29/03/13

PERJANJIAN | Prof. Setiono (Resume 1)

RESUME
BAB II
MAKNA DAN FUNGSI ASAS PROPOSIONALITAS DALAM KONTRAK KOMERSIAL


Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Keadilan menurut Aristoteles, dalam karyanya “Nichomachean ethics”, artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles, “justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality.” Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional.” Cicero mengatakan bahwa orang dinilai “baik” dilihat dari perilaku keadilannya. Menurutnya ada tiga kebajikan moral yaitu : keadilan, pengendalian diri, dan sopan santun.
Sedangkan Thomas Aquinas, dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu :
a. Hubungan antar-individu (ordo partium ad partes);
b. Hubungan antar-masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes);
c. Hubungan antara-individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum).
Menurut Thomas Aquinas keadilan distributive pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam konteks keadilan distributive, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang actual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequilitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu :
a. Kesamaan proporsional (acqualitas proportionis)
b. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).
Thomas Aquinas menyatakan bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang harus ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). Dengan dasar itu, maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equity), kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia.
Dworkin menyebutnya sebagai teori “goal based theory”, menyatakan bahwa utilitarianisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat daripada asas hak. Oleh karena itu, utiltarianisme tidak tepat untuk dijadikan basis untuk membangun suatu konsep keadilan.
Kelemahan pokok-pokok teori kontrak yang berbasis utiltarianisme adalah :
a. Keadilan sulit dijamin karena pengambilan keputusan lebih ditentukan oleh prinsip manfaat daripada prinsip hak;
b. Keadilan sebagai sebuah nilai juga tidak mendapat prioritas terhadap pertimbangan-pertimbangan ekonomis;
c. Keadilan seakan dapat dikompensasi melalui keuntungan-keuntungan ekonomis atau keuntungan-keuntungan sosial lainnya;
d. Pada taraf ini ketidakadilan akan mudah muncul dan bersamaan dengan itu penghargaan pada hak dan martabat manusia juga hilang dan diremehkan.
Dengan mengambil pelajaran dari kegagalan teori-teori sebelumnya, Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan itu sendiri.
Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributive, sebagai berikut :
a. Prinsip I the greatest equals principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak);\
b. Prinsip II, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut :
1) The different principle; and
2) The principle of fair equality of opportunity.
Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Objektif).
Rawls memberikan pedoman untuk menerapkan masing-masing prinsip tersebut di atas, sebagai berikut :
a. Prinsip I yaitu the greatest equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip II apabila keduanya berkonflik.
b. Prinsip II, huruf b yaitu the principle of (fair) equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari huruf a yaitu the different principle.
Meskipun banyak kritik yang diajukan terhadap teori Rawls, namun para pendukungnya masih mengklaim bahwa keuntungan-keuntungan dari teori ini lebih besar dibandingkan kekurangannya. Para pendukung Rawls mengajukan beberapa alasan, sebagai berikut :
a. Teori ini mermpertahankan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam keyakinan-keyakinan moral kita : kebebasan, persamaan hak dalam memperoleh kesempatan, dan pertimbangan terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung.
b. Teori ini cocok dengan institusi-institusi ekonomi ekonomi dasar dimasyarakat Barat, karena tidak menolak : (i) sistem pasar; (ii) insentif kerja; ataupun (iii) perbedaan dalam pembagian tenaga kerja. Sebaliknya, dengan mensyaratkan sistem kerja yang tidak sama agar bisa memberikan keuntungan bagi orang-orang yang kurang beruntung, dan dengan mensyaratkan persamaan hak dalam memperoleh kesempatan.
c. Teori ini mencakup unsur-unsur komunitarian dan individualistis yang terdapat dalam budaya Barat.
d. Teori ini juga mempertimbangkan criteria kebutuhan, kemampuan, usaha dan kontribusi.
e. Bahwa ada pembenaran moral yang diberikan oleh posisi awal. Posisi awal didefinisikan sedemikian rupa, sehingga orang-orang dalam posisi ini mampu memilih prinsip yang mempertimbangkan kepentingan semua orang, dan hal ini menurut mereka adalah yang menjadi esensi moralitas.
Dalam keadilan komutatif di dalamnya terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributive yang dipolakan dalam hubungan Negara dengan warga Negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke perspektif hubungan kontraktual para pihak.

Hubungan antara Keadilan dan Equity
Menurut Aristoteteles epieikeia (equity; billijkheid, kepatutan) merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang , karena equity terletak di luar undang-undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu. Equity merupakan gagasan fairness dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian memberi peluang untuk penilaian yang melengkapi sifat umum dari undang-undang.
Hal ini dikarenakan equity sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu :
a. Iktikad baik;
b. Maksud para pihak;
c. Situasi atau keadaan-keadaan;
d. Dan lain-lain;
Meskipun dalam penanganan perkara baik yang mendasarkan pada common law dan equity pada mulanya berjalan seiring, namun ada periode dimana kedua sistem tersebut saling berseberang (konflik dalam penanganan sengketa).
Sementara itu dalam sistem civil law, prinsip-prinsip equity (equitable principles) tercakup dalam asas-asas iktikad baik, kepatutan dan kelayakan atau kepantasan (gooder trow, redelijkheid en billijkheid).
Dalam lingkup BW, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam rumusan Pasal 1339 BW, yaitu :
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan (billijkheid), kebiasaan, atau undang-undang”.
Substansi Pasal 1339 BW ini menggarisbawahi pentingnya kepatutan (equity, billijkheid) dalam kaitannya dengan keterikatan kontraktual para pihak, disamping apa yang telah disepakati dalam kontrak. Pasal 1339 BW tersebut di atas, khususnya yang berhubungan dengan kepatutan (billijkheid), pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1338 Ayat 3 BW, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Interpretasi teleologis –ekstensif terhadap Pasal 1365 BW pada dasarnya merupakan penerapan prinsip equity yang akhirnya mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam lalu lintas hidup di masyarakat.

Makna Asas Proporsionalitas
Dari eksplorasi dan elaborasi beberapa kamus ternyata pengertian asas proporsionalitas masih belum utuh dan padu. Hal ini dapat ditelusuri dari :
a. Makna leksikal tersebut di atas ada yang menyamakan antara makna proporsionalitas dengan keseimbangan, sebaliknya ada juga yang membedakannya. Namun, perbedaan terhadap kedua istilah tersebut belum secara tegas;
b. Keseimbangan acap kali diartikan dalam kesamaan, sebanding dalam jumlah, ukuran, atau posisi. Dalam perspektif kontrak, asas keseimbangan diberikan penekanan pada posisi tawar para pihak harus seimbang. Tidak adanya keseimbangan posisi para pihak mengakibatkan kontrak menjadi tidak seimbang dan membuka peluang intervensi penguasa untuk menyeimbangkannya;
c. Proporsionalitas (asas proporsionalitas) acap kali sekadar dipahami dalam konteks hukum pembuktian, meskipun pada dasarnya asas proporsionalitas harus dimaknai sebagai pembagian hak dan kewajiban menurut proporsi yang meliputi segenap aspek kontraktual secara keseluruhan.

Permainan Makna asas Keseimbangan
Dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah). Beranjak dari pemikiran di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen.
Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibannya. Oleh karenanya dalam rangka menyeimbangkan posisi para pihak, intervensi dari otoritas Negara (pemerintah) sangat kuat.
Contoh yang dapat dicermati sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Bentuk intervensi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dengan cara membatasi sekaligus menyeimbangkan posisi tawar para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Substansi pasal tersebut mengatur pencantuman klausula baku yang harus diperhatikan oleh produsen (pelaku usaha) agar tidak merugikan konsumen, bahkan didalamnya memberi sanksi kebatalan terhadap kontrak konsumen yang bersangkutan.
Interpretasi terhadap penggunaan istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut, ialah :
a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan
b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut
c. Ketiga, keseimbangan seolah sekadar merupakan hasil akhir dari sebuah proses
d. Keempat, intervensi Negara merupakan instrument pemaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak
e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus)

Pemahaman Makna Proporsionalitas
Asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks keseimbangan – matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.
Mengambil moralitas pertimbangan tersebut, maka asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”.
Dengan demikian, kontrak sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) tersebut tetap harus dalam bingkai aturan main yang mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional.
Dari berbagai aspek tersebut di atas, tentunya wajar dan pantas diterima apabila dalam pembagian keuntungan bisnis tersebut franchisor seolah-olah memperoleh porsi lebih banyak dibandingkan franchisee, namun demikian bukan berarti franchisee dirugikan oleh karena pembagian tersebut. Dalam konteks bisnis, ketidaksamaan hasil keuntungan dapat diterima apabila proses pembagian berjalan fair. Apabila kondisi ini dianggap tidak fair dan merugikan, niscaya tidak akan mungkin bisnis franchise berkembang begitu pesat merambah seluruh penjuru dunia dengan berbagai jenis dan tipenya.
Berdasarkan contoh-contoh tersebut, maka dapat disimpulkan bhawa daya kerja asas proporsionalitas meliputi proses prakontrak, pembentukan maupun pelaksanaan kontrak. Asumsi kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosisasi serta aturan main yang fair menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional.

Fungsi Asas Proporsionalitas
Beranjak dari pendapat beberapa sarjana maka dapat dirumuskan beberapa fungsi atau arti penting kontrak dalam lalu lintas bisnis, antara lain :
a. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menuangkan hak dan kewajiban masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan)
b. Kontrak sebagai bingkai aturan main
c. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum
d. Kontrak memberikan (menjamin) kepastian hukum
e. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win – win solution; efisiensi – profit)
Dengan demikian, fungsi asas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak komersial adalah :
a. Dalam tahap pra kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang negoisasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan iktikad buruk;
b. Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan / mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair;
c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati / dibebankan pada para pihak;
d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental (fundamental breach) sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekadar hal-hal yang sederhana / kesalahan kecil (minor important). Oleh karena itu, pengujian melalui asas proporsionalitas sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;
e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas menekankan bahwa beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.

















BAB 3

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS

DALAM PEMBENTUKNA KONTRAK KOMERSIAL



1. Urgensi Negosiasi dalam Pembentukan Kesepakatan Para Pihak
​Kontrak pada dasarnya merupakan bagian penting dari suatu proses bisnis yang syarat dengan pertukaran kepentingan diantara para pelakunya. Merancang suatu kontrak pada hakikatnya “menuangkan proses bisnis ke dalam format hukum”.

​Oleh karena itu, keberhasilan bisnis antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang dirancang dan disusun oleh para pihak. Namun patut disayangkan para pelaku bisnis merumuskan proses bisnisnya dalam format kontrak yang asal-asalan, sehingga tidak memerhatikan proses, prosedur serta norma perancangan kontrak yang benar (drafting contract process).

​Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para pihak secara fair dan adil (proporsional) pada setiap fase atau tahapan kontrak. Oleh karena itu, perlu dicermati adanya fase penting yang harus dilalui para pihak dalam proses pembentukan kontrak yaitu negosiasi. Negosiasi dalam kontrak komersial merupakan perwujudan penerapan asasa proporsionalitas menuju tahapan pembentukan kontrak. Fase negosiasi merupakan “crucial point” untuk merumuskan pertukaran hak dan kewajiban para pihak yang nantinya mengikat dan wajib untuk dipenuhi.

​Dalam setiap proses negosiasi kontrak sasaran atau tujuan para p-ihak sebenarnya hanya satu yaitu untuk mencapai kata sepakata. Melalui negosiasi proses pertukaran kepentingan diantara para pihak berjalan sesuai dengan dinamika kontrak itu sednrii, artinya para pihak dihadapkan pada dua karakteristik negosiasi kontrak, yaitu sifat positif dan sifat negatif. Menurut Budiono Kusumohamidjojo negosiasi bersifat “positif “ atau “negatif” bukannya karena negosiasi itu dapat bersifat “baik” atau “buruk”. Seharusnya tidak ada negosiasi yang bersifat baik atau buruk, suatu negosiasi akan bermuara pada “keberhasilan” dan “kegagalan”. Suatu negosiasi kontrak mempunyai sifat positif, jika para pihak hendak mencapai suatu kontrak yang bersifat kerja sama. Sifat positif itu fiperoleh dari maksud orang untuk memulai sesuatu yang baru dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Sebaliknya, suatu negosiasi kontrak mempunyai sifat negatif jika pihak hedak mencapai suatu perdamaian. Suatu negosiasi untuk mencapai perdamaian bersifat negatif karena melalui negosiasi itu orang hendak mengakhiri sesuatu yang negatif, yaitu perselisihan atau sengketa itu. Sifat positif atau negatif itu juga lebih disebabkan oleh suasana dialog yang berkembang di antara para pihak itu sendiri.

​Menurut Anthony Klok dan Gerald S. Williams, menyebutkan negosiasi kontrak yang bersifat positif sebagai negosiasi yang kooperatif, sedangkan negosiasi kontrak yang brsifat negatif disebut negosiasi yang kompetitif. Dalam banyak negosiasi kontrak yang bersifat positif, para pelaku negosiasi juga akan brkompetisi (bersaing) untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin dari kerja sama yang mereka bangun dalam suatu kerangka yang seadil mungkin.

Suatu negosiasi yang bersifat negatif juga tidak hanya diwarnai dengan prbedaan-perbedaan tajam dan prinsipil.

​Hal utama yang menentukan apakah suatu negosiasi, baik yang bersifat positif maupun negatif, dapat tetap berlangsung sangat bergantung pada itikad baik para pihak. Iktikad baik sebagai dasar untuk melakukan negosiasi itu harus bersifat timbal balik (resiprositas).

​Menurut Rtudhi Prasetya, untuk mencai kata sepakata dalam kontrak bukan sekadar masalah bagaimana pandai ‘bernegosiasi”. Menyikapi kondisi tersebut kiranya akan lebih objektif apabila mencermati dan memerhatikan klausul-klausul dalam kontrak, apakah tidak bertentangan dengan “kepatutan” dan “keadilan” (billijkheid en redelijkheid), serta menguji keberadaan suatu kontrak bisnis melalui bekerjanya asas- asas pokok dalam hukum kontrak.

​Segala upaya dan tahapan negosiasi yang diloalui pada akhirnya akan bermuara pada bingkai kontrak yang melahirkan keterikatan kontraktual. Pada titik ini baik hak dan kewajiban para pihak dirumuskan dan selanjutnya mengikat untuk dilaksanakan, bahkan dalam situasi tertentu senantiasa mengakibatkan tanggung gugat.

​Menurut Jeremy G. Thorn dalam menegosiasikan sebuah kontrak atau perjanjian, kedudukan hukum merupakan pertimbangan mendasar dan penting. Dalam perspektif hukum berlaku asas “ignorantia juris neminem excusat”, ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan suatu alasan. Untuk itu perlu dipertimbangkan aspek-aspek hukum dalam proses negosiasi, jangan sampai terjadi atau paling tidak dihindari adanya sengketa ketika pelaksanaan kontrak, karena hal ini justru memorak-porandakan jalainan hubungan di antara para pihak.

​Bagi pelaku bisnis modern, negosiasi merupakan bagian yag “inheren” dengan ritme dan kinerja mereka. Menurut Garry Goodpaster negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasnya, serta halus bernuansa, sebagaimana keadaan atau dapat dicapai orang. Donald W. Hendon dan Rebecca Angeles Hendon menyatakan bahwa bernegosiasi adalah seni menciptakan usaha menjadi satu bentuk persuasi, dan bukannya suatu permainan kekuasaan yang kasar. Negosiasi adalah seni atau art yang mengubah sikap antipasti menjadi simpati dan kemudian empati, memilih strategi yang tepat bagi setiap situasi, menciptakan potret bisnis yang benar, dan lain-lain. Donald G. Gifford dalam bukunay “Legal Negotiation Theory and Application, menyatakan bahwa negosiasi merupakan suatu proses melibatkan pihak-pihak yang mencapai kata sepakat untuk saling tukar sesuatu yang diinginkan pihak lain melalui proses tawar-menawar, baik mengenai hal-hal yang muncul pada sitasui aktual, ketidaksepakatan maupun konflik yang potensial muncul dan berkembang.

​Fisher & William Ury (Harvard University Project) dalam kata pengantar bukunya “Getting to Yes, Negotiating agreement Without Giving In”, memberikan definisi negosiasi sebagai instrumen utama untuk apa yang diinginkan dari pihak lain.

​Menurut Jeremy G. Thorn dalam mempertimbangkan apan suatu negosiasi dilakukan, pada umumnya syarat-syarat berikut ini akan diterapkan :

a. Kedua belah pihak aka melakukan suatu perjanjian.
b. Terdapat perjanjian atau konflik di antara beberapa pihak.
c. Terdapat variabel untuk dipertukarkan melalui oonsesi;
d. Kedua pihak mempunyai wewenang untuk mengubah syarat-syarata mereka;
e. Apabila sesuatu yang luar biasa terjadi.
​Arthur S. Hartkamp, J. M van dunne maupun E.H. Hondius mengakui pentingnya negosiasi kontrak dengan merujuk praktik pengadilan. Di Belanda, praktik pengadilan melihat negosiasi sebagai fase yang menentukan apakah suatu kontrak mempunyai dyaa kerja mengikat para pihak atau sebaliknya. Hal ini dapat dicermati dalam putusan Hoge Raad terakit perkara Plas v. Valburg, HR 18 Juni 1982, Nj 1983, 723 yang memutuskan bahwa proses negosiasi dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu :

a. Tahap pertama (initial stage), selama proses negosiasi berjalan kerugian yang timbul tidak menimbulkan hak gugat atas ganti rugi yang diderita. Pada tahap ini para pihak bebas untuk menghentikan negosiasi, dan tida ada kewajiban untuk memberi ganti rugi.
b. Tahap kedua (continuing stage), memasuki tahap ini negosiasi dapat dihentikan oleh salah satu pihak, dengan konsekuensi pihak yang menghentikan proses negosiasi tersebut wajib memberikan ganti rugi;
c. Tahap ketiga (final stage), pada tahap ini para pihak tidak dapat menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan iktikad baik. Pelanggaran terhadap kewajiban ini membawa akibat timbulnya kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak lain (meliputi segala biaya yag telah dikeluarkan maupun kehilangan keutungan yang diharapkan).
​UPICC juga mengakomodasi aspek negosiasi dalam pembentuk kontrak, melalui Pasal 2.12 tentang Negosiasi dengan iktikad buruk (Negotiation in bad faith), menentukan bahwa :

(1) Para pihak bebas untuk melakukan negosiasi dan tidak bertanggung jawab atas tidak tercapainya kesepakatan.
(2) Namun demikian, salah satu pihak yang bernegosiasi atau memutuskan negosiasi dengan iktikad buruk bertanggung gugat atas kerugian yang diderita pihak lain.
(3) Iktikad buruk dianggap ada, terutama bagi pihak yag memasuki atau melanjutkan negosiasi apabila bertujuan tidak untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain.
​Oleh karena itu, meskipun negosiasi masih dalam tahap prakontraktual apabila dilakukan dengan iktikad buruk dan karenanya merugikan pihak lain maka hal ini akan menimbulkan tanggung jawab berupa ganti rugi. Pada umumnya ganti rugi yang dimaksudkan di sini meliputi segala biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan negosiasi kontrak, termasuk kehilangan kemungkinan mencapai kesepakatan kontrak lain dengan pihak ketiga-disebut dengan negative interst. Sedangkan untuk ganti rugi berupa akeuntungan yang akan diperoleh seandainya proses negosiasi melahirkan kontrak tidak termasuk di sini disebut dengan expected or positive interest.

​Bertemunya kehendak para pihak yang berkontrak maupun proporsionalitas pertkaran hak dan kewajibannya sangat ditentuka oleh proses negosiasi itu sendiri.

2. Keabsahan Kotrak
​Keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir pata pihak hendaknya senantiasa memerhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktivitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama. Kontark akan melindungi proses bisnis para ihak, apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya.

​Menyikapi tuntutan dinamika tersebut diatas, pembuat undang-undang telah menyiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolak ukur bagi para pihak utuk menguji standar keabsahan kontrak yang mereka buat. Perangkat aturan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam sistematika Buku III BW yaitu

a. Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Padal 1320 BW; dan
b. Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar Pasal 1320 BW (vide Pasal 1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347).
​Dalam pasal 1320 BW tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toeteming van degenen die zich verbinden);
b. Kecakapan untuk membuat perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan).
c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)
d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).
​Dalam sistem common law untuk sahnya suatu kontrak juga mensyaratkan dipenuhinya beberapa elemen. Secara garis besar elemen penting pembentuk kontrak, meliputi :

a. Intention to create a legal relationship, para pihak yang berkontrak memang bermaksud bahwa kontrak yag mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan huku.
b. Agreement (after and acceptance), artinya harus ada kesepakatan (meeting of mind) di antara para mereka.
c. Consideration, merupakan janji di antara para pihak untuk saling berprestasi.
​M. L. Baron menambahkan elemen pembentuk kontrak, selai ketiga elemendi atas, meliputi juga :

a. Capacity of parties, kecakapan para pihak.
b. Reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehedak (mis-representation, dures or udeu influence).
c. Legality of object (terkait dengan tujuan atau objek yang harus diperbolehkan menurut hukum).
​Syarat sahnya kontrak menurut NBW tersebar dalam berbagai pasar dengan substansi pokok, yaitu :

a. Kesepakatan
b. Kemampuan bertindak
c. Perjanjian yang dilarang (gabungansyarat “hal tertentu” dan syarat “kausa yang dilarang).
​UPICC dan RUU Kontrak (Elips) merumuskan keabsahan kontrak secara a-contrario, sebagaimana terdapat dalam Pasal 3.1., yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini tidak mengatur mengenai ketidakabsahan yang timbul dari : (a) tidak adanya kemampuan, (b) tidak adanya kewenanga, (c) bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau bertentangan dengan hukum”. Dari rmusn pasal tersebut sahnya kontrak harus memenuhi syarat, sebagai berikut :

a. Kemampuan (capacity)
b. Kewenangan (authorithy)
c. Berdasar hukum dan kesusilaan ( morality and legality)
​Sementara itu apabila dicermati, Akta Kontrak (Contract Act 1950 atau 1950 Undang-Undang Kontrak Malaysia) menentukan bahwa untuk pembentukan kontrak harus dipenuhi elemen-elemen utama kontrak, yaitu :

a. Cadangan (offer).
b. Penerimaan (acceptance);
c. Balasan (consideration);
d. Niat untuk mewujudkan hubungan di sisi undang-undang (intention to create legal relationship).
e. Keupayaan (capacity)
f. Kerelaan bebas (free consent)
g. Keesahan kontrak (legality of cotract)
​Pada dasarnya substansi syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW hampir sama denga pada sistem coomon law. Perbedaan mndasar diantara keduany terletak pada syarat kausa (oorzaak) yang tidak dikenal dalam sistem common law. Demikian pula sebaliknya, elemen consideration sebagai syarat pembentukna kontrak tidak dikenal dalam sistem BW.

​Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 BW tersebut diatas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan denga diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan usur objektif.

​Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut :

a. “noneksistensi”, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak;
b. Vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcapakapn (onbekwaamheid) – (Pasal 1320 BW syarat 1 dan 2), berarti hal ini terkait dengan unsur subjektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan dan.
c. Nieting atau batal demi hukum, apabla terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 BW syarat 3 dan 4), berarti hal ini terkait dengan usur subyektif, seyingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
Sedang common law keabsahan kontrak diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, meliputi :

a. A valid cotract, di mana seluruh elemen terpenuhi dalam kontrak tersebut.
b. A voidable contract, apabila salah satu pihak memberikan sepakata karena adanya cacata kehendak misrepresentation, duress or undue influence).
c. An unenforceable contract, kontrak tersebut sah, namun tidak dapat dilaksanakan karena ada hal-hal tertentu yang tidak atau lum dipenuhi, umumnya terkait dengan formalitas kontrak, misal tidak adanya perizinan.
d. An illegal contract, merupakan kontrak dengan tujuan atau objeknya dilarang menurut hukum dilarang (illegal).
3. Kesepakatan
a. Dasar Keterikatan Kontruktual dan Penentuan Saat Lahirnya Kontrak
​Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling meyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain.

​Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibetuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod; offerte, offer) diartikan sebagai peryataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esesialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanvarding acceptatie, acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.

​Mengenai substansi kesepakatan ini NBW juga mengatur secara lebih terinci, sebagaimana diatur dalam Buku VI, Titel 5 tentang Kntrak Pada Umumnya (Contracts in General; Overeekonsten in Het Algemeen), Bagian 2 tentang Pembentukan Kontrak (Formation of Contracts; Het tot Standa Komen Van Overeenkomst). Dalam ketentuan Pasal 6:217 NBW menyatakan, bahwa :

(1) A contract I formed by an offer and its acceptance.
(2) Artlicles 219-225 apply unless the offer, another juridical act or usage produce a different result.
​UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) dalam sistematika bab II tentang Pembentukan (Formation) juga megatur pembentukan kontrak berdasarkan penawaran dan penerimaan. Pasal 2.1 tentang Cara Pembentukan (Manner of Formation), menyatakan bahwa, “Suatu Kontrak dapat diadakan baik dengan penerimaan suatu penawaran atau dengan tindakan dari para pihak yang cukup utuk menunjukkan adanya suatu kesepakatan. Selanjutnya mengenai keabhsahan kontrak yang dihubungkan dengan kesepakatan Pasal 3.2. menyatakan bahwa.

“Suatu kontrak telah diadakan, diubah atau diakhiri semata-mata oleh kesepakatan dari pata pihak tanpa persyaratan lain apapun lebih lanjut.

​Akta Kontrak 1950, pada Pasal 2 memberikan definisi cadangan (offer) dan peerimaan (acceptance) yang melahirkan janji (kontrak) sebagai berikut :

(a) Apabila seseorang menyatakan kesediaanya kepada seseorang yang lain untuk melakukan atau menahan diri daripada melakukan sesuatu, dengan maksud memperoleh peretujuan orang itu untuk berbuat sesuatu atau menahan diri daripada berbuat sesuatu, maka bolehlah dikatakan bahwa orang itu membuat cadangan.
(b) Apabila orang kepada siapa cadangan itu dibuat menyatakan persetujuan dengan cadangan itu maka bolehlah dikatakan bahwa adangan itu diterima; suatu cadangan bila diterima, adalah menjadi janji.
Dalam situasi normal antara kehendak dan pernyataan saling bersesuaian, namun tidak menutup kemungkinan terjadi bahwa antara kehendak dan pernyataan terdapat ketidaksesuai. Untuk menganalisis adanya dasar keterikatan kontraktual berlandaskan pada kehendak atau pernyataan, dapat dikaji dari perkembangan tiga teori, yaitu :

a) Teori kehendak (wilsleer, wilstheorie), menyatakan bahwa keterkatan kontraktual baru ada hanya jika dan sejauh pernyataan berlandaskan pada putusan kehendak yang sungguh-sungguh sesuai dengan itu.
b) Teori pernyataan (verklaringsleer; verklaringstheorie), menyatakan bahwa seseorang itu terikat dengan pernyataannya.
c) Teori kepercayaan (vertrouwensleer, vertrouwenstheorie), adalah teori baru sebagai ajaran yang diikuti (hersendeleer), merupakan teori jalanm tengah yang menjembatani kelemahan dan kekurangan dua teori sebelumnya.
​Nieywenhuis mengemukakan bahwa NBW mengambil jalan tengah (kompromi), dengan memilih ajaran “de dubbele grondlag” (asas ganda). Ajaran de dubbele grondlag (asas ganda) sebagaimana diatur dalam ketentuan berikut :

a. ​Pasal 3.33 menyatakan bahwa

​“Suatu perbuatan hukum mensyaratkan suatu akibat hukum yang menjadi tujuan kehendak, yang diungkapkan melalui suatu pernyataan”

​Didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu perbuatan hukum di aman kehendak dan pernyataan itu sama adalah hal biasa. Yaitu berkaitan dengan kehendak yang dinyatakan secara terbuka.

b. Pasal 3:35 yang menyatakan bahwa
“Seseorang yang mengartikan suatu pernyataan atau kelakuan seorang lain dengan maksud yang dalam keadaan-keadaan wajar dapat diberikan kepadanya sebagai pernyataan dengan kecenderungan tertentu yang diarahkan kepadanya oleh orang itu, tidak dapat dipersalahkan dengan tidak adanya kehendak yang sesuai dengan pernyataan itu.

Didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan pihak yang dalam lalu lintas hukum telah bertndak berdasarkan iktikad baik (te goeder trouw) terjebal dalam suatu kesalahan hukum.



​Niewenhuis menegaskan pentingnya untuk menyadari bahwa kedua dasar itu saling berhubungan dalam suatu hubungan subsidair. Penentuan saat lahirnya kotrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan peerimaan dilakukan melalui korespodensi atau surat menyurat. Hal ini mempunyai implikasi penting dalam hal :

a. Penentuan resiko
b. Kesempatan penarikan kembali penawaran
c. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan
d. Menentukan tempat terjadinya kontrak.
​Untuk menjawab problematika tersebut diatas terdapat empat teori yang mecoba memberikan solusi penyelesainya, yaitu :

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas suatu penawaran ditulis.
b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan.
c. Teori Mengetahui (Veremingstheoire), menyatakan bahwa kontrak lahir pada saat surat jawaba (penerimaan) itu diterima oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai di tempat pihak yang menawarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membawa penerimaan tersebut atau tida. H. R mengikuti teori ini, terbukti dengan putusan H.R. 21 Desember 1933, Nj. 1934, 368: Bosch v. Maren, dengan pertimbangan.
Bahwa tidak cukup bila pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan kehendak itu saling mencapai pihak lain (de tegenpartij heft bereikt).



​NBW memberikan jawaban mengenai pertanyaan kepada suatu penawaran akan melahirkan perjanjian (kontrak), mengambil pendirian yang dikaitkan pada aua hal yaitu : (1) berapa lama penawaran dapat ditarik kembali, dan (ii) pada saat mana suatu kontrak itu terjadi. Niewenhius memberikan uraian terhadap kedua hal tersebut, sebagai berikut :

a. Mengenai berapa lama penawaran dapat diatrik kembali menurut.
Padal 3:37 (5) NBW. Kontrak yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan penerimaan), pada kondisi normal bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namu demikian tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cafat kehendak. Dalam BW terdapat tiga hal yag dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu :

a. Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW)
Terdapat kesestan apabila terkait dengan “hakikat benda atau orang’ dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya bahwa sifat atau keafaan yang menimbulkan keseatan bagi pihak lain sangat menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau diketahui; kenbaarheidsvareiste).

b. Paksaan atau dwang (vide Pasal 1325 – 1327 BW)
Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak (memberikan kesepakatan) di bawa ancaman yang bersifat melanggar hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu :

- Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan).
- Ancakan itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.
c. Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 BW)
Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (keseatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan. Misal “Kecap ABC paling lezat”, Yamaha Nomor 1 di Dunia”, dalam perspektif hukum belum dapat dikualifikasikan sebagai penipuan.



b. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Menurut va Dunne dan van der Burght, caat kehendak sebagaimana terdapat dalam pasal 1321-1328 BW disebut cacat kehendak klasik, karena selalu berhubungan dengan cacat dalam pembentukan kehendak yang didasarkan pada pernyataan kehendak. Dalam perkembangannya, di Belanda telah memasukkan satu unsur baru cacat kehedak, yaitu misbruik van omstandigheden sebagai alasan pembatalan kontrak.

NBW menetapkan empat hal terkait dengan cacat kehendak (wils gebreke) sebagai alasan pembatan kontral, sebagaimana yang diatur dalam dua Pasal di Buku III dan Buku VI, yaitu Pasal 3:44 (1) dan Pasal 6:6228 NBW, Keempat alasan pembatalan kontrak tersebut, adalah :

a. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3:44 (1) NBW, bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan, apabila terjadi adaya (i) ancaman (bedreiging), (ii) penipuan (berog), dan (iii) penyalahgunaan keadaan (misbruik omstandigheden).
b. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6:228 NBW, dinyatakan bahwa suatu kontrak yang lahir karena adanya pengaruh kesehatan (dwaling), dan apabila dia mendapat gambaran sebenarnya, kontrak itu tidak akan dibuat, maka kontrak itu dapat dibatalkan.
Dengan demikian, alasan pembatalan kontrak menurut NBW, meliputi :

a. Kesesatan (dwaling)
b. Ancaman (bedreiging)
c. Penipuan (bedrog) dan
d. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden)
Sebelum diatur dalam NBW, telah berkembang dua pendapat yang menyangkut penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden), yaitu :

Pertama menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan “kausa atau sebab yang tidak diperbolehkan” (ongeoorloofde oorzaak).

Kedua, menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak (wlsgebreke)

​Terkait dengan adanya penyalagunaan keadan ini, Niewenhius mengemukakan empat syarat-syarat, sebagai berikut :

a. Keadaan-keadaan khusus (bijzondere omstandigheden) seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras, dan tidka berpengalaman.
b. Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu kontrak.
c. Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak tetap menutup kotrak itu meskipun dia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d. Hubungan kausal (causal verband), artinya tanpa adanya penyalahgunaan keadaan itu maka kontrak itu tidak akanditutup dengan syarat yang sama.
​Menurut van Dunne penyalahgunaan kesempata ini dibedakan dalam dua hal, yaitu :

a. Penyalahgunaan keunggulan ekonomi, apabil asatu pihak mempunyai keunggulan ekonomis terhadap pihak lain, sehingga pihak lain tersebut tepaksa mengadakan kontrak (misal : dalam beberapa kasus hubungan bank-nasabah);
b. Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan, apabila salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif (misal hubungan dokter-pasien, advokat-klien) atau keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan (misal : gangguan jiwa, tidak berpegalaman, atau kurang pengetahuan).
​UPICC dan RUU kontrak (ELIPS) mengenai adanya cacat kehendak yang menjadi alasan pembatalan kontrak juga telah mengatur dalam ketentuan Bab III tentang Kebasahan (Validity), meliputi :

a. Kekhilafan (mistake), sebagaimana diatur dalam Pasal 3.4-Opasal 3.7;
b. Penipuan (fraud), sebagaimana diatur dalam pasal 3.8
c. Ancaman (threat), sebagaimana diatur dalam pasal 3.9;dan
d. Perbedaan yang mencolok (gross disparity), sebagaimana diatur dalam pasal 3.10.
​Terdapat perbedaan yang mencolok (gross disparity) apabila pada saat kontrak tersebut diadakan, kontrak atau persyaratanya ternyata secara tidak dapat dibenarkan telah meyebabkan pihak lainnya memperoleh suatu keuntungan yang berkelebihan (unjustifiable advantage). Dengan kata lain, salah satu pihak telah secara tidak jujur mengambl keuntungan, karena :

a. Ketergantungan terhadap pihak lain
b. Tekanan ekonomi
c. Kebutuhan mendesak
d. Ketidaktahuanya, kelalaiannya, ketidakpengalamanya.
e. Tidak adanya keterampilan tawar-menawar dan
f. Sifat dan tujuan kontrak tersebut.
​Menurut Akta Kontrak 1950, cacat kehedak yag memengaruhi kebebasan para pihak untuk memberikan kata sepakat (free consent), dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :

a. Paksaan (duress), sebagaimana diatur dalam pasal 15 jo, 73 Akta Kontrak 1950;
b. Pengaruh tidak berpatutan (undeu influece), sebagaimana diatur dalam pasal 16 jo 20 Akta Kontrak 1950;
c. Frod /tipuan (fraud), sebagaimana diatur dalam pasal 17 jo. 19 Akta Kontrak 1950;
d. Salahnyataan (misrepresentatin), sebagaimana diatur dalam pasal 18 Akta Kontrak 1950 dan
e. Khilaf (mistake), sebagaimana diatur dalam pasal 14 (e) jis, 21, 22 dan 23 Akta Kontrak 1950.
​Cacat kehendak dalam Akta Kontrak 1950 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Mengenai substansi paksaan (duress), baik Akta Kontrak 1950, BW, NBW, UPICC maupun RUU kontrak (ELIPS) mempunyai kesamaan yaitu adanya ‘ancaman yang bersifat melanggar hukum, sehingga menggerakkan pihak lain untuk bersepakat karena terpaksa;
b. Mengenai pengaruh tidak berpatuta (Undeu infleunce), BW belum mengatur, NBW mengelompokannya ke dalam misbruik van omstandigheden , UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) mengelompokannya ke dalam gros disparity (perbedaan yag mencolok), degan substansi dasar yang hampir sama adanya “perbedaan kedudukan, posisi, kesepatan yang memengaruhi penetuan kehendak para pihak (kesepakata);
c. Mengenai frod/tipuan (fraud), pasal 17 mengkualifikasi 5 perbuatan yang termasuk frod, apabila seseorang :
1) Menyatakan suatu fakta benar, sementara ia tahu bahwa itu benar.
2) Menyembuntikan suatu fakta yang seharusnya diberitahukan kepada pihak lain;
3) Berjanji tetapi tidak ada niat untuk memenuhi janjinya.
4) Melakukan perbuatan yang memperdaya dengan tujuan menipu;
5) Melakukan perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai penipuan.
d. Mengenai salahnyataan (misrepresentation), menurut Pasal 18 terdapat salahnyataan, apabila :
1) Informasi, yang disampaikan salah satu pihak dianggap benar, tetapi ternyata tidak benar dan menrugikan pihak lain;
2) Salah satu pihak tanpa niat menipu, namun apa yang dilakukan merupakan pelanggaran kewajiban dan menguntungkan dirinya, sebaliknya merugikan pihak lain.
3) Salah satu pihak tanpa niat menipu, melakukan kekhilafan mengenai benda yang menjadi objek kontrak secara tidak sesuai dengan keadaan sebelumnya.
4) Mengeai khilaf atau keseatan (mistake), dalam BW keseatan harus mengenai “hakikat benda dan orangnya” (vide Pasal 1522), NBW terdapat keseatana apabila pihak lawan keliru dalam memberikan penjelasan tidak memberi penjelasan, atau keseatana kedua pihak.
​Dengan demikian, pula kontrak komerial yang lahir karena bertemunya dua unsur pokok, yaitu penawaran dan penerimaan, pada umumnya diasumsikan berlangsung secara fair. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara pernyataan kehendak, maka kontrak tersebut dapat diajukan pembatalan oleh pihak yang dirugikan. Kekhawatiran mengenai pertukaran hak dan kewajiban yang tidak berlangsung secara fair, pada dasarnya dapat diatas melalui pengujian terhdap doktrin cacat kehendak dalam pembentukan kontrak.





















RINGKASAN BAB 4
PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS
DALAM PELAKSANAAN
KONTRAK KOMERSIAL

1. Penentuan Isi Kontrak
Penentuan isi kontrak hendaknya dibedakan dengan kausa (tujuan) kontrak. Kausa kontrak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 BW syarat 4 dihubungkan dengan Pasal 1335 jo. 1337 BW, diartikan sebagai tujuan bersama yang hendak dicapai para pihak dalam hubungan kontraktual yang mereka buat. Sedangkan isi kontrak terkait dengan penentuan sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual para pihak (terkait dengan substansi hak dan kewajiban yang saling dipertukarkan oleh para pihak).
Terkait isi kontrak, kepustakaan hukum kontrak membaginya dalam beberapa unsur, yaitu:1
a. Unsur Esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak.
b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan-peraturan yang bersifat mengatur, namun demikian dapat disimpangi para pihak.
c. Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal undang- undang tidak mengaturnya.
Untuk mengetahui sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual Niewenhuis2 menekankan pada dua aspek utama, yaitu :
a. Interpretasi (penafsiran;uitleg) terhadap sifat serta luasnya hak dan kewajiban kontraktual; dan
b. Factor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat serta luasnya hak dan kewajiban kontraktual, meliputi :
(i) Faktor otonom (terkait daya mengikatnya kontrak);
(ii) Faktor heteronom (faktor-faktor yang berasal dari luar para pihak), terdiri dari :
- Undang-undang;
- Kebiasaan (gebruik);
- Syarat yang biasa diperjanjikan (bestandig gebruikelijk beding); dan
- Kepatutan (billijkheid).

Rumusan Pasal 1339 BW tegas mengatur bahwa selain keterikatan kontraktual bersumber dari apa yang telah disepakati oleh para pihak (factor otonom), juga perlu diperhatikan factor-faktor lain (factor heteronom).
Dalam UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) substansi semacam ini diatur dalam Bab V tentang Isi (Content), Pasal 5.1 dan 5.2 mengenai kewajiban kontraktual, baik yang tersurat (express obligation) maupun tersirat (implied obligation). Pasal 2.1 menyatakan bahwa, “ kewajiban kontraktual dari para pihak dapat dinyatakan secara tersurat atau tersirat.”
Pasal 2.2 menegaskan bahwa kewajiban kontraktual yang tersirat bersumber dari :
a. Sifat dan tujuan kontrak tersebut .
b. Praktik-praktik yang ditentukan antara para pihak (terkait dengan kebiasaan).
c. Iktikad baik dan perlakuan adil.
d. Kewajaran.
Isi kandungan kontrak dapat dilihat dari dua hal, yaitu kewajiban (obligasi) kontrak dari term yang nyata (express obligation) dan yag disiratkan (implied obligation).
Sedangkan term tersirat adalah ketentuan di luar kehendak para pihak dan ditafsirkan oleh pengadilan dengan mendasarkan pada:
a. Kelaziman perdagangan atau pasaran, dengan syarat adat atau kelaziman sedemikian mestilah terkenal, tepat serta tidak melanggar undang-undang (terkait kebiasaan);
b. Term tersirat secara nyata (mirip dengan ‘syarat yang biasanya diperjanjikan’);
c. Penyiratan terma secara undang-undang (telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga pengadilan tidak perlu melakukan penafsiran dalam penyerapan).
Ditarik kesimpulan bahwa factor yang menentukan isi kontrak adalah kehendak para pihak sebagai factor primer (otonom), serta factor-faktor lain (heteronom) meliputi ; kebiasaan, undang-undang, kepatutan dan keadilan.


2. Interpretasi Isi Kontrak
Isi kontrak terutama ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh para pihak. Dengan menafsirkan pernyataan-pernyataan tertentu, dalam hal ini untuk menentukan maknanya, akan jelas terhadap apa para pihak mengikatkan diri. Mengapa penafsiran diperlukan, fakta di lapangan memberikan pelajaran berharga, betapa banyak sengketa (i.c. sengketa komersial) justru muncul ketika pelaksanaan kontrak.
Ada dua kemungkinan yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan makna pernyataan-pernyataan tersebut, yaitu :
a. Maksud yang melandasi pernyataan ; dan
b. Istilah-istilah yang digunakan dalam pernyataan.
​Instrument penting untuk menemukan makna pernyataan –pernyataan dalam hubungan kontraktual para pihak, khususnya kontrak komersial, adalah melalui “interpretasi”. Hal ini karena isi kontrak yang memuat pernyataan-pernyataan tersebut umumnya dituangkan dalam bentuk bahasa (tertulis).
​Interpretasi merupakan sebuah metode untuk mencari atau menemukan makna yang hakiki (sesungguhnya) dari suatu ketentuan, peraturan, pernyataan, dan lain-lain. Suatu interpretasi yang jelas akan berfungsi sebagai rekonstruksi cita hukum yang tersembunyi. Pendek kata interpretasi bertujuan “mencari yang tersirat dari yang tersurat”, namun upaya ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan setiap orang, terlebih mereka yang awam hukum. Menurut Corbin, interpretasi kontrak adalah proses dimana seseorang memberikan makna terhadap suatu symbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain (baik berupa bahasa oral, tulisan, maupun perbuatan).
Interpretasi kontrak ini harus dibedakan dengan konstruksi kontrak.
Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat hukum yang timbul karenanya.
Prosedur sederhana yang dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan pernyataan-pernyataan para pihak , terkait “maksud” maupun “peristilahan” yang digunakan, adalah sebagai berikut:
- Pertama, gambaran para pihak berkenaan dengan hak dan kewajiban, kata-kata dalam pernyataan tidak penting. Berarti interpretasi didasarkan pada “maksud” para pihak mengenai penggunaan istilah-istilah dalam kontrak yang mereka buat.
- Kedua, apabila gambaran yang berkenaan dengan hak dan kewajiban tidak dapat ditunjukkan, artinya para pihak tidak sama pemahaman dan pengertiannya terhadap “peristilahan” yang digunakan, maka pernyataan ditentukan oleh kepercayaan yang wajar dari pernyataan tersebut.
Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 BW. Pasal-pasal tersebut memuat sepuluh prinsip interpretasi kontrak, yaitu :
a. Jika kata-kata dalam kontrak jelas , tidak diperkenankan menyimpanginya dengan jalan interpretasi.
b. Jika kata-kata suatu kontrak mengandung multiinterpretasi, maka maksud para pihak lebih diutamakan daripada kata-kata dalam kontrak (vide Pasal 1343 BW)
c. Jika suatu kontrak dapat diberi dua makna, maka dipilih makna yang memungkinkan untuk dilaksanakan (vide Pasal 1344 BW);
d. Jika kata dalam suatu kontrak bermakna ganda, makaharus dipilih makna yang paling sesuai dengan sifat kontraknya (vide Pasal 1346 BW );
e. Jika Perikatan yang mempunyai dua makna, maka pengertianya harus di sesuaikan menurut kebiasaan setempat (vide Pasal 1346 BW ).
f. Syarat-syarat yang selalu di perjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam kontrak ,walaupun tidak ditegaskan dalam kontrak (vide Pasal 1347 BW );
g. Antara satu klausul dengan klausul lainya dalam suatu kontrak diartikan dalam hubungannya satu sama lain ( interprestasi komprehensif-menyeluruh)-(vide Pasal 1348 BW);
h. Jika ada keragu-raguan harus di tafsirkan atas kerugian orang yang minta diperjanjikan sesuatu untuk dirinya, semacam doktrin”contra proferentem”(vide Pasal 1349 BW);
i. Jika kata-kata yang di gunakan untuk menyusunsuatu kontrak mempunyai makna yang meluas,maka harus di interprestasi sebatas hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan para pihak pada saat membuat kontrak(vide Pasal 1350 BW);
j. Jika dalam suatu kontrak terdapat penegasan tentang suatu hal, tindaklah mengurangi atau membatasi daya berlaku kontrak terdapat hal-hal yang tidak ditegaskan dalam kontrak tersebut (vide Pasal 1351 BW).
Arthur S. Harkamp Marianne M.M. Tillema mengemukakan beberapa prinsip umum interprestasi kontrak yang diterima dalam praktik penerapan interprestasi di pengadilan Belanda, yaitu:
a. Maksud para pihak yang harus diuji dari pada sekadar menafsirkan makan literal kata-kata dalam kontrak;
b. Ketentuan-ketentuan kontrak harus dipahami dalam makna”in which it would have any effect rather than in asense in which it would have no effect”;
c. Kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat kontrak;
d. Jika menafsirkan suatu kontrak harus memperhatikan aspek regional,lokal, professional, dan kebiasaan;
e. Terkait dengan klausul baku dalam kontrak konsumen berlaku doktrin contra proferentem;
f. Syarat-syarat umum yang tertulis atau ketika tambahan yang dicetak mengesampikan persyaratan yang dicetak; dan
g. Penerapan suatu argumentum a-contrario harus di lakukan dengan hati-hati

UPICC dan RUU kontrak (ELIPS),dalam sistematika IV tentang
penafsiran(interpretation), pasal 4.1-4.8, mengenai interpretasi kontrak diatur sebagai
berikut:
a. Interpretasi berdasarkan maksud para pihak (vide pasal 4.1);
b. Interpretasi berdasarkan pernyataan dan perilaku lainnya(vide pasal 4.2);
c. Interpretasi berdasarkan keadaan yang relevan, meliputi perundingan pendahuluan, praktik-praktik yang telah ditetapkan para pihak, perilaku para pihak sebagai tindak lanjut dari pembentukan kontrak tersebut, serta sifat dan tujuan kontrak (vide pasal 4.3);
d. Interpretasi berdasarkan istilah dan ungkapan dari sudut pandang keseluruhan kontrak (vide pasal 4.4);
e. Interpretasi berdasarkan semua istilah yang digunakan para pihak dalam kontrak tersebut (vide pasal 4.5);
f. Interpretasi berdasarkan doktrin contra proferentem(vide pasal 4.6);
g. Interpretasi berdasarkan versi bahasa dimana kontrak itu pertama dibuat,dalam hal terdapat dua atau lebih versi bahasa kontrak (vide pasal 4.7); dan
h. Interpretasi dengan memasukan syarat yang belum tercantum, apabila terdapat perbedaan mengenai hak dan kewajiban kontraktual, dengan memperhatikan maksud para pihak, sifat dan tujuan kontrak,iktikad baik dan transaksi jujur,serta kewajaran (vide pasal 4.8);

Dalam akta kontrak 1950, interpretasi sama sekali tidak disinggung, namun demikian
praktik pengadilan(khususnya untuk kontrak konsumen)menerapkan dua teknik utama
untuk melakukan interpretasi terhadapat klausul kontrak yang bersifat membatasi,
mengecualikan tanggung gugat yaitu:
a. Teknik pemasukan (incorporation), dengan jalan memasukkan klausul tersebut sebagai term(ketentuan)dalam kontrak.
b. Teknik interpretasi tegas (contra proferentem),di maksud untuk memberikan perlindungan kepada pengguna (konsumen).
3. Pelaksanaan Kewajiban Kontraktual
​ Dalam hukum kontrak, prestasi diartikan sebagai “ apa yang wajib dilakukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan yang telah di buat .”
Sebagaimana dipahami bahwa pemenuhan prestasi oleh debitur atau pihak lain (kodebitur,borg,atau pihak ketiga lainnya)akan membesakan debitur dan menghapus perikatan yang dimaksud.
Dalam konteks BW pemenuhan prestasi selain didasarkan pada kebebasan para pihak yang berkontrak juga di batasi pada syarat-syarat sahnya kontrak.
pasal 1234 BW menyebutkan bahwa prestasi meliputi tiga hal,yaitu:
a. Memberikan sesuatu,perikatan dengan prestasi untuk memberikan sesuatu apabila prestasi berwujud menyerahkan suatu barang atau memberikan kenikmatan atas suatu benda (missal: kontrak jual beli; kontrak sewa-menyewa).
b. Berbuat sesuatu, setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan menyerahkan suatu barang atau kenikamatan atas suatu benda (misal: kontrak pemborongan; kontrak jasa kontruksi), atau
c. Tidak berbuat sesuatu , setiap prestasi untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu(missal; dalam klausul kontrak distribusi ada syarat bagi pihak distributor untuk tidak memasarkqn produk X di wilayah jawa timur).

Pemenuhan prestasi sebagai perwujudan pelaksaan kewajiban kontruktual selain di tentukan oleh aktor otonom(apa yang di tentukan para pihak dalam kontrak).juga ditentukan oleh faktor di luar para pihak (factor heteronom).
Faktor-faktor yang menentukan isi kontrak tersebut(factor otonom dan factor heteronom).

​3.1 Faktor Otonom
​Factor otonom atau di kenal dengan “otonomi para pihak “(partij outonomie) merupakan factor utama atau” factor penentu primer”dalam menentukan isi kontrak, artinya sifat serta luasnya hak dan kewajiban para pihak yang berkontrak dapat dilihat pada apa yang di sepakati mereka.
Landasan pemikiran bahwa factor otonom merupakan factor penentu primer yang bersumber pada diri para pihak,sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338(1) BW,
Secara a-contrario muatan materi pasal 1339 BW dapat disimpulkan telah memberi penegasan bahwa:
 Pertama, kontrak itu mengikat para pihak karena para pihak secara tegas memperjanjikannya sesuai dengan otonom para pihak (factor otonom – factor penentu primer);
 Kedua , selain itu kekuatan mengikat kontrak juga didasarkan pada sifat kontrak, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang (factor otonom – factor penentu subsidair);
Pasal 1338(2)BW, yang menyatakan bahwa :”kontrak itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang di tentukan oleh undang-undang
Penarikan kembali kontrak yang telah dibuat oleh para pihak hanya dapat dilakukan. Melalui :
a. Kesepakatan para pihak untuk manarik kembali apa yang telah disepakati; atau
b. Undang-undang yang bersifat memaksa (dwingend recht).
​Bahkan apabila dianalisis secara mendalam ternyata rumusan pasal 1338(3)BW yang menyatakan bahwa:”kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik”,justru dimaksudkan untuk memberikan penegasan mengenai daya mengikatnya kontrak yang didasarkan pada otonomi para pihak.


3.2 Faktor Heteronom
​​​Factor heteronom merupakan factor yang bersumber dari luar para pihak. Faktor heteronom merupakan”factor penentu subsidair” yang menempati hierarki atau urutan setelah faktor otonom untuk meningkatkan daya pengikatnya kontrak.
Faktor heteronom dapat ditelusuri pada rumusan pasal 1339BW.
Sementara itu, pasal lain yang dapat di rujuk untuk mengelaborasi faktor heteronom dalam kontrak yaitu pasal 1347 BW,yang menyatakan ,”syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap tealah teramsuk dalam kontrak,walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam kontrak”.

Oleh karena itu tepat kiranya, apabila kedua pasal tersebut ditempatkan sebagai faktor heteronom(faktor penentu subsidair) yang menentukan daya pengikatnya suatu kontrak.
faktor heteronom yang merupakan faktor penentu subsidair untuk menentukan mengikatnya suatu kontrak, terdiri dari:
1) Syarat yang biasa di perjanjikan(bestanding gebruikelijk beding);
2) Kepatutan;
3) Kebiasaan; dan
4) Undang-undang

​​3.2.1 Undang-Undangn
​​Ada beberapa pasal dalam buku III BW yang materi muatanya bersifat memaksa, antara lain pasal 1320,1335,1337, dan 1339 BW. Melalui aturan yang bersifat memaksa tersebut, undang-undang membatasi otonom para pihak. Artinya, dalam mencipta hubungan kontraktualnya, para pihak tidak dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat memaksa.
Meskipun undang-undang merupakan faktor heteronom terkait dengan daya mengikatnya kontrak, namun mempunyai pengaruh terhadap eksistensi kontrak dalam dua aspek yaitu :

a. Undang-undang bersifat memaksa(dwingend recht).
Terhadapat ketentuan undang-undangyang bersifat memaksa, otonomi para pihak(faktoro tonom)harus tunduk.
b. Undang-undang bersifat menambah atau melengkapi(aanvullend recht).
Sesuai dengan sifatnya yang menambah atau melengkapi,apabila berhadapan dengan ‘syarat yang biasa di perjanjikan atau kebiasa,maka undang-undang harus mengalah.

​​3.2.2 Kebiasaan
​​Menurut Niewenhuis, kebiasaan bermakna cara atau tingkah laku yang umum diikuti dalam pelaksanaan suatu jenis kontrak tertentu di dalam wilayah atau bidang usaha tertentu.
​​Menurut Scholten, pada umumnya orang beranggapan,bahwa kata-kata dari suatu kesanggupan harus ditafsirkan sedemikian rupa seperti yang’dapat dan mungkin’ diterima oleh orang kepada siapa kesanggupan itu di tunjukan.

​​Menurut Pitlo, kebiasaan dapat menyangkut tingkah laku semua anggota masyarakat(kebiasaan umum-algemenegewoonte),tetapi yang lebih sering adalah menyangkut tingkah laku daripada person-person yang tergolong suatu kelompok tertentu(i.c.kelompok yang dipersatukan oleh suatu cabang perniagaan atau perusahaan).daya mengikat kontrak yang bersumber dari kebiasaan, terletak pada landasan keyakinan person-person di dalam lingkungan di mana ia berlaku, bagi mereka kebiasaan itu adalah sumber hukum yang harus di patuhi.

​3.2.3 Syarat Yang Biasa Diperjanjikan(Bestanding Gebruikelijk Beding)
​​
​​Menurut Rutten, perbedaan antara syarat yang biasa diperjanjikan’ dan kebiasaan, sebagai berikut:
​​“kebiasaan dapat dilukiskan sebagai garis tingkah laku, dimana setelah di buatnya semacam perjanjian-perjanjian tertentu telah biasa untuk terus diikuti,sedangkan janji yang biasanya diadakan adalah suatu janji bahwa orang dalam membuat perjanjian tertentu telah biasa diadakan.”

Dengan demikian’syarat yang biasa diperjanjikan’ sebagai salah satu elemen faktor heteronom menempati hierarki lebih tinggi dibandingkan undang-undang yang bersifat menambah (aanvullend), kebiasaan maupun kepatutan.

3.2.4 Kepatutan

​Kepatutan (billijkheid) pada umumnya ditempatkan sebagai sumber perikatan tersendiri.kepatutan sebagai pedoman dalam hal terjadi perbedaan antara undang-undangyang bersifat menambah dengan kebiasaan atau ‘syarat yang bias di perjanjikan’.
​Dalam penerapannya kepatutan acap kali di sandingkan dengan iktikad baik, artinya daya mengikatnya kontrak diukur pada adanya keselarasan antara kepatutan dan iktikad baik.

Hoge Raad memperkuat pandangan adanya hubungan antara iktikad baik dan kepatutan tersebut melalui keputusannya tanggal 9 februari 1923, NJ.1923,hlm.676 dan putusan tanggal 11 januari 1924, bahwa hakim setelah menguji berdasarkan kepatutan suatu kontrak,ternyata tidak dapat dilaksanakan(hal ini terkait dengan pelaksanaan kontrak dengan iktikad baik), maka berarti kontrak tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.”

Dengan demikian, penerapan berbagai faktor yang menentukan daya mengikatnya kontrak (isi perjanjian)dapat di tentukan menurut hierarki atau urutan, sebagai berikut :

a. Pertama, isi kontrak ditentukan berdasarkan faktor otonom (otonom(otonomi para pihak), kecuali apabila berhadapan dengan undang-undang yang bersifat memaksa, maka faktor otonomharus mengalah.
b. Kedua, isi perjanjian ditentukan bedasarkan faktor heteronom,dengan urutan:
1) Syarat yang biasa din perjanjikan (bestanding gebruikelijk beding);
2) Kebiasaan
3) Undang-undang yang bersifat menambah atau melengkapi (aanvullend recht);
4) Kepatutan, dengan catatan apabila mengikuti pola pikir NBW maka kepatutan ditemukan secara sejajar dengan undang-undang yang bersifat memaksa (vide pasal 6:2 NBW).




















Hubungan antara asas proporsionalitas dengan asas-asas pokok hukum kontrak

Merujuk pada kasus Riggs vs palmer (kasus Elmer) pengadilan New York, Dworkin memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud asas atau principle. Moral kasus tersebut bahwa seseorang yang memperoleh wasiat (Elmer) yang kemudian membunuh si pewaris adalah tidak layak untuk menerima harta waris. Meskipun pengadilan New York mempunyai pendirian positivistis, namun putusan itu tidak didasarkan pada aturan, melainkan atas principle atau asas, yaitu ‘seseorang tidak boelh menikmati dari hasil kesalahannya.’
Niewenhuis dalam disertasinya yang berjudul Drie Beginselen van Contractenrecht, yaitu menyebut tiga asas dalam hukum kontrak, yaitu : (i) autonomie-beginsel (asas otonomi); (ii) vertrouwensbeginsel (asas kepercayaan); (iii) causa-beginsel (asas kausa). Sementara itu dalam bukunya yang lain dengan judul “Hoofdstukken Verbintennissenrecht” (pokok-pokok hukum perikatan), Niewenhuis menyebut tiga asas hukum kontrak dan perkecualiannya, yaitu :
a. Asas kebebasan berkontrak (menurut bentuk dan isi) dengan perkecualian kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk) dan syarat kausa yang diperbolehkan (isi) ;
b. Asas daya mengikat kontrak (perkecualian : daya pembatas itikad baik dan overmacht); dan
c. Asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara para phak yang berkontrak (perkecualian janji demi kepentingan pihak ketiga).

Dalam perspektif NBW Arthur S. Hartkamo dan Marianne M. M. Tillema, mengemukakan tiga prinsip dasar hukum kontrak di Belanda, yaitu :
a. The binding force of contract, bahwa kontrak tidak hanya mengikat para pihak untuk apa yang disepakati secara tegas, namun juga apabila menurut sifatnya, ditentukan oleh undang-undang, kebiasaan dan kepatutan (prinsip daya mengikat kontrak – sebagaimana tersimpul dari subtansi pasal 6 : 248 ayat 1 NBW) ;
b. The principle of freedom of contract, bahwa para pihak bebas untuk mengikatkan diri dengan; (1) pihak manapun; (ii) isi atau subtansi’; (iii) bentuk atau formatnya, (iv) hukum yang berlaku bagi mereka.
c. The principle of consensualism, kontrak didasarkan pada kesepakatan para pihak, dengan bentuk atau format apapun (vide pasal 3:37 ayat 1 NBW).
M. Isnaeni menyebutkan beberapa asas sebagai tiang penyangga hukum kontrak, yaitu asas kebebasan berkontrak yang berdiri sejajar dengan asas-asas lain berdasar proporsi berimbang, yaitu :
a. Asas pacta sunt servenda ;
b. Asas kesederajatan ;
c. Asas privity of contract ;
d. Asas konsensualisme, dan
e. Asas itikad baik.


Dalam seminar tentang Reformasi kitab undang-undang hukum perdata yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1981 dinyatakan bahwa undang-undang kontrak yang baru akan dibuat berlandaskan pada asas-asas berikut :
a. Asas kebebasan untuk mengadakan kontrak ;
b. Asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah ;
c. Asas iktikad baik ;
d. Asas keselarasan ;
e. Asas kesusilaan ;
f. Asas kepentingan umum ;
g. Asas kepastian hukum ;
h. Asas pacta sunt servenda.
Dari berbagai asas hukum yang terdapat dalam hukum kontrak terdapat empat asas yang dianggap sebagai saka guru hukum kontrak, yaitu :
a. Asas kebebasan berkontrak ;
b. Asas konsensualisme ;
c. Asas pacta sunt servenda;
d. Asas iktikad baik.

Menurut hukum individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu didalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas berkontrak.
Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum (I.c.Buku III BW) memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya.
-----
Buku II BW yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II BW tersebut.

Pasal 1338 (a) BW yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia igin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu :
a. Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak;
b. Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden atau undue influence).
Sebagai suatu kesatuan yang bualt dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari subtansi pasal 1338 (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, yaitu :
a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak).
b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa kausa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.
c. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
d. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
e. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
f. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (bestanding gebruiklijk beding)

Kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak ;
b. Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa ;
c. Tidak mengandung kausa palsu atau dialrang undang-undang ;
d. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum,
e. Harus melaksanakan dengan iktikad baik.

Asas konsensualisme.
Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.
Asas konsensualisme terdapat dalam pasal 1320 jo.1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 BW (angka 1) –kesepakatan- dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatany sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi tiga hal yaitu :
a. Kesesatan atau dwaling.
b. Penipuan atau bedrog.
c. Paksaan atau dwang.

Asas daya mengikat kontrak (Pacta Sunt Servenda)
a. Asas daya mengikat kontrak (the binding force of contract) dipahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual (i.c. terkait isi perjanjian – prestasi) yang harus dilaksanakan para pihak. Jadi pertama-tama makna daya mengikat kontrak tertuju pada isi atau prestasi kontraktualnya.
b. Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servenda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.
c. Asas Pacta sunt servenda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mnegikat kontrak.
d. Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khususnya di-commonlaw, disebut dengan “privity of contract”
Dalam persepektik BW daya mengikat kontrak dapat dicermati dalam rumusan pasal 1338 (1) BW menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang begi mereka yang membuanya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang.

Perkembangan asas pacta sunt servanda dapat diteluuri dari sumber Hukum Kanonik. Dalam Hukum Kanonik dikenal asas nudus consesus obligat, pacta nuda servanda sunt. Pacta nuda sunt servanda mempunyai pengertian bahwa suatu pac-tum (persesuaian kehendak) tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu.
Penerapan asas ini oleh Mahkamah Agung RI dapat dicermati dalam putusan tanggal 22 Juli 1972 No.289K/Sip/1972, dengan pertimbangan “besarnya suku bunga pinjaman adalah sebagaimana yang diperjanjikan.” Selanjutnya dalam putusan tanggal 7 Oktober 1972 No.401K/Sip/1972, dengan pertimbangan “…sesuai dengan yurispridensi Mahkamah Agung perihal bunga utang,maka berapa pun besarnya bunga, asal sudah diperjanjikan harus dipenuhi”.

Asas iktikad baik
Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian harus dilaksnakan dengan iktikad baik”. Pengaturan pasal 1338 (3) BW yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik (contractus bonafidei – kontrak berdasarkan iktikad baik). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatututan dan keadilan.
Pasal 1338 (3) BW tersebut diatas, pada umumnya selalu dihubungkan dengan pasal 1339 BW, bahwa “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”. Keadilan yang dimaksud disini adalah iktikad baik.
Pengertian iktikad baik menurut pasal 1963 BW adalah kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia mengira bahwa syarat-syaraty diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi.
Dalam simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), iktikad baik hendaknya diartikan sebagai :
a. Kejujuran pada waktu membuat kontrak ;
b. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya);
c. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.

3 komentar:

  1. kok mirip dengan Buku Hukum Perjanjian karangan Prof. Agus Yudha dari Universitas Airlangga yaaaa

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. apakah anda tau mengenai isi dari perkara HR 21 Desember 1933, NJ 1934, 368 Bosch v Maren? terima kasih..

    BalasHapus