31/03/13

KEPAILITAN



1.Pengertian (Definisi) Kepailitan
           Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
2. Peraturan Perundangan tentang Kepailitan
          Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Ø  Undang-undang No 37 tahun 2004 tetang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) adalah salah satuundang-undang yang penting dalam hukum bisnis selain Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang tentang penanaman modal, undang-undang tetang pasar modal, dan undang-undang lain yang berkaitan dengan bisnis.Kalau kita melihat penamaannya, UU Kepailitan adalah undang-undang yang mengatur tata cara memailitkan perusahaan dan hal-hal yang harus dilakukan oleh kurator dalam melakukan pemberesan perusahaan atau badan hukum.Menurut pengertian yang dapat kita peroleh dalam UU Kepailitan, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu keadaan dimana harta kekayaan debitur berada dalam keadaan sita umum dan debitur demihukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya. (pasal 21,24 UUK dan pasal 1131-1132 KUHPerdata).Satu hal yang luar biasa dalam pengertian ini adalah seluruh kekayaan debitur ada dalam keadaan sita umum, sehingga dengan demikiantidak ada pihak manapun yang berhak atas harta ini, kecuali kurator

3. Tujuan utama kepailitan
           adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.

4. Lembaga kepailitan
            Pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.
Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
            kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
            kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

5. Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu:
   - atas permohonan debitur sendiri
   - atas permintaan seorang atau lebih kreditur
   - Oleh kejaksaan atas kepentingan umum
   - Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
   - oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.



6.Syarat Yuridis untuk kepailitan adalah :
1. Adanya hutang
2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
3. Adanya debitur
4. Adanya kreditur (lebih dari satu)
5. Permohonan peryataan pailit
6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga
7.Adapun para pihak yang dapat melakukan permintaan kepailitan adalah :
·         Debitur
·         Kreditur
·         Kejaksaan demi kepentingan umum
·         Bank Indonesia
·         Badan Pengawas Pasar Modal
Selain Kejaksaan dan Bank Indonesia, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit menurut Undang-Undang Kepailitan Indonesia Nomor 37 Tahun 2004  Pasal 2 adalah  Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan.
Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
Dalam hal dimana debitur merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal.
Menurut penjelasan Pasal 2 dari Undang-Undang Kepailitan Indonesia, BAPEPAM  mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada dibawah pegawasannya

8.Langkah-langkah yang ada dalam kepailitan ada 9 langkah, yaitu :
    Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis diatas.
    Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai sampai keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.
 Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang-piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan berapa jumlah utang dan piutangyang dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi dipimpin oleh hakim pengawas dan dihadiri oleh : (a) Panitera (sebagai pencatat), (b) Debitur (tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan kalau nanti terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan, (c) Kreditur atau kuasanya (jika berhalangan untuk hadir tidak apa-apa, nantinya mengikuti hasil rapat), (d) Kurator (harus hadir karena merupakan pengelola aset).
·         Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa. Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi :
(a) mengikat semua kreditur kecuali kreditur separatis, karena kreditur separatis telah dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harta pailit umumnya.
(b) terikat formalitas,
(c) ratifikasi dalam sidang homologasi,
(d) jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi,
(e) ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaanya dapat dilakukan secara paksa. Tahap-tahap dalam proses perdamaian antara lain :
(a) pengajuan usul perdamaian,
(b) pengumuman usulan perdamaian,
(c) rapat pengambilan keputusan,
(d) sidang homologasi,
(e) upaya hukum kasasi,
(f) rehabilitasi.
  Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika proses perdamaian diterima.
  Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya dengan hutangnya. Hal tentang insolvensi ini sangat menentukan nasib debitur, apakah akan ada eksekusi atau terjadi restrukturisasi hutang dengan damai. Saat terjadinya insolvensi (pasal 178 UUK) yaitu:
(a) saat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian,
(b) penawaran perdamaian ditolak,
(c) pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Dengan adanya insolvensi maka harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kepada para kreditur.
   Pemberesan/likuidasi, yaitu ppenjualan harta kekayaan debitur pailit, yang dibagikan kepad kreditur konkuren, setelah dikurangi biaya-biaya.
   Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian ditolak maka rehabilitasi tidak ada. Syarat rehabilitsi adalah : telah terjadi perdamaian, telah terjadi pembayaran utang secara penuh.
KURATOR
Pengertian Kurator pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan dalam kedudukannya harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
Tugas Kurator sendiri adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.  Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Pada Pengadilan Niaga
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, prosedur permohonan Pailit adalah sebagai berikut:
·         Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera. (Pasal 6 ayat 2).
·         Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, pengadilan menetapkan hari sidang.
·         Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 6).
·         Pengadilan wajib memanggil Debitor jika permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan (Pasal 8).
·         Pengadilan dapat memanggil Kreditor jika pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan pailit telah dipenuhi (Pasal 8).
·         Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lama 7 hari sebelum persidangan pertama diselenggarakan (Pasal 8 ayat 2).
·         Putusan Pengadilan atas permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta terbukti bahwa persyaratan pailit telah terpenuhi dan putusan tersebut harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah didaftarkan (Pasal 8).
·         Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut berikut pendapat dari majelis hakim dan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sekalipun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum (Pasal 8 ayat 7).
Ø  Selanjutnya, setelah debitur dinyatakan pailit, tentunya ada konsekwensi yuridis yang harus diperhatikan baik oleh kreditur maupun oleh debitur.
Diantara konsekwensi-konsekwensi yuridis tersebut yang terpenting adalah sebagai berikut :
a.            Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 (sembilan puluh) hari.
b.            Boleh dilakukan kompensasi (setoff) antara hutang debitur dengan piutang debitur.
c.             Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan.
d.            Berlaku actio paulina.
e.            Demi hukum berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur.
f.             Kepailitan berlaku juga terhadap suami/istri.
g.            Debitur atau direksi dari debitur kehilangan hak mengurus.
h.            Perikatan setelah debitur pailit tidak dapat dibayar.
i.             Gugatan hukum haruslah oleh atau terhadap kurator.
j.             Semua perkara pengadilan ditangguhkan dan diambil alih oleh kurator.
k.            Pelaksanaan putusan hakim dihentikan.
l.             Semua penyitaan dibatalkan.
m.           Pelelangan yang sedang berjalan dilanjutkan.
n.            Balik nama atau pendaftaran jaminan hutang atas barang tidak bergerak dicegah.
o.            Daluarsa dicegah.
p.            Transaksi forward dihentikan.
q.            Sewa menyewa dihentikan
r.             Karyawan debitur di PHK
s.             Warisan dapat diterima atau ditolak oleh kurator
t.             Pembayaran hutang dimana pembayaran tersebut dilakukan sebelum pailit oleh debitur dalam hal-hal tertentu dapat dibatalkan.
u.            Pembayaran hutang dimana pembayaran tersebut dilakukan setelah pailit dapat dibatalkan.
v.            Hak retensi tidak hilang
w.           Debetur pailit atau direksinya dapat disandera (gijzeling)
x.            Debitur pailit demi hukum dicekal
y.            Harta pailit dapat disegel
z.             Surat-surat kepada debitur pailit dapat dibuka oleh kurator
aa.          Putusan pailit bersifat serta merta
bb.         Putusan hakim pengawas bersifat serta merta
cc.           Berlaku juga ketentuan pidana bagi debitur.
Akibat Kepailitan Secara Umum terhadap harta kekayaan debitur pailit
Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi
hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan
pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal
kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat
putusan pernyataan pailit di ucapkan, kecuali51
a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan
dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan
keluarganya, yang terdapat ditempat itu yang diatur dalam Pasal 22a UU No.37
Tahun 2004.
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. yang diatur dalam Pasal
22 b UU No.37 Tahun 2004.
c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberikan nafkah menurut Undang-Undang. yang diatur dalam Pasal 22c UU
No.37 Tahun 2004.
Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00,00 waktu setempat. Sejak
tanggal putusan pernyataan palit tersebut diucapkan, debitur pailit demi hukum tidak
mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan menggurus harta kekayaannya

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Tanggungjawab Direksi Perusahaan Yang Dipailitkan
Dalam Pasal 104 UU PT dikatakan bahwa, jika kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Tanggung jawab ini berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
       Tindakan atau perbuatan ultravires Direksi ini merupakan tindakan atau perbuatan yang memang menjadi tanggung jawab pribadi Direksi.
Akan tetapi, Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan bahwa:
a.    Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b.    telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
c.    tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d.    telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
       Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dalam UU Perseroan Terbatas ini merupakan lex generalis yang dapat dikesampingkan oleh Undang-Undang  Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
      Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, dalam hal perbuatan tersebut:
1)    Dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga adalah anggota direksi  atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
2)    Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan anggota direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut.
3)    Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
a)     Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama
b)    Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.
c)    Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya;
d)    Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
Untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian Direksi, gugatan diajukan ke pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

AKIBAT HUKUM  PERSEROAN TERBATAS (PT) TERHADAP KEPUTUSAN PAILIT PENGADILAN NIAGA
Pasal 1 butir 1 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UUPT, menegaskan bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah BADAN HUKUM. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai SUBYEK HUKUM yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan bahwa kita dapat menemui rechtpersoonlijkheid dalam badan hukum korporasi atau perseroan.
Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu :
1.   Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
2.   Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
3.   Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.
Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas No. 40 tahun 2007 tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum perseroan terbatas secara terperinci. Pembubaran Perseroan terbatas demi hukum hanya dikenal pengaturannya di KUHD yaitu Alasan-alasan pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai 75% dari modal perseroan. Akan tetapi undang-undang UUPT mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUPT ada 2 (dua) alasan pembubaran PT yang berhubungan dengan Kepailitan yaitu
1.    Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai  kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
2.    Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

ALASAN PERTAMA digunakan untuk melindungi kepentingan kreditor. Dalam hal ini kreditor tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini. Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Hakim Pengawas atas Putusan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Debitor. Berdasarkan permohonan Kreditor atau Panitia Kreditor sementara jika ada,  tersebut Hakim Pengawas mengusulkan kepada Pengadilan Niaga, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit Berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga tersebut, suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditor berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.
Setelah pembubaran PT terjadi dengan adanya pencabutan kepailitan ini, maka menurut pasal 142 butir 4 Pengadilan Niaga sekaligus memutuskan, pemberhentian Kurator. Kemudian peran Kurator digantikan oleh Likuidator sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan pemberesan. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan
b.   pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.
Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia memuat:
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat likuidator;
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana. Pemberitahuan kepada Menteri wajib dilengkapi dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar
ALASAN KEDUA, Pembubaran Perseroan Terbatas terjadi karena telah dinyatakan pailit dan dalam keadaan INSOLVENSI. Keadaan insolvenasi menurut Pasal 178 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu suatu keadaan dimana Debitor dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, insolvensi ini terjadi apabila :

1.      Dalam rapat pencocokan piutang Kreditor tidak ditawarkan perdamaian atau
2.      Rencana Perdamaian yang ditawarkan Debitor ditolak oleh Panitia Kreditor atau
3.      Pengesahan Perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Akibat hukum dari penetapan insolvensi debitor pailit, timbulnya konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut :
1.      Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal : pertimbangan prospek kelangsungan usaha) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih mengutungkan;
2.      Pada prinsipnya tidak ada REHABILITASI, sebab insolvensi ini disebabkan tidak adanya perdamaian dan aset Debitor Pailit lebih kecil dari kewajibannya. Kecuali apabila setelah dalam keadaan insolvensi kemudian terdapat Harta lain dari Debitor pailit. Misalnya adanya warisan, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian Rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 UUK dan PKPU.
Ø  Bertolak dari kedua alasan yang dipakai sebagai dasar Pembubaran Perseroan Terbatas dalam Kepailitan, menimbulkan dua mode perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas, yaitu :
1.   Berlaku demi hukum (by the operation of law).
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang-undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
2.   Berlaku secara Rule of Reason.
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.

Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.
Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel.
Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis terhentinya operasional perseroan. Pernyataan Pailit Perseroan Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dkuatkan dengan berlandaskan pada beberapa hal sebagai berikut :

1.      Pasal 143 ayat 1 UUPT, menjelaskan bahwa :
Pasal 143
(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.

Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu penyebab pembubaran adalah disebabkankan karena berada pada keadaan pailit yangmana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi. Dengan demikian Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4, yang dimaksud dalam Pasal 143 UUPT tersebut pun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No. 37 tahun 2004.
Pembubaran perseroan terbatas yang dimaksud dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT, proses dan pemberesannya haruslah sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. Pada Pembubaran yang demikian ini, bahwa Pembubaran yang dimaksud adalah penghentian operasional perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, bukanlah berupa Pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas. Peran organ-organ perseroan tersebut berdasarkan pasal 16 dan pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU, diambil alih oleh Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan Pemberesan harta pailit dan atau melanjutkan operasional perseroan terbatas dengan pertimbangkan lebih mengutungkan daripada menghentikan operasional perseroan terbatas, kecuali apabila terjadi pencabutan kepailitan akibat tidak ada kemampuan membayar Debitor untuk membayar biaya kepailitan maka bersamaan dengan itu dilakukan penghentian tugas dan wewenang Kurator dalam kegiatannnya, pemberesan dan penyelesaian kewajiban perseroan dilakukan oleh likuidator seperti halnya diatur dalam pasal 143 butir 4 UUPT.
Dari ketiga organ perseroan, yang sangat berperan penting dalam operasional badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi. Sebagai organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada  keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya sendiri, sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ perseroan terbatas adalah satu-satunya organ perseroan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan sebenarnya hanyahlah sub dari suatu subyek hukum yang bernama perseroan terbatas.
Dari pengertian di atas maka dalam melakukan kewajibannya untuk melakukan pengurusan perseroan maka ada pembatasan kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasaran hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak untuk dan atas nama perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme keterbukaan (disclosure) tertentu yang mewajibkan perseroan untuk mengumumkan kewenangan bertindak Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan serta pembatasan kewenang-kewenangannya.
Dari sinilah makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan yang diatur dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT. Dengan pemberhentian tugas dan wewenang organ PT, termasuk yang sangat penting adalah Direksi dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran BADAN HUKUM perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap Kreditor maupun pihak ketiga. Pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme yang diatur dalam UUPT. Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan dan penyelesaian kewajiban terhadap Kreditor maupun Pihak Ketiga selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah pembubaran Badan Hukum.

2.      Pasal 104 UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pasal 104
(1)  Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
(2)  Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sebelumnya kita sudah mengetahui mengenai pembubaran perseroan terbatas akibat dari kepailitan yang diatur dalam UUPT. Mengingat segala apa yang diatur dalam UUPT mengenai pembubaran perseroan terbatas khususnya yang disebabkan karena kepailtan harus mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan maka bertolak dari hal tersebut pada esensinya bahwa Tidak setiap perseroan yang dinyatakan pailit baik karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi, selalu dibubarkan baik pengertian berhenti operasionalnya maupun pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas tersebut.
Peluang untuk tidak dibubarkan dan tidak berhenti operasional Perseroan Terbatas ini diberikan dalam ketentuan UU Kepailitan dan PKPU pada Pasal 104, yaitu dengan persetujuan Panitia Kreditor, Kurator, bahkan walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau Peninjauan Kembali. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan datang.
Berdasarkan pasal 104 di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut karena kepailitan perseroan terbatas menurut hukum Indonesia tidak menyebabkan terhentinya operasional perseroan. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan seorang Kreditor.
Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Kurator yang hadir dalam rapat mengusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan (Pasal 179 ayat (1)) dan usul tersebut hanya dapat diterima apabila usul tersebut disetujui oleh para kreditor yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Pasal 180 ayat (1)).
Walaupun syarat-syarat seperti di atas telah terpenuhi, tetap beroperasi tidaknya suatu badan hukum perseroan masih harus tetap mendapatkan persetujuan dari Hakim Pengawas dalam suatu rapat yang dihadiri oleh Kurator, Debitur dan Kreditor, yang diadakan khusus untuk membahas atas usul kreditor sebagaimana tersebut di dalam Pasal 179 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 180 ayat (1), Pasal 183 UUK & PKPU.
Dengan pertimbangan tetap beroperasinya usaha dari perseroan terbatas pailit maka dimungkinkan adanya keuntungan yang akan diperoleh diantaranya yaitu :
1.   Dapat menambah harta si pailit dengan keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari perusahaan itu.
2.   Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya secara penuh.
3.   Kemungkinan tercapai suatu perdamaian.

3.      Asas Kelangsungan Usaha
Pada penjelasan Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberi peluang bagi perusahaan yang menurut penilaian Kurator, Panitia Kreditor dan atas ijin Hakim Pengawas masih memiliki Prospek Usaha yang Baik, dapat tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan Kreditor atas utang-utang Debitor saja, tetapi lebih dari pada itu, nilai-nilai dasar yang terkadung dalam asas-asas UU Kepailitan dan PKPU ini, ditujukan untuk melindungi seluruh kepentingan-kepentingan para pihak dan bahkan dengan pertimbangan untuk kepentingan ekonomi nasional atau kepentingan negara.
Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam  asas-asas dari UU Kepailitan dan PKPU, menurut Sutan Remy Syahdeni antara lain :
1.      Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri;
2.      Putusan pernyataan pailit seyogianya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas;
3.      Permohonan pernyataan pailit seyogianya hanya dapat diajukan terhadap Debitor yang insolven yaitu tidak membayar utangutangnya kepada kreditor mayoritas;
4.      Undang-undang Kepailitan harus mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan
5.      Undang-undang kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan Debitor;
6.      Undang-undang Kepailitan seyogianya memungkinkan utang debitor diupayakan direstrukrisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit;
Asas Kelangsungan usaha ini, bermaksud untuk melindungi kepentingan Debitor Pailit atas kepentingan beberapa Kreditor yang menghendaki segera diselesaikan utang-utang debitor kepadanya setelah jatuh tempo. Demi hukum sejak Debitor dinyatakan pailit secara otomatis kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurusi kekayaan yang termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ).
Kemudian jika kita mencerna ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat Debitor pailit pada pasal 2 ayat 1, demikian sederhana, yaitu :
1.   Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor;
2.   Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya;
3.   Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
Yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan demikian, pengertian kreditor di sini adalah untuk mensyaratkan bahwa debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan demikian, pengertian kreditor di sini adalah menunjuk pada sembarang kreditor, yaitu baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah keuangan kreditor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.
Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud di sini adalah kreditor konkuren. Mengapa harus kreditor konkuren adalah karena seorang kreditor preferen atau separatis pemegang hak-hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya yaitu dari barang-barang yang telah dibebani dengan hak jaminan.[7]
Syarat kedua permohonan pailit adalah adanya suatu “utang”. Kata utang (diambil dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”)77. Pada mulanya harus dikerjakan menurut hukum, sehingga utang dalam pengertian ini merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Dalam Perikatan, kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si debitor, sehingga si berpiutang atau kreditor memiliki piutang (inschuld) dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara pada pihak si berutang atau debitor memiliki utang (uitschuld) dan tanggungjawab atas tuntutan gantirugi (haftung).
Menurut Sutan Remy[8], rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK tersebut tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang umum berlaku secara global. Seharusnya tidaklah cukup hanya disyaratkan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor saja (mempunyai dua atau lebih kreditor). Tetapi harus disyaratkan pula bahwa utang-utang kepada para kreditor yang lain haruslah pula telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta tidak dibayar. Artinya, debitor harus dalam keadaan insolven. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa debitor harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada satu atau dua orang kreditor saja. Sedangkan kepada kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik. Dalam hal Debitor hanya tidak mambayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain Kreditor masih mambayar utangutangnya, maka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.
Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditor tertentu saja, sekalipun kepada Kreditor-Kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang menyatakan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional.




1.      Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah kepailitan dirinya sendiri bukan kepailitan para pengurusnya, walaupun kepailitan itu terjadi karena adanya kelalaian dari para pengurusnya. Sehingga seharusnya pengurus tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara tanggung renteng atas adanya kerugian karena kelalaiannya dan hanya dapat dimintai pertangungjawaban apabila kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan (Pasal 90 ayat (2) UUPT).
2.      Pembubaran perseroan yang dimaksud dalam pasal 142 butir 1 huruf d dan e, adalah penghetian kegiatan perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ PT yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Direksi, Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan dalam keadaan Insolvensi wajib mencantumkan “Likuidasi” dibelakang nama Perseroan Terbatas.  Sedangkan Badan Hukum PT, tidak secara otomatis bubar (Pasal 143 ayat 1). Pembubaran Badan Hukum PT tetap mengunakan prosedur RUPS sebgai organ tertinggi dalam PT. Pelaksanaan Pembubaran Badan Hukum PT dilaksanakan setelah pengurusan dan pemberesan perseroan telah selesai dilaksanakan.
3.      Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit dibacakan hanya dapat dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditor dengan alasan perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di dalam penjelasan UUK dan PKPU bahwa asas di dalam Undang-undang ini di antaranya adalah asas kelangsungan usaha yang artinya bahwa kepailitan tidak demi hukum menjadikan perseroan bubar.
4.      Kelanjutan usaha dari perseroan terbatas pailit tergantung dari cara pandang Kurator serta kreditur atas prospek usaha debitur pailit di masa datang, kepailitan perseroan terbatas demi hukum tidak membubarkan perseroan terbatas. Dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 104 dan Asas Kelangsungan Usaha, maka Kurator bersama-sama Panitia Kreditor dengan persetujuan Hakim Pengawas, dapat mengusulkan agar PT yang telah dinyatakan Insolensi dapat tetap melangsungkan Usaha. Jika dianggap Perseroan Terbatas tersebut masih memilik Prospek Bisnis yang menguntungkan.

3 komentar: