29/03/13

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN TERKAIT DENGAN PASAL 6 DAN PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN TERKAIT DENGAN PASAL 6 DAN PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996
(Studi Kasus Putusan Nomor: 20/Pdt.Plw/2010/ PN.Skh)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Hukum Jaminan yang Diampu oleh
Bapak M.Najib Imanullah, S.H., M.H., Ph.D. dan Ibu Noor Saptanti S.H., M.H.

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013


A. LATAR BELAKANG MASALAH
​Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin komplek maka mempengaruhi dunia ekonomi terkait dalam hal pembangunan nasional. Pembangunan nasional untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Upaya mengembangkan perekonomian dan perdagangan diperlukan peran dari pemerintah dan pelaku usaha (masyarakat dan badan hukum). Pengembangan perekonomian tersebut memerlukan adanya modal yang besar sehingga modal tesebut diperoleh dengan perkreditan melalui perbankan.
Upaya perkreditan yang dilakukan oleh debitur dan kreditur dilakukan dengan membuat perjanjian kredit terlebih dahulu sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit biasanya dalam bentuk perjanjian baku yang diberikan oleh kreditur kepada debitur dimana untuk disepakati bersama. Akan tetapi ada pula perjanjian kredit dibuat secara akta notariil yang dibuat oleh Notaris. Notaris dalam hal ini harus teliti guna melindungi masing-masing pihak terkait dengan hak dan kewajibannya. Pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur tidak secara cuma-cuma melainkan disertai dengan pemberian jaminan yang senilai dengan jumlah dari nilai kredit tersebut.
Mayoritas debitur memberikan jaminan kepada kreditur berupa tanah dalam bentuk sertifikat hak atas tanah. hal ini disebabkan tanah mempunyai nilai yang relatif stabil bahkan tidak akan mengalami kemerosotan, sangat menguntungkan bagi kreditur.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dibebani dengan hak tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 UUPA. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Hal ini disebabkan Hypotheek diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut asas perlekatan dimana tidak sesuai dengan asas hukum tanah nasional yang menganut asas pemisahan horizontal. Sehingga, perlu dibentuk undang-undang yang spesialitas mengenai hak tanggungan kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Ada lembaga jaminan hutang yaitu Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah :
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.

Berdasarkan pengertian dari hak tanggungan tersebut, bahwa jaminan berupa tanah tersebut juga termasuk benda yang terdapat diatas tanah sebagai pelunasan atas hutang tertentu. Pembebanan jaminan atas tanah dengan hak tanggungan tersebut tidak akan terlepas dari perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya. Selanjutnya dibuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Akan tetapi, tidak selalu seorang kreditur meminta kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk langsung membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan karena dapat terjadi pihak debitur tidak dapat datang sendiri secara langsung memberikan hak tanggungan dan dapat pula disebabkan karena tanah yang menjadi jaminan terjadi peralihan hak sehingga perlu dibuatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris yang berwenang.
Pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan terdapat beberapa janji yang dimuat didalamnya, sebagai pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut perlu sikap teliti dalam hal melindungi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Karena perjanjian ini merupakan perjanjian assesoir atau perjanjian tambahan dari perjanjian kredit yang merupak perjanjian pokok. Perjanjian assesoir ini dilakukan setelah perjanjian pokok telah ditanda tangani oleh para pihak.
Dengan demikian, perjanjian tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pihak debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan angsuran atau pelunasan terhadap piutang tersebut kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit maupun perjanjian assesoir tersebut. Tidak jarang bahwa debitur telah melakukan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah memberikan kewenangan kepada kreditur sebagai pihak pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas hak tanggungan.
Salah satu perkara yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo terkait dengan eksekusi hak tanggungan yang mendapat perlawanan dari pihak debitur. Pihak debitur yang bernama Tumiyem, Tohari, Sudarno dan Hardiman telah melakukan perjanjian kredit dengan salah satu bank yaitu Bank Rakyat Indonesia yang berkantor Cabang di Kartasura. Bank Rakyat Indonesia yang berkantor Cabang di Kartasura selaku pihak kreditur, telah memberikan fasilitas kredit yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor 1 tertanggal 03 Oktober 2005. Kemudian akta perjanjian kredit tersebut terjadi perubahan dengan Akta Perpanjangan dan Suplesi Kredit No.01 tertanggal 3 Oktober 2005.
Guna menjamin pelunasan hutang, pihak debitur memberikan jaminan berupa
1. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1617 a/n Tumiyem dengan luas 98 m2.
2. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2154 a/n Tohari dengan luas 290 m2.
3. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 4465 a/n Tohari dengan luas 665 m2.
4. sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1205 a/n Hardiman dengan luas 4084 m2.
Dengan berjalannya pelaksanaan kredit, ternyata pihak debitur melakukan keterlambatan membayar angsuran. Akan tetapi, pihak kreditur telah memberikan kesempatan bagi pihak debitur berupa restrukturisasi yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 21 tertanggal 29 Desember 2006 yang dibuat oleh Notaris Nyonya Wirati Kendarto, agar membayar atas keterlambatan angsuran tersebut.
Dalam akta perjanjian restrukturisasi tersebut memuat klausul jika debitur tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang dipersyaratkan sebanyak tiga kali berturut-turut maka putusan restrukturisasi kredit tersebut batal dan kewajiban bagi debitur kembali ke perjanjian pokoknya. Akan tetapi, pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagai debitur sehingga debitur tersebut wanprestasi.
Pihak debitur wanprestasi, kreditur telah memberikan somasi atau Surat Peringatan kepada pihak debitur agar memenuhi kewajibannya. Somasi dilakukan oleh pihak kreditur sebanyak tiga kali yaitu tanggal 9 Desember 2009, 5 Januari 2010, dan 1 Februari 2010. Pihak debitur juga tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak kreditur melakukan pelelangan umum atas empat objek hak tanggungan yang menjadi jaminan tersebut dengan pemberitahuan pelaksanaan lelng dan pengosongan objek lelang tertanggal 17 Maret 2010 dan pihak kreditur melakukan eksekusi atas 4 bidang tanah tersebut.
Akan tetapi, pihak debitur sebagai pelawan melakukan perlawanan kepada pihak kreditur, yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kartasura sebagai Terlawan I; Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai Terlawan II; dan Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Sukoharjo sebagai Terlawan III. Pihak debitur mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Sukoharjo dengan nomor register perkara 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh dengan pokok perkara sebelum ada pengumuman lelang di Harian Jawa Pos –Radar Solo hari Rabu tanggal 17 Maret 2010 pihak debitur tidak pernah diberi surat peringatan atau somasi dari Pengadilan Negeri berapa kewajiban yang wajib dibayar oleh pihak debitur. Sehingga menurut pihak debitur tidak ada somasi atau surat peringatan lebih dahulu maka penjualan benda yang menjadi objek hak tanggungan dan objek sengketa yang akan dijual secara lelang tidak adanya kepastian. Selain itu, menurut pihak debitur tidak pernah mendapat surat dari Pengadilan Negeri adanya sita eksekusi dan pelaksanaan penjualan secara lelang tersebut tidak melalui Pengadilan Negeri.
Permasalahan tersebut telah diputus oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan perkara nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh tertanggal 5 Agustus 2010,
Dalam Provisi :
- Menolak tuntuan provisi para pelawan tersebut;
Dalam Eksepsi:
- Menerima Eksepsi Terlawan I tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan Para Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar;
2. Menyatakan perlawanan Para Pelawan tidak dapat diterima;
3. Menghukum Para Pelawan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 538.000,00

Berdasarkan pada uraian diatas bahwa pihak debitur sebagai pelawan mengajukan perlawanan karena menurut pelawan tidak adanya surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri akan kewajiban membayar hutang sehingga menurut pelawan pelelangan objek sengketa tidak mempunyai kepastian hukum. Disatu sisi, hal ini berkaitan dengan kewenangan dari pihak kreditur sebagai pihak yang melakukan eksekusi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.




B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka penulis akan menganalisa bagaimana akibat hukum dari 4 bidang tanah yang menjadi jaminan atas suatu kredit tersebut ?
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Pustaka Tentang Perjanjian Kredit
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Kredit adalah peyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Unsur essensial dari suatu kredit adalah kepercayaan, yaitu keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu yang berdasarkan pada kesepakatan. Unsur-unsur kredit adalah (Hermansyah. 2005: Hal 56):
1. kepercayaan, yaitu keyakinan dari si oemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
2. Waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemebrian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari.
Perjanjian merupakan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku III Pasal 1754 KUHPerdata, Pinjam Meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Akan tetepi pada kenyataannya bahwa perjanjian kredit itu tidak murni perjanjian pinjam meminjan saja melainkan juga terdapat perjanjian pemberian kuasa, pemberian jaminan dan perjanjian lainnya.
Perjanjian yang terjadi antara yang satu dengan yang lain, hal ini mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Pihak yang berkewajiban berprestasi disebut dengan debitur, sedangkan pihak yang berhak atas prestasi adalah kreditur.
Objek dari kredit, digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu dapat dilihat dari segi kegunaan, tujuan, jangka waktu, dan jaminan. Hal penting dalam perjanjian kredit, objek kredit yang dilihat dari segi jaminan, antara lain:
a. Jaminan orang, yaitu kredit yang diberikan kepada seorang debitur dengan jaminan orang yang menanggung kredit tersebut bila debitur lalai memenuhi kewajibannya.
b. Kredit dengan jaminan barang yaitu kredit yang diberikan kepada seseorang debitur dengan jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak, yang berfungsi sebagai jaminan atas pelunasan kredit yang diterima apabila debitur lalai dalam penuhi kewajibannya.
c. Kredit agunan dokumen yaitu kredit yang diberikan kepada seorang debitur dengan jaminan yang memiliki debitur umumnya dokumen hubungan kerja antara debitur dengan pihak ketiga dengan maksud kredit tersebut untuk membiayai pekerjaan atau proyek hubungan kerja antara debitur dengan pihak ketiga.
Jaminan dengan istilah agunan, sebagaiman diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, agunan adalah jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Jaminan kredit adalah pihak debitur untuk mendapatkan kepercayaan dari kreditur sebagai pihak yang menyalurkan dana, dimana dana tersebut setelah ada pada debitur akan dikembalikan lagi pada kreditur dengan cara mengangsur dalam suatu waktu yang telah ditentukan guna menjamin angsuran tersebut pihak debitur memberikan sesuatu sebagai jaminan kepada kreditur yang apabila debitur tidak lagi mampu membayar angsurannya, kreditur dapat mengambil pelunasan dengan cara menjual jaminan tersebut.
Dasar hukum jaminan kredit yaitu KitabUndang-Undang Hukum Dagang Stb.1847b Nomor 23 yang mengatur kaitannya dengan jaminan dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 KUHD berkaitan dengan pembebanan hipotik Kapal Laut, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dengan objek jaminan kredit berupa tanah berserta segala sesuatu yang berada diatas tanah tersebut, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992 tentang Fidusia dengan objek jaminan kredit berupa benda bergerak.
2. Tinjauan Pustaka Tentang Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, definisi Hak Tanggungan sebagai berikut:
“ Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005: Hal. 13)”

Berdasar pada pengertian dari Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa hak tanggungan merupakan lembaga jaminan dengan objek hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dimana beserta dengan berikut atau tidak berikut benda-benda yang berada diatas tanah yang menjadi jaminan atas suatu utang guna pelunasan hutangnya tersebut dengan mengutamakan kedudukan bagi kreditur tertentu.
Unsur-unsur pokok dari Hak Tanggungan berdasarkan pada definisi Hak Tanggungan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, antara lain :
1. Dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat dibebankan juga berikut benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Dengan mengingat hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal.
2. Hak jaminan untuk menjamin pelunasan hutang tertentu.
3. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah Negara.
4. Utang yang dijamin tersebut harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Asas-asas dalam hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah guna pelunasan hutang tertentu meliputi:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (Preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.
c. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas. Asas Spesialitas wajib dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang diatur dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 merupakan objek yang dapat dibebani dengan hak tanggungan. Kemudian terkait dengan hal ini diatur lebih lanjut dalam undang-undang yaitu Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (Munir Fuady,2002: hal.146).
Selain tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa Hak Pakai atas Tanah Negara menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan juga dapat dibebani dengan hak tanggungan. Rumah Susun dibangun diatas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara, dan hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan (Pasal 17 jo Pasal 47 ayat (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun) juga merupakan objek hak tanggungan. Secara Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut. Konsekuensinya adalah pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 1996 bahwa Hak Guna Bangunan merupakan salah satu objek hak tanggungan, akan tetapi menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah yang dapat diberikan dengan hak Guna Bangunan adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.
Subjek dari hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,yaitu (Adrian Sutedi, 2010: hal.54).
1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang diberikan.
Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui dengan dua tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan : dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.
Tahap pemberian hak tnaggungan diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan.
Tahap pendaftaran hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatangan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang duiperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah lain yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai objek hak tanggungan.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Kepastian tanggal dalam buku tanah dimaksudkan agar dalam pembuatan buku tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan para pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum, adanya hari, tanggal buku tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku tanah hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.
Hak atas tanah yang menjadi jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib disertifikatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Adanya sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan yang memuat irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekusitorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sertifikat tersebut sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1996, bahwa:
(1) sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sertifikat hak tangunggan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3) Sertifikat hak tanggungan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2), mempuayai kekuatan eksekusitorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.

Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan dimaksudkan guna menegaskan adanya kekuataan eksekusitorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji (wanprestasi), dapat dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan eksekusi hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat menggugat atau beracara di pengadilan. Hal ini disebut dengan parate eksekusi.
Berdasarkan pada Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1996, hapusnya hak tanggungan karena suatu hal sebagai berikut:
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan. Hapusnya hutang itu mengakibatkan hak tanggungan sebagai perjanjian accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari hutang debitor yang menjadi perjanjian pokoknya.
2. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan. Apabila debitor atas persetujuan kreditor pemegang hak tanggungan menjual objek hak tanggungan untuk melunasi hutangnya, maka hasil penjualan tersebut akan diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya dikembalikan kepada debitor. Untuk menghapuskan beban hak tanggungan, pemegang hak tanggungan memberikan pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut kepada pemberi hak tanggungan (debitor). Dan pernyataan tertulis tersebut dapat digunakan oleh kantor pertanahan dalam mencoret catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan yang bersangkutan, (Pasal 22 UUHT);
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek hak tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek hak tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya, apabila pembeli tersebut membeli benda tersebut dari pelelangan umum.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Alasannya disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari sebidang tanah tertentu yang dijaminkan.
C. Tinjauan Pustaka Tentang Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim. Tidak semua putusan hakim dapat dimintakan eksekusi, kecuali putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidka mungkin dilawan dengan upaya hukum verzet, banding maupun kasasi. Pada prinsipnya, hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya, yaitu putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir karena putusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berpekara.
Pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, di mana proses ini merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, ada tiga jenis eksekusi yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1988: hal. 181):
1. Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.
2. Eksekusi Riil, yaitu melakukan suatu tindakan nyata/riil sepertimenyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi riil, pada umumnya ialah upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan.
3. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang. Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR, pasal 208 RBg). Eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang sangat terbatas sekali, yaitu semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang piutang dan ganti rugi berdasarkan cidera janji/wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan pasal 225 HIR, dengan membayar nilai sejumlah uang apabila tergugat tidak mau menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam batasan jangka waktu tertentu.
Hak tanggungan tidak mungkin dilaksanakan dengan eksekusi riil, karena hubungan hukum yang mendasarinya adanya hutang piutang yang harus diselesaikan dengan cara mambayar sejumlah uang. Eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut:
1. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan.
Eksekusi merupakan cara yang mudah dan dapat diperjanjikan bersama oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan. Tujuan dari penjualan objek hak tanggungan secara di bawah tangan adalah untuk mencari harga tertinggi sehingga tidak merugikan debitur atau pemilik barang jaminan. Penjualan objek hak tanggungan dilakukan melalui pelelangan umum maka harga jual jauh di bawah harga pasar.
Eksekusi objek hak tanggungan secara di bawah tangan dapat dilakukan jika sebelumnya telah disepakati bersama oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan. Pelaksanaan penjualan yang dilakukan dibawah tangan dapat dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada para pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang keberatan.
Eksekusi ini dalam Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 1996 tidak dijelaskan siapa yang melakukan penjualan, debitur sendiri atau kreditur. Biasanya yang melakukan penjualan dalam arti menentukan harganya adalah kreditur. Untuk melakukan tindakan tersebut kreditur mutlak harus membuat kesepakatan dengan debitur. Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1996, kesepakatan untuk menjual di bawah tangan yang dibuat oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan adalah pada saat hutang dapat ditagih. Penjualan di bawah tangan yang dimulai dari pencapaian kesepakatan dan pengumuman penjualan bari dapat dilakukan jika hutang dapat ditagih.
2. Eksekusi atas kekuasaan sendiri. Eksekusi ini sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. berdasarkan pada Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 dengan diperkuat dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e UU Nomor 4 Tahun 1996, janji pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janjia.
Sehingga, pasal 6 dan pasal 11 ayat (2) huruf e UU Nomor 4 Tahun 1996 merupakan tata cara eksekusi yang paling singkat karena kreditur tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri akan tetapi dapat langsung eksekusi dengan melalui Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan apabila jalan damai tidak tercapai.
Janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UU Nomor 4 Tahun 1996 harus dimuat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Akan tetapi kewenangan yang dimiliki oleh kreditur pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual sendiri atau dengan perantaraan Kantor Lelang Negara tidak dapat dilaksanakan karena pemegang hak tanggungan yang bersangkutan masih memerlukan fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri karena menurut Pengadilan Negeri pelaksanaan lelang sebagai akibat adanya sertifikat hak tanggungan yang memakai irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” harus dilakukan atas perintah dan pimpin Ketua Pengadilan Negeri.
3. Eksekusi berdasarkan eksekusitorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2 dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA yang dicantumkan dalam sertifikat Hak Tanggungan, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial. Akan tetapi, pihak kreditur jarang menempuh langkah penjualan di bawah tangan atau penjualan lelang atas kekuasaan sendiri. Jika debitur wanprestasi maka kreditur langsung meminta kepada Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi berdasarkan sertifikat hak tanggungan yang mempunyai tittle eksekusitorial. Eksekusi demikian didasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. yang mengatur eksekusi terhadap dokumen selain putusan pengadilan yang mempunyai title eksekusitorial.
Eksekusi berdasarkan pada Pasal 224 HIR dilakukan oleh kreditur dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat hak tanggungan dapat dieksekusi . permohonan yang diajukan oleh kreditur dengan menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun.
Fiat eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negera setelah mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, permohonan fiat eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat formal yang telah ditentukan. Berdasarkan pada fiat tersebut disertai dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Lelang melakukan penjualan atas objek hak tanggungan di muka umum. Akan tetapi sebelum menerbitkan fiat eksekusi tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberikan peringatan kepada debitur agar dalam jangka waktu tertentu debitur penuhi kewajibannya secara sukarela. Apabila peringatan tersebut tidak dapat dipenuhi maka Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah penyitaan untuk selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara. Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebanyak dua kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar.
Setelah semua persyaratan lelang terpenuhi kemudian Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan atas objek tak tanggungan secara umum dimana hasilnya digunakan untuk melunasi utang debitur dan jika ada sisanya akan dikembalikan kepada debitur.


D. METODE PENELITIAN.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau disebut dengan penelitian doktrinal adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Jhony Ibrahim, 2006: Hal 295). Penelitian hukum ini emnggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundangan-undangan yaitu dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum yang diteliti, sedangkan pendekatan konseptual adalah meneliti suatu isu hukum berkaitan dengan eksekusi hak tanggungan dengan menggunakan konsep yang berhubungan dengan isu tersebut.
Jenis data sekunder yang antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, surat kabar harian, dan sebagainya. Sumber data sekunder itu meliputi bahan hukum primer yang meliputi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Teknik analisa data menggunakan logika deduktif, penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi. Sumber hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari sumber hukum yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab tentang pelaksanaan dari eksekusi hak tanggungan apabila debitur melakukan wanprestasi terkait dengan Pasal 6 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
E. HASIL PEMBAHASAN.
Jaminan dalam kredit berupa hak atas tanah dalam bentuk sertifikat hak atas tanah dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Sesuai dengan Pasal 51 UUPA jo Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Tujuan dari kredit diperlukan adanya pemberian jaminan itu agar menjamin bagi debitur dalam pelunasan hutang dalam jangka wktu yang telah disepakati yang tertuang secara tertulis dalam perjanjian kredit yang dibuat dalam akta di bawah tangan atau akta notariil yang dibuat oleh Notaris yang berwenang.
Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui dengan dua tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan : dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.
Tahap pemberian hak tanggungan diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, maka pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan hak atas tanah yang bersangkutan.
Tahap pendaftaran hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatangan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang duiperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah lain yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai objek hak tanggungan.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Kepastian tanggal dalam buku tanah dimaksudkan agar dalam pembuatan buku tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan para pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum, adanya hari, tanggal buku tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku tanah hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.
Hak atas tanah yang menjadi jaminan belum bersertifikat, tanah tersebut wajib disertifikatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Adanya sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan yang memuat irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekusitorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sertifikat tersebut sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 14 ayat ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1996, bahwa Sertifikat hak tanggungan dengan irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempuayai kekuatan eksekusitorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah.
Irah-irah yang dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan dimaksudkan guna menegaskan adanya kekuataan eksekusitorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji (wanprestasi), dapat dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap.
Tidak jarang debitur tersebut melakukan wanprestasi, hal ini dikarenakan adanya kredit macet sehingga dapat merugikan pihak kreditur. Kemudian langkah bagi pihak kreditur dalam hal ini melakukan eksekusi yang merupakan hak dari undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. selain itu tercantumnya janji-janji dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UU Nomor 4 Tahun 1996, janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
Kreditur yang melakukan eksekusi melalui pelelangan umum tersebut mendapat perlawanan dari pihak debitur dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri domisili yang mereka pilih. Hal ini dapat dikarenakan debitur merasa tidak terima apabila debitur dianggap melakukan wanprestasi.
Sebagaimana dalam perkara nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh, ada dua pihak yaitu pelawan dan terlawan. Pihak pelawan adalah Tumiyem, Tohari, Sudarno dan Hardiman. Sedangkan Pihak Terlawan meliputi Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta sebagai Terlawan I, Kantor Pelawanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sebagai Terlawan II, Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Sukoharjo sebagai Turut Terlawan.
Perkara ini berawal dari pihak pelawan (debitur) telah mengadakan perjanjian kredit dengan Terlawan I (kreditur) yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kartasura, dengan dibuat akta Perjanjian Kredit Nomor 01 tertanggal 03 Oktober 2005 kemudian dirubah dengan Akta Perpanjangan dan Suplesi Kredit No.01 tertanggal 3 Oktober 2005. Guna menjamin pelunasan kredit tersebut debitur telah memberikan jaminan yang termuat dalam klausul perjanjian kredit tersebut berupa 4 bidang tanah yaitu sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1617 a/n Tumiyem dengan luas 98 m2; sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 2154 a/n Tohari dengan luas 290 m2, sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 4465 a/n Tohari dengan luas 665 m2, sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1205 a/n Hardiman dengan luas 4084 m2. Keempat bidang tanah tersebut telah dibebani dengan hak tanggungan.
Berjalannya kredit, pihak debitur telah melakukan keterlambatan angsuran kemudian pihak kreditur yaitu Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Surakarta telah memberi kesempatan kepada pihak debitur melalui restrukturisasi yang dituangkan dalam Akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 21 tertanggal 29 Desember 2006 yang dibuat oleh Notaris Wirati Kendarto.
Akta perjanjian restrukturisasi tersebut memuat klausul, apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang dipersyaratkan sebanyak tiga kali berturut-turut, maka putusan restrukturisasi kredit menjadi batal dan kewajiban debitur kembali pada perjanjian pokok. Akan tetapi, debitur tidak memenuhi perjanjian restrukturisasi tersebut dan debitur wanprestasi. Meskipun debitur telah wanprestasi, pihak kreditur telah memberikan surat peringatan atau somasi sebanyak tiga kali tertanggal 9 Desember 2009, 5 Januari 2010, dan 1 Februari 2010. Kemudian oleh kreditur dilanjutkan pemberitahuan pelaksanaan lelang dan pengosongan objek 4 bidang tanah tersebut tertanggal 17 Maret 2010.
Atas dasar hal tersebut, pihak debitur mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Sukoharjo dengan pokok perkara bahwa menurut pihak debitur atau pelawan bahwa sebelum ada pengumuman lelang di Harian Jawa Pos-Radar Solo hari Rabu tertanggal 17 Maret 2010, pihak pelawan tidak pernah diberi surat somasi atau surat peringatan dari Pengadilan Negeri terkait kewajiban yang wajib dibayar oleh pihak debitur atau Pelawan. Sehingga menurut pihak pelawan kalau penjualan lelang atas empat bidang tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut tidak mempunyai kepastian hukum.
Sehingga, berdasar pada gugatan perlawanan dengan perkara nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh tersebut telah diputus oleh Hakim Ketua Pengadilan Sukoharjo tertanggal 5 Agustus 2010,
Dalam Provisi :
- Menolak tuntuan provisi para pelawan tersebut;
Dalam Eksepsi:
- Menerima Eksepsi Terlawan I tersebut;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan Para Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar;
2. Menyatakan perlawanan Para Pelawan tidak dapat diterima;
3. Menghukum Para Pelawan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 538.000,00.

Berdasarkan uraian perkara diatas bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa pihak Kreditur dalam melakukan pelelangan merupakan salah satu kewenangan kreditur dalam upaya eksekusi hak tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Eksekusi yang dilakukan oleh debitur dalam eksekusi dengan pelelangan umum ini dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sehingga tidak diperlukan adanya somasi dari Pengadilan Negeri karena kreditur menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tersebut mempunyai kekuasaan sendiri untuk melakukan eksekusi atas jaminan yang dibebani oleh hak tanggungan jika debitur wanprestasi. Selain pasal 6 juga tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri atas obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Janji tersebut telah tercantum dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan sehingga secara otomatis berlaku untuk para pihak yang menandatangani akta tersebut sebagai perjanjian assesoir. Dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan tersebut maka tidak diperlukan adanya perjanjian lain. Jadi, upaya yang dilakukan oleh kreditur, Bank Rakyat Indonesia tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 6 jo.Pasal 11 ayat (2) huruf e jo.Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, karena pada dasarnya kewenangan dari kreditur melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai akibat dilakukan pedaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan maka terbit sertifikat hak tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Sertifikat hak tanggungan itu memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Maka berdasar pada Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 , dengan meminta penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri melalui permohonan yang diajukan oleh kreditur dengan menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun. Berdasarkan pada fiat tersebut disertai dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Lelang melakukan penjualan atas objek hak tanggungan di muka umum. Apabila peringatan tersebut tidak dapat dipenuhi maka Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah penyitaan untuk selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara. Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebanyak dua kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar.
Sedangkan status dari bidang tanah yang menjadi jaminan yang dibebani dengan hak tanggungan tersebut, pada proses pembebanan hak tanggungan mengakibatkan terbitnya sertifikat hak tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan melalui proses tersebut pihak kreditur telah menguasai yuridis kepemilikan tanah sebagai akibat dijaminkannya hak atas tanah tersebut atas suatu utang piutang.
Sehingga, berdasarkan pada perkara Nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh bahwa tindakan kreditur dalam hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 6 jo.Pasal 11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pada dasarnya kreditur mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi atas objek jaminan yang dibebani hak tanggungan baik eksekusi atas kekuasaan sendiri maupun eksekusi yang mempunyai title eksekusitorial. Dengan objek jaminan yang dibebani dengan hak tanggungan maka empat bidang tanah yang menjadi jaminan tersebut secara yuridis milik kreditur sebagai akibat adanya perjanjian utang piutang.
F. KESIMPULAN
Tanah yang menjadi jaminan atas suatu utang piutang telah dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 guna menjamin pelunasan piutang. Dalam pelaksanaan kredit timbul permasalahan adanya debitur wanprestasi sebagaimana dilakukan oleh Tumiyem cs dalam perkara nomor 20/Pdt.Plw/2010/PN.Skh. Disini kreditur telah melakukan eksekusi melalui pelelangan umum dengan perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surakarta. Akan tetapi pihak Tumiyem cs selaku debitur melakukan gugatan perlawanan di Pengadilan Sukoharjo dan diputus oleh Hakim Ketua Penagdilan Sukoharjo menolak gugatan pelawan. Hal ini disebabkan bahwa tindakan kreditur melakukan eksekusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 jo.Pasal 11 ayat (2) huruf e, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, apabila debitur wanprestasi maka kreditur punya kewenangan melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri. Eksekusi melalui pelelangan umum tersebut untuk mengambil hasil penjualan secara lelang untuk membayar hutang debitur. Sehingga, dengan jaminan tanah yang dibebani oleh hak tanggungan tersebut secara yuridis dibawah penguasaan kreditur sebagai akibat adanya perjanjian utang piutang .
G. SARAN
​Berdasarkan kasus tersebut, dalam pembuatan perjanjian kredit mengenai hal-hal yang insidentil dipertegas agar debitur mengetahui mana yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing pihak serta dipertegas akibat hukum apabila tidak dipenuhinya kewajiban tersebut. guna tercapai tujuan sebagaiman tecantum dalam penjelasan angka 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak sehingga merugikan. Hal yang paling penting adalah adanya kesepakatan oleh para pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi. 2010. Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Achmad Susetyo. 2009. Peroyaan Hak Tanggungan Atas Tanah Jaminan Kredit Oleh Bank.http://kasusperbankan.wordpress.com/2009/05/28/peroyaan-hak-tanggungan-atas-tanah-jaminan-kredit-oleh-bank/. Diakses tanggal 7 Maret 2013 jam 09.30 WIB

Arhiem. 2012. Hak Tanggungan. http://hukumperbankan.blogspot.com/2012/05/hak-tanggungan.html. Diakses tanggal 7 Maret 2013 jam 09.00 WIB.

Boedi Harsono. 2003. Hukum Agararia Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanannya, Edisi Revisi Cetakan Ke-9. Jakarta: Djambatan.

Gusti Mtfyanah. 2004. Ruang Lingkup Objek Hak Tanggungan:Telaah Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Jumal Hukum dan Pemikiran, No. 2, Tahun 6 Juli- Desember 2004.

Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta:Gramedia.

Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi). Malang : Bayumedia Publishing.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2005. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan. Jakarta: Kencana.

Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Bandung: Raja Grafindo Persada.
Mohammad Djais. 2011. Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Berdasar Pasal 6 UUHT Tidak Sah Menurut Hukum. http://hukum.kompasiana.com/2011/07/24/pelaksanaan-eksekusi-obyek-hak-tanggungan-berdasar-pasal-6-uuht-tidak-sah-menurut-hukum-380999.html. Diakses tanggal 7 Maret 2013 jam 09.03 WIB.

Munir Fuady.2002. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Netty Endrawati, Hutang Debitur dan Eksekusi Hak Tanggungan. INOVASI Volume XVI, Edisi Khusus Desember 2008.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Sudikno Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Windajani. 2011. Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara. Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar