Materi Kuliah Magister Kenotariatan - TEHNIK PEMBUATAN AKTA TANAH
Dr. UDIN NARSUDIN, SH., M.Hum., SpN.
S-1 Universitas Pasundan Bandung
S-2 Notariat dan Pertanahan UI Depok
S-2 Hukum Bisnis UGM Yogyakarta
S-3 Ilmu Hukum UNPAD Bandung.
Email : udin_notary@yahoo.com
0812-86924937
Dasar Hukum
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Pasal 20 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 43) Jo. PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
UU NO. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Salah satu tujuan hukum tanah nasional adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Kepastian ini diwujudkan dengan diselenggarakanya suatu sistem pendaftaran tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA yang menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum pemerintah diadakan pendaftaran diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini merupakan landasan hukum pendaftaran tanah di Indonesia.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah pertama kali (initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintance). Dalam kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah, kecuali perubahan melalui lelang, digunakan akta yang dibuat oleh PPAT sebagai dasar untuk mendaftarkan perubahan data yang terjadi, untuk membuktikan bahwa benar-benar telah terjadi suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Akta tersebut harus merupakan akta otentik agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Secara hukum dalam pelaksanaan tugasnya, PPAT pada dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang serba formal-prosedural, meski disamping tugas tersebut PPAT dapat juga memberi nasehat hukum, dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari pihak-pihak yang memakai jasanya. Itulah sebabnya perjanjian dan ketetapan yang dibuat PPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta jasanya untuk membuat pengesahan formal.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata secara tegas dinyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai atau pejabat umum yang berkuasa untuk di tempat dimana akta dibuatnya.
Pasal 1870 KUHPerdata menyatakan suatu akta otentik memberikan diantara pihak beserta ahli warisnya, atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.
PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1998).
Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan menggunakan formulir yang disediakan yang diatur dalam Pasal 21 PP No. 37 Tahun 1998 Jo Pasal 96 ayat 2 PMA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Jo Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2012.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, yang tugas pokoknya membantu Kepala Kantor Pertanahan melakukan pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Jo Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.
Peraturan tentang Jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 1 angka (1): ”Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hakatas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut Parlindungan, PPAT sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena didaerah tersebut belum cukup PPAT.
PPAT Khusus adalah pejabat BPN yang ditunjuk membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya Peratusan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA), walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut sebagai Pejabat/ Namun jika melihat cakupan kewenangan dari Pejabat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan.
Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semula telah ditentukan dalam PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam PP tersebut dikenal dengan istilah pejabat dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No 10 Tahun 1961) yang mengatur mengenai Pejabat, yaitu:
1. Pasal 19: "Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah. menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria".
2. Pasal 38: "Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.
Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah no 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 (TLN 2344). Dalam Pssal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut, disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departeman Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan- peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, belum disebut secara eksplisit bahwa Pejabat yang dimaksudkan disebut dengan nama PPAT. Penyebutan secara eksplisit pertama kali ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria No 10 Tahun 1961: ".....apabila untuk suatu kecamatan belum ditunjuk seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana "ambsthalve" menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah.....".
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan "pejabat". Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dengan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tercetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau blangko akta tersebut.
Peraturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Menurut peraturan ini disebutkan bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh Badan PertanahanNasional.
Mengapa demikian? Sebab fungsi blangko akta PPAT secara tegas dinyatakan sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga syarat ini harus disesuaikan dengan maksud pelaksanaan tugas Jabatan PPAT tersebut.
Pasal dalam UUPA yang terkait dengan keberadaan Jabatan PPAT tersebut dapat ditemukan di Pasal 26 ayat (1) UUPA dan Pasal UUPA. Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa jual-beli, tukar-menukar dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang menginstruksikan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudiandiganti dengan PP No. 24 Tahun 1997.
UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT, namun penyebutan tentang adanya Pejabat yang akan bertindak untuk membuat akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 PP No 10 Tahun 1961, sebagai peraturan pelaksanaan UUPA. Dengan menggunakan metode interpretasi sistematis, serangkaian ketentuan yang berkaitan satu sama lain tersebut sudah cukup untuk memberikan pemahaman, bahwa keberadaan Jabatan PPAT bersumber pada UUPA, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat. Metode interpretasi sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam suatu peraturan perundang-undangan atau dengan peraturan perundang-undangan yang lain, serta membaca penjelasannya sehingga dapat dipahami maksudnya.
Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, memuat ketentuan tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak sebagaimanan ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan: "Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peraliran hak dalam pewarian cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris dan surat wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di dalam UU Rumah Susun yang baru, yaitu UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun tidak ditemukan penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya. Penyebutan PPAT ada di pasal penjelasannya saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa proses jual-beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, dilakukan melalui akta jual-beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa AJB dibuat dihadapan "notaris PPAT" untuk SHM Sarusun, dan "notaris" untuk SKBG (sertifikat kepemilikan bangunan gedung) Sarusun sebagai bukti peralihan hak.
2. Undang-Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan) menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: "Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah danakta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pandaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 24: "Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu".
6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas secara tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu: "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini".
Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam UU tersebut tidak dijelaskan. Istilah pejabat umum diterjemahkan dari istilah "openbare Ambtenaren" yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (reglement op het Notaris-ambt in Indonesie) S.1860-3 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101 dan pasal 1868 BW.
Menurut E.Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Ikhtiar, Jakarta, tahun 1963, halaman 159, "jabatan" (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "lingkungan pekerjaan tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang sebanyak-aanyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubahbegitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi diberikankepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun pejabatnya berganti-ganti.
Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997, yang berinduk pada UUPA, bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah". Di dalam pasal 7 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997 disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Sedangkan "Peraturan Pemerintah" yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta Tanah, serta peraturan pelaksanaannya yang diatur di dengan Peraturan menteri Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta Tanah.
Pada Konsideran Menimbang huruf "b" PP No. 37 Tahun 1998 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
Dengan demikian, maka pembentukan PP No. 37 Tahun 1998 tersebut adalah memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu: "PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaranperubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu".
Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37/1998, yaitu:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Dalam ketentuan dalam pasal selanjutnya dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Sedangkan "PPAT Khusus" hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya.
Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah itu disebutkan di dalam pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 yaitu, "Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan."
Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas, semakin mengukuhkan kedudukan Jabatan PPAT sebagai suatu jabatan tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menyusul diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena dinyatakan telah melekat secara otomatis pada Jabatan Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut. Ketentuan hukum tersebut menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah atau yang berkaitan dengan tanah.
Dengan demikian jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang sama, dapat diselesaikan dengan menggunakan Teori hukum, yaitu:
a. Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang-undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atu undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama.
b. Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
Kedua Teori hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPA kedudukannya lebih rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah. Tetapi di sisi lain, dapat juga menggunakan asas hukum "lex specialis derogate legi generale", sehingga peraturan khusus akan mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama. Artinya PP No. 37 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur Jabatan PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
Dalam kondisi demikian, mana yang harus diikuti, tidak memberikan penyelesaian dan kepastian hukum. Untuk itu memang dibutuhkan adanya harmonisasi hukum dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.
Kontroversi terhadap kedudukan PPAT sebagai jabatan inhern dalam Jabatan Notaris dipicu oleh keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN tersebut. Ini kelihatannya akan segera berakhir karena dalam RUU Jabatan Notaris pengganti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketentuan tersebut sudah dihapus dalam Panja V tanggal 9 Januari 2012. Sementara itu Fraksi Partai Golkar tidak setuju dan menghendaki tetap pada rumusan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam UUJN tersebut, walaupun sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan:
"Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta, menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang".
Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri mengaku keberadaan suatu jabatan tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang. Misalnya pembuatan akta yang pemindahan hak atas tanah dan/atau akta pembebanan Hak Tanggungan yang telah ditentukan dalam UU Hak Tanggungan yang harus dibuat dengan akta PPAT.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris, pada huruf "g" yang melarang Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga wilayah jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" maka sendirinya kita akan mengakui bahwa pada jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan yang diberikan oleh UUJN tersebut.
Penjelasan pasal tersebut yang menyatakan "cukup jelas", membawa pesan bahwa ketika seseorang telah diangkat menjadi Notaris, maka secara otomatis dalam jabatan Notaris juga melekat kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan, yang selama ini menjadi kewenangan PPAT.
Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, maka ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.
Namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tidak memberikan kepastian hukum. karena tidak mampu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang pertanahan itu dilaksanakan. Karena penjelasan pasal tersebut menyatakan sudah jelas. Padahal beberapa pertanyaan dapat saja muncul, misalnya, apakah wilayah jabatan Notaris secara otomatis juga menjadi wilayah jabatan PPAT. Jika demikian, mengapa harus ada lagi ketentuan Pasal 17 huruf "g" dalam UUJN tersebut.
Selain itu secara kelembagaan, juga akan menimbulkan permasalahan, sebab selama ini dua jabatan tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya serta hal hal yang terkait dengan pelaksanaan jabatan tersebut, termasuk pengawasannya.
Memang dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas, termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan secara operasional.
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan Notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa.
Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama. Dalam kondisi demikian, maka terjadi kondisi "contra conseutudinem non obligat" yaitu peraturan yang bertentangan tidak mengikat.
Bagaimanapun kontroversi harus diakhiri, sehingga kita harus sepakat untuk membedah polemik ini secara jernih berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Apalagi saat ini sedang berlangsung pembahasan RUU Jabatan Notaris sebagai penggnati UU No. 30 Tahun 2004. Demikian halnya jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka memang sudah pada saatnya kita merekomendasikan untuk mengajukan RUU Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh pertimbangan yang emosional atas reaksi dari adanya polemik terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf "e" Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi"pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarkat".
Selain itu, suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.
Sementara materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keteritban dan kepastian hukum, dan/ atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Pasal 6).
Jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris,
sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT.
Untuk dapat suatu akta memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam pasal 1868 KUHPerdata, yaitu :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenberstaan) seorang pejabat umum, yang berarti akta-akta notaris/PPAT yang isinya mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan notaris/PPAT sebagai pejabat umum ;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta tersebut kehilangan otensitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten);
c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang notaris/PPAT hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya didalam daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika notaris/PPAT membuat akta yang berada diluar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
Notaris/PPAT mempunyai 4 (empat) kewenangan sehubungan dengan pembuatan akta, yaitu :
a. Notaris/PPAT harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya;
Wewenang notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang notaris/PPAT dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang yang terbatas.
Tidak setiap pejabat umum dapat membuat akta akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan ;
b. Notaris/PPAT harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat. Seorang notaris/PPAT tidak berwenang untuk membuat akta yang ditujukan kepada notaris/PPAT sendiri, istrinya/suaminya, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris/PPAT baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa batas, serta garis keturunan kesamping derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun perantaraan kuasa, hal tersebut untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan ;
c. Notaris/PPAT harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat ;
Bagi setiap notaris/PPAT ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya didalam daerah yang ditentukan notaris/PPAT berwenang untuk membuat akta otentik sedangkan akta yang dibuat diluar daerah jabatannya maka aktanya tidak sah ;
d. Notaris/PPAT harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuat akta itu. Sebab notaris/PPAT tidak berwenang untuk membuat akta apabila notaris/PPAT masih cuti atau telah dipecat dari jabatannya serta sebelum melaksanakan sumpah jabatan notaris/PPAT tidak berwenang untuk membuat akta.
Jika salah satu dari ke empat syarat tersebut di atas ada yang tidak terpenuhi maka aktanya tidak otentik dan hanya berlaku sebagai akta dibawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap.
Tugas Pokok Dan Kewenangan PPAT
Berdasarkan pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, menyebutkan bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum tersebut adalah jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; pemberian Hak Tanggungan; dan pemberian kuasa memberikan Hak Tanggungan.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, maka PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan pasal 3 PP No. 37 Tahun 1998, bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan pasal 4, bahwa kecuali ada ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran.
Khusus bagi sebidang tanah atau satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta.
Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pokok PPAT (membuat akta), maka berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan bahwa dalam tugasnya membuat akta, harus dilaksanakan di kantor PPAT yang bersangkutan dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya sesuai ketentuan yang berlaku dalam perbuatan hukum tersebut.
Pengecualian dari ketentuan tersebut, yaitu apabila salah satu pihak atau kuasanya yang harus hadir di Kantor PPAT tidak dapat datang di Kantor PPAT karena alasan yang sah, misalnya sakit atau alasan yang lain di luar kekuasaan yang bersangkutan, maka PPAT dapat membuat akta di luar kantornya, yaitu mendatangai orang tersebut dengan ketentuan bahwa para pihak atau kuasanya harus hadir bersama dihadapan PPAT yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas pembuatan akta, sebagaimana diatur dalam pasal 38 PP 24/1997, bahwa pembuatan akta dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
Berdasarkan Pasal 39 PP 24/1997, disebutkan bahwa, PPAT dapat menolak untuk membuat akta, jika:
a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Knator Pertanahan; atau
b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
1. surat bukti hak atau surat keterangan Kepala desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan meneguasai bidang tanah tersebut selama 20 tahun berturut-turut atau lebih (pasal 24 ayat2).
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak jauh dari kedudukan kantor pertnahan, bagi pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan, atau
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatn hukum ybs. Atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian;
d. Salah satu pihak atau para [pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
e. Objek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya.
PPAT dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Selain itu. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 40 PP 24/1997).
Dalam hal perlaihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun karena pengabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang didahului dengan likuidasi perseroan atau koperasi yang bergabung atau melebur didaftar berdasarkan pemindahan hak dalam rangka likuidasi yang dibuktikan dengan akta yang dibuta oleh PPAT yang berwenang (Pasal 43 ayat 2 PP 24/1997).
Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT
Menurut pasal 5 PP No. 37/1998, PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Menteri yang bertanggungjawab dibidang agraria/pertanahan), dan diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, maka Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT Sementara. Pengangkatan dan pemberhentian Camat sebagai PPAT Sementara dilimpahkan Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Propinsi atas nama Menteri (PMNA/Kepala BPN No. 1 Tahun 1998).
Sedangkan untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, Menteri dapat menunjuk Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus.
Formasi Pengangkatan PPAT
Pengangkatan PPAT dilakukan untuk memenuhi formasi PPAT di Kabupaten/Kota tertentu yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi. Formasi PPAT ditetapkan secara periodik dan ditinjau kembali apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor penentu yang telah ditetapkan.
Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri untuk setiap daerah kerja PPAT dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: (Pasal 2 PMNA No. 4/1999).
1. jumlah kecamatan di daerah yang bersangkutan;
2. tingkat perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan;
3. jumlah bidang tanah yang sudah bersertipikat di daerah yang bersangkutan;
4. frekuensi peralihan hak di daerah yang bersangkutan dan prognosa mengenai pertumbuhannya;
5. jumlah rata-rata akta PPAT yang dibuat di daerah kerja yang bersangkutan.
Selanjutnya menurut Pasal 3 PMNA No. 4/1999 ditentukan pula bahwa apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka daerah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT. Dalam menghitung jumlah PPAT, diperhitungkan juga PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat. Di suatu daerah yang formasinya sudah penuh, pengangkatan hanya dapat dilakukan apabila jumlah PPAT yang ada berkurang atau formasinya ditambah. Tetapi, bila terjadi penggantian Camat, maka camat penggantinya (baru) tidak ditunjuk sebagai PPAT (ketentuan lama, yaitu Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 April 1962 No. Unda 1/2/6, Camat sebagai PPAT Sementara karena jabatannya (ex-officio).
Selanjutnya untuk daerah Kotamadya (Ibukota Propinsi) bila sudah ditetapkan menjadi daerah tertutup, hanya dilakukan dengan pengangkatan PPAT dari daerah kerja lain atau dari Notaris (non-PPAT) yang berkedudukan di daerah tersebut.
Persyaratan Pengangkatan PPAT
Untuk dapat diangkat menjadi PPAT menurut pasal 6 PP No. 37/1998, harus memenuhi pernyaratan sebagai berikut:
1. berkewarganegaraan Indonesia;
2. berusia sekurang-kurangnya 30 tahun;
3. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat kelakuan baik yang dibuat oleh instansi Kepolisian setempat;
4. belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
sehat jasmani dan rohani;
5. lulusan program pendidikan spesialis notaris atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; dan
6. lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN.
(materi ujian: Hukum Tanah Nasional; Pendaftaran Tanah; Peraturan Jabatan PPAT; dan Pembuatan Akta PPAT, Pasal 4 PMNA No. 4/1999).
Dalam pelaksanaan tugasnya, menurut pasal 7 PP No. 37/1998, PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasihat Hukum.
Sebaliknya, terdapat beberapa larangan bagi PPAT, yaitu:
1. merangkap jabatan atau profesi sebagai pengacara atau advokat; pegawai negeri atau pegawai BUMN/BUMD. (pasal 7 ayat 2).
2. membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain (pasal 23 ayat 1).
3. Meninggalkan kantornya lebih 6 (enam) hari kerja berturut-turut kecuali dalam rangka menjalankan cuti (pasal 30).
Pemberhentian PPAT
PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT, menurut pasal 8 PP NO. 37/1998, karena:
1. meninggal dunia;
2. telah mencapai usia 65 tahun;
3. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT;
4.diberhentikan oleh menteri.
Sedangkan bagi PPAT Sementara atau PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan atau diberhentikan oleh menteri.
Menurut Pasal 10 ayat 1 PP NO. 37/1998, PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena:
1. permintaan sendiri; (dapat diangkat kembali sebagai PPAT didaerah lain, bila formasi belum penuh).
2. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya;
3. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
4. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI (TNI/POLRI).
Selain diberhentikan dengan hormat, PPAT juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: (pasal 10 ayat 2 PP No. 37/1998)
a. melakukan pelanggaran berat atau kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
PPAT dapat diberhentikan untuk sementara, bilamana PPAT tersebut sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih. Pemberhentian sementara tersebut berlaku sam[pai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 11 PP 37/1998).
Sumpah Jabatan PPAT
Sebelum menjalankan jabatannya, PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya (Kota) didaerah kerja PPAT yang bersangkutan. Sedangkan bagi PPAT Khusus tidak perlu mengangkat sumpah jabatan. Demikian pula halnya, PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah, tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya didaerah kerjanya yang baru. (pasal 15 PP 37/1998).
Untuk keperluan pengangkatan sumpah sebelum menjalankan jabatannya, maka PPAT harus melapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, bilamana tidak melapor dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan) terhitung sejak ditetapkannya sebagai PPAT, maka keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum.
Bilamana seorang PPAT atau PPAT Sementara belum mengucapkan sumpah jabatan, maka PPAT tersebut dilarang menjalankan jabatannya sebagai PPAT. Apabila larangan tersebut dilanggar, maka akta yang dibuatnya tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah (Pasal 18 PP 37/1998).
PPAT Pengganti
Selama PPAT diberhentikan sementara atau menjalani cuti, maka tugas dan kewenangan PPAT dapat dilaksanakan oleh PPAT pengganti atas permohonan PPAt yang bersangkutan. PPAT pengganti tersebut diusulkan oleh PPAt yang bersangkutan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang menetapkan pemberhentian sementara atau persetujuan cuti di dalam keputusan mengenai pemberhentian sementara atau keputusan persetujuan cuti yang bersangkutan sereta diambil sumpahnya oleh Kepala Kantor Pertanahan. Persyaratan untuk menjadi PPAt Pengganti adalah telah lulus program pendidikan strata satu jurusan hukum dan telah menjadi pegawai kantor PPAT yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun (Pasal 31 PP 37/1998).
Honorarium (Uang Jasa)
Uang jasa (honorarium) PPAT atau PPAT Sementara termasuk uang jasa saksi, tidak boleh melebihi 1 % dari harga yang tercantum di dalam akta. Bagi seseorang yang tidak mampu, PPAT atau PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya. Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT atau PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan yang telah ditetapkan.
PPAT Khusus dalam melaksanakan tugasnya tidak memungut biaya (PPAT Khusus melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT sebagai bagian dari tugasnya di bidang pendaftaran tanah, karena itu pembuatan akta tersebut dilakukan dengan cuma-cuma, (penjelasan pasal 32 ayat 4)).
Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1. pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).
Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.
Salah satu cara memperoleh tanah yang digunakan dalam praktek sehari-hari adalah pemindahan hak.
Pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah yang bersangkutan, untuk selama-lamanya.
Perbuatan hukum pemindahan hak bentuknya yang paling banyak digunakan dalam praktek adalah jual beli tanah. Selain daripada jual beli tanah yang termasuk perbuatan pemindahan hak adalah Tukar Menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (Inbreng) dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya (lihat Pasal 94 ayat 2 huruf a PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
Pemindahan Hak
Jual Beli Tanah
Jual Beli tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya, oleh penjual kepada pembeli dengan disertai pembayaran harganya pada saat yang bersamaan.
Perbuatan tersebut dalam hukum adat disebutkan “tunai” , hal ini ditegaskan dalam Keputusan MA No. 123 K/Sip/1970 yang menyatakan bahwa “perbuatan hukum jual beli tanah adalah pemindahan hak yang bersifat tunai.
Dalam pengertian tunai terjadi dua perbuatan pada saat yang bersamaan yaitu :
- penjual memindahkan penguasaan yuridis atas tanahnya kepada pembeli untuk selama-lamanya.
- pembeli membayar harganya baik sebagian atau seluruhnya.
Konsekuensinya :
a. Jual beli tanah tidak dapat dibatalkan, kecuali pemindahan haknya batal atau dibatalkan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 45 huruf g dan huruf f PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
b. Karena jual beli tanah bukan hanya sekedar suatu perjanjian, melainkan perbuatan hukum pemindahan penguasaan yuridis atas tanahnya yang terjadi secara langsung dan sifatnya riil.
Yang dapat menjadi objek jual beli adalah :
a. Hak atas tanah yaitu : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
b. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) , adalah hak untuk memiliki satuan rumah susun secara terpisah dan berdiri sendiri berikut hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah hak bersama yang menjadi satu kesatuan dengan satuan yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan jual beli tanah, apakah objek jual belinya selai hak atas tanah dapat pula meliputi bangunan yang didirikan diatas tanah tersebut ? Apakah berikut tanaman keras yang ditanam diatas tanah tersebut ?
Dalam pelaksanaan jual beli tanah ketentuannya diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 37 s/d 40. Selanjutnya dalam PMNA/Kepala BPN No. 3/1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatur lebih lanjut dalam Pasal 95 s/d 106. Secara singkat dapat diuraikan tata caranya :
- jual beli tanah dilaksanakan dihadapan PPAT yang berwenang, yang daerah kerjanya meliputi Desa/Kelurahan letak tanah hak yang menjadi objek jual beli dan dihadiri oleh penjual dan pembeli atau wakilnya yang diberi kuasa tertulis, saksi-saksi (yang cakap menurut hukum).
- setelah akta jual beli dibacakan oleh PPAT dihadapan yang hadir, apabila tidak terjadi perubahan dan isi aktanya disetujui oleh para pihak, kemudian ditanda-tangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan PPAT.
- PPAT Wajib mendaftarkan terjadinya pemindahan hak melalui jual beli tanah tersebut di Kantor Pertanahan (yang daerah kerjanya meliputi daerah kerja PPAT dan desa/kelurahan letak tanahnya) selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditanda-tanganinya akta jual beli tersebut (Pasal 40 PP No. 24/1997).
Tahapan awal
PPAT pertama-tama harus dapat menilai Penghadap/pihak cakap dan berwenang serta tidak termasuk yang dilarang oleh hukum yang berlaku.
Cakap artinya memenuhi Pasal 1330 BW :
Berwenang artinya orang yang menghadap akan membuat akta untuk kepentingan :
1. dirinya sendiri ;
2. selaku kuasa dari seseorang ;
3. selaku kuasa dalam jabatan (direktur, ketua, wali orang tua) atau kedudukan (wali pengawas, pengganti/substitusi, curator).
PROSES PEMBUATAN AKTA TANAH
Tidak termasuk yang dilarang artinya penghadap/pihak tersebut bukan dirinya sendiri, istrinya atau keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga baik secara pribadi maupun kuasanya.
Kewenangan dan kecakapan mempunyai perbedaan yang cukup jelas dan khusus. Kewenangan merupakan kapasitas atau kedudukan diri pribadi subjek hukum dalam melakukan tindakan hukum tersebut bisa untuk dirinya sendiri maupun subjek hukum lain sedangkan kecakapan merupakan kualitas dari pribadi subjek hukum tersebut.
Tahapan Kedua
Pihak-pihak yang berkepentingan mengutarakan maksud dan tujuannya. PPAT harus mampu melihat tujuan dan pihak-pihak tersebut membuat akta serta perbuatan hukum ini atas dasar kesepakatan yang tulus bukan ada unsur keterpaksaan, sebagaimana tertulis dalam Pasal 1321 BW :
“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karensa kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Isi atau materi dari akta, notaris harus bertanggung jawab bukan hanya merelatir dalam arti menuruti kehendak pihak yang memerlukan jasa PPAT tetapi PPAT harus menggunakan logika hukum (kewajaran), disini peranan PPAT sangatlah penting sebsagai kepercayaan pemerintah diuji.
PPAT harus menguasai peranannya, mampu mengarahkan isi akta agar sesuai dengan kenyataan dan tidak berbenturan dengan UU, hukum adat dan budaya sebagaimana dalam pasal 1337 BW : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.
Tahap Ketiga
Apabila maksud dan tujuan pembuatan akta tidak melanggar hukum, ideologi, adat istiadat, budaya, maka akan ditindak lanjuti dengan meminta kelengkapan data/dokumen baik asli maupun fotocopy yang harus dilengkapi oleh penghadap/pihak untuk diteliti kebenarannya. Data pendukung atau dokumen dimaksud antara lain Identitas diri, status keperdataan, surat perijinan, surat kepemilikan dan lain-lain, yang harus dicermati dengan teliti keabsahannya. Kemungkinan akibat hukumnya juga harus diterangkan secara jelas dan tegas.
Tahap Keempat
Setelah pihak mengerti dan memahami keterangan dari PPAT dan pihak menyatakan setuju atau semufakat, maka dengan segera PPAT menyiapkan minuta aktanya, memerlukan waktu yang lamanya tergantung pada situasi dan kondisi bisa sesaat kemudian, bisa beberapa hari.
Tahap Kelima
Setelah akta siap, dihadapan pihak dan saksi-saksi dibacakan, diterangkan sekali lagi, kemungkinan ada pembetulan dari pihak/penghadap. Setelah penghadap/pihak menerima, mengetahui, mengerti, memahami dan setuju atas apa yang direlatir dalam akta PPAT maka dengan segera akta itu diparaf/dibubuhi cap empu jari tangan bila ada perbaikan (renvoi) dan ditanda-tangani/dibubuhi cap empu jari tangan berturut-turut oleh pihak penghadap, saksi-saksi dan terakhir PPAT.
KOMPARISI
1. Biasa (pihak-pihak ybs menghadap/hadir).
1.Tuan Joko, lahir di Jakarta tanggal lima Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (05-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Bimasakti Nomor 10, Rukun Tetangga 001, Rukun Warga 001, Kelurahan Jelupang, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 00000001;---sedangkan untuk melakukan tindakan hukum berikut dibawah ini telah mendapat persetujuan dari istrinya Nyonya Yeni, lahir di Jakarta tanggal enam Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (06-06-1970), Warga Negara Indonesia, Karyawan swasta, bertempat tinggal sama dengan suaminya tersebut diatas, yang turut hadir dan ikut menanda-tangani akta ini sebagai tanda persetujuannya ;-----------------------------
2. Bila menyangkut tindakan seorang ayah dalam menjalankan kekuasaan orang tua (Psl 307 jo 300 BW)
1.Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal limabelas Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (15-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 00005555 ;----------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku ayah dari dan demikian menjalankan kekuasaan orang tua terhadap anaknya laki-laki yang masih dibawah umur (belum dewasa), yaitu B, berumur......tahun, karena ibunya masih hidup.--------------------------------------------------------
3. Bila menyangkut wali (pasal 345 BW).
1.Nyonya KIKO, lahir di Jakarta tanggal tigabelas Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (13-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000088, janda dari Tuan B yang telah meninggal dunia di........, pada tanggal.........., sebagaimana ternyata dari akta Kematian tertanggal......, Nomor......., yang dikeluarkan oleh ...............
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku orang tua yang masih hidup dan dengan demikian menurut hukum merupakan wali ibu dari anak-anaknya yang masih dibawah umum (belum dewasa) dan lahir karena perkawinannya dengan almarhum tuan B tersebut diatas yaitu:----------------
1. C dilahirkan di .......pada tanggal .......
2. D dilahirkan di .......pada tanggal ......
3. E dilahirkan di ........pada tanggal ........
4. bila menyangkut perwalian (Pasal 359 BW)
1. Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal limabelas Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (15-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 00005555 ;--------------------------------------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku wali atas anak laki-laki bernama B, demikian penghadap telah dingkat dengan Putusan Pengadilan Negeri .........., tertanggal .........., Nomor ........., dari putusan mana petikan resminya bermeterai cukup telah diperlihatkan kepada saya, notaris.------
5. bila menyangkut pengampuan (curatele) Pasal 449 BW.
-Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (03-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000099;--------------------------------------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku pengampu dari Tuan B, yang ditaruh dibawah pengampuan menurut surat putusan Pengadilan Negeri ......., tertanggal ......., Nomor ..... Dengan putusan mana penghadap telah diangkat sebagai pengampunya dan dari putusan tersebut sebuah turunan resminya bermeterai cukup telah diperlihatkan kepada saya, notaris.-------------------------------------
6. bila menyangkut pelaksana wasiat (executeur testamentaire) Pasal 1005 BW.
-Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (03-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000099;-----------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku pelaksana wasiat darti Tuan B, yang telah meninggal dunia di......, tempat tinggalnya terakhir, berdasarkan wasiatnya tertanggal........, Nomor, yang dibuat dihadapan saya, Notaris.-------------------------------------------------------------
Loading...
7. Bila pengurus mewakili suatu perkumpulan (Pasal 1653 BW).
1. Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (03-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000099;------------------------------------------------------------
2. Tuan KOKO, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (03-06-1971), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000077;-----------------------------------------
3. Tuan KAKA, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh dua (03-06-1972), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000066;-------------------------------------------------------------
-menurut keterangannya mereka dalam hal ini bertindak berturut-turut selaku Ketua, Sekretaris dan Bendahara dan dengan demikian merupakan pengurus harian yang mewakili Badan Pengurus dari dan oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal ...., anggarad dasarnya sah mewakili demikian untuk dan atas nama Perkumpulan X, berkedudukan di ......, yang telah diakui sebagai Badan Hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tertanggal...., Nomor......, dan telah diumumkan dalam Beritan Negara Republik Indonesia, Tambahan Nomor ......
8. Bila menyangkut kuasa dengan akta notaris.
Tuan KOKO, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (03-06-1971), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000077;------------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku kuasa dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama Tuan X, Warga Negara Indonesia, pengusaha, bertempat tinggal di dsb....., sebagaimana ternyata dari akta kuasa tertanggal..., Nomor....., yang dibuat dihadapan JOKI, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta.-----------------------------
9. Bila menyangkut kuasa dibawah tangan (Pasal 1792 Bw)
Tuan KOKO, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (03-06-1971), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000077;-----------------------------------
-menurut keterangannya dalam hal ini bertindak selaku kuasa dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama Tuan X, Warga Negara Indonesia, pengusaha, bertempat tinggal di dsb....., sebagaimana ternyata dari surat kuasa yang dibuat dibawah tangan, bermeterai cukup, tertanggal..., yang aslinya dilekatkan pada minta akta ini ;------------------
10. Bila menyangkut kuasa lisan (1792 BW).
Tuan KOKO, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (03-06-1971), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000077;---------------------------------menurut keterangannya dalam hal ini bertindak berdasarkan kuasa lisan dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama Tuan X, Warga Negara Indonesia, pengusaha, bertempat tinggal di..... dsb........
11. Bila menyangkut sebuah perseroan terbatas.
1.Tuan KIKI, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh (03-06-1970), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000099;-----------------------------
2. Tuan KOKO, lahir di Jakarta tanggal tiga Juni seribu sembilanratus tujuhpuluh satu (03-06-1971), Warga Negara Indonesia, karyawan swasta, bertempat tinggal di Tangerang Selatan, Jalan Rorojonggrang Nomor 15, Rukun Tetangga 002, Rukun Warga 002, Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong Utara, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor 0000077;----------
-menurut keterangannya keduanya bertindak masing-masing dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan Direktur Perseroan Terbatas PT. Tidak Halal, berkedudukan di Jakarta, yang anggaran dasarnya telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, tertanggal dua Januari duaribu sebelas (02-01-2011), Nomor 121 Tambahan Nomor 51, dengan demikian menurut ketentuan Pasal 11 anggaran dasar perseroan sah mewakili perseroan.--------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar