RENCANA PROGRAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)
SULASTRIYONO
HUKUM WARIS ADAT
MKN. 6012/ 2 SKS
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH
MADA
YOGYAKARTA
2010
RENNCANA PROGRAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)
HUKUM WARIS ADAT
1. Nama
Matakuliah : Hukum Waris Adat
2. Kode/
SKS : MKN 6012 / 2 SKS
3. Prasyarat : ---
4. Status
Matakuliah : Wajib
5. Deskripsi
Singkat : Mata kuliah ini memberikan pengetahuan
dan ketrampilan mengenai Hukum Waris Adat, di mana kedua aspek ini akan
dipelajari baik dari ketentuan Hukum positif di Indonesia maupun Yurisprudensi
(keputusan-keputusan hakim) yang berhubungan dengan kasus-kasus kewarisan
menurut Hukum Adat. Materi kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang
diberikan pada mahasiswa Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada semester
genap, yang meliputi pengertian Hukum Waris Adat, Sifat Hukum Waris
Adat, Sistem Kewarisan Adat, Harta Warisan, Pewaris, Ahli Waris, Proses
Pewarisan, Hibah Wasiat dan Peradilan Warisan Adat.
6.
Tujuan Pembelajaran :
Setelah menyelesaikan
mata kuliah ini para mahasiswa
Program Magister Kenotariatan diharapkan
dapat memahami, serta menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi Hukum Waris
Adat sebagai hukum yang hidup berdampingan
dengan hukum tertulis cq. Undang Undang. Di samping itu, mahasiswa juga
mampu menganalisis berbagai persoalan kewarisan menurut perspektif Hukum Waris
Adat.
7. Materi
Pembelajaran:
NO
|
Topik
(Pokok Bahasan)
|
Sub
Pokok Bahasan
|
1.
|
Pengantar
Hukum Waris Adat
|
a. Istilah
Hukum Waris Adat
b. Pengertian
Hukum Waris Adat
|
2.
|
Sifat
Hukum Waris Adat dan Unsur warisan
|
a. Tidak
selalu diperhitungkan secara matematik
b.
Tidak mengenal bagian mutlak (legitieme portie)
c. Subyek
pewarisan
d. Obyek
pewarisan
|
3.
|
Sistem
Kewarisan Adat
|
a. Sistem
Kewarisan Kolektif
b. Sistem
Kewarisan Mayorat
c. Sistem
Kewarisan Individual
|
4.
|
Pewaris
|
a. Pewaris
Ayah
b. Pewarsi
Ibu
c. Pewaris
Orangtua
|
5.
|
Ahli
Waris
|
a. Anak
Kandung
b. Anak
Tiri dan Anak Angkat
c. Janda
dan atau duda
d. Para
Waris Lainnya
|
6.
|
Harta
Warisan
|
a. Harta
Asal
b. Harta
Pemberian
c. Harta Pencaharian
|
7.
|
Proses
Pewarisan
|
a. Sebelum
Pewaris Meninggal
b. Sesudah
Pewaris Meninggal
|
8.
|
Pembagian
Harta Warisan
Dan
Hilangnya hak mewaris
|
a. Besarnya bagian anak sah
b. Besarnya bagian
janda atau duda
c. Besarnya bagian
saudara atau kerabat lainnya
d. Faktor-faktor
penyebab hilangnya hak mewaris
|
9.
|
Hibah Wasiat
|
a. Tujuan
Hibah Wasiat
b. Proses
Hibah Wasiat
c. Penerima
Hibah Wasiat
|
10.
|
Peradilan
Warisan
|
a. Musyawarah
Keluarga
b. Musyawarah
Adat
c. Proses
Litigasi/ pengadilan
|
8. Outcome
Pembelajaran:
Setelah mengikuti mata kuliah ini, para mahasiswa Program
Magister Kenotariatan diharapkan mampu:
a. mengenal, mengetahui, mengidentifikasi dan memahami
terhadap istilah dan pengertian mengenai Hukum Waris Adat.
b. Memahami dan mengetahui berbagai karakteristik atau
sifat Hukum Waris Adat dan hukum
kewarisan lainnya.
c. Mengetahui dan memahami sistem Kewarisan
Adat yang pernah dan atau berlaku di
Indonesia.
d. Memahami dan menjelaskan berbagai macam Harta Waris
menurut Hukum Adat.
e. Memahami dan menjelaskan tentang orang atau pihak
yang berstatus sebagai pewaris.
f. Mengetahui dan memahami tentang orang atau para pihak
yang berstatus sebagai ahli waris.
g. Memahami dan menjelaskan proses pewarisan atau saat
berlangsungnya peralihan harta warisan menurut Hukum Adat.
h. Memahami dan mengidentifikasi pengertian dan persoalan
hibah wasiat dan wasiat dalam perspektif Hukum Adat.
i. Mengetahui,
memahami dan menganalisis proses peradilan masalah kewarisan menurut Hukum
Adat.
9. Rencana
Kegiatan Pembelajaran Mingguan:
Rencana perkulihan selama satu semester direncanakan
diselenggarakan dalam waktu 12 – 16 minggu. Berdasarkan asumsi ini, maka pokok
bahasan dibagi ke dalam 14 minggu, sementara 2-4 minggu sisanya dialokasikan
untuk ujian mid-semester dan akhir semester. Apabila suatu saat satu semester
hanya 12 atau 13 minggu, maka kekurangan waktu mengajar dapat ditambah dan atau
materi kuliah dipadatkan. Dalam kegiatan belajar mengajar ini setiap kuliah
diperkirakan memakan waktu selama 60 menit.
Minggu
ke
|
Topik
& Substansi Bahasan
|
Metode
Pembelajaran
|
1
dan
2
|
Pengantar
Hukum Waris Adat :
a. Istilah
Hukum Waris Adat
b. Asas,
ciri atau karakteristik Hukum Waris Adat
c. Pengertian
Hukum Waris Adat
d. Unsur-unsur pewarisan
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
3
dan
4
|
Sistem
Kewarisan Hukum Adat:
a. Sistem
Kewarisan Kolektif
b. Sistem
Kewarisan Mayorat
c. Sistem
Kewarisan Individual
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
5
dan
6
|
Macam-macam
Harta menurut Hukum Waris Adat :
a. Harta
Perkawinan
b. Harta
Peninggalan
c. Harta
Warisan
d. Harta
Bawaan
e. Harta
Bersama
f. Harta
Pemberian
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
7
|
UJIAN
TERTULIS MID-SEMESTER
|
|
8
|
Pihak
yang berstatus sebagai pewaris :
a. ayah
b. ibu
c. orangtua/
kakek-nenek
d. saudara
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
9
|
Para pihak yang dapat berstatus sebagai ahli waris:
a. anak
kandung
b. anak
tiri
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/
diskusi kelas.
3)responsi
|
10
|
Para Pihak yang dapat berstatus sebagai ahli waris:
a. anak
tiri
b. anak
angkat
c. janda
atau duda
d. para
ahli waris lainnya
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
11
|
Proses
pewarisan :
a. Sebelum
pewaris meninggal dunia
b. Setelah
pewaris meninggal dunia
c. Pembagian
warisan
d. Hilangnya
hak mewaris
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
12
|
Hibah
dan atau wasiat :
a. Tujuan
hibah-wasiat
b. Penerima
hibah-wasiat
c. Proses
hibah-wasiat
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
13
|
Peradilan kewarisan menurut Hukum Adat :
a. Pengertian
peradilan Adat
b. Musyawarah
keluarga
c. Musyawarah
Adat
d. Litigasi
atau pengadilan formal
|
1)ceramah dengan didukung
OHP, White Board; atau LCD.
2)tanya-jawab/ diskusi
kelas.
|
14
|
UJIAN TERTULIS AKHIR SEMESTER
|
10. Bentuk Evaluasi:
Selama ini penilaian utama terhadap hasil kegiatan
belajar mahasiswa program Magister Kenotariatan dilakukan melalui beberapa
cara, yaitu dengan cara ujian 2 X selama satu semester (ujian mid dan akhir
semester). Di samping itu, presensi kedatangan, keaktifan menanggapi materi
kuliah atau diskusi dan para mahasiswa juga diwajibkan membuat paper mandiri.
Evaluasi melalui bentuk ujian tertulis baik mid-semester
dan akhir semester dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kemampuan daya
serap dan analisis atau hard skill mahasiswa terhadap materi yang didiskusikan di
dalam kelas secara individual. Di samping itu, evaluasi terhadap aktivitas
individu dan kelompok dalam diskusi, tanya jawab serta kediplinan dalam
mengikuti kegiatan perkuliahan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu aspek
penilaian bagi mahasiswa yang bersangkutan (soft skill).
11. Bahan, Sumber Informasi, dan Referensi:
a. Bahan
i.
Bahan
hukum primer yang berupa living law dalam suatu masyarakat
ii.
Bahan-bahan
yang berasal dari dokumen berupa peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Di samping itu, dokumen sekunder berupa
salinan putusan pengadilan, dan berbagai tulisan yang terkait dengan way of
life ataupun adat kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat.
b. Sumber
Informasi:
Tokoh masyarakat, masyarakat hukum, ahli Hukum Waris Adat
dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan materi kuliah.
c. Referensi:
i.
Referensi Wajib:
Hadikusuma,
Hilman, 1999, Hukum Waris Adat, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
ii.
Referensi Pendukung:
Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar
Maju, Bandung.
________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.
________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta.
________________, 1991, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, , PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
________________, Harahap, Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda, dan Anak
Angkat Dalam Hukum Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Simanjuntak, PNH, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,
Jakarta.
Soedijat, Imam, 1981, hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.
Suparman, Eman, 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, CV Mandar
Maju, Bandung.
Wignjodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-asas Hukum Waris Adat, PT
Gunung Agung, Jakarta.
BAHAN AJAR
HUKUM ADAT
( HKU 302 - 2 SKS)
A. PENGENALAN
HUKUM WARIS ADAT
1.
Pengertian Hukum Waris Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum Waris Adat yang
telah ditulis oleh para ahli Hukum Waris Adat, tetapi disini hanya akan dikemukakan beberapa
contoh saja. Menurut Van Vollenhoven Hukum Waris Adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu
“hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh
karena itu “adat”).
Menurut
Soepomo, istilah Hukum Waris Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legeslatif (non
statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum
negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang timbul karena
putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai
peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota
maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada
tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan.
Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat
itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan
umum dalam masyarakat maka Hukum Waris Adat adalah hukum yang berurat berakar
pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Waris Adat dan Pembangunan
Nasional tahun 1975 yang diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan Fak. Hukum
UGM mendifinisikan Hukum Waris Adat sebagai :Hukum Indonesia asli
yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana sini
mengandung unsur agama).
3.
Ciri-ciri Hukum Waris Adat
Hukum Waris Adat mempunyai
kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain,
yaitu:
a. Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Waris
Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas
adanya sifat religius itu.
b. Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat yang
berpusat pada individu, maka Hukum Waris Adat berpusat kepada masyarakat.
Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi
oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya
pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah
Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan
bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
c. Tradisional
Kata “tradisional” berasal dari kata
benda “tradisi” yang menurut Myror Wemwr berarti: “the biliefs
andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the
tradition change”. Hukum Waris Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu
praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang
dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya
memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut
berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui dengan diadakan
reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan
masyarakat. Maka Hukum Waris Adat yang tradisional itu tidak statis.
d. Konkrit
Sifat hubungan
hukum dalam Hukum Waris Adat adalah konkrit, artinya nyata, terang, dan
tunai, tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar
orang lain, misalnya pada “ijab kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum
terjadinya jual beli dan perkawinan.
e. Dinamis dan plastis
Dinamis artinya dapat berubah
sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
f. Tidak
dikodifikasi
Hukum Waris Adat kebanyakan
tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena
bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
g. Musyawarah dan Mufakat
Hukum Waris Adat mementingkan
musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam
keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum
Waris Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri,
mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang
tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri
kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah
dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
B. SISTEM HUKUM WARIS ADAT
1.
Sistem
Hukum Waris Adat
Hukum yang
berlaku pada masyarakat atau bangsa tertentu dapat dipastikan merupakan suatu
sistem. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu
masyarakat umumnya merupakan kebulatan tekad berdasarkan atas kesatuan alam
pikiran masyarakat yang bersangkutan. Sistem Hukum Waris Adat bersendi atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu saja tidak sama dengan
alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat (Soepomo). Menurutnya antara
sistem Hukum Waris Adat dan Hukum Barat terdapat perbedaan yang fundamental;
antara lain:
a)
Hukum Barat mengenal “hak kebendaan” (zakelijkrechten),
yaitu hak atas sesuatu barang yang berlaku terhadap setiap orang (misalnya hak
milik, hak hipotik). Di samping itu,
Hukum Barat juga mengenal “hak perorangan” (persoonlijkrechten), yaitu hak orang
seorang atas suatu obyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang
tertentu (misalnya hak sewa, hak pakai). Berbeda dengan konsep itu, Hukum Waris
Adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Perlindungan
hak-hak menurut Hukum Waris Adat
diserahkan ke tangan hakim. Jika terjadi sengketa , maka hakimlah yang
diberi kewenangan untuk menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling
bertentangan dalam masyarakat yang bersangkutan.
b) Sistem
Hukum Barat mengenal pembagian hukum
menjadi “hukum publik”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum dan “hukum
privat”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan khusus (perorangan/privat). Hukum
publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat dipertahankan
eksistensinya oleh para individu yang berkepentingan.
Hukum Waris Adat tidak mengenal pembagian hukum seperti di atas, jika
akan dibedakan dalam Hukum Waris Adat, maka pembedaan pada hukum ini akan
didasarkan menurut obyek yang diaturnya,
misalnya Hukum Tanah, Hukum Perkawinan, maupun Hukum Waris. Di dalam Hukum
Waris Adat hak-hak perdata yang dipunyai seseorang mengandung muatan hak
publik. Implikasi persoalan seperti ini mempengaruhi kepada pembidangan
hukumnya. Dalam Hukum Tanah misalnya diatur tentang hak milik, suatu hak yang
dipunyai oleh seorang individu tetapi di dalam hak itu terkandung juga
mempunyai fungsi sosial (ada muatan publiknya). Individu menurut Hukum Waris
Adat adalah sebagai anggota masyarakat, tetapi jika tanah miliknya diperlukan
oleh masyarakat seyogyanya mendapatkan ganti rugi yang sepadan atau bahkan
lebih dari itu sebagai imbalan pengorbananya.
c)
Dalam Hukum Barat dibedakan pelanggaran yang bersifat
pidana sehingga hanya akan diperiksa oleh hakim pidana; dan pelanggaran yang
bersifat perdata yang hanya akan diperiksa oleh hakim perdata. Menurut Hukum
Waris Adat apabila ada dua jenis pelanggaran (pidana dan perdata) yang
dilanggar, maka pihak pelanggar aturan itu akan diperiksa dan diputus sekaligus
dalam satu persidangan yang tidak terpisah. Dengan demikian diharapkan
keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat dapat dipulihkan secara
proporsional sekaligus.
d)
Sistem
accessie dan sistem pemisahan horisontal
Hukum Barat
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata) menerapkan sistem accessie atas
kesatuan benda, yaitu benda tambahan atau pelengkap mengikuti (menjadi satu
dengan) benda induknya. Dengan demikian suatu benda pokok dan benda-benda lain
yang terletak atau tertanam pada benda tersebut (natrekking) secara otomatis
menjadi satu kesatuan. Dalam Hukum Waris Adat khususnya untuk benda-benda
selain tanah diterapkan sistem accessie , sedangkan untuk benda yang
berujud tanah dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada tanah itu
digunakan sistem pemisahan horisontal. Sistem Hukum Waris Adat ini kemudian
dipakai dalam UUPA, yaitu mengenai Hak Guna Bangunan (psl. 35), Hak Guna Usaha
(psl. 28) maupun Hak Pakai seperti pada pasal 41 UU. No. 5 Tahun 1960.
e)
Sistem
common Law
Berlainan
dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Inggris (Common Law) banyak
persamaannya dengan Hukum Waris Adat. Djojodigueno menyatakan:”dalam negara
Anglo Saxon, di sana sistem common law tak lain dari sistem Hukum Waris Adat,
hanya bahannya berlainan. Dalam sistem Hukum Waris Adat bahannya ialah hukum
Inidonesia asli, sedang dalam sistem common law bahannya memuat banyak
unsur-unsur hukum Romawi Kuno, yang konon katanya telah mengalami “Receptio in
Complexu”. Sistematika Hukum Waris Adat mendekati hukum Inggris, yang tidak
mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan
antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara
perdata dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma). Hukum Inggris juga mengenal
peradilan yang menyelesaikan perkara secara damai yang disebut Justice of
the Peace,yang mirip dengan “peradilan adat” (peradilan desa/hakim
perdamaian desa).
2.
Sumber
Hukum Waris Adat
Menurut MM. Djojodigueno ada dua
kategori sumber hukum, yaitu:
a. Kekuasaan pemerintah negara atau salah satu
sendinya.
Kekuasaan
pemerintah sebagai sumber hukum dinyatakan dalam wujud sebagai berikut :
1) Peraturan, yaitu pernyataan kekuasaan
legeslatif (kekuasaan mengatur).
2) Putusan
Penjabat-penjabat kekuasaan negara lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif
(kekuasaan pelaksanaan) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili).
Yurisprudensi adalah pernyataan kekuasaan yudikatif.
3) Perjanjian Internasional dan pernyataan perang serta
segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sendiri.
b. Kekuasaan masyarakat sendiri
1) Perbuatan rakyat sendiri dalam menyelenggarakan dan
melaksanakan perhubungan pamrihnya, yang mungkin menebal menjadi adat
kebiasaan.
2) Putusan rakyat dalam peragaan
yang tertentu, misalnya putusan Kamer van Koophandel, vereniging van
assuradeuren, rukun kampung,rukun tetangga, perhimpunan kematian (perhimpunan
sripah) dsb.
3) Pemberontakan terhadap penguasa yang ada.
Hukum Waris
Adat adalah hukum yang bersumber kepada 1b,c serta 2a-c. Selain itu pepatah
adat juga dapat digunakan untuk mendapatkan sumber bagi berlakunya asas hukum.
Misalnya, harta peninggalan pewaris yang tidak cukup untuk melunasi hutang
kepada para kreditur, maka dibayar secara proporsional dengan menggunakan asas
yang diambil dari pepatah adat: “Gadang agak berumpuk kecil agak bercacak”
Putusan Landraad Pariaman, 13-5-1937).
C. DASAR BERLASKUNYA HUKUM WARIS
1. Dasar filosofis
Adapun
yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Waris Adat adalah sebenarnya
nilai-nilai dan sifat Hukum Waris Adat itu sangat identik dan bahkan sudah
terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong
royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan
kristalisasi dari Hukum Waris Adat.
2. Dasar sosiologis
Secara empiris berlakunya Hukum Waris Adat di masyarakat telah diterima dan
dilaksanakan oleh masyarakat secara sukarela tanpa ada paksaan. Jadi Hukum Waris Adat
merupakan hukum yang hidup (the living law).
3. Dasar
yuridis
Pasal 75 lama RR alinea 3 menyebutkan:
“kecuali jika ada pernyataan seperti dimaksud dalam alinea 2 atau kecuali dalam
hal orang Bumi Putera secara sukarela menundukkan diri kepada
perundang-undangan mengenai hukum kerakyatan dan hukum dagang Eropa maka
diterapkan oleh hakim Bumi Putera peraturan keagaman, lembaga-lembaga rakyat,
adat kebiasaan dari orang Bumi Putra dengan pembatasan tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip kepatutan dan keadilan yang lazim diterima baik.
Pasal 131 ayat 2b IS yang
berisi perintah kepada pembuat undang-undang untuk mengadakan kodifikasi hukum
privat bagi golongan Bumi Putra dan Timur Asing. UUD 1945 tidak memuat satu
pasalpun mengenai dasar yuridis berlakunya Hukum Waris Adat. Dalam
ketentuan pasal II AP dikatakan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang beru menurut UUD ini.
Pasal 1 ayat 2 UU Darurat nomor 1
Tahun 1951 menentukan bahwa secara berangsur-angsur akan ditentukan oleh mentri
kehakiman, dihapuskan:
a. Segala peradilan Swapraja (Zelfbestuurs
rectspraak) dalam negara Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Negara Indonesia
Timur, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup
merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.
b. Segala Peradilan Adat (Inheemse Rectspraak
in rechtstreeks bestuur gebied) kecuali peradilan agama jika peradilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri menurut Hukum Waris
Adat. Pasal 1 ayat (3) UU tersebut memuat ketentuan bahwa Dorprechter
(hakim desa) tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja
dan hakim adat telah dihapus dan diteruskan oleh hakim Pengadilan Negeri.
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa
hakim dalam mengadili perkara dalam setiap
keputusannya dicantumkan alasan yang menjadi landasan hukum baik hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis. Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1): “hakim sebagai
penegak keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA diatur dalam pasal 2 ayat (4), Pasal 5, Pasal 22 ayat
(1) dan Pasal 56 UUPA. Pasal-pasal tersebut memberikan penjelasan yang
berbeda-beda mengenai Hukum Waris Adat sehingga timbul berbagai penafsiran.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 35 dan 36 diatur mengenai harta perkawinan. Harta
perkawinan meliputi harta bersama dan harta bawaan. Pasal-pasal tersebut tidak
menyebut istilah Hukum Waris Adat tetapi pengaturannya sejalan dengan konsep
harta perkawinan menurut Hukum Waris Adat. Selain itu dalam Pasal 37 dinyatakan
bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Ini
berarti membuka peluang bagi yang akan
menggunakan Hukum Waris Adat.
D. MASYARAKAT DAN DESA
1.
Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat dalam
pengertian sehari-hari diartikan sebagai “pergaulan hidup” dan yang lebih tepat
lagi masyarakat itu diartikan sebagai
kelompok manusia yang hidup bersama dan kehidupan bersama itu merupakan
pergaulan hidup. Dalam pergaulan hidupnya itu terdapat pola-pola perilaku
yang dimengeri maknanya oleh setiap warga kelompok. Mereka merasa sebagai satu
kesatuan.
Masyarakat Hukum, diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup
bersama dalam tata hukum yang sama (Rechtsgemeenschap) sehingga mereka
juga merupakan satu kesatuan. Ciri lainnya adalah bahwa masyarakat hukum
mempunyai wewenang hukum (otoritas hukum, Rechtsgezag) dan upaya pemaksa
hukum ((Rechtsdwang). Di samping itu juga mempunyai kekayaan dan dapat
mengadakan hubungan-hubungan hukum dalam lalu lintas hukum seperti subyek hukum
lainnya.
Masyarakat Hukum Waris Adat, dapat diketahui dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu
kesatuan terhadap dunia luar baik lahir maupun batin.
b. Mempunyai tata
susunan tetap dan kekal, dalam arti tidak seorangpun di antara mereka mempunyai
pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok tersebut.
c. Para warganya
menghayati kehidupannya dalam kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar yang
dikehendaki oleh kodrat alam.
d. Mempunyai harta benda cita yang harus dibina dan
dipertahankan bersama.
e. Mempunyai
kewibawaan dan daya paksa dalam kreasi pelaksanaan dan pembinaan hukum. Dengan
demikian fungsi masyarakat Hukum Waris Adat adalah merupakan suatu bingkai yang
turut menentukan kepribadian Hukum Waris Adat setempat yang dipagarinya atau
selaku peta denah dari halaman kerjanya.
2. Organisasi
Desa
a. Pengertian desa
Organisasi desa
menurut Hukum Waris Adat ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan
ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam
suasana rakyat dan mempunyai suatu badan urusan pusat yang berwibawa di seluruh
lingkungan wilayahnya. Ia merupakan kesatuan tertunggal wilayah terbesar dalam
suasana rakyat, artinya bahwa organisasi itu merupakan proyeksi dari kecakapan
atau kemauan dari anggota masyarakat itu sendiri.
Dalam Hukum Adat, desa mempunyai nama
setempat yang berbeda-beda seperti: desa, negari, kuria, marga dll.
b. Fungsi desa
Desa berfungsi
dan bermakna serta berkonsekuensi dalam Hukum Waris Adat:
1) Merupakan subyek hak ulayat
2) Masyarakat hukum yang paling
utama. Masyarakat hukum dalam arti, badan hukum yang berwibawa dalam
perkembangan dan pemeliharaan Hukum Waris Adat.
c. Pola Susunan Pemerintahan Desa:
1) Persekutuan setempat atau desa bersentralisasi, yaitu
suatu kebulatan kemasyarakatan yang didasarkan ketunggalan wilayah yang di
pusatnya terdapat perurusan kekuasaan yang mengurus segala hal di wilayahnya.
2) Persekutuan daerah atau desa berdesentralisasi,
dibaginya satu wilayah desa menjadi beberapa bagian atau daerah dan setiap
daerah mempunyai badan pemerintahan kecil yang berkuasa di daerahnya sendiri,
namun untuk sebagian menjalankan/menerima kekuasaan dari pemerintah pusatnya.
3) Federasi desa atau perserikatan desa (dorpenbond)
yaitu bergabungnya beberapa desa yang saing berdekatan/berbatasan untuk suatu
kepentingan dan kemanfaatn bersama. Dalam hal ini pemerintah pusat
masing-masing desa yang bergabung memberi amanat/kuasa kepada badan perurusan
(yang dibentuk tersendiri oleh desa-desa yang bergabung) untuk mengurus apa
yang menjadi kepentingannya.
3.
Desa dalam peraturan perundang-undangan
UU nomor 32 tagun 2004
E.HUKUM
TANAH
1. HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1.Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus,
slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk
menguasai seluruh seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun
ciri-ciri hak ulayat adalah :
- Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
- Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
- Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
- Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
- Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
- Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku ke dalam berarti semua warga
persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari
tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan
terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai
perorangan untuk kepentingan persekutuan. Berlaku ke luar berarti bukan warga
persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan
wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh:
uang pemasukan).
Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti
sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan
binatang yang hidup liar.
b.
Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan
hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh
mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya
semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian
sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan semakin lemah hak
perorangannya.
Kedudukan
Hukum Waris Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai
berikut:
a.
Hukum Waris Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA).
b.
Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada
pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada.
c.
Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang
tercantum pada huruf a, hak ulayat
ditingkatkan menjadi hak WNI.
d.
Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar
penentuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56
Prp 1960.
2. Hak Perorangan
- Pengertian Hak Perorangan
Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada
warga desa atau orang luar atas sebidang tanah yang ada di wilayah hak ulayat.
- Jenis-jenis hak Perorangan
1)
Hak milik, hak yasan (inlandbezitsrecht)
2)
Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
3)
Hak
menikmati hasil (genotsrecht)
4)
Hak
pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap atau mengolah
(ontginningsrecht)
5)
Hak keuntungan jabatan (ambtelijk profitrecht)
6)
Hak
wenang beli (naastingsrecht)
- Cara Perolehan Hak Milik
1)
Membuka tanah hutan atau tanah belukar
2)
Mewaris
tanah
3)
Menerima tanah karena pembelian, penukaran atau hadiah
4)
Daluwarsa
(verjaring)
Dalam masalah melakukan Hak membuka
tanah bagi masyarakat Hukum Waris Adat harus diperhatikan dua hal agar tanah
yang dibuka itu tidak menimbulkan kegoncangan;
- Pembukaan tanah harus menghormati:
1)
Hak
ulayat
2)
Kepentingan
warga desa yang lain
3)
Aturan
Hukum Waris Adat
- Tata cara pembukaan tanah:
1)
Memberitahukan
kepada kepala persekutuan hukum
2)
Memberi
tanda-tanda batas
3)
Mengadakan
upacara adat
Dengan
mengindahkan hal- hal sebagaimana yang ditentukan dalam tata cara tersebut,
maka pembukaan tanah itu menjadi terang,
kongkrit dan religious sesuai dengan asas publisitet dan
religies yang merupakan sifat Hukum Waris Adat.
D. Pengaruh
dari luar
Pengaruh
raja
Pada
kenyataannya raja-raja juga mempunyai pengaruh dalam perkembangan Hukum Tanah,
pengaruh tersebut dapat berupa dua kemungkinan; yaitu merusak pengaturan Hukum
Tanah dan dapat juga memperkuat pengaturan Hukum Tanah.
1.
Pengaruh
Pemerintah Kolonial
Pengaruh pemerintahan
kolonial dalam Hukum Tanah yang cukup penting adalah sebagai berikut:
a) Pajak
bumi atau landrent dari Raffles
b) Cultuurstelsel
dari Gubernur Jenderal Van den Bosch
c)
Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit, Domein Verklaring
d)
Vervreemdingsverbod
(S. 1875 No. 179)
2.
Pengaturan Hak Perorangan Dalam UUPA
a)
Hak-hak yang ada di dalam UUPA sebagaimana yang termuat
dalam pasal 6-undang-undang ini.
b)
Cara perolehan hak perorangan khususnya hak milik menurut
UUPA dibandingkan dengan cara perolehan dalam Hukum Waris Adat
c) Fungsi
sosial di dalam hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan yang ada dalam Hukum
Waris Adat.
F. PERKAWINAN
ADAT
1.
Pengertian Perkawinan
Menurut MM Djojodigoeno, perkawinan merupakan upacara
saja, upacara itu merupakan inisiasi (pemasukan) dalam keadaan yang baru; yaitu keadaan
orang-orang yang telah penuh perkembangan hidupnya sehingga menjadi orang yang
penuh bernilai dalam masyarakat. Oleh karena mereka sebagai pemimpin dalam
paguyuban yang disebut keluarga (somah) dan mengatur hal ikhwal hidup mereka
berdua dan hidup anak-anaknya tanpa batasan apapun juga.
Hilman
Hadikusuma, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua
pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan
berkeluarga dan berumahtangga berjalan
baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Selain itu,
menurut Van Gennep perkawinan adalah suatu upacara rites de passage (upacara
peralihan). Upacara peralihan tersebut melembagakan perubahan status diri
mereka berdua, dari tadinya hidup terpisah tetapi setelah melalui
upacara-upacara tertentu menjadi hidup bersama sebagai suami isteri. Adapun
tiga tahapan menuju hidup bersama sebagai suami isteri menurut Gennep adalah rites
de separation (upacara perpisahan pelepasan dari status semula), rites
de marge (upacara perjalanan menuju ke status baru), dan rites d
‘aggregation (upacara penerimaan ke dalam status baru).
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan perkawinan
adalah ikatan lahir-batin anatara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke
Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Asas-asas Perkawinan
Menurut Hukum Waris Adat suatu perkawinan bukan
semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, tetapi juga
bermakna suatu hubungan hukum yang menyangkut pra anggota kerabat dari pihak
suami ataupun dari pihak isteri. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja harus
sah dilakukan menurut hukum agamanya dan atau kepercayaannya tetapi juga harus
mendapat pengakuan dari para anggota kerabatnya. Pengakuan anggota kerabat
menjadi penting karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami isteri
yang tidak diakui oleh adat.
Perkawinan,
selain terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri,
dapat juga dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri
yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh Hukum Waris Adat. Selain itu, menurut Hukum Waris Adat
perkawinan dapat pula dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup
umur atau masih anak-anak. Apabila
terjadi perkawinan antara anak yang belum cukup umur dan orang yang sudah cukup
umur, maka perkawinan itu harus mendapatkan izin dari orang tuanya atau
kerabatnya.
Di
dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah asas perkawinan, alasan kawin lebih dari
seorang isteri dan syarat-syarat poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5. Persyaratan
yang diatur pada pasal 4 UU Perkawinan ini dikenal dengan persyaratan
alternatif, sedangkan pasal 5-nya dikenal dengan persyaratan kumulatif dalam poligami.
3.
Sistem
Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum
Waris Adat terdapat beberapa sistem perkawinan yang mendominasi aturan di
masyarakat, yaitu :
a.
Endogami,
dalam masyarakat yang mengatur perkawinannya dengan sistem ini, konsekuensinya
seorang laki-laki diharuskan mencari calon isteri yang berasal dari lingkungan
kerabatnya (keluarga, klan, atau suku sendiri).
b.
Exogami,
menurut sistem perkawinan ini, seorang pria yang akan melangsungkan perkawinan
diharuskan mencari calon isteri berasal di luar marga atau kerabatnya.
c.
Eleutherogami,
dalam sistem perkawinan ini seorang laki-laki tidak diharuskan atau dilarang
untuk mencari calon isteri di dalam atau di luar lingkungan kerabatnya.
4.
Syarat-syarat
Perkawinan
Pada
umumnya menurut Hukum Waris Adat walaupun orang sudah dewasa tetapi tidak
berarti bebas untuk melakukan perkawinan
tanpa persetujuan dari orang tua atau kerabatnya. Oleh karena itu,
jika bertindak sendiri dalam melakukan perkawinan dapat berakibat orang yang
bersangkutan menjadi tersingkir dari kerabatnya. Dalam masalah perkawinan, kadang kala persetujuan
orangtua lebih penting dari pada persetujuan calon mempelai.
Berbeda dengan aturan undang-undang Perkawinan, masalah
batas umur orang yang akan melangsungkan perkawinan dalam Hukum Waris Adat tidak mengaturnya.
Dengan demikian berarti, Hukum Waris Adat memperbolehkan terjadinya perkawinan
pada semua umur tanpa ada batasannya. Di samping itu, perjanjian perkawinan
yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan dapat saja diadakan bukan
saja antara calon suami isteri, tetapi juga dapat dilakukan antara mempelai
dengan kerabat dan atau juga antara kerabat mer
G. PEWARISAN ADAT
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan
hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat
Soepomo ditulis bahwa Hukum Waris Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang
berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu
angkatan generasi manusia kepada
keturunnya.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses
penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada
ahli warisnya.
2. Perbandingan Sifat Hukum Waris
Adapun
sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau
prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
a.
Harta
warisan dalam sistem Hukum Waris Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat
terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris;
sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung
sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
- Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
- Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
3. Asas Hukum waris
Berdasarkan
ketentuan Hukum Waris Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting ,
karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian
pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan
pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan,
musyawarah dan mufakat, serta keadilan
dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai
oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum
Waris Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan
dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja
terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan
dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra
(keadaan). Dengan menggunakan dan
mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu,
tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan
baik dan tuntas.
4. Sistem Hukum Waris
Menurut
ketentuan Hukum Waris Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem
hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
a.
Sistem
Kolektif,
Menurut sistem ini ahli
waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang
tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau
mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan
Minahasa.
b.
Sistem
Mayorat,
Menurut
sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi
dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak
laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua
(Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan
termuda atau anak laki-laki saja.
- Sistem Individual,
Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris
mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada
umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan
parental.
5.
Peradilan
Adat
Peradilan
adat adalah acara yang berlaku menurut
Hukum Waris Adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara,
meliputi pemeriksaan perkara, yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah.
Istilah peradilan (rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaraan
tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan
(permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka pengadilan dan atau di
luar pengadilan.
Dalam
proses peradilan adat dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara
perorangan, keluarga, tetangga, kepala kerabat/ adat, kepala desa atau oleh
pengurus perkumpulan organisasi. Penyelesaian konflik ini diupayakan secara
damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan
keseimbangan yang terganggu ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan
dan keharmonisan antara para pihak yang
bersengketa.
Daftar Referensi:
Hadikusuma,
Hilman, Pokok-pokok Asas Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung.
________________, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Hukum
Waris Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni,
Bandung.
________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta.
________________, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia
Menurut Perundangan, Hukum Waris Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju,
Bandung.
________________, 1989, Hukum Pidana Adat, Alumni,
Bandung.
________________, 2001, Hukum Perekonomian Adat
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat
Dalam Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedijat, Imam, 1981, Asas-asas Hukum Waris Adat Bekal
Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
____________, 1981, Hukum Waris Adat Sketsa Adat,
Liberty, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2001, Hukum Waris Adat Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarman, Anto, 2003, Hukum Waris Adat Perspektif Sekarang
dan Mendatang, Adi Cita, Yogyakarta.
Wignjodipoero, Soerojo, tt, Pengantar dan Asas-asas
Hukum Waris Adat, PT Gunung Agung, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar