04/01/14

MATERI WARIS ADAT {kenotariatan sm 3} | Pak Sulastriyono




RENCANA PROGRAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)


SULASTRIYONO
HUKUM WARIS ADAT
MKN. 6012/ 2 SKS


PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA



YOGYAKARTA
2010
RENNCANA PROGRAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)

HUKUM WARIS ADAT

1.    Nama Matakuliah          :  Hukum Waris Adat
2.    Kode/ SKS                     :  MKN 6012    / 2 SKS
3.    Prasyarat                        :  ---
4.    Status Matakuliah        :  Wajib
5.    Deskripsi Singkat         : Mata kuliah ini memberikan pengetahuan dan ketrampilan mengenai Hukum Waris Adat, di mana kedua aspek ini akan dipelajari baik dari ketentuan Hukum positif di Indonesia maupun Yurisprudensi (keputusan-keputusan hakim) yang berhubungan dengan kasus-kasus kewarisan menurut Hukum Adat. Materi kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang diberikan  pada mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada semester genap, yang  meliputi  pengertian Hukum Waris Adat, Sifat Hukum Waris Adat, Sistem Kewarisan Adat, Harta Warisan, Pewaris, Ahli Waris, Proses Pewarisan, Hibah Wasiat dan Peradilan Warisan Adat.

6. Tujuan Pembelajaran       : 
     Setelah  menyelesaikan  mata kuliah ini  para mahasiswa Program  Magister Kenotariatan diharapkan dapat memahami, serta menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi Hukum Waris Adat  sebagai hukum yang hidup  berdampingan  dengan hukum tertulis cq. Undang Undang. Di samping itu, mahasiswa juga mampu menganalisis berbagai persoalan kewarisan menurut perspektif Hukum Waris Adat.  

7.    Materi Pembelajaran:

NO
Topik (Pokok  Bahasan)
Sub Pokok Bahasan
1.
Pengantar Hukum Waris Adat
a.    Istilah Hukum Waris Adat
b.    Pengertian Hukum Waris Adat

2.
Sifat Hukum Waris Adat dan Unsur warisan
a.    Tidak selalu diperhitungkan secara matematik
b.    Tidak  mengenal bagian mutlak (legitieme portie)
c.    Subyek pewarisan
d.    Obyek pewarisan
3.
Sistem Kewarisan Adat
a.  Sistem Kewarisan Kolektif
b.  Sistem Kewarisan Mayorat
c.  Sistem Kewarisan Individual
4.
Pewaris
a.    Pewaris Ayah
b.    Pewarsi Ibu
c.  Pewaris Orangtua
5.
Ahli Waris
a.    Anak Kandung
b.    Anak Tiri dan Anak Angkat
c.    Janda dan atau duda
d.    Para Waris Lainnya

6.
Harta Warisan



a.    Harta Asal
b.    Harta Pemberian
  c.  Harta Pencaharian

7.
Proses Pewarisan
a.    Sebelum Pewaris Meninggal
b.    Sesudah Pewaris Meninggal

8.
Pembagian Harta Warisan
Dan Hilangnya hak mewaris
a. Besarnya bagian anak sah
b. Besarnya bagian janda atau duda
c. Besarnya bagian saudara atau kerabat lainnya
d. Faktor-faktor penyebab hilangnya hak mewaris
9.
Hibah  Wasiat
a.    Tujuan Hibah Wasiat
b.    Proses Hibah Wasiat
c.    Penerima Hibah Wasiat
10.
Peradilan Warisan
a.    Musyawarah Keluarga
b.    Musyawarah Adat
c.    Proses Litigasi/ pengadilan


8.    Outcome Pembelajaran:
Setelah mengikuti mata kuliah ini, para mahasiswa Program Magister Kenotariatan diharapkan mampu:
a.    mengenal, mengetahui, mengidentifikasi dan memahami terhadap istilah dan pengertian mengenai Hukum Waris Adat.
b.    Memahami dan mengetahui berbagai karakteristik atau sifat Hukum Waris Adat dan hukum kewarisan lainnya.
c.    Mengetahui dan memahami sistem Kewarisan Adat  yang pernah dan atau berlaku di Indonesia.
d.    Memahami dan menjelaskan berbagai macam Harta Waris menurut Hukum Adat.
e.    Memahami dan menjelaskan tentang orang atau pihak yang berstatus sebagai pewaris.
f.     Mengetahui dan memahami tentang orang atau para pihak yang berstatus sebagai ahli waris.
g.    Memahami dan menjelaskan proses pewarisan atau saat berlangsungnya peralihan harta warisan menurut Hukum Adat.
h.    Memahami dan mengidentifikasi pengertian dan persoalan hibah wasiat dan wasiat dalam perspektif Hukum Adat.
i.      Mengetahui, memahami dan menganalisis proses peradilan masalah kewarisan menurut Hukum Adat.


9.    Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan:
Rencana perkulihan selama satu semester direncanakan diselenggarakan dalam waktu 12 – 16 minggu. Berdasarkan asumsi ini, maka pokok bahasan dibagi ke dalam 14 minggu, sementara 2-4 minggu sisanya dialokasikan untuk ujian mid-semester dan akhir semester. Apabila suatu saat satu semester hanya 12 atau 13 minggu, maka kekurangan waktu mengajar dapat ditambah dan atau materi kuliah dipadatkan. Dalam kegiatan belajar mengajar ini setiap kuliah diperkirakan memakan waktu selama 60 menit.

Minggu
ke
Topik & Substansi Bahasan
Metode
Pembelajaran
1
dan
2
Pengantar Hukum Waris Adat :
a.    Istilah Hukum Waris Adat
b.    Asas, ciri atau karakteristik Hukum Waris Adat
c.    Pengertian Hukum Waris Adat
d.    Unsur-unsur  pewarisan

1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.


3
dan
4

Sistem Kewarisan Hukum Adat:
a.    Sistem Kewarisan Kolektif
b.    Sistem Kewarisan Mayorat
c.    Sistem Kewarisan Individual


1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.

5
dan
6
Macam-macam Harta menurut Hukum Waris Adat :
a.    Harta Perkawinan
b.    Harta Peninggalan
c.    Harta Warisan
d.    Harta Bawaan
e.    Harta Bersama
f.     Harta Pemberian
1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.

2)tanya-jawab/ diskusi kelas.


7

UJIAN TERTULIS MID-SEMESTER

8
Pihak yang berstatus sebagai pewaris :
a.    ayah
b.    ibu
c.    orangtua/ kakek-nenek
d.    saudara
1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.

9
Para pihak yang dapat berstatus sebagai ahli waris:
a.     anak kandung
b.     anak tiri

1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.
3)responsi
10
Para Pihak yang dapat berstatus sebagai ahli waris:
a.    anak tiri
b.    anak angkat
c.    janda atau duda
d.    para ahli waris lainnya

1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.

11
Proses pewarisan :
a.    Sebelum pewaris meninggal dunia
b.    Setelah pewaris meninggal dunia
c.    Pembagian warisan
d.    Hilangnya hak mewaris


1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.

12
Hibah dan atau wasiat :
a.    Tujuan hibah-wasiat
b.    Penerima hibah-wasiat
c.    Proses hibah-wasiat

1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.

13
Peradilan kewarisan menurut Hukum Adat :
a.    Pengertian peradilan Adat
b.    Musyawarah keluarga
c.    Musyawarah Adat
d.    Litigasi atau pengadilan formal
1)ceramah dengan didukung OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi kelas.


14

UJIAN  TERTULIS AKHIR SEMESTER

  
10.  Bentuk Evaluasi:
Selama ini penilaian utama terhadap hasil kegiatan belajar mahasiswa program Magister Kenotariatan dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan cara ujian 2 X selama satu semester (ujian mid dan akhir semester). Di samping itu, presensi kedatangan, keaktifan menanggapi materi kuliah atau diskusi dan para mahasiswa juga diwajibkan membuat paper mandiri.
Evaluasi melalui bentuk ujian tertulis baik mid-semester dan akhir semester dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kemampuan daya serap dan analisis atau hard skill  mahasiswa terhadap materi yang didiskusikan di dalam kelas secara individual. Di samping itu, evaluasi terhadap aktivitas individu dan kelompok dalam diskusi, tanya jawab serta kediplinan dalam mengikuti kegiatan perkuliahan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penilaian bagi mahasiswa yang bersangkutan (soft skill).

11. Bahan, Sumber Informasi, dan Referensi:
a.    Bahan
              i.        Bahan hukum primer yang berupa living law dalam suatu masyarakat
            ii.        Bahan-bahan yang berasal dari dokumen berupa peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Di samping itu,  dokumen sekunder berupa salinan putusan pengadilan, dan berbagai tulisan yang terkait dengan way of life ataupun adat kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat.

b.    Sumber Informasi:
Tokoh masyarakat, masyarakat hukum, ahli Hukum Waris Adat dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan materi kuliah.

c.    Referensi:
              i.        Referensi Wajib:
Hadikusuma, Hilman, 1999, Hukum Waris Adat, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.


            ii.        Referensi Pendukung:
Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.

________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat,  Fajar Agung, Jakarta.

________________, 1991, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

________________, Harahap, Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda, dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Simanjuntak, PNH, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Soedijat, Imam, 1981, hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.

Suparman, Eman, 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung.

Wignjodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-asas Hukum Waris Adat, PT Gunung Agung, Jakarta. 




BAHAN AJAR
HUKUM   ADAT
( HKU 302 - 2 SKS)

A.  PENGENALAN HUKUM WARIS ADAT
       1.  Pengertian Hukum Waris Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum Waris Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Waris Adat, tetapi disini hanya akan dikemukakan beberapa contoh saja. Menurut Van Vollenhoven Hukum Waris Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu “hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena  itu “adat”).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Waris Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif  (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka Hukum Waris Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Waris Adat dan Pembangunan Nasional tahun 1975 yang diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan Fak. Hukum UGM mendifinisikan Hukum Waris Adat sebagai :Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana sini mengandung unsur agama).

3.   Ciri-ciri Hukum Waris Adat
Hukum Waris Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:

a.   Keagamaan
      Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Waris Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu.

b.   Kebersamaan
      Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka Hukum Waris Adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.

c.   Tradisional
      Kata “tradisional” berasal dari kata benda “tradisi” yang menurut Myror Wemwr berarti: “the biliefs andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the tradition change”. Hukum Waris Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan masyarakat. Maka Hukum Waris Adat yang tradisional itu tidak statis.

d.  Konkrit
     Sifat hubungan hukum dalam Hukum Waris Adat adalah konkrit, artinya nyata, terang, dan tunai, tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada “ijab kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan perkawinan.

e.   Dinamis dan plastis
      Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.

f.   Tidak dikodifikasi
     Hukum Waris Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.

g.   Musyawarah dan Mufakat
      Hukum Waris Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum Waris Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri, mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.



B. SISTEM  HUKUM WARIS ADAT

1.    Sistem Hukum Waris Adat
Hukum yang berlaku pada masyarakat atau bangsa tertentu dapat dipastikan merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat umumnya merupakan kebulatan tekad berdasarkan atas kesatuan alam pikiran masyarakat yang bersangkutan. Sistem Hukum Waris Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu saja tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat (Soepomo). Menurutnya antara sistem Hukum Waris Adat dan Hukum Barat terdapat perbedaan yang fundamental; antara lain:
a)    Hukum Barat mengenal “hak kebendaan” (zakelijkrechten), yaitu hak atas sesuatu barang yang berlaku terhadap setiap orang (misalnya hak milik, hak hipotik).  Di samping itu, Hukum Barat juga mengenal “hak perorangan”  (persoonlijkrechten), yaitu hak orang seorang atas suatu obyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu (misalnya hak sewa, hak pakai). Berbeda dengan konsep itu, Hukum Waris Adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Perlindungan hak-hak menurut Hukum Waris Adat  diserahkan ke tangan hakim. Jika terjadi sengketa , maka hakimlah yang diberi kewenangan untuk menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan dalam masyarakat yang bersangkutan.

b)    Sistem Hukum Barat mengenal pembagian  hukum menjadi “hukum publik”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum dan “hukum privat”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan khusus (perorangan/privat). Hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat dipertahankan eksistensinya oleh para individu yang berkepentingan.
Hukum Waris Adat tidak mengenal pembagian hukum seperti di atas, jika akan dibedakan dalam Hukum Waris Adat, maka pembedaan pada hukum ini akan didasarkan  menurut obyek yang diaturnya, misalnya Hukum Tanah, Hukum Perkawinan, maupun Hukum Waris. Di dalam Hukum Waris Adat hak-hak perdata yang dipunyai seseorang mengandung muatan hak publik. Implikasi persoalan seperti ini mempengaruhi kepada pembidangan hukumnya. Dalam Hukum Tanah misalnya diatur tentang hak milik, suatu hak yang dipunyai oleh seorang individu tetapi di dalam hak itu terkandung juga mempunyai fungsi sosial (ada muatan publiknya). Individu menurut Hukum Waris Adat adalah sebagai anggota masyarakat, tetapi jika tanah miliknya diperlukan oleh masyarakat seyogyanya mendapatkan ganti rugi yang sepadan atau bahkan lebih dari itu sebagai imbalan pengorbananya.

c)    Dalam Hukum Barat dibedakan pelanggaran yang bersifat pidana sehingga hanya akan diperiksa oleh hakim pidana; dan pelanggaran yang bersifat perdata yang hanya akan diperiksa oleh hakim perdata. Menurut Hukum Waris Adat apabila ada dua jenis pelanggaran (pidana dan perdata) yang dilanggar, maka pihak pelanggar aturan itu akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu persidangan yang tidak terpisah. Dengan demikian diharapkan keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat dapat dipulihkan secara proporsional sekaligus.

d)    Sistem accessie dan sistem pemisahan horisontal
Hukum Barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) menerapkan sistem accessie atas kesatuan benda, yaitu benda tambahan atau pelengkap mengikuti (menjadi satu dengan) benda induknya. Dengan demikian suatu benda pokok dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada benda tersebut (natrekking) secara otomatis menjadi satu kesatuan. Dalam Hukum Waris Adat khususnya untuk benda-benda selain tanah diterapkan sistem accessie , sedangkan untuk benda yang berujud tanah dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada tanah itu digunakan sistem pemisahan horisontal. Sistem Hukum Waris Adat ini kemudian dipakai dalam UUPA, yaitu mengenai Hak Guna Bangunan (psl. 35), Hak Guna Usaha (psl. 28) maupun Hak Pakai seperti pada pasal 41 UU. No. 5 Tahun 1960.

e)    Sistem common Law  
Berlainan dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Inggris (Common Law) banyak persamaannya dengan Hukum Waris Adat. Djojodigueno menyatakan:”dalam negara Anglo Saxon, di sana sistem common law tak lain dari sistem Hukum Waris Adat, hanya bahannya berlainan. Dalam sistem Hukum Waris Adat bahannya ialah hukum Inidonesia asli, sedang dalam sistem common law bahannya memuat banyak unsur-unsur hukum Romawi Kuno, yang konon katanya telah mengalami “Receptio in Complexu”. Sistematika Hukum Waris Adat mendekati hukum Inggris, yang tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma). Hukum Inggris juga mengenal peradilan yang menyelesaikan perkara secara damai yang disebut Justice of the Peace,yang mirip dengan “peradilan adat” (peradilan desa/hakim perdamaian desa).

2.    Sumber Hukum Waris Adat
Menurut MM. Djojodigueno ada dua kategori sumber hukum, yaitu:
a.   Kekuasaan pemerintah negara atau salah satu sendinya.
Kekuasaan pemerintah sebagai sumber hukum dinyatakan dalam wujud sebagai berikut :
1)  Peraturan, yaitu pernyataan kekuasaan legeslatif (kekuasaan mengatur).
2)  Putusan Penjabat-penjabat kekuasaan negara lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif (kekuasaan pelaksanaan) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Yurisprudensi adalah pernyataan kekuasaan yudikatif.
3) Perjanjian Internasional dan pernyataan perang serta segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sendiri.

b.   Kekuasaan masyarakat sendiri
1) Perbuatan rakyat sendiri dalam menyelenggarakan dan melaksanakan perhubungan pamrihnya, yang mungkin menebal menjadi adat kebiasaan.
2)  Putusan rakyat dalam peragaan yang tertentu, misalnya putusan Kamer van Koophandel, vereniging van assuradeuren, rukun kampung,rukun tetangga, perhimpunan kematian (perhimpunan sripah) dsb.
3)   Pemberontakan terhadap penguasa yang ada.
      Hukum Waris Adat adalah hukum yang bersumber kepada 1b,c serta 2a-c. Selain itu pepatah adat juga dapat digunakan untuk mendapatkan sumber bagi berlakunya asas hukum. Misalnya, harta peninggalan pewaris yang tidak cukup untuk melunasi hutang kepada para kreditur, maka dibayar secara proporsional dengan menggunakan asas yang diambil dari pepatah adat: “Gadang agak berumpuk kecil agak bercacak” Putusan Landraad Pariaman, 13-5-1937).


C. DASAR  BERLASKUNYA HUKUM WARIS   
1.  Dasar filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Waris Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Waris Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Waris Adat.

2.   Dasar sosiologis
Secara empiris berlakunya Hukum Waris Adat di masyarakat telah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat secara sukarela tanpa ada paksaan. Jadi Hukum Waris Adat merupakan hukum yang hidup (the living law).

3.   Dasar yuridis
Pasal 75 lama RR alinea 3 menyebutkan: “kecuali jika ada pernyataan seperti dimaksud dalam alinea 2 atau kecuali dalam hal orang Bumi Putera secara sukarela menundukkan diri kepada perundang-undangan mengenai hukum kerakyatan dan hukum dagang Eropa maka diterapkan oleh hakim Bumi Putera peraturan keagaman, lembaga-lembaga rakyat, adat kebiasaan dari orang Bumi Putra dengan pembatasan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kepatutan dan keadilan yang lazim diterima baik.
Pasal 131 ayat 2b IS yang berisi perintah kepada pembuat undang-undang untuk mengadakan kodifikasi hukum privat bagi golongan Bumi Putra dan Timur Asing. UUD 1945 tidak memuat satu pasalpun mengenai dasar yuridis berlakunya Hukum Waris Adat. Dalam ketentuan pasal II AP dikatakan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang beru menurut UUD ini.
Pasal 1 ayat 2 UU Darurat nomor 1 Tahun 1951 menentukan bahwa secara berangsur-angsur akan ditentukan oleh mentri kehakiman, dihapuskan:
a.  Segala peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rectspraak) dalam negara Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Negara Indonesia Timur, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
b.  Segala Peradilan Adat (Inheemse Rectspraak in rechtstreeks bestuur gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri menurut Hukum Waris Adat. Pasal 1 ayat (3) UU tersebut memuat ketentuan bahwa Dorprechter (hakim desa) tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat telah dihapus dan diteruskan oleh hakim Pengadilan Negeri.
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa hakim dalam mengadili perkara  dalam setiap keputusannya dicantumkan alasan yang menjadi landasan hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1): “hakim sebagai penegak keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA diatur dalam pasal 2 ayat (4), Pasal 5, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 56 UUPA. Pasal-pasal tersebut memberikan penjelasan yang berbeda-beda mengenai Hukum Waris Adat sehingga timbul berbagai penafsiran.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35 dan 36 diatur mengenai harta perkawinan. Harta perkawinan meliputi harta bersama dan harta bawaan. Pasal-pasal tersebut tidak menyebut istilah Hukum Waris Adat tetapi pengaturannya sejalan dengan konsep harta perkawinan menurut Hukum Waris Adat. Selain itu dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ini berarti  membuka peluang bagi yang akan menggunakan Hukum Waris Adat.

 

D. MASYARAKAT DAN DESA

1.  Masyarakat dan Masyarakat Hukum  Adat
Masyarakat dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai “pergaulan hidup” dan yang lebih tepat lagi masyarakat itu diartikan sebagai kelompok manusia yang hidup bersama dan kehidupan bersama itu merupakan pergaulan hidup. Dalam pergaulan hidupnya itu terdapat pola-pola perilaku yang dimengeri maknanya oleh setiap warga kelompok. Mereka merasa sebagai satu kesatuan.
Masyarakat Hukum, diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama dalam tata hukum yang sama (Rechtsgemeenschap) sehingga mereka juga merupakan satu kesatuan. Ciri lainnya adalah bahwa masyarakat hukum mempunyai wewenang hukum (otoritas hukum, Rechtsgezag) dan upaya pemaksa hukum ((Rechtsdwang). Di samping itu juga mempunyai kekayaan dan dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum dalam lalu lintas hukum seperti subyek hukum lainnya.
Masyarakat Hukum Waris Adat, dapat diketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.  Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar baik lahir maupun batin.
b.  Mempunyai tata susunan tetap dan kekal, dalam arti tidak seorangpun di antara mereka mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok tersebut.
c.  Para warganya menghayati kehidupannya dalam kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar yang dikehendaki oleh kodrat alam.
d. Mempunyai harta benda cita yang harus dibina dan dipertahankan bersama.
e.  Mempunyai kewibawaan dan daya paksa dalam kreasi pelaksanaan dan pembinaan hukum. Dengan demikian fungsi masyarakat Hukum Waris Adat adalah merupakan suatu bingkai yang turut menentukan kepribadian Hukum Waris Adat setempat yang dipagarinya atau selaku peta denah dari halaman kerjanya.

2. Organisasi Desa
a.   Pengertian desa
Organisasi desa menurut Hukum Waris Adat ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Ia merupakan kesatuan tertunggal wilayah terbesar dalam suasana rakyat, artinya bahwa organisasi itu merupakan proyeksi dari kecakapan atau kemauan dari anggota masyarakat itu sendiri.
Dalam Hukum  Adat, desa mempunyai nama setempat yang berbeda-beda seperti: desa, negari, kuria, marga dll.

b.   Fungsi desa
Desa berfungsi dan bermakna serta berkonsekuensi dalam Hukum Waris Adat: 
1)  Merupakan subyek hak ulayat
2)  Masyarakat hukum yang paling utama. Masyarakat hukum dalam arti, badan hukum yang berwibawa dalam perkembangan dan pemeliharaan Hukum Waris Adat.

c.  Pola Susunan Pemerintahan Desa:
1) Persekutuan setempat atau desa bersentralisasi, yaitu suatu kebulatan kemasyarakatan yang didasarkan ketunggalan wilayah yang di pusatnya terdapat perurusan kekuasaan yang mengurus segala hal di wilayahnya.
2) Persekutuan daerah atau desa berdesentralisasi, dibaginya satu wilayah desa menjadi beberapa bagian atau daerah dan setiap daerah mempunyai badan pemerintahan kecil yang berkuasa di daerahnya sendiri, namun untuk sebagian menjalankan/menerima kekuasaan dari pemerintah pusatnya.
3) Federasi desa atau perserikatan desa (dorpenbond) yaitu bergabungnya beberapa desa yang saing berdekatan/berbatasan untuk suatu kepentingan dan kemanfaatn bersama. Dalam hal ini pemerintah pusat masing-masing desa yang bergabung memberi amanat/kuasa kepada badan perurusan (yang dibentuk tersendiri oleh desa-desa yang bergabung) untuk mengurus apa yang menjadi kepentingannya.

3.  Desa dalam peraturan perundang-undangan
UU nomor 32 tagun 2004


E.HUKUM TANAH
1.  HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1.Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus, slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun ciri-ciri hak ulayat adalah :
  1. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
  2. Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
  3. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
  4. Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
  5. Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
  6. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan. 
Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar.  Berlaku ke dalam berarti semua warga persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai perorangan untuk kepentingan persekutuan. Berlaku ke luar berarti bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh: uang pemasukan).
Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan binatang yang hidup liar.

b.     Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan semakin lemah hak perorangannya.
Kedudukan Hukum Waris Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
a.    Hukum Waris Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
b.    Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada.
c.    Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang tercantum pada  huruf a, hak ulayat ditingkatkan menjadi hak WNI.
d.    Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar penentuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56 Prp 1960.    

2. Hak Perorangan
  1. Pengertian Hak Perorangan
Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada warga desa atau orang luar atas sebidang tanah yang ada di wilayah hak ulayat.

  1. Jenis-jenis hak Perorangan
1)    Hak milik, hak yasan (inlandbezitsrecht)
2)    Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
3)    Hak menikmati hasil (genotsrecht)
4)    Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap atau mengolah (ontginningsrecht)
5)    Hak keuntungan jabatan (ambtelijk profitrecht)
6)    Hak wenang beli (naastingsrecht)

  1. Cara Perolehan Hak Milik
1)    Membuka tanah hutan atau tanah belukar
2)    Mewaris tanah
3)    Menerima tanah karena pembelian, penukaran atau hadiah
4)    Daluwarsa (verjaring)
Dalam masalah melakukan Hak membuka tanah bagi masyarakat Hukum Waris Adat harus diperhatikan dua hal agar tanah yang dibuka itu tidak menimbulkan kegoncangan;
  1. Pembukaan tanah harus menghormati:
1)    Hak ulayat
2)    Kepentingan warga desa yang lain
3)    Aturan Hukum Waris Adat
  1. Tata cara pembukaan tanah:
1)    Memberitahukan kepada kepala persekutuan hukum
2)    Memberi tanda-tanda batas
3)    Mengadakan upacara adat
Dengan mengindahkan hal- hal sebagaimana yang ditentukan dalam tata cara tersebut, maka pembukaan tanah itu menjadi terang,  kongkrit dan religious sesuai dengan asas publisitet dan religies yang merupakan sifat Hukum Waris Adat.


D. Pengaruh dari luar
Pengaruh raja
Pada kenyataannya raja-raja juga mempunyai pengaruh dalam perkembangan Hukum Tanah, pengaruh tersebut dapat berupa dua kemungkinan; yaitu merusak pengaturan Hukum Tanah dan dapat juga memperkuat pengaturan Hukum Tanah.


1.    Pengaruh Pemerintah Kolonial
Pengaruh pemerintahan kolonial dalam Hukum Tanah yang cukup penting adalah sebagai berikut:
a)    Pajak bumi atau landrent  dari Raffles
b)    Cultuurstelsel dari Gubernur Jenderal Van den Bosch
c)    Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit, Domein Verklaring
d)    Vervreemdingsverbod  (S. 1875 No. 179)



2.    Pengaturan Hak Perorangan Dalam UUPA
a)    Hak-hak yang ada di dalam UUPA sebagaimana yang termuat dalam pasal 6-undang-undang ini.
b)    Cara perolehan hak perorangan khususnya hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan cara perolehan dalam Hukum Waris Adat
c)    Fungsi sosial di dalam hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan yang ada dalam Hukum Waris Adat.

F. PERKAWINAN ADAT
1.  Pengertian Perkawinan
Menurut  MM Djojodigoeno, perkawinan merupakan upacara saja, upacara itu merupakan inisiasi (pemasukan) dalam keadaan yang baru; yaitu keadaan orang-orang yang telah penuh perkembangan hidupnya sehingga menjadi orang yang penuh bernilai dalam masyarakat. Oleh karena mereka sebagai pemimpin dalam paguyuban yang disebut keluarga (somah) dan mengatur hal ikhwal hidup mereka berdua dan hidup anak-anaknya tanpa batasan apapun juga.
Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga  berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Selain itu, menurut Van Gennep perkawinan adalah suatu upacara rites de passage (upacara peralihan). Upacara peralihan tersebut melembagakan perubahan status diri mereka berdua, dari tadinya hidup terpisah tetapi setelah melalui upacara-upacara tertentu menjadi hidup bersama sebagai suami isteri. Adapun tiga tahapan menuju hidup bersama sebagai suami isteri menurut Gennep adalah rites de separation (upacara perpisahan pelepasan dari status semula), rites de marge (upacara perjalanan menuju ke status baru), dan rites d ‘aggregation (upacara penerimaan ke dalam status baru).
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir-batin anatara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
 
2. Asas-asas Perkawinan
Menurut Hukum Waris Adat suatu perkawinan bukan semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, tetapi juga bermakna suatu hubungan hukum yang menyangkut pra anggota kerabat dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agamanya dan atau kepercayaannya tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabatnya. Pengakuan anggota kerabat menjadi penting karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami isteri yang tidak diakui oleh adat.
Perkawinan, selain terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dapat juga dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh Hukum Waris Adat.  Selain itu, menurut Hukum Waris Adat perkawinan dapat pula dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur  atau masih anak-anak. Apabila terjadi perkawinan antara anak yang belum cukup umur dan orang yang sudah cukup umur, maka perkawinan itu harus mendapatkan izin dari orang tuanya atau kerabatnya.
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah asas perkawinan, alasan kawin lebih dari seorang isteri dan syarat-syarat poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5. Persyaratan yang diatur pada pasal 4 UU Perkawinan ini dikenal dengan persyaratan alternatif, sedangkan pasal 5-nya dikenal dengan persyaratan kumulatif dalam poligami. 

3.    Sistem Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum Waris Adat terdapat beberapa sistem perkawinan yang mendominasi aturan di masyarakat, yaitu :
a.    Endogami, dalam masyarakat yang mengatur perkawinannya dengan sistem ini, konsekuensinya seorang laki-laki diharuskan mencari calon isteri yang berasal dari lingkungan kerabatnya (keluarga, klan, atau suku sendiri).
b.    Exogami, menurut sistem perkawinan ini, seorang pria yang akan melangsungkan perkawinan diharuskan mencari calon isteri berasal di luar marga atau kerabatnya.
c.    Eleutherogami, dalam sistem perkawinan ini seorang laki-laki tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di dalam atau di luar lingkungan kerabatnya.

 
4.    Syarat-syarat Perkawinan
Pada umumnya menurut Hukum Waris Adat walaupun orang sudah dewasa tetapi tidak berarti  bebas untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan dari orang tua atau kerabatnya. Oleh karena itu, jika bertindak sendiri dalam melakukan perkawinan dapat berakibat orang yang bersangkutan menjadi tersingkir dari kerabatnya.  Dalam masalah perkawinan, kadang kala persetujuan orangtua lebih penting dari pada persetujuan calon mempelai.
Berbeda dengan aturan undang-undang Perkawinan, masalah batas umur orang yang akan melangsungkan perkawinan  dalam Hukum Waris Adat tidak mengaturnya. Dengan demikian berarti, Hukum Waris Adat memperbolehkan terjadinya perkawinan pada semua umur tanpa ada batasannya. Di samping itu, perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan dapat saja diadakan bukan saja antara calon suami isteri, tetapi juga dapat dilakukan antara mempelai dengan kerabat dan atau juga antara kerabat mer

G. PEWARISAN ADAT
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Waris Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. 

2. Perbandingan Sifat Hukum Waris
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
a.    Harta warisan dalam sistem Hukum Waris Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
  1. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
  2. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
 
3. Asas Hukum waris
Berdasarkan ketentuan Hukum Waris Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Waris Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).  Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.

4. Sistem Hukum Waris
Menurut ketentuan Hukum Waris Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
a.    Sistem Kolektif,
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.

b.    Sistem Mayorat,
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

  1. Sistem Individual,
Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.

5.    Peradilan Adat
Peradilan adat adalah  acara yang berlaku menurut Hukum Waris Adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara, meliputi pemeriksaan perkara, yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah. Istilah peradilan (rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka pengadilan dan atau di luar pengadilan.
Dalam proses peradilan adat dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara perorangan, keluarga, tetangga, kepala kerabat/ adat, kepala desa atau oleh pengurus perkumpulan organisasi. Penyelesaian konflik ini diupayakan secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan keseimbangan yang terganggu ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan dan keharmonisan  antara para pihak yang bersengketa.  

Daftar Referensi:
Hadikusuma, Hilman, Pokok-pokok Asas Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.

________________, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Hukum Waris Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.

________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat,  Fajar Agung, Jakarta.

________________, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Waris Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.
________________, 1989, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

________________, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedijat, Imam, 1981, Asas-asas Hukum Waris Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

____________, 1981, Hukum Waris Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 2001, Hukum Waris Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemarman, Anto, 2003, Hukum Waris Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adi Cita, Yogyakarta.

Wignjodipoero, Soerojo, tt, Pengantar dan Asas-asas Hukum Waris Adat, PT Gunung Agung, Jakarta. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar