memfigur H. Limar Maryadi Asli, dengan H.Limar Maryadi Palsu. Secara otomatis perbuatan / pembuatan akta / surat dihadapan PPAT batal demi hukum.
Notaris PPAT Hasriwaty, SH melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf l, yang berbunyi Notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu.”
Dari kutipan tersebut penulis simpulkan bahwa PPAT Hasriwaty, SH selaku Notaris PPAT tidak cermat dalam menyelidiki para pihak dikarenakan meluluskan adanya mutasi dari atas nama H. Limar Maryadi ke atas nama tergugat I. Padahal dalam Pasal 16 ayat (1) diatas secara jelas Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap, sedangkan penghadap tersebut bukan pemilik atas nama sertifikat tanah itu sendiri melainkan orang lain yang mengaku sebagai H. Limar Maryadi.
Seharusnya PPAT Hasriwaty, SH tidak bisa menerbitkan akta jual beli No.34/2004, tertanggal 5 Maret 2004, dikarenakan tidak Sesuai Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi, “Jual Beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dengan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” Pemilik sertifikat H. Limar Maryadi itikad awalnya hanya meminjam uang terhadap tergugat I, tetapi tanpa sepengetahuan H. Limar Maryadi, telah terjadi balik nama sertifikat. Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak adanya kata sepakat antara H. Limar Maryadi dengan Tergugat I, jadi perjanjian tersebut batal demi hokum.
Kerugian akibat perbuatan Tergugat I, Budiman, dan PPAT Hasriwaty, SH telah menimbulkan kerugian materiil maupun moril penggugat, oleh karenanya menurut Pasal 1365 KUHPER kepada para tergugat dapat dibebankan ganti rugi baik sendiri-sendiri maupun tanggung renteng.
BAB III
PENUTUP
Dengan adanya kasus tersebut, penulis ingin memberikan sedikit saran kepada pembaca, antara lain :
Daftar Pustaka
Buku-Buku :
Perundang-Undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
Undang-Undang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar