PENGAKUAN HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN
Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan monumental dalam ranah hukum keluarga atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan Machica Mochtar, artis yang menikah secara siri dengan Moerdiono. Machica menuntut agar pasal 2
ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya.
Meskipun negara selama ini telah mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi namun ternyata pada tataran praktik masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dengan berbagai alasan. Pemenuhan persyaratan administratif perkawinan termasuk finansial terkesan masih dirasa membebani oleh sebagian orang untuk melakukan pencatatan. Belum lagi, masih terdapatnya praktik masyarakat yang mengawinkan anaknya di bawah umur yang diperbolehkan oleh undang-undang, yaitu belum berumur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.
Selain itu, banyak pria yang terganjal untuk melakukan pencatatan perkawinan karena ia masih terikat perkawinan dengan orang lain dan harus mendapat izin menikah terlebih dahulu dari pengadilan padahal isteri pertama tidak menyetujui rencana suaminya untuk berpoligami serta ketiadaan syarat alternatif yaitu: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan (pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan).
Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara meskipun perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya. Tatkala salah satu pihak yang terikat perkawinan melakukan tindakan wanprestasi maka pihak yang merasa dirugikan akan kesulitan mengajukan gugatan karena ketiadaan akta autentik untuk membuktikan adanya ikatan perkawinan.
Masalah krusial lain dalam hukum keluarga adalah status hak keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Aturan ini dirasa tidak adil bagi kepentingan anak. Sebab seorang anak yang tidak berbuat dosa harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh orang tuanya, padahal pria yang menyebabkan kelahiran anak tersebut terbebas dari kewajiban hukum untuk memelihara, mendidik dan memberikan perlindungan yang seharusnya diberikan orang tua kepada anak.
Dengan melakukan pemahaman secara a contrario terhadap pengertian anak sah sebagaimana tercantum dalam pasal 42 Undang-undang Perkawinan maka anak luar kawin (anak tidak sah) dapat diartikan sebagai anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada tataran praktik, misalnya dapat dilihat pada anak yang lahir akibat hubungan seks bebas dan pemerkosaan.
Selain peniadaan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah dan keluarga ayahnya, anak luar kawin terkadang masih mendapat stigma negatif masyarakat. Istilah 'anak haram' dan lainnya yang sering disematkan sebagian orang kepada anak luar kawin dinilai sebagai sanksi sosial tanpa dasar karena sang anak tidak bersalah dan tidak pernah berharap dilahirkan dari orang tua yang tidak memiliki ikatan perkawinan.
AKIBAT PUTUSAN MK
Putusan MK yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai status keperdataan anak luar kawin sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Putusan MK tersebut tentu akan berakibat pada perombakan hukum keluarga di Indonesia secara signifikan. Hukum positif selama ini menempatkan status hukum anak luar kawin berbeda dengan anak sah. Anak luar kawin diperlakukan secara berbeda karena hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang berarti tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah maupun keluarga ayahnya.
Perubahan status hak keperdataan anak luar kawin menimbulkan beberapa akibat hukum. Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah terikat perkawinan dengan orang lain.
Penghapusan perlakuan diskriminatif terhadap anak luar kawin tentu akan memberikan nilai kebaikan bagi masa depan anak. Kewajiban alimentasi yang selama ini hanya dipikul sendirian oleh seorang ibu kini berganti dipikul bersama seorang laki-laki sebagai ayah yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dengan sang anak. Jika seorang ayah melalaikan kewajiban terhadap anaknya maka konsekuensi hukumnya ia dapat digugat ke pengadilan. Pendek kata, kebaikan masa depan anak luar kawin menjadi lebih terjamin dan dilindungi oleh hukum.
Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah, anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya saja. Kemudian dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, "anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya".
Putusan MK mengenai status hak keperdataan anak luar kawin merupakan suatu ijtihad revolusioner karena selama ini dipahami dalam konsep fiqh dan praktik hukum dalam peradilan agama, anak luar kawin tidak memiliki hak saling mewaris dengan ayahnya karena ketiadaan nasab yang sah. Dengan putusan MK ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
Sumber : Alamsyah, Pengakuan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin, http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuan-hak-keperdataan-anak-luar-kawin, diakses pada hari selasa tanggal 8 november 2011,11:00
29/04/13
27/04/13
Pewarisan Secara Lompat Tangan
Arti Pewarisan Secara Lompat Tangan
Pertanyaannya, pasal 879 KUH Perdata dengan tegas melarang pengangkatan waris secara "lompat tangan", nah maksud dari lompat tangan tersebut apa ya? Dan di dalam fidei commis ada tiga pihak, yaitu pewaris, penerima beban, pihak ketiga yaitu penunggu, maksud dari penerima beban dan pihak ketiga sebagai penunggu juga apa ya? Untuk sementara pertanyaannya itu dulu.
SOFIAN H
Jawaban:
1. Memang benar, menurut J. Satrio dalam buku “Hukum Waris” (hal. 210),Pasal 879 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan, dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah batal bagi yang diangkat atau si penerima hibah (lihat Pasal 879 ayat [2] KUHPer).
Dari rumusan Pasal 879 ayat (2) KUHPer, J. Satrio merumuskan definisifidei commis atau pewarisan secara lompat tangan sebagai: “suatu ketetapan dalam surat wasiat, dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pewaris, atau sebagian daripadanya – termasuk para penerima hak daripada mereka, berkewajiban untuk menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima, menyampaikan/menyerahkannya kepada seorang ketiga.”
Jadi, pada dasarnya fidei commis adalah suatu suatu ketentuan dalam surat wasiat yang mensyaratkan bahwa penerima harta pewaris berkewajiban untuk menyimpan harta pewaris sampai jangka waktu tertentu atau sampai matinya penerima harta tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada orang ketiga. Pewarisan dengan cara ini mengakibatkan penerima harta pewaris tidak dapat menggunakan harta tersebut, ia hanya berkewajiban untuk menyimpan dan di kemudian hari menyerahkannya kepada orang ketiga.
2. Selain itu, Anda juga benar bahwa dalam fidei commis terdapat tiga pihak, dijelaskan oleh J. Satrio (hal. 211) bahwa ketiga pihak tersebut adalah:Pewaris, Pemikul Beban dan Penunggu. Yang dimaksud dengan Pemikul Beban atau bezwaarde adalah orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan tugas/kewajiban menyimpan barang dari pewaris dan menyampaikannya keada pihak ketiga. Sedangkan yang dimaksud denganPenunggu atau verwachter adalah orang yang akan menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde/pemikul beban.
Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
24/04/13
HAK WARIS ANAK ANGKAT (ADOPSI) TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN HUKUM PERDATA
HAK WARIS ANAK ANGKAT (ADOPSI) TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK/BW)
Abstract: The rise of child adoption in Indonesia because at realize it would be so great expectations of parents on the baby and the love that can be made in a hope for the future. but not all parents are fortunate given the baby, then from there it was among those who raised children. So we can say that there is legal controversy adoption before the view of the scholars, but the actual removal of the child are allowed if there is a good purpose so that their future can be distinguished in an adopted child welfare and no inheritance rights mensia adopted child neglect against the estate are listed in Article 209 in the compilation of Islamic law are: "Children who are not adopted will receive but given was borrowed as much as 1/3 of the estate adoptive parents"
Keywoord: KHI (Komplikasi Hukum Islam ), BW (Burgerlijk Wetboek), Waris Wajibah.
Pendahuluan
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua, utamanya adalah ayah dan ibu, Namun demikian, tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada Hubungan Sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata yang berlaku dalam mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat (Muderis Zaini,2006:31). Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses Taqribi Bainal Ummah dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, Disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu, kekurangan yang tak kunjung henti-henti sehingga menjadi terlantar atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang kian marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya, baik secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum kewarisan disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan, istilah yang sesuai untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pada syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian tertentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur’an, bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum Allah yang tercantum dalam ayat suci al-qur’an dan kitab-kitab suci yang terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul Allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada hukum Allah dan hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling “memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum (Syara’) yang lain.
Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai mujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu.
Adapun Hadits Rasul yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar “Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261), Indonesia merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai Negara Hukum, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berasas personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia yang di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam, walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab- kitab klasik bahkan undang- undang mesir dan siria pun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat atau istidlal hal ini karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh di tinggalkan dalam penemuan hukum Islam, terutama hal- hal yang tidak di atur secara jelas dalam nas syara’.
Dengan demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan pemahaman petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sedangkan dalam Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang di buat oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah ( terminologi) para ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah perbuatan yang berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si peninggal waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih hidup sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di bagikan kepada ahli waris.
Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua macam, yaitu :
- Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau abintestato
- Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan (suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau keturunannya serta suami atau istri.
Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini menjadi 4 (empat) golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Mereka diklasifikasikan sebagai berikut:
Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP terdiri dari:
Ø Anak atau keturunannya
Ø Suami atau istri
Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP terdiri dari:
Ø Orang tua, yaitu bapak atau ibu
Ø Saudara-saudara atau keturunannya
Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri dari:
Ø Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas
Ø Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
Ø Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP.
Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan urutan penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama tidak ada maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada, menurut pasal 832 BW maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan Negara wajib melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang mencukupi untuk itu.
Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara, kakek, nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau ahli waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta warisan akan jatuh hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu serta saudara tidak mendapat bagian, dan begitu seterusnya menurut urutan golongan tersebut di atas.
Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak pantas menerima wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838, 839 dan 840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli waris menurut wasiat.
Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
· Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
· Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5 tahun lamanya atau lebih berat
· Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
· Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan surat wasiat si pewaris
Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
· Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris
· Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris
· Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi:
· Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
· Pembagian harta ini selalu dapat di tuntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
· Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
· Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah berlalu.
Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan warga Negara di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada umumnya mungkin dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari para yang berhak atas warisan itu.
Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang merupakan bagian dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah bermacam-macam yang dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan Tionghoa
· Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam, seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
· Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
· Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia ini sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Tetapi, kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang statusnya disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu, seperti di Sumatera, Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena di Indonesia ini masalah hukum masih memakai produk hukum Belanda dan mempunyai masyarakat yang agamanya berbeda-beda. Maka, walaupun hukum Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap tidak bisa menghilangkan seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan berbeda-beda.
Persamaan Dan Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
a. Persamaan
· Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda.
· Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan dalam pemeliharaan anak angkat.
· Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap anak angkat tersebut.
· Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya. (muderis Zaini,2006: 7)
Analisis penyusun, yang menyebabkan anak angkat sama-sama mendapatkan harta peninggalan, karena di dalam ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai tolong-menolong dan ada perasaan moral yang ditimbulkan, yang disebabkan oleh hubungan timbal-balik dari jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anak angkat terhadap orang tua angkat, baik mengurangi beban moral atau beban pekerjaan.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di seluruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama’ pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan penghayatan para ulam’.
Bertitik tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi Hukum Islam tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena itu, meskipun Hukum Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan mengompromikannya menjadi nilai Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam pasal 171 huruf h dan pasal 209:
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan pengadilan.
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. (Cik Hasan Bisri,2001:67)
Sedangkan dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung sendiri. Dengan demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya.
b. Perbedaan
1. Kompilasi Hukum Islam
- Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung
- Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari harta peninggalan anak angkat
- Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anak angkatnya
- Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam, 2009: 261)
2. Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129
- Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat
- Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan sebagaimana ketentuan Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan bahwa:
“Karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang sedarah”.
Analisis penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129 ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan.
Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke dalam keluarga, sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga abu orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya.
Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum Islam ia mendapat bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada. Hal tersebut dinamakan dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun 1917 No. 129) bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat disamakan dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua angkatnya.
Penutup.
Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan kasih sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai memutuskan hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak yang demikian itu adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada anak angkat tersebut bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi anak pungut dalam artian semua yang menjadi haram bagi anak pungut tersebut tidak berarti haram semua baginya, karena dia boleh mengawini anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram, karena yang demikian itu bukan muhrim baginya.
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut terputus segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang yang tidak boleh, bahkan sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula haram bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak angkat yang disamakan dengan anak kandung. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat tersebut akan menjadi haram. Seperti mengawini anak kandung dari bapak angkatnya.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu pemecahan dan merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang memberi hak dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh warisan dari orang tua angkat. Wasiat wajibah memiliki pengertian sebagai berikut:
a. Wasiat wajibah adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal yaitu:
Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetuuan sipenerima wasiat,
Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
b. Makna wasiat wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat di aggap ada dengan sendirinya.
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181), sedangkan inti ayat ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi wasiat tersebut maka menanggung akibatnya.
Dalam Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat adalah disamakan dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami istri yang mengangkatnya”. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
- Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
- Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
- Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofar, Asyari, 2003, pandangan islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Andes Utama, Jakarta.
Abu Zahra, Muhammad. Tanpa tahun, ushul al-fiqh, Dar al fikr, Beirut.
Ali Afandi, Prof, 2000, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Fathul Wahab, jus II, tt, Bandung.
Al-Bukhari, Abu AbduAllah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari jus III,Dar Ihya al-kutubil-arbiyah, tt, Indonesia.
Alhamdani, HAS, 2000, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta.
Al-Kahlani, Sayyid Imam Muhammad bin Ismail, subulussalam Jilid I, Dahlan, tt, Bandung.
Ash-Shidiq, Hasbi, 2001, Hukumn Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Asy-Sirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Ibnu Yusuf, Al-Faruzabani, Al-Muhazzab jus II, Toha Putra, tt, Semarang.
Azizy, Qodri, A. 2002, Eklestisisme Hukum Islam, Gama Media, Yogyakarta.
Departemen Agama RI, 2001, Al-Qur’an dan terjemahan, Gema Risalah Press, Bandung.
Ensiklopedia Indonesia, 2002, Ikhtiar Baru, Jakarta.
Fathurahman, 1993, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung.
Ibnu Rusyd, Abdul Walid Muhammad Bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga, juss III, tt, Semarang.
Ibnu surah, Abu Isa Muhammad bin Isa, As-Suna at-Turmudzi,Jilid III, Dar al-Fik, tt, Bairut.
Muslim, 2004, Sholeh Mmuslim, Mesir.
Muhammad Jawal Mughniyah, 2007, Perbandingan Lima madzhab, penerjemah Maskur. A.B. afif Muhammad Idrus al-kaff, tt, Lentera.
Muhammad Syaltut, al-fatwaSyari’ah, Darul Kalam, Kairo.
Mukhtar Kamal, 2001, Azas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan bintang, Jakarta.
Sabiq Sayyid, 2002, Fiqhus Sunnah jilid II,cet IV, Dar Al-Fikrit, Bairut.
Sirajuddin, AR, D, 2003, Ensiklopedia Islam, PT. Ikhtiar Baru Van hoeve, Jakarta.
Sudarsono, 2000, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Ranika Cipta, Jakarta.
Subekti, Prof R. Kitaba, 2004, Undang-Undang Perdata (BW), Pradaya Paramita, Jakarta.
Sumber : Aris Nurullah*
http://arisnurullah.blogspot.com/2012/12/hak-waris-anak-angkat-adopsi-terhadap.html
Abstract: The rise of child adoption in Indonesia because at realize it would be so great expectations of parents on the baby and the love that can be made in a hope for the future. but not all parents are fortunate given the baby, then from there it was among those who raised children. So we can say that there is legal controversy adoption before the view of the scholars, but the actual removal of the child are allowed if there is a good purpose so that their future can be distinguished in an adopted child welfare and no inheritance rights mensia adopted child neglect against the estate are listed in Article 209 in the compilation of Islamic law are: "Children who are not adopted will receive but given was borrowed as much as 1/3 of the estate adoptive parents"
Keywoord: KHI (Komplikasi Hukum Islam ), BW (Burgerlijk Wetboek), Waris Wajibah.
Pendahuluan
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua, utamanya adalah ayah dan ibu, Namun demikian, tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada Hubungan Sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata yang berlaku dalam mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat (Muderis Zaini,2006:31). Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses Taqribi Bainal Ummah dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, Disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu, kekurangan yang tak kunjung henti-henti sehingga menjadi terlantar atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang kian marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya, baik secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum kewarisan disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan, istilah yang sesuai untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pada syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian tertentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur’an, bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum Allah yang tercantum dalam ayat suci al-qur’an dan kitab-kitab suci yang terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul Allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada hukum Allah dan hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling “memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum (Syara’) yang lain.
Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai mujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu.
Adapun Hadits Rasul yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar “Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261), Indonesia merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai Negara Hukum, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berasas personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia yang di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam, walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab- kitab klasik bahkan undang- undang mesir dan siria pun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat atau istidlal hal ini karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh di tinggalkan dalam penemuan hukum Islam, terutama hal- hal yang tidak di atur secara jelas dalam nas syara’.
Dengan demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan pemahaman petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sedangkan dalam Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang di buat oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah ( terminologi) para ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah perbuatan yang berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si peninggal waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih hidup sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di bagikan kepada ahli waris.
Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua macam, yaitu :
- Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau abintestato
- Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan (suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau keturunannya serta suami atau istri.
Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini menjadi 4 (empat) golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Mereka diklasifikasikan sebagai berikut:
Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP terdiri dari:
Ø Anak atau keturunannya
Ø Suami atau istri
Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP terdiri dari:
Ø Orang tua, yaitu bapak atau ibu
Ø Saudara-saudara atau keturunannya
Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri dari:
Ø Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas
Ø Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
Ø Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP.
Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan urutan penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama tidak ada maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada, menurut pasal 832 BW maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan Negara wajib melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang mencukupi untuk itu.
Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara, kakek, nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau ahli waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta warisan akan jatuh hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu serta saudara tidak mendapat bagian, dan begitu seterusnya menurut urutan golongan tersebut di atas.
Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak pantas menerima wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838, 839 dan 840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli waris menurut wasiat.
Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
· Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
· Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5 tahun lamanya atau lebih berat
· Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
· Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan surat wasiat si pewaris
Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
· Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris
· Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris
· Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi:
· Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
· Pembagian harta ini selalu dapat di tuntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
· Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
· Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah berlalu.
Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan warga Negara di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada umumnya mungkin dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari para yang berhak atas warisan itu.
Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang merupakan bagian dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah bermacam-macam yang dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan Tionghoa
· Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam, seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
· Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
· Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia ini sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Tetapi, kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang statusnya disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu, seperti di Sumatera, Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena di Indonesia ini masalah hukum masih memakai produk hukum Belanda dan mempunyai masyarakat yang agamanya berbeda-beda. Maka, walaupun hukum Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap tidak bisa menghilangkan seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan berbeda-beda.
Persamaan Dan Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
a. Persamaan
· Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda.
· Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan dalam pemeliharaan anak angkat.
· Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap anak angkat tersebut.
· Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya. (muderis Zaini,2006: 7)
Analisis penyusun, yang menyebabkan anak angkat sama-sama mendapatkan harta peninggalan, karena di dalam ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai tolong-menolong dan ada perasaan moral yang ditimbulkan, yang disebabkan oleh hubungan timbal-balik dari jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anak angkat terhadap orang tua angkat, baik mengurangi beban moral atau beban pekerjaan.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di seluruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama’ pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan penghayatan para ulam’.
Bertitik tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi Hukum Islam tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena itu, meskipun Hukum Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan mengompromikannya menjadi nilai Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam pasal 171 huruf h dan pasal 209:
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan pengadilan.
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. (Cik Hasan Bisri,2001:67)
Sedangkan dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung sendiri. Dengan demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya.
b. Perbedaan
1. Kompilasi Hukum Islam
- Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung
- Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari harta peninggalan anak angkat
- Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anak angkatnya
- Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam, 2009: 261)
2. Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129
- Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat
- Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan sebagaimana ketentuan Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan bahwa:
“Karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang sedarah”.
Analisis penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129 ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan.
Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke dalam keluarga, sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga abu orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya.
Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum Islam ia mendapat bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada. Hal tersebut dinamakan dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun 1917 No. 129) bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat disamakan dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua angkatnya.
Penutup.
Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan kasih sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai memutuskan hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak yang demikian itu adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada anak angkat tersebut bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi anak pungut dalam artian semua yang menjadi haram bagi anak pungut tersebut tidak berarti haram semua baginya, karena dia boleh mengawini anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram, karena yang demikian itu bukan muhrim baginya.
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut terputus segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang yang tidak boleh, bahkan sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula haram bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak angkat yang disamakan dengan anak kandung. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat tersebut akan menjadi haram. Seperti mengawini anak kandung dari bapak angkatnya.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu pemecahan dan merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang memberi hak dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh warisan dari orang tua angkat. Wasiat wajibah memiliki pengertian sebagai berikut:
a. Wasiat wajibah adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal yaitu:
Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetuuan sipenerima wasiat,
Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
b. Makna wasiat wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat di aggap ada dengan sendirinya.
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181), sedangkan inti ayat ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi wasiat tersebut maka menanggung akibatnya.
Dalam Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat adalah disamakan dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami istri yang mengangkatnya”. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
- Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
- Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
- Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofar, Asyari, 2003, pandangan islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Andes Utama, Jakarta.
Abu Zahra, Muhammad. Tanpa tahun, ushul al-fiqh, Dar al fikr, Beirut.
Ali Afandi, Prof, 2000, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Fathul Wahab, jus II, tt, Bandung.
Al-Bukhari, Abu AbduAllah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari jus III,Dar Ihya al-kutubil-arbiyah, tt, Indonesia.
Alhamdani, HAS, 2000, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta.
Al-Kahlani, Sayyid Imam Muhammad bin Ismail, subulussalam Jilid I, Dahlan, tt, Bandung.
Ash-Shidiq, Hasbi, 2001, Hukumn Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Asy-Sirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Ibnu Yusuf, Al-Faruzabani, Al-Muhazzab jus II, Toha Putra, tt, Semarang.
Azizy, Qodri, A. 2002, Eklestisisme Hukum Islam, Gama Media, Yogyakarta.
Departemen Agama RI, 2001, Al-Qur’an dan terjemahan, Gema Risalah Press, Bandung.
Ensiklopedia Indonesia, 2002, Ikhtiar Baru, Jakarta.
Fathurahman, 1993, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung.
Ibnu Rusyd, Abdul Walid Muhammad Bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga, juss III, tt, Semarang.
Ibnu surah, Abu Isa Muhammad bin Isa, As-Suna at-Turmudzi,Jilid III, Dar al-Fik, tt, Bairut.
Muslim, 2004, Sholeh Mmuslim, Mesir.
Muhammad Jawal Mughniyah, 2007, Perbandingan Lima madzhab, penerjemah Maskur. A.B. afif Muhammad Idrus al-kaff, tt, Lentera.
Muhammad Syaltut, al-fatwaSyari’ah, Darul Kalam, Kairo.
Mukhtar Kamal, 2001, Azas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan bintang, Jakarta.
Sabiq Sayyid, 2002, Fiqhus Sunnah jilid II,cet IV, Dar Al-Fikrit, Bairut.
Sirajuddin, AR, D, 2003, Ensiklopedia Islam, PT. Ikhtiar Baru Van hoeve, Jakarta.
Sudarsono, 2000, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Ranika Cipta, Jakarta.
Subekti, Prof R. Kitaba, 2004, Undang-Undang Perdata (BW), Pradaya Paramita, Jakarta.
Sumber : Aris Nurullah*
http://arisnurullah.blogspot.com/2012/12/hak-waris-anak-angkat-adopsi-terhadap.html
Status Anak Hasil Nikah Siri (apakah mendapatkan warisan?)
Senin, 10 Desember 2012 – dibaca:14749
Apakah Anak Hasil Perkawinan Siri Berhak Mewaris?
Anthonyy
Kategori:Hukum Keluarga dan Waris
Saya mau tanya bagaimana dengan pewarisan dalam Hukum Islam, apakah anak berhak mendapatkan hak waris dari perkawinan bapak dengan ibu yang dilakukan secara nikah siri? Terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban:
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
Mengenai anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup panjang. Menurut Pasal 4Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.
Penjelasan tentang anak dari pernikahan siri ini dibahas secara mendetail dalam beberapa artikel saya, yaitu:
- Apakah anak dari perkawinan siri berhak mewaris?
- Prosedur Pengesahan Nikah Siri
- Bagaimana agar anak yang lahir dari Perkawinan Siri Bisa Memperoleh Warisan dari ayah kandungnya?
- Dampak Putusan MK bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya
- Pengertian Anak Luar Kawin menurut putusan MK
- Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK
Penjelasan rincinya juga terdapat di dalam buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS, karya Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
Apakah Anak Hasil Perkawinan Siri Berhak Mewaris?
Anthonyy
Kategori:Hukum Keluarga dan Waris
Saya mau tanya bagaimana dengan pewarisan dalam Hukum Islam, apakah anak berhak mendapatkan hak waris dari perkawinan bapak dengan ibu yang dilakukan secara nikah siri? Terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban:
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
Mengenai anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup panjang. Menurut Pasal 4Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUP yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1)UUP menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.
Penjelasan tentang anak dari pernikahan siri ini dibahas secara mendetail dalam beberapa artikel saya, yaitu:
- Apakah anak dari perkawinan siri berhak mewaris?
- Prosedur Pengesahan Nikah Siri
- Bagaimana agar anak yang lahir dari Perkawinan Siri Bisa Memperoleh Warisan dari ayah kandungnya?
- Dampak Putusan MK bahwa anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya
- Pengertian Anak Luar Kawin menurut putusan MK
- Perlindungan Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK
Penjelasan rincinya juga terdapat di dalam buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS, karya Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
HARTA BERSAMA (GONO-GINI) Hukum Perdata dan Hukum Islam
HARTA BERSAMA (GONO-GINI) Hukum Perdata dan Hukum Islam
http://alfarabi1706.blogspot.com/2013/01/harta-bersama-gono-gini-hukum-perdata.html
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan masalah pertentangan hokum, Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang menghadapi perceraian.
Perbincangan masalah gono gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian public figure atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berkelit-kelit bahkan sering memanas dalam siding-sidang perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono gini atau harta bersama, atau apabila ada rekonvensi gono gini atau harta bersama dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan peradilan agama mewanti-wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian.
Gono gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian
Ketentuan tentang gono gini, atau harta bersama sudah jelas dalam hokum positif yang berlaku di Indonesia bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Didalam hokum positif yang berlaku di Indonesia, gono gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta gono-gini diakui secara hokum, baik secara pengurusan, Penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang gono-gini juga diatur dalam hokum islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati, dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hokum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta perolehan) harus terpisah dari harta gono gini itu sendiri.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, harta gono-gini atau harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta gono gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dalam jalur syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dibedakan lagi.
Para ahli hokum islam berbeda pendapat tentang dasar hokum harta gono gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa islam tidak mengatur tentang gono gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hokum islam yang lain mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin jika islam tidak mengatur tentang harta gono gini atau harta bersama sedangkan hal-hal lain-lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama islam dan ditentukan dasar hukumnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia?
2. Bagaimanakah harta gono-gini ditinjau dari hokum islam?
3. Bagaimanakah penyelesaian yang dapat ditempuh dalam Pembagian harta gono-gini atau harta bersama?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dasar-dasar hokum ketentuan harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui perspektif hokum islam dalam menyikapi masalah harta gono-gini.
3. Untuk mengetahui cara pembagian harta gono-gini atau harta bersama.
PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
Istilah “gono-gini” merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan[1]
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.
B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”[2]
C. HARTA GONO-GINI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam). Masalah harta gono gini atau harta bersama merupakan persoalan hokum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Secara umum, hokum islam tidak melihat adanya gono gini. Hokum islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suani dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hokum islam tentang gono gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hokum perkawinan 1 menyatakan, bahwa hokum islam mengatur system terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hokum islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hokum.[3]
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hokum perkawinan islam menyatakan, hokum islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.[4]
Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas tentang harta gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau harta bawaan. Namun demikian ketentuan islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hokum islam. Dengan kata lain, masalah harta gono-gini merupakan wilayah hokum yang belum terpikirkan (ghoiru al mufakkar fih) dalam hokum islam, sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hokum islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam ajaran islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono-gini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini.
D. GONO-GINI SEBAGAI SYIRKAH
Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini termasuk dapat di-qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.[5]
Harta gono-gini dapat di-qiyaskan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestic lainnya.
Harta gono-gini didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.
Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini merupakan bentuk syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam gono-gini merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
E. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
Dalam Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka.
Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian.
Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Harta gono-gini merupakan harta yang dihasilkan oleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan.
2. Dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif Indonesi adalah
- UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”.
- KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
- KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
- KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan
3. Harta gono-gini merupakan syirkah abdaan atau syirkah mufaawadlah, karena sebagian besar pasangan suami istri di Indonesia bekerja untuk mencari nafkah dank arena sifatnya yang tidak terbatas.
4. Syirkah dalam harta gono-gini dipahami sebagai bentuk kerjasama antara suami dan istri dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
5. Berdasarkan pasal 37 UU no 1 tahun 1974 dan pasal 96 dan 97 KHI cara pembagian harta gono-gini adalah masing-masing mendapatkan separoh dari harta kekayaan bersama.
6. pembagian harta gono-gini juga dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan
DAFTAR PUSTAKA
· Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama, Jakarta, Bulan Bintang, 1965
· Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta, Academica dan Tazzafa, 2005
· Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2004
· Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
· http///: google.com
[1] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965 hal 18
[2] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
[3] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, Academia dan TAZZAFA, Yogyakarta, 2005 hal 192
[4] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2004
[5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, hal 38
http://alfarabi1706.blogspot.com/2013/01/harta-bersama-gono-gini-hukum-perdata.html
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan masalah pertentangan hokum, Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang menghadapi perceraian.
Perbincangan masalah gono gini sering menjadi hangat di masyarakat dan menyita perhatian public, terutama media massa dalam kasus perceraian public figure atau seorang artis terkait perselisihan tentang pembagian gono gini atau harta bersama. Perkara perceraian yang menjadi pokok perkara justru akan semakin rumit dan berkelit-kelit bahkan sering memanas dalam siding-sidang perceraian di pengadilan bila dikomulasi dengan tuntutan pembagian gono gini atau harta bersama, atau apabila ada rekonvensi gono gini atau harta bersama dalam perkara perceraian. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan peradilan agama mewanti-wanti agar gugatan pembagian harta bersama sedapat mungkin diajukan setelah terjadi perceraian.
Gono gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama-sama selama masa dalam ikatan perkawinan. Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian
Ketentuan tentang gono gini, atau harta bersama sudah jelas dalam hokum positif yang berlaku di Indonesia bahwa harta yang boleh dibagi secara bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai hanya terbatas pada harta gono-gini atau harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Didalam hokum positif yang berlaku di Indonesia, gono gini atau harta bersama diatur dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 119 KHU Perdata, pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta gono-gini diakui secara hokum, baik secara pengurusan, Penggunaan, dan pembagiannya. Ketentuan tentang gono-gini juga diatur dalam hokum islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah dicermati, dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hokum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta perolehan) harus terpisah dari harta gono gini itu sendiri.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, harta gono-gini atau harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta gono gini atau harta bersama adalah harta yang dihasilkan dalam jalur syirkah (kongsi) antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dibedakan lagi.
Para ahli hokum islam berbeda pendapat tentang dasar hokum harta gono gini atau harta bersama itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa islam tidak mengatur tentang gono gini, sehingga oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya. Sebagian ahli hokum islam yang lain mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang tidak mungkin jika islam tidak mengatur tentang harta gono gini atau harta bersama sedangkan hal-hal lain-lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama islam dan ditentukan dasar hukumnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia?
2. Bagaimanakah harta gono-gini ditinjau dari hokum islam?
3. Bagaimanakah penyelesaian yang dapat ditempuh dalam Pembagian harta gono-gini atau harta bersama?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dasar-dasar hokum ketentuan harta gono-gini dalam hokum positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui perspektif hokum islam dalam menyikapi masalah harta gono-gini.
3. Untuk mengetahui cara pembagian harta gono-gini atau harta bersama.
PEMBAHASAN
A. DEFENISI HARTA GONO-GINI
Istilah “gono-gini” merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah “gono-gini”,yang secara hukum artinya, ”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan[1]
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.
B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”[2]
C. HARTA GONO-GINI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam). Masalah harta gono gini atau harta bersama merupakan persoalan hokum yang belum tersentuh atau belum terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Secara umum, hokum islam tidak melihat adanya gono gini. Hokum islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suani dan istri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan istri, merupakan harta miliknya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa perspektif hokum islam tentang gono gini atau harta bersama sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang arab yang pada umumnya tidak mengenal pencaharian bersama suami istri. Yang dikenal adalah istilah syirkah atau pengkongsian.
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution dalam bukunya hokum perkawinan 1 menyatakan, bahwa hokum islam mengatur system terpisahnya harta suami istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hokum islam memberikan kelonggaran kepada pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang pada akhirnya akan mengikat secara hokum.[3]
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya hokum perkawinan islam menyatakan, hokum islam memberikan pada masing-masing pasangan baik suami atau istri untuk memiliki harta benda secara perorangan yang tidak bisa diganggu masing-masing pihak. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing pasangan suami istri.[4]
Pendapat kedua pakar tersebut bukanlah membahas tentang harta gono-gini atau harta bersama melainkan tentang harta bersama atau harta bawaan. Namun demikian ketentuan islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya akan memudahkan pasangan suami istri apabila terjadi proses perceraian karena prosesnya menjadi tidak rumit dan berbelit-belit.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam hokum islam. Dengan kata lain, masalah harta gono-gini merupakan wilayah hokum yang belum terpikirkan (ghoiru al mufakkar fih) dalam hokum islam, sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hokum islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam ajaran islam, ijtihad itu diperbolehkan asalkan berkenaan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono-gini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono-gini.
D. GONO-GINI SEBAGAI SYIRKAH
Kajian ulama tentang gono-gini telah melahirkan pendapat bahwa harta gono-gini termasuk dapat di-qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.[5]
Harta gono-gini dapat di-qiyaskan sebagai syirkah karena dapat dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan domestic lainnya.
Harta gono-gini didefinisikan sebagai harta yang dihasilkan pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta gono-gini dikategorikan sebagai syirkah mufaawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah mufaawadlah karena penkongsian suami istri dalam gono-gini itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalama perkawinan mereka termasuk dalam harta gono-gini. Warisan dan pemberian merupakan pengecualian. Sedangkan harta gono-gini disebut sebagai syirkah abdaan dikarenakan sebagian besar dari suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja untuk nafkah hidup keluarganya.
Dalam fiqh muamalah, syirkah abdaan ataupun syirkah mufaawadlah merupakan bagian dari syirkah ‘uqud. Syirkah ‘uqud adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara anggotanya. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini merupakan bentuk syirkah. Karena mengandung pengertian bentuk kerjasama atau pengkongsian antara suami dan istri. hanya saja bukan dalam bentuk syirkah pada umumnya yang bersifat bisnis atau kerjasama dalam kegiatan usaha, syirkah dalam gono-gini merupakan bentuk kerjasama antara suami dan istri untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
E. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
Dalam Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka.
Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian.
Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Harta gono-gini merupakan harta yang dihasilkan oleh suami dan istri selama berlangsungnya perkawinan.
2. Dasar hokum harta gono-gini dalam hokum positif Indonesi adalah
- UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”.
- KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
- KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
- KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan
3. Harta gono-gini merupakan syirkah abdaan atau syirkah mufaawadlah, karena sebagian besar pasangan suami istri di Indonesia bekerja untuk mencari nafkah dank arena sifatnya yang tidak terbatas.
4. Syirkah dalam harta gono-gini dipahami sebagai bentuk kerjasama antara suami dan istri dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah termasuk didalamnya harta dalam perkawinan.
5. Berdasarkan pasal 37 UU no 1 tahun 1974 dan pasal 96 dan 97 KHI cara pembagian harta gono-gini adalah masing-masing mendapatkan separoh dari harta kekayaan bersama.
6. pembagian harta gono-gini juga dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan
DAFTAR PUSTAKA
· Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama, Jakarta, Bulan Bintang, 1965
· Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta, Academica dan Tazzafa, 2005
· Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2004
· Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
· http///: google.com
[1] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965 hal 18
[2] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010
[3] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, Academia dan TAZZAFA, Yogyakarta, 2005 hal 192
[4] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2004
[5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, hal 38
23/04/13
Rukun, Syarat dan Sebab menurut Waris Islam
http://nurazizah22.blogspot.com/2012/12/rukun-syarat-dan-sebab-mewarisi.html
“ RUKUN, SYARAT DAN SEBAB MEWARISI”
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangaterat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hokum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab- sebab dalam waris mewarisi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun- rukun mewarisi?
2. Bagaimana orang bisa mendapatkan warisan?
3. Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 RUKUN –RUKUN MEWARISI
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut hukum islam , rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
- Muwarrits (Pewaris)
- Warits (Ahli waris)
- Mauruts (harta waris)
I.1.1 Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan pengalihannya kepada para ahli waris.
1.Muwarrits atau pewaris
Pewaris/muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, yang harta pening-galannya berhak dimiliki oleh ahli warisnya (M Mawardi Muzamil, 1981: 18)
Sedangkan menurut KHI, Muwarrits (pewaris) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 huruf b )
Pasal 171 b KHI :
”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
I.1.2 Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam , warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits[1].
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
I.1.3 Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta pseninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
§ Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai;
§ Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian;
§ Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege);
§ Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)
II.2 SYARAT-SYARAT MEWARISI
Menurut hukum islam , masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
- Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
- Hidupnya warits (ahli waris).
- Mengetahui status kewarisan[2].
Adapun dalam kompilasi hukum islam (KHI), syarat-syarat mewarisi terdapat dalam pasal 171 huruf b.
II.2.1 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris)
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia. Adapun kematian muwarrits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Mati haqiqy (mati sejati)
Yaitu hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang dapat di buktikan dengan panca indra atau dapat di buktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Yaitu kematian yang disebabkab adanya vonnis dari hakim, walaupun pada hakekatnya ada kemungkinan seseorang tersebut masih hidup atau dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Contoh vonis kematian seseorang, padahal ada kemungkinan orang tersebut masih hidup ialah vonis kematian terhadap mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup atau matinya[3].
c. Mati taqdiry (menurut dugaan)
Yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. contohnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat saja, sebab kematian tersebut bisa juga di sebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
II.2.2 Hidupnya warits (ahli waris)
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris[4]. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
Adapun masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan syarat hidupnya ahli waris ialah mengenai mafqud, anak dalam kandungan, dan keadaan mati bebarengan (mati secara bersamaan)[5].
Masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seseorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika muwarrits meninggal dunia. Jika terjadi kasus seperti ini, maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqud tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih hidup. Bila di kemudian hari sebelum habis waktu maksimal untuk menunggu ternyata si mafqud datang atau hadir dalam keadaan hidup, maka bagian waris yang telah disediakan untuk si mafqud tersebut di berikan kepadanya. Jika dalam tenggang waktu yang telah ditentukan ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia dapat diduga telah mati, maka bagiannya tersebut di bagi di antara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan furudh mereka masing-masing.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwarrits dalam keadaan mengandung ketika muwarrits meninggal dunia.dalam kasus seperti ini maka penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan pada saat kelahiran anak tersebut.oleh sebab itu maka pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah mati secara bersamaan, hal ini terjadi jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi mati secara bersamaan. Misalnya seorang bapak dan anaknya tenggelam atau terbakar bersama-sama, sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu, dalam kasus ini mereka tidak boleh saling mewarisi, dan salah seorang dari mereka tidak boleh memiliki tirkah yang lainnya. Maka, yang berhak untuk memiliki tirkah tersebut adalah ahli waris masing-masing yang masih hidup. hal ini sesuai dengan yang di isyaratkan oleh fuqaha bahwa : tidak saling waris antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar atau sama-sama tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentuan dari hukum islam.
II.2.3 Mengetahui status kewarisan.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya. sehingga seorang hakim dapat menerapkan hukum sesuai dengan semestinya. Dalam pembagian harta warisan itu berbeda-beda sesuai dengan jihat warisan dan status derajat kekerabatannya. Dengan demikian, tidak cukup kita berkata : “sesungguhnya orang itu termasuk saudara orang yang mati”, tetapi harus di ketahui juga apakah ia saudara sekandung, saudara seayah atau seibu, karena masing- masing saudara tersebut mempunyai bagian tersendiri, sebagian mereka ada yang mendapatkan waris sebagai ash-habul furudl, ada yang sebagian golongan ashabah dan sebagian lagi ada yang mahjub (tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak)[6].
II.3 SEBAB-SEBAB MEWARISI
Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuian , pertolongan, pelayanan,pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).
Mereka-mereka tersebut diatas mempunyai hak dan dapat mewarisi, karena mempunyai sebab-sebab yang mengikatnya. Menurut mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3[7], sebab-sebab itu adalah :
o Hubungan perkawinan
o Hubungan kekerabatan
o Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
II.3.1 Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan adalah suami-istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan aqad perkawinan secara sah, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.
Perkawinan yang menjadi sebab mewarisi memerlukan 2 syarat :
a. Akad perkawinan itu sah menurut syariat, baik kedua suami istri itu telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan :
· Keumuman ayat-ayat mawarits, dan
· Tindakan rasulullah SAW bahwa beliau;
“telah memutuskan kewarisan Barwa’ Binti Wasyiq. Suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan maskawinnya”.
Putusan rasulullah ini menunjukan bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan dianggap sah tidak semata-mata tergantung kepada telah terlaksana hubungan suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh suami, tetapi tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
b. Ikatan perkawinan antara suami istri itu masih utuh atau di anggap masih utuh
Suatu perkawinan dianggap masih utuh bila perkawinan itu telah diputuskan dengan Talaq Raja’iy, tetapi masa iddah Raja’i bagi seorang istri belum selesai maka perkawinan tersebut dianggap masih utuh.
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali[8]. Dengan demikian hak suami istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Lain halnya dengan talak bain yang membawa akibat putusnya ikatan perkawinan sejak talaq dijatuhkan[9].
II.3.3 hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang. [10]
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
- Adanya hubungan kekerabatan (nasab);
- Adanya hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,
“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
II.3.3 Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.[11] Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
§ Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
§ Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
§ Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat atau wasiat.
2. seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi yaitu:
§ Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.
§ Hidupnya warits (ahli waris).
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
§ Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi penghalang untuk mewarisi.
3. Hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris ada 3 yaitu:
§ Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi Sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Quran, al-hadis, ijma’ dan sumber hukum lainnya,
§ Hubungan Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
§ Hubungan memerdekakan budak (Wala’) dalam pengertian syariat adalah : kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak dan kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain
Daftar Pustaka
Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti,1999)
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif,1975)
Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro, 1995)
Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)
Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
AW. Widjaja, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : PT.Citra aditya Bakti, 1991)
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,1995)
[1] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) , 36
[2] Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, ( Bandung : CV diponegoro, 1995), 49
[3] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 80.
[4]Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti, 1999), 10
[5] Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung :PT Refika Aditama, 2002) , 5
[6] Ibid
[7] Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), 62
[8] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 115
[9] ibid
[10] Ibid, halaman 116
[11] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 37
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
“ RUKUN, SYARAT DAN SEBAB MEWARISI”
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangaterat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hokum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab- sebab dalam waris mewarisi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun- rukun mewarisi?
2. Bagaimana orang bisa mendapatkan warisan?
3. Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 RUKUN –RUKUN MEWARISI
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut hukum islam , rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
- Muwarrits (Pewaris)
- Warits (Ahli waris)
- Mauruts (harta waris)
I.1.1 Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan pengalihannya kepada para ahli waris.
1.Muwarrits atau pewaris
Pewaris/muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, yang harta pening-galannya berhak dimiliki oleh ahli warisnya (M Mawardi Muzamil, 1981: 18)
Sedangkan menurut KHI, Muwarrits (pewaris) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 huruf b )
Pasal 171 b KHI :
”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
I.1.2 Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam , warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits[1].
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
I.1.3 Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta pseninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
§ Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai;
§ Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian;
§ Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege);
§ Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)
II.2 SYARAT-SYARAT MEWARISI
Menurut hukum islam , masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
- Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
- Hidupnya warits (ahli waris).
- Mengetahui status kewarisan[2].
Adapun dalam kompilasi hukum islam (KHI), syarat-syarat mewarisi terdapat dalam pasal 171 huruf b.
II.2.1 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris)
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia. Adapun kematian muwarrits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Mati haqiqy (mati sejati)
Yaitu hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang dapat di buktikan dengan panca indra atau dapat di buktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Yaitu kematian yang disebabkab adanya vonnis dari hakim, walaupun pada hakekatnya ada kemungkinan seseorang tersebut masih hidup atau dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Contoh vonis kematian seseorang, padahal ada kemungkinan orang tersebut masih hidup ialah vonis kematian terhadap mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup atau matinya[3].
c. Mati taqdiry (menurut dugaan)
Yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. contohnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat saja, sebab kematian tersebut bisa juga di sebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
II.2.2 Hidupnya warits (ahli waris)
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris[4]. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
Adapun masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan syarat hidupnya ahli waris ialah mengenai mafqud, anak dalam kandungan, dan keadaan mati bebarengan (mati secara bersamaan)[5].
Masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seseorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika muwarrits meninggal dunia. Jika terjadi kasus seperti ini, maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqud tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih hidup. Bila di kemudian hari sebelum habis waktu maksimal untuk menunggu ternyata si mafqud datang atau hadir dalam keadaan hidup, maka bagian waris yang telah disediakan untuk si mafqud tersebut di berikan kepadanya. Jika dalam tenggang waktu yang telah ditentukan ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia dapat diduga telah mati, maka bagiannya tersebut di bagi di antara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan furudh mereka masing-masing.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwarrits dalam keadaan mengandung ketika muwarrits meninggal dunia.dalam kasus seperti ini maka penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan pada saat kelahiran anak tersebut.oleh sebab itu maka pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah mati secara bersamaan, hal ini terjadi jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi mati secara bersamaan. Misalnya seorang bapak dan anaknya tenggelam atau terbakar bersama-sama, sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu, dalam kasus ini mereka tidak boleh saling mewarisi, dan salah seorang dari mereka tidak boleh memiliki tirkah yang lainnya. Maka, yang berhak untuk memiliki tirkah tersebut adalah ahli waris masing-masing yang masih hidup. hal ini sesuai dengan yang di isyaratkan oleh fuqaha bahwa : tidak saling waris antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar atau sama-sama tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentuan dari hukum islam.
II.2.3 Mengetahui status kewarisan.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya. sehingga seorang hakim dapat menerapkan hukum sesuai dengan semestinya. Dalam pembagian harta warisan itu berbeda-beda sesuai dengan jihat warisan dan status derajat kekerabatannya. Dengan demikian, tidak cukup kita berkata : “sesungguhnya orang itu termasuk saudara orang yang mati”, tetapi harus di ketahui juga apakah ia saudara sekandung, saudara seayah atau seibu, karena masing- masing saudara tersebut mempunyai bagian tersendiri, sebagian mereka ada yang mendapatkan waris sebagai ash-habul furudl, ada yang sebagian golongan ashabah dan sebagian lagi ada yang mahjub (tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak)[6].
II.3 SEBAB-SEBAB MEWARISI
Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuian , pertolongan, pelayanan,pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).
Mereka-mereka tersebut diatas mempunyai hak dan dapat mewarisi, karena mempunyai sebab-sebab yang mengikatnya. Menurut mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3[7], sebab-sebab itu adalah :
o Hubungan perkawinan
o Hubungan kekerabatan
o Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
II.3.1 Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan adalah suami-istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan aqad perkawinan secara sah, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.
Perkawinan yang menjadi sebab mewarisi memerlukan 2 syarat :
a. Akad perkawinan itu sah menurut syariat, baik kedua suami istri itu telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan :
· Keumuman ayat-ayat mawarits, dan
· Tindakan rasulullah SAW bahwa beliau;
“telah memutuskan kewarisan Barwa’ Binti Wasyiq. Suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan maskawinnya”.
Putusan rasulullah ini menunjukan bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan dianggap sah tidak semata-mata tergantung kepada telah terlaksana hubungan suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh suami, tetapi tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
b. Ikatan perkawinan antara suami istri itu masih utuh atau di anggap masih utuh
Suatu perkawinan dianggap masih utuh bila perkawinan itu telah diputuskan dengan Talaq Raja’iy, tetapi masa iddah Raja’i bagi seorang istri belum selesai maka perkawinan tersebut dianggap masih utuh.
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali[8]. Dengan demikian hak suami istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Lain halnya dengan talak bain yang membawa akibat putusnya ikatan perkawinan sejak talaq dijatuhkan[9].
II.3.3 hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang. [10]
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
- Adanya hubungan kekerabatan (nasab);
- Adanya hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,
“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
II.3.3 Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.[11] Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
§ Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
§ Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
§ Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat atau wasiat.
2. seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi yaitu:
§ Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.
§ Hidupnya warits (ahli waris).
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
§ Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi penghalang untuk mewarisi.
3. Hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris ada 3 yaitu:
§ Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi Sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Quran, al-hadis, ijma’ dan sumber hukum lainnya,
§ Hubungan Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
§ Hubungan memerdekakan budak (Wala’) dalam pengertian syariat adalah : kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak dan kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain
Daftar Pustaka
Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti,1999)
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif,1975)
Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro, 1995)
Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)
Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
AW. Widjaja, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : PT.Citra aditya Bakti, 1991)
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,1995)
[1] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) , 36
[2] Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, ( Bandung : CV diponegoro, 1995), 49
[3] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 80.
[4]Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti, 1999), 10
[5] Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung :PT Refika Aditama, 2002) , 5
[6] Ibid
[7] Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), 62
[8] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 115
[9] ibid
[10] Ibid, halaman 116
[11] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 37
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Langganan:
Postingan (Atom)