A. JUDUL
MANFAAT
LEGALISASI DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN DI PT. BRI (Persero) Tbk. CABANG
KARANGANYAR.
B. BIDANG ILMU
Magister
Kenotariatan
C. LATAR BELAKANG
Jasa Notaris, sebagai Pejabat Umum yang membuat akta
otentik sangat dibutuhkan dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya adalah
dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang melibatkan nasabah dan
bank, guna menjamin kebenaran dari isi yang dituangkan dalam perjanjian kredit
perbankan tersebut, supaya secara publik kebenarannya tidak diragukan lagi.
Dalam hal perjanjian kredit, kedudukan bank sebagai
kreditor dan nasabah sebagai debitor tidak pernah seimbang. Ada kalanya memang
bank lebih kuat dari nasabah (debitor), dalam hal nasabah (debitor) termasuk
pengusaha ekonomi lemah , misalnya sebelum akad kredit ditandatangani, debitor
diminta membaca seluruh klausul perjanjian yang berlembar-lembar hanya dalam
beberapa menit, namun karena debitor sangat membutuhkan uang, maka mau tidak
mau mereka setuju saja dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh pihak bank,
atau contoh lainnya adalah pihak bank (kreditor) berhak menaikkan suku bunga
kredit tanpa terlebih dahulu melakukan kesepakatan dengan pihak debitor.
Perjanjian kredit bank apabila dilihat dari
bentuknya, pada umumnya berbentuk perjanjian baku. Perjanjian baku, ialah
konsep-konsep janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isinya dan
lazimnya dituangkan dalam sejumlah tidak terbatas perjanjian yang sifatnya
tertentu.
Mariam Darus Badrulzaman menegaskan, bahwa dengan
menggunakan perjanjian baku, maka pengusaha memperoleh efisiensi dalam
penggunaan biaya, tenaga, dan waktu. Di
samping itu, dengan perjanjian baku, pengusaha dapat menuangkan kehendaknya
secara leluasa, tanpa campur tangan pihak lain,
sehingga pihak lain (masyarakat) hanya tinggal menyetujui atau tidak
dari isi perjanjian baku itu.
Masalah perjanjian baku ini sudah lama menjadi
masalah, akan tetapi belum mendapatkan pengaturan yang jelas dalam UU
Perbankan.Yang disoroti dalam perjanjian baku adalah mengenai sifatnya
(karakternya), karena ditentukan secara sepihak dan di dalamnya ditentukan
sejumlah klausula yang membebaskan kreditor dari kewajibannya (eksonerasi
klausula). Perjanjian baku dalam praktek bisnis sudah bukan merupakan hal baru
lagi.
Praktek penggunaan perjanjian baku pada masa kini,
yang menuntut gerak langkah hidup yang cepat, rupanya tidak dapat dibendung,
bahkan ada yang meramalkan penggunaan perjanjian baku cenderung akan meningkat,
meskipun disana sini ada keluhan atau rasa tidak puas dari berbagai kalangan,
terutama masyarakat (konsumen).
Didalam praktek, setiap bank telah menyediakan
blanko (formulir, model). Perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan
terlebih dahulu (standar form). Formulir ini disodorkan kepada setiap pemohon
kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon. Kepada pemohon hanya
dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam
formulir itu atau tidak. Umumnya isi dari perjanjian kredit yang bentuknya
standar (baku) itu isinya tidak seimbang, dalam arti lebih banyak menguntungkan
pihak bank sebagai pihak yang membuatnya.
Sebagai contoh ada suatu klausula baku dalam
perjanjian kredit yang isinya sebagai berikut: “Ketentuan suku bunga kredit
dapat ditinjau dan ditetapkan kembali secara sepihak oleh pihak bank. Terhadap
perubahan suku bunga tersebut, pihak bank cukup memberitahukannya secara
tertulis, pemberitahuan dimaksud mengikat pengambil kredit “ .
Klausula perjanjian kredit sebagaimana di atas
jelas-jelas tidak seimbang, dan merugikan nasabah bank. Suatu perjanjian,
pemberlakuan, perubahan dan pengakhirannya, tetap harus dengan dasar
persetujuan kedua belah pihak, dan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Posisi
nasabah demikian lemah, dibandingkan dengan pihak bank. Terhadap adanya
perubahan atau penyesuaian tingkat suku bunga, sebagaimana disampaikan dalam
contoh klausula perjanjian kredit yang disampaikan dalam contoh klausula
perjanjian kredit di atas sudah semestinya mendapat persetujuan kedua belah
pihak.
Apa yang diuraikan diatas tersebut hanyalah salah
satu contoh kecil saja. Masih banyak jenis klausul perjanjian kredit, yang
model demikian tersebar di masyarakat.
Dalam hal yang lebih khususnya adalah pada masalah pembebanan
biaya legalisasi akta notariil ini adalah dibebankan kepada konsumen disini
khususnya adalah debitur bank. Sedangkan, pembebanan biaya tersesbut pada
masing-masing bank besarnya ditetapkan oleh pihak bank.
Perjanjian baku tidak hanya terlihat pada perjanjian
kredit bank, akan tetapi juga dalam perjanjian-perjanjian yang lain, misalnya
perjanjian angkutan laut, udara, perjanjian asuransi dan lain-lainnya. Fenomena
perjanjian kredit dengan klausula bakunya, menimbulkan persoalan hukum baru dengan diberlakukannya
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur tentang ketentuan
Pencantuman Klausula Baku. Klausula Baku, adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Profesi Notaris sangat penting dalam pembuatan akta
perjanjian kreditperbankan, Notaris sebagai Pejabat Publik, dituntut profesionalitasnya
yang salah satunya adalah menjembatani kepentingan debitor dan kreditor dalam
pembuatan akta perjanjian kredit, namun kenyataannya sikap profesionalitas
tersebut berhadapan dengan tuntutan dunia perbankan, yaitu efisiensi dalam
prosedur perbankan dan keamanan dalam pemberian kredit, sehingga dalam praktek
lembaga perbankan cenderung menggunakan
perjanjian baku dalam perjanjian kreditnya.
Hal-hal yang tersebut diatas inilah yang mendorong
penulis untuk menulis penulisan hukum dengan judul “MANFAAT LEGALISASI DALAM PERJANJIAN KREDIT
PERBANKAN Di PT. BRI (Persero) Tbk. CABANG KARANGANYAR“ .
Dengan
batasan Perjanjian Kredit
saja yang akan diteliti, khususnya
adalah manfaat legalisasi perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris.
D. RUMUSAN MASALAH
Bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang ( pasal 15
UUJN ).
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, disebutkan bahwa
akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-Undang, oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang erwenang.
Perjanjian Kredit, sebagai bentuk perjanjian antara
bank dan nasabah, pada kenyataannya sekarang lebih banyak dibuat secara baku
oleh bank, Notaris lebih cenderung hanya sebagai Pejabat Umum, yang
menandatangani akta perjanjian saja
Berdasarkan hal-hal di atas, maka ada beberapa
permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu :
1.
Apakah manfaat legalisasi pembuatan
perjanjian kredit bank dengan akta notariil dibandingkan dengan akta di bawah
tangan ?
2.
Apakah perjanjian baku dalam perjanjian
kredit perbankan dipandang dari asas kebebasan
berkontrak ?
3.
Apakah pembuatan akta notariil tersebut
bila dipandang dari segi keuntungan terhadap debitur yaitu nasabah bank ?
E. TUJUAN PENELITIAN
1.
Untuk mengetahui dan menganalisa
bagaimanakah manfaat pembuatan perjanjian kredit bank dengan akta notariil
dibandingkan dengan akta di bawah tangan.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa
perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan kaitannya dengan asas
kebebasan berkontrak.
3.
Untuk mengetahui dan memahami secara
lebih mendalam tentang bagaimanakah
pembebanan biaya pembuatan akta notariil
dalam perjanjian kredit kepada debitur.
F. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka manfaat penelitian ini dari segi:
1.
Praktis, bagi Lembaga Perbankan hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka penyusunan
perjanjian kredit perbankan.
2.
Teoritis, bagi akademisi penelitian ini
diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum perjanjian.
G. PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian yang penulis ambil ini relevan dengan
Tesis yang ditulis oleh SOLEKHA VIDYAWATI, SH. dari Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang tahun
2010 dengan judul Tesis AKTA NOTARIS DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN (Suatu
Studi Tentang Fungsi dan Manfaat Akta Notaris dalam Perjanjian Kredit Perbankan
di PT BRI (PERSERO) Tbk Cabang Ungaran) .
H. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan
Mengenai Notaris
a) Pengertian
Notaris
Pasal satu angka 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris mengatakan, “ Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.
Pengertian notaris dapat dibaca dalam Pasal 1
Reglement op het Notaris (Peraturan Jabatan Notaris) Stbl. 1860 No. 3,
selanjutnya disingkat dengan PJN, yaitu: Notaris adalah pejabat umum khusus
(satu-satunya), yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan
atau kutipan, semuanya itu apabila pembuatan akta yang demikian itu, oleh
peraturan umum tidak pula ditugaskan atau dikhususkan kepada pejabat atau orang
lain.
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa notaris
adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Penggunaan kata
“satu-satunya” dalam Pasal 1 PJN dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa
notaris adalah satu-satunya pejabat yang mempunyai wewenang “tertentu” ,
artinya wewenang mereka hanya meliputi pembuatan akta otentik yang secara tegas
sudah ditugaskan kepada mereka oleh Undangundang. Adapun pejabat lain yang
dimaksud antara lain adalah PPAT, Pegawai Catatan Sipil dan Ketua Pengadilan
Negeri
Ketentuan Pasal 1 PJN tersebut merupakan pelaksanaan
dan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menentukan bahwa : “ suatu akta
otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang,
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat di
mana akta itu dibuat. “
Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut hanya
menjelaskan tentang apa yang disebut akta otentik, sedangkan apa yang disebut
pejabat umum tidak dijelaskan dan untuk melaksanakan ketentuan dan Pasal 1868
KUH Perdata itulah pembuat Undangundang harus membuat peraturan
perundang-undangan yang menunjuk pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik itu, sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 PJN tersebut.
Dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa tugas pokok Notaris adalah membuat akta-akta
otentik, yaitu suatu akta yang menurut Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian
yang mutlak dan sempurna maksudnya apabila suatu pihak mengajukan suatu akta
resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta
itu, sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
b) Kedudukan
dan Wewenang Notaris
Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris
dalam masyarakat hingga sekarang tetap diakui. Notaris dipercaya oleh
masyarakat sebagai tempat bertanya di bidang hukum perdata dan diyakini oleh
penanya bahwa dirinya akan mendapatkan jawaban atau nasehat yang dapat
dipercaya. Fungsi notaris sebagai pemberi informasi dan nasehat kepada
masyarakat secara umum menjadi ciri dari jabatan notaris. Notaris dipercaya
karena segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan oleh notaris adalah benar,
dan notaris adalah pembuat dokumen-dokumen dalam suatu proses hukum. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat ( 1 ) huruf d Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004.Pasal satu angka (1) Undang-Undang No, 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris memberikan pengertian tentang kedudukan notaris, bahwa tugas pokok dari
notaris adalah membuat akta otentik, sebagi alat bukti yang terkuat dan
terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima,bukan saja
karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, akan tetapi karena juga
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban
para pihak, demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum pihak yang
berkepentingan itu sendiri.Wewenang notaris, secara umum digariskan dalam Bab
III Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam ayat
(1) berbunyi : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan
/ atau dikendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, memberikan groose, salinan dan
kutipan akta,semuanya itu sepanjang perbuatan akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang. Ayat ( 2 ) : Notaris berwenang pula :
a) Mengesahkan
tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus ;
b) Membukukan
surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus ;
c) Membuat
kopi dari surat-surat asli dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagai mana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;
d) Melakukan
pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya ;
e) Memberikan
penyuluhan hukum sehubunghan dengan pembuatan akta ;
f)
Membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan ;
g) Membuat
akta risalah lelang.
Apabila melihat ketentuan dalam pasal tersebut
diatas, maka dapat diketahui ada dua ( 2 ) macam motif dari pembuat
undang-undang meletakkan tugas dan wewenang kepada notaris, yaitu :
a) Notaris
sebagai pejabat umum menjalankan tugas dari pemerintah.
b) Pembuat
undang-undang mengharuskan notaris untuk memberikanbantuannya dalam
perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang dianggap penting sehingga memberikan
kepastian hukum terhadap orang-orang yang meminta bantuannya.
b. Tinjauan
Mengenai Akta
Mengenai akta notaris, maka dalam
hal ini terdapat dua golongan akta, yaitu :
a)
Akta pejabat atau akta relass (
ambtelijk akten )
Yaitu suatu akta yang menguraikan
secara otentik mengenai suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang
dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri dalam
menjalankan tugasnya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat
uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta
yang dibuat “oleh“ (door) notaris sebagai pejabat umum. Yang termasuk dalam
akta ini antara lain adalah berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan
terbatas dan akta pencatatan harta peninggalan.
b)
Akta yang dibuat “ di hadapan “ ( ten
overstan ) notaris atau yang dinamakan “ akta Partij” ( partij akten )
Yaitu akta yang berisikan suatu
“cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain
di hadapan notaris,artinya segala sesuatu yang diterangkan atau diceritakan
oleh pihak lain yang sengaja datang kepada notaris yang sedang menjalankan
jabatannya itu, dituangkan dalam suatu akta otentik. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah akta jual beli, akta perdamaian di luar pengadilan, akta
sewa-menyewa dan akta wasiat. Akta otentik merupakan suatu alat bukti yang
cukup, dan bila sudah ada akta otentik maka tidak perlu ditambahkan pembuktian
lagi. Bukti yang cukup ini disebut juga pembuktian sempurna, ini berarti bahwa
segala yang menjadi isi akta tersebut harus dianggap benar, kecuali apabila
diajukan bukti perlawanan yang mengikat.
Sebagaimana fungsi akta pada
umumnya, maka akta notaris memiliki dua fungsi yaitu :
1) Fungsi
Formil ( Formalitas Causa )
Fungsi formil suatu akta berarti
bahwa untuk lengkap atau sempurnanya ( bukan untuk sahnya ) suatu perbuatan
hukum, maka harus dibuatkan suatu akta atas perbuatan hukum tersebut. Para
pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum tersebut. Para pihak yang melakukan
suatu perbuatan hukum harus membuatnya dalam bentuk tertulis, baik akta otentik
maupun akta di bawah tangan.
2) Fungsi
Alat Bukti ( Probationis Causa )
Sejak semula para pihak dengan
sengaja membuat akta (otentik ataupun di bawah tangan) untuk suatu pembuktian
di kemudian hari. Sifat tertulis suatu perjanjian tidaklah membuat sahnya suatu
perjanjian, akan tetapi agar akta yang dibuat dapat dipergunakan sebagai alat
bukti apabila timbul perselisihan di kemudian hari. Sebagai suatu akta yang otentik
maka akta notaris itu memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap. Bukti lengkap
ialah bukti yang sedemikian, sehingga hakim memperoleh kepastian yang cukup
(genoegzaam) untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oeh penggugat, tanpa
mengurangi kemungkinan ada bukti tentang kebalikannya.
Akta otentik dengan demikian juga
pada akta notaris, dibedakan atas 3 kekuatan pembuktian, yakni :
a) Kekuatan
Pembuktian Lahiriah/Luar;
Menurut
A.Pittlo, kekuatan bukti lahiriah artinya bahwa suatu surat yang kehilangannya
seperti akta, diperlakukan sebagai akta sampai terbukti sebaliknya.
Senada
dengan pendapat dari Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa Kekuatan
pembuktian lahiriah ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan
lahir, apa yang tampak pada lahirnya yaitu bahwa suatu yang tampaknya (dan
lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak
terbukti sebaliknya.
Pada
kekuatan pembuktian luar akta otentik berlaku asas acta publica probant sese
ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik
serta memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka akta dimaksud dianggap sebagai
akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Sehingga tanda tangan pejabat dalam
akta yang bersangkutan dianggap asli sampai terbukti sebaliknya.
b) Kekuatan
Pembuktian Formal;
Dengan
kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan bahwa pejabat yang
bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum
dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh
pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam akta
itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya
itu.
Dalam
arti formal sepanjang mengenai akta partij, akta itu membuktikan dan memberikan
jaminan tentang kebenaran/kepastian tanggal dan akta itu, kebenaran tanda
tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir, dan
tempat dimana akta itu dibuat serta kebenaran bahwa para pihak ada menerangkan
seperti yang diuraikan dalam akta itu. Sedangkan kebenaran dan
keteranganketerangan itu sendirinya hanya pasti antara pihak-pihak sendiri.
c)
Kekuatan Pembuktian Material;
Kekuatan pembuktian materiil
memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang suatu
peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang
dimuat dalam akta.
Secara yuridis formal ada 2 (dua)
jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan bank dalam melepas
kreditnya, yaitu :
1.
Perjanjian/pengikatan kredit dibawah
tangan atau akta di bawah tangan ;
2.
Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat
oleh dan dihadapan notaris (notariil) atau akta otentik.
Akta Perjanjian Kredit di Bawah
Tangan, yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit dibawah tangan adalah
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di
antara mereka(kreditor dan debitor) tanpa notaris.
Mengenai akta perjanjian kredit di
bawah tangan, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu ;
1.
Kelemahan
Ada beberapa kelemahan,
dari akta perjanjian kredit di bawah tangan ini, yaitu antara lain:
a.
Apabila suatu saat
nanti terjadi wanprestasi oleh debitor, yang pada akhirnya akan diambil
tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitor yang bersangkutan
memungkiri tandatangannya, akan berakibat hilangnya kekuatan hukum perjanjian
kredit yang telah dibuat tersebut.
Dalam Pasal 1877
KUH Perdata disebutkan, bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau
tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
b.
Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat
hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh Bank, maka
bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data data yang seharusnya dilengkapi
untuk suatu kepentingan pengikatan kredit.Bahkan bukan tidak mungkin, atas
dasar pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir
perjanjian masih dalam bentuk blangko / kosong. Kelemahankelemahan ini pada
akhirnya akan merugikan bank, bila suatu saat berperkara dengan nasabahnya.
2.
Arsip / File Surat Asli
Mengenai hal ini, pada dasarnya
juga merupakan suatu kelemahan dari pada perjanjian yang dibuat di bawah
tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit yang dibuat di bawah
tangan (aslinya) tersebut hilang karena sebab apapun maka bank tidak memiliki
arsip/file asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini
akan membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi perselisihan.
3.
Isian Blangko Perjanjian
Dalam hal perjanjian kredit di
bawah tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitor mengingkari atau
memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam
pembuatan akta perjanjian kredit, form/blangkonya telah disiapkan oleh bank,
sehingga debitor dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menandatangani
blangko kosong yang berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian
tersebut.
Akta / Perjanjian Kredit Notariil
(Otentik), yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notariil (otentik)
adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya
dibuat oleh atau di hadapan notaris.
Mengenai definisi akta otentik
dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata. Dari
ketentuan / definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUH
Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal:
1.
Yang berwenang membuat
akta otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada
pejabat lain atau orang lain. Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik
adalah misalnya seorang Panitera dalam sidang pengadilan.\
Seorang jurusita
dalam membuat exploit seorang Jaksa atau Polisi dalam membuat pemeriksaan
pendahuluan, seorang Pegawai Catatan Sipil yang membuat akta kelahiran atau
perkawinan, atau pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah
yang dikenal sebagai onbezoldigdehulpmagistraten ex Pasal 39 ayat (6) HIR yang
dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik.
2.
Akta otentik dibedakan
dalam; (1) yang dibuat “oleh dan (2) yang dibuat di hadapan pejabat umum.
Dengan adanya perbedaan antara dibuat oleh dan “dibuat dihadapan” notaris, maka
ilmu pengetahuan membedakan akta otentik itu antara “proses verbal akta” yang dibuat
oleh dan “partij akta” yang dibuat “ dihadapan” notaris. Dan jika dalam hal
“membuat proses verbal akta” adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami
sendiri oleh seorang notaris tentang perbuatan (handeling) dan kejadian
(daadzaken); membaca dan menandatangani hanya bersama para saksi akta tersebut
di luar hadirnya atau karena penolakan para penghadap, maka dalam hal “membuat
partij akta” , notaris membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatanganan
akta tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu
sendiri.
3.
Isi daripada akta
otentik adalah; (1) semua “perbuatan” yang oleh Undang-undang diwajibkan dibuat
dalam akta otentik; dan (2) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang
dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan. Suatu akta otentik dapat berisikan
suatu “perbuatan hukum” yang diwajibkan oleh Undangundang, jadi bukan perbuatan
oleh seorang notaris atas kehendaknya sendiri, misalnya membuat testament,
perjanjian kawin ataupun membuat akta tentang pembentukan suatu P.T., dapat
pula berisikan suatu perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak misalnya jual
beli, sewa-menyewa atau penguasaan (beschikking) misalnya pemberian.
4.
Akta otentik memberikan
kepastian mengenai / tentang penanggalan. Seorang notaris memberi kepastian
tentang penanggalan dari pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban
menyebut dalam akta bersangkutan, tahun, bulan, dan tanggal pada waktu mana
akta tersebut dibuat. Pelanggaran dari pada kewajiban tersebut berakibat akta
tersebut kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan akta
di bawah tangan (Pasal 25 S. 1860-3) Reglement tentang jabatan notaris di
Indonesia.
Mengenai akta
perjanjian kredit notariil/otentik ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui :
1. Kekuatan
Pembuktian ;
Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga)
macam kekuatan pembuktian :
Pertama :
membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tadi (kekuatan pembuktian formal);
Kedua :
membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh
peristiwa yang disebutkan di situ telah terjadi (kekuatan pembuktian material
atau yang kita namakan kekuatan pembuktian mengikat) ;
Ketiga :
membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap
pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut
sudah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut (kekuatan pembuktian ke luar).
2.
Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan
lain dari pada akta perjanjian kredit / pengakuan hutang yang dibuat secara
notariil (otentik) yaitu dapatnya dimintakan Grosse AktaPengakuan Hutang
tersebut. Khusus grosse akta pengakuan hutang ini, mempunyai kekuatan
eksekutorial dan di samakan dengan keputusan hakim. Oleh bank diharapkan
pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasa
menyita waktu lama dan memakan biaya yang besar.
3.
Ketergantungan Terhadap Notaris
Adanya legal
officer pada bank juga mempunyai peran yang besar dalam pembuatan akta
perjanjian kredit, sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit/pengakuan
hutang oleh atau dihadapan notaris, Legal Officer tetap dituntut peran aktifnya
guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan
terjadi kesalahan/kekeliruan atas suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang yang
dibuat secara notariil dapat saja terjadi. Sehingga Legal Officer tidak secara
mutlak bergantung kepada notaris, melainkan notaris harus dianggap sebagai
mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang.
Dalam hubungan itu, bank akan meminta notaris yang bersangkutan untuk
berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah disiapkan oleh bank.
Terhadap akta
notariil ini, akan memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para
pihak, sempurna dalam artian kebenaran menyangkut isi akta yang berkaitan
dengan kehendak para pihak, waktu pelaksanaan berkaitan dengan tanggal
dibuatnya akta dan kebenaran para pihak yang menandatangani akta tersebut. Akta
notariil sangat penting, hal ini berhubungan erat dengan beban pembuktian
terhadap dokumen-dokumen pendukung terhadap lahirnya suatu perjanjian.
Pembuktian
melalui akta notariil memiliki kekuatan yang berbeda dengan akta di bawah
tangan, terhadap akta di bawah tangan beban pembuktian harus melalui proses
persidangan biasa, dimana para pihak dihadapkan pada pemeriksaan saksi
menyangkut kebenaran para pihak, kebenaran tandatangan dan kebenaran
persetujuan para pihak dalam isi perjanjian, pembuktian dengan akta di bawah
tangan menjadi sangat fatal lagi apabila ada pihak yang tidak mengakui
kebenaran kehadirannya menurut waktu dan tandatangan dalam akta di bawah tangan
tersebut, sehingga memerlukan beban pembuktian bagi pihak yang disanggah untuk
memberikan bukti-bukti lain. Terhadap akta notariil sebaliknya, kebenaran dalam
akta notariil sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya dianggap sah, pihak
yang menyanggah kebenarannya harus membuktikan sanggahannya tersebut.
Di dalam
pembuatan akta perjanjian kredit bank, sering dalam praktek notaris dihadapan
pada persoalan kedudukannya sebagai Pejabat Publik yang harus menjamin kehendak
kuat para pihak yang tertuang dalam isi perjanjian kredit tersebut, kehendak
kuat ini termasuk juga kebenaran dari persetujuan para pihak terhadap
pembentukan isi perjanjian kredit tersebut, namun biasanya dalam perjanjian
kredit bank, notaris harus bertindak kooperatif dengan menuruti keinginan bank
seperti menandatangani akta yang dibawa oleh debitor tanpa perlu kehadiran
kreditor sebagai penghadap yang sebenarnya tidak datang saat tersebut, sehingga
sebenarnya bank secara langsung telah mengatur kerja dari notaris.
Dalam praktek
perbankan, khususnya pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar, pembuatan
perjanjian kredit dengan menggunakan akta notariil dan akta di bawah tangan.
Akta di bawah
tangan dipakai untuk kredit-kredit yang kurang dari nilai 50 juta sementara
kredit dengan jumlah lebih dari nilai 50 juta dipergunakan akta notariil, tidak
ada perbedaan isi materi antara akta di bawah tangan dan akta notariil.
Tindakan perbankan
menggunakan akta di bawah tangan dan akta notariil ini lebih disebabkan adanya
tuntutan efisiensi dan biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit
perbankan. Dengan pembuatan format materi/isi perjanjian kredit secara standar
jelas akan memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menganalisa dan menutupi
kelemahan-kelemahan yang dapat saja timbul di kemudian hari yang disebabkan
perkembangan dalam dunia hukum.
Pada dasarnya
walaupun perjanjian antara debitor dan kreditor dibuat dengan perjanjian di
bawah tangan tetapi selanjutnya terhadap perjanjian tersebut dilakukan
penandatangannya di hadapan notaris, setelah para pihak dijelaskan maksud dari
isi akta tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa legalisasi yang dilakukan
notaris terhadap akta perjanjian di bawah tangan tersebut dapat diterima
sebagai bukti yang kuat, yang sebenarnya isinya telah disetujui oleh pihak
debitor
Pembuatan
perjanjian kredit dengan akta notariil pada kredit kecil akan menyebabkan biaya
bertambah besar karena kredit yang diterima harus dipotong berbagai macam biaya
(yang sebenarnya debitor telah dikenakan biaya provisi dan asuransi), maka
nasabah kecil tersebut akan menerima kredit yang banyak terpotong biaya-biaya
termasuk juga biaya SKMHT bila tanah jaminan tidak berada di lokasi kewenangan
notaris.
Karena itu
dengan pembuatan akta di bawah tangan, nasabah hanya dikenakan biaya
pendaftaran atau legalisasi yang biayanya ringan. Terhadap nilai kredit di atas
50 juta, akan dibuatkan perjanjian kredit notariil yang diikuti dengan akta
penjaminan (APHT), dan SKMHT jika lokasi Notaris berbeda dengan jaminan.
Sehingga biaya yang dibebankan pada debitor adalah akta perjanjian kredit
notariil dan penjaminan notariil. Biaya-biaya terhadap akta tersebut dihitung
dalam prosentasi ¼ % - 1 %.
Perjanjian
kredit perbankan, menurut kenyataannya ada yang dibuat secara notariil dan ada
juga yang dibuat di bawah tangan. Namun terhadap akta yang dibuat di bawah
tangan tersebut oleh bank dimintakan legalisasinya pada notaris.
Akibat dari tindakan
legalisasi tersebut maka secara prinsip hukum sesuai dengan Peraturan Jabatan
Notaris akta tersebut telah memiliki kekuatan hukum sebagai alat pembuktian
yang kuat, tindakan legalisasi tersebut tidak merubah akta di bawah tangan
menjadi akta otentik, akta tersebut tetap akta di bawah tangan, dengan kekuatan
pembuktian yang lebih baik dari pada akta di bawah tangan yang tidak
dilegalisasi.
Dalam praktek di
Bank Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar, pembuatan akta di bawah tangan
dianggap sama saja dengan pembuatan akta perjanjian kredit dengan notariil, hal
ini terlihat pada praktek sehari-hari yang tidak memaksakan pembuatan akta
perjanjian kredit harus dengan notariil, menurut responden Bank Rakyat
Indonesia Cabang Karanganyar, hal tersebut disebabkan bahwa dengan perjanjian
kredit di bawah tangan akan memberikan keamanan yang sama dengan akta notariil,
pada prinsipnya hal yang ingin dicapai oleh bank melalui perjanjian kredit
adalah kekuasaan atas jaminan apabila debitor wanprestasi, dengan akta di bawah
tangan dengan tujuan ini juga dapat terwujud, karena akta di bawah tangan
selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan menunjuk lembaga jaminan seperti Hak
Tanggungan melalui pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang lebih memiliki
sifat eksekutorial, jadi melalui akta di bawah tangan pada dasarnya juga dapat
menyelenggarakan keinginan kreditor tersebut.
Tidak juga
berarti bahwa akta notariil menjadi sesuatu yang tidak perlu dibuat, karena
kenyataannya dalam praktek pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar juga
diketemukan adanya pembuatan akta perjanjian kredit dengan akta notariil,
walaupun hanya terbatas pada hal-hal tertentu seperti besar kredit di atas 50
juta, menurut penulis kenyataan ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan alat
bukti yang lebih terhadap dokumen, selain sebagai suatu prosedur standart,
tindakan demikian lebih ke unsur keamanannya.
Dalam beberapa
kasus wanprestasi, terhadap perjanjian kredit dengan akta notariil maupun di
bawah tangan tidak menjadi persoalan atau dasar keberatan, karena dalam
kasus-kasus tersebut yang menjadi pokok adalah pembuktian mengenai tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh debitor. Hal ini berkaitan dengan jaminan
debitor, sehingga dalam kasus-kasus wanprestasi debitor cenderung mencoba
melepaskan beban tanggung jawabnya dengan alasan adanya overmacht dalam dirinya
menyangkut kegiatan usaha dan kondisi perekonomian secara nasional.
Terhadap
kasus-kasus wanprestasi, yang pada akhirnya mempermasalahkan kedudukan akta
perjanjian kreditnya dibuat secara notariil atau akta di bawah tangan, dari
hasil penelitian penulis tidak diperoleh kasus tersebut.
Dari penjabaran
di atas dapat dikemukakan manfaat akta notariil dalam perjanjian kredit bank
adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna jika terjadi dalam hal debitor
mempermasalahkan keabsahan atau kebenaran akta perjanjian kredit yang telah
dibuat, misalnya dengan tidak mengakui adanya perjanjian kredit tersebut.
Walaupun hal
tersebut belum pernah terjadi karena biasanya yang dipermasalahkan hanya mengenai
wanprestasi seperti yang telah diuraikan. Tetapi untuk mengamankan kredit dalam
jumlah yang besar, akta notariil tetap diperlukan.
Antara akta di
bawah tangan dengan akta notariil pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Karanganyar
secara praktek tidak memberikan perbedaan yang cukup penting, karena eksistensi
akta tidak menjadi persoalan dalam suatu tindakan wanprestasi, yang menjadi
persoalan adalah wanprestasi itu sendiri, menyangkut bagaimana selanjutnya
tindakan debitor untuk membayar angsurannya.
c. Tinjauan
Mengenai Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Perbankan dan Asas Kebebasan
Berkontrak
Perjanjian berdasarkan definisi
yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dalam hukum perjanjian, ada
beberapa asas penting antara lain adalah Asas Kebebasan Berkontrak. Berbeda
halnya dengan Buku II KUH Perdata yang menganut suatu sistem tertutup,
sebaliknya Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah,
setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya,
isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.
Asas ini dapat disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “ Semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya “.
Suatu perjanjian kredit bank,
secara jelas akan mengikat kreditor dan debitor untuk mentaati isi perjanjian
tersebut, perjanjian tersebut akan berlaku sebagai Undang-undang bagi para
pihak.
Selain asas kebebasan berkontrak,
hukum perjanjian juga mengharuskan adanya kata sepakat dari mereka yang membuat
perjanjian, kata sepakat menjadi penting untuk menentukan lingkup dari aturan
tersebut, asas ini dikenal dengan Konsensualisme. Asas lainnya adalah asas
itikad baik, bahwa orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad
baik, Asas Pacta Sun Servanda, merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan
dengan mengikatnya suatu perjanjian.
Berdasarkan ketentuan di atas jelas
penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit bank yang dibuat
secara baku, bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g “Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya” , termasuk lingkupnya
adalah penetapan ketentuan dimungkinkannya penyesuaian suku bunga oleh kreditor
kepada debitor sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Terhadap pertentangan perjanjian
baku dengan asas kebebasan berkontrak ini, sanksinya sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (3) dari Undang-undang Perlindungan Konsumen
adalah batal demi hukum.
Perjanjian kredit harus dibuat
secara tertulis, bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada
masing-masing bank untuk menetapkannya, setidaknya harus mengatur hal-hal
mengenai jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta
persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
persetujuan kredit.
Hal-hal pokok tersebut harus selalu
menjadi dasar dalam pembuatan perjanjian kredit, dan sebenarnya dasar-dasar
tersebut telah diterima sebagai acuan pokok. Pada beberapa bank dilakukan
tambahan sesuai dengan kebutuhan dan dijadikan format perjanjian standar dalam
kegiatan perbankan khususnya dalam bidang perjanjian kredit.
Atas dasar hasil penelitian penulis
di lapangan diketahui, bahwa akta dalam perjanjian kredit yang ada di Bank BRI
menggunakan format baku, tetapi ada proses negoisasi dengan nasabahnya sebelum
perjanjian kredit tersebut disetujui oleh pihak bank.
Praktek perjanjian baku pada
perjanjian kredit bank sudah merupakan hal umum, tetapi terhadap praktek
tersebut, diusahakan adanya kehendak yang sama oleh para pihak untuk menuangkan
keinginannya dalam perjanjian. Keinginan yang sama ini oleh bank diartikan
dengan tidak adanya penolakan debitor terhadap isi perjanjian sehingga debitor
menandatangani kredit.
Sedangkan notaris, sebagai pejabat
publik, selama tidak adanya keberatan dari pihak debitor tetap menganggap bahwa
perjanjian kredit bank tersebut memang merupakan kesepakatan kedua pihak, sebab
untuk menyatakan dan mencari kebenaran baku tidaknya suatu perjanjian di luar
dari tugas dan tanggungjawab notaris, pembuktian tersebut harus diungkapkan
oleh pihak yang merasa dirugikan
Klasifikasi perjanjian baku secara
umum adalah salah satu pihak tidak terlibat, memiliki format yang sama,
ciri-ciri ini adalah sama dengan format perjanjian kredit bank.
Dalam perjanjian baku tersebut,
notaris lebih berkedudukan sebagai “legislator”, dalam artian format tersebut
dibuat oleh bank dan ditandatangani oleh debitor di depan notaris. Terhadap
kenyataan ini notaris tetap beranggapan materi yang ada, merupakan materi perjanjian
yang dibentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Sepanjang debitor bersedia
menandatangani akta perjanjian tersebut dianggap debitor mengerti dan
menundukkan diri dalam perjanjian itu, sehingga perjanjian tersebut berlaku
sebagai Undang-undang baik bagi debitor maupun kreditor Perjanjian baku yang
dibuat dalam perjanjian kredit pada Bank BRI Cabang Karanganyar, tidak
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena terhadap perjanjian baku
tersebut tidak terdapat suatu keinginan/iktikad yang sesungguhnya dari kreditor
menggunakan posisinya yang kuat tersebut untuk menekan debitor menyetujui
perjanjian kredit.
Perjanjian baku dalam perjanjian
kredit perbankan baru dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak bila ada klausula yang tidak disadari/dimengerti debitor pada waktu
menandatanganinya, atau bila ada klausula yangsedemikian mungkin menekan
debitor sebagai pihak yang lemah dan terpaksa harus menandatangani akta
perjanjian tersebut. Hal-hal ini sangat subyektif namun dapatdiketahui akan
secara tegas bertentangan bila debitor tidak diberikan kesempatan melakukan
negoisasi terhadap isi yang ada dalam perjanjian kredit, kenyataan ini yang
tidak ada dalam perjanjian kredit perbankan yang dibuat dengan perjanjian baku
tersebut.
Menurut analisis penulis, pembuatan
perjanjian baku dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan peranan notaris,
karena sebenarnya kehendak yang ada merupakan kehendak dari para pihak kreditor
dan debitor, notaris hanya menjembatani kepentingan tersebut, menjelaskan
maksud dari perjanjian.
Adanya tindakan perbankan yang
memformatkan perjanjian kredit dapat saja dikatakan adalah pembuatan perjanjian
baku, namun perlu juga diperhatikan bakunya perjanjian tersebut masih dalam
alasan hukum yang wajar, sehingga belum dapatdikatakan bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak, bank dalam hal ini membuat perjanjian baku hanya untuk
mengarahkan maksud dan isi pokok-pokok dari perjanjian kredit, dan bukan
berkehendak menjebak atau menyudutkan debitor pada posisi yang tidak berdaya,
perjanjian kredit yang menurut kita dibuat secara baku, ternyata dalam aplikasi
di lapangan masih dimungkinkan terjadinya negoisasi, antara lain koreksi /
perubahan karena negosiasi dari debitor yang bersangkutan, terhadap hal ini
penulis beranggapan maksud dari perjanjian baku tersebut belum menyentuh aspek
pertentangan seperti yang dimaksud dari Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Notaris dalam perjanjian tersebut
hanya melakukan prosedur pengesahan terhadap akta perjanjian kredit yang
dianggap telah disepakati oleh para pihak. Notaris membacakan, menjelaskan
maksud dan isi perjanjian kredit pada para pihak. Karena secara prosedur
sebelum akta tersebut dibawa dan dimintakan tandatangan notaris, telah terlebih
dahulu dibicarakan oleh pihak kreditor dan debitor.
2. Kerangka Pemikiran
1. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah guna
menemukan, mengembangkan ataupun menguji suatu pengetahuan yang dilakukan
secara metodologis dan sistematis. Metode penelitian adalah cara kerja yang
digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian maupun
ilmu yang bersangkutan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu penelitian dan pengetahuan
Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi
atau penerapan metode yang telah ditentukan, berdasarkan tradisi keilmuan yang
terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai ilmiah yang
dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait. Mengutip Peter Mahmud Marzuki, tujuan
dari penelitian hukum sesungguhnya merupakan proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.
Dengan demikian, diharapkan dengan menggunakan metode dan pendekatan dalam
penulisan ini, permasalahan mengenai bagaimana kedudukan hukum akta perdamaian
yang dibuat di hadapan notaris terhadapputusan pengadilan dapat terjawab.
Menurut Soerjono Soekanto, metode adalah proses,
prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian
adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun, dan tuntas terhadap suatu gejala
untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan
sebagai proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian Penulisan hukum ini hanya dengan mempergunakan
metode normatif saja, yaitu hanya
dipergunakan sumber-sumber data
sekunder saja, yaitu peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan pengadilan,
teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.
2. Metode Pendekatan
Dalam penulisan tesis ini metode penelitian yang
akan digunakan adalah yuridis normatif. Dikatakan demikian karena penelitian
ini dilakukan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif. Penelitian ini disebut juga penelitian kepustakaan atau studi
dokumen, karena penelitian ini lebih banyak akan dilakukan melalui studi
kepustakaan atau lebih dikenal dengan studi pada data sekunder.
Pendekatan yuridis yang mempergunakan sumber data
sekunder, digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang hukum perjanjian kredit, peraturan mengenai tugas Notaris, buku-buku
yang berkaitan dengan kebijakan kredit, antara lain penilaian konsumen dan
artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan sumber
data primer, digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai perilaku
masyarakat yang mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan
berhubungan dengan aspek kehidupan kemasyarakatan, dalam hal ini yang berkaitan
langsung dengan kebijakan pemberian kredit dan penyusunan perjanjian kredit,
serta peranan Notaris secara nyata dalam proses penyusunan kredit perbankan.
3. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian ini yang penulis gunakan adalah
diskriptif analistis yang bertujuan menggambarkan secara menyeluruh mengenai
permasalahan yang muncul, mengkaji dan merumuskan fakta-fakta hukum secara
sistematis, untuk mengetahui bagaimana dan mengapa pelaksanaan perjanjian kredit di Bank Rakyat
Indonesia Cabang Karanganyar menggunakan akta notariil, serta bagaimanakah
keuntungan atau kerugiannya bila dilihat dari pihak Nasabah sebagai penanggung
beban biaya pembuatan akta perjanjian kresditnya.
4. Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian yuridis normatif ini
adalah data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pelengkap
atau data pendukung. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari:
·
Data Sekunder ( Data Kepustakaan)
Untuk data sekunder (data
kepustakaan), pengumpulannya melalui studi dokumen, yaitu dengan cara
mengadakan penelitian terhadap bahan pustaka yang ada.
Penelitian terhadap bahan pustaka
ini pertama-tama dilakukan inventarisasi, klasifikasi, serta memilih secara
selektif bahan pustaka yang diperlukan, guna mendapatkan landasan teori berupa
peraturan-peraturan, pendapat-pendapat, atau penemuan-penemuan para ahli yang
berhubungan erat dengan permasalahan penelitian.
·
Data Primer (Data Lapangan)
Untuk data primer, pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara (interview) dengan menggunakan alat penelitian yang
berupa daftar pertanyaan (questioner).
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara
berpedoman pada daftar questioner yang
telah tersedia. Wawancara yang dilakukan tidak bersifat kaku dan tertutup,
melainkan bersifat terbuka dan selalu akan dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan.
Pedoman wawancara yang berupa daftar pertanyaan
dimaksud untuk memudahkan pengendalian data, sehingga wawancara tidak melebar
atau menyimpang dari kerangka yang ada.
5. Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan
data akan dilakukan melalui :
Penelitian
kepustakaan
Karena penelitian ini yuridis normatif, maka cara
pengumpulan datanya pertama-tama akan dilakukan dengan studi kepustakaan, yakni
dengan membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan.
6. Metode Analisa Data
Metode analisa
data pada penelitian ini akan dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang
dibahas. Setelah analisis data selesai, maka akan disajikan dalam bentuk
laporan penelitian.
J. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Bab
I . PENDAHULUAN, dibagi menjadi lima sub bab. Pertama,
yaitu Latar Belakang dimana akan menceritakan uraian peristiwa yang menyebabkan
penulis memilih topik penelitian dan mengapa hal itu dipersolakan oleh penulis.
Kedua, adalah Perumusan Masalah yang berisikan permasalahan hukum apa saja yang
menjadi titik tolak penelitian. Ketiga, adalah Tujuan Penelitian, yang
merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dalam perumusan masalah.
Keempat, adalah Manfaat Penelitian dan terakhir adalah sub bab Kelima berisikan
Sistematika Penulisan.
Bab
II . TINJAUAN PUSTAKA, Yaitu uraian sistematis yang
dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan judul dan perumusan
masalah untuk mencapai tujuan penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari tiga
sub bab, yakni Tinjauan Mengenai Perjanjian Kredit dalam dunia perbankan,
Tinjauan Umum Mengenai Notaris yang terbagi atas Pengertian Notaris, Kedudukan,
Tugas dan Wewenang Notaris, berikutnya adalah Tinjauan Mengenai Akta yang
terbagi pula dalam Pengertian Akta, Sifat Pembuktian Akta, Akta Notaris Sebagai
Akta Otentik.
Bab
III . METODE PENELITIAN, terdiri dari Metode Penelitian,
Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Pengumpulan Data, Teknik Pengumpulan
Data dan Metode Analisa Data.
Bab
IV . HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN,
dimana akan membahas mengenai permasalahan - permasalahan.
Bab
V .
PENUTUP, yang berisi Kesimpulan dari hasil
penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang telah diuraikan, serta
saran dari penulis
DAFTAR
PUSTAKA
A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok
Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Liberty,
Yogyakarta, 1985.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,
Cetakan I, Alumni, Bandung, 1982.
Edy Putra The ‘Aman, Kredit Perbankan
Suatu Tinjauan Yuridis, Cetakan I, Liberty,
Yogyakarta, 1986.
Henry P. Pangabean, Penyalahgunaan
Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan
Perjanjian, Cetakan I, Liberty,
Yogyakarta
I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu
Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktek,
edisi Revisi, Cetakan I, Megapoin,
Jakarta, 2003.
Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewa,
Hukum Bisnis Dalam Manusia Modern,
Cetakan I, Refika Aditama, 2004.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan
yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995.
Marhaynis Abdul Hay, Hukum Perbankan di
Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
1975.
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian
Kredit Bank, Alumni Bandung, 1980.
----------------------------------,
Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian
Baku, BPHN Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1980.
----------------- Perjanjian Kredit,
Alumni Bandung, 1983.
----------------- Aneka Hukum Bisnis,
Alumni Bandung, 1994.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum
Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Hanintijo Ronny Soemitro, Metodologi
Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, 1990.
Rony Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank
dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan Terhadap Perlindungan Deposan
di Indonesia
Dewasa ini, Cetakan I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan
Azas-azas Hukum Perdata, Alumni Bandung,
1985.
Rudy Indrajaya, Era Baru Perlindungan
Konsumen, IMNO, Bandung, 2000.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.
Sri Gambir Hatta, Beli Sewa Sebagai
Perjanjian Tak Bernama : Pandangan
Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung,
Cetakan I,
Alumni Bandung, 1999.
R. Subekti , Hukum Perjanjian, Cetakan
VI, PT.Intermasa Jakarta, 1979.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,
Liberty, Yogyakarta, 1998.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, Grafindo, Jakarta, 2000.
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan,
Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2000.
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk
Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgelijke Wetboek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar