SISTEMATIKA PERJANJIAN KREDIT
http://mkn-unsri.blogspot.com/2012_08_01_archive.html
20 Agustus 2012
Pada dasarnya sistematika suatu perjanjian yang dituangkan dalam bentuk akta dibawah tangan terdiri dari :
1. JUDUL PERJANJIAN
2. KEPALA AKTA PERJANJIAN
3. KOMPARISI :
4. SEBAB (PREMISSE)
5. ISI PERJANJIAN KREDIT(SYARAT-SYARAT):
6. PENUTUP AKTA:
1.JUDUL PERJANJIAN
Judul merupakan gambaran secara umum materi yang diatur didalam suatu perjanjian.
Dengan adanya judul dari suatu perjanjian, diharapkan dengan mudah dapat diperoleh gambaran mengenai apa yang diatur dalam suatu Perjanjian. Oleh karena itu Judul Perjanjian harus maksiaal diusahakan agar sesuai dengan isi /materi yang diperjanjikan, misalnya bila materi yang diperjanjikan mengenai kredit jonsumti, maka judul perjanjiannya adalah "Perjanjian Kredit Konsumtif".
Judul bukan bagian yang harus ada dalam suatu perjanjian, tapi tanpa judul akta perjanjian kurang mantap, judul yang baik menggambarkan pokok perjanjian yang dimuat dalam akta yang bersangkutan.
2. KEPALA AKTA PERJANJIAN
Merupakan kepala akta yang sering banyak kita jumpai, harus mempunyai maksud yang luas menjawab pertanyaan-pertanyaan, spt : hari apa, tanggal berapa dan dimana.
Kepala akta ini letaknya antara judul akta dengan komparisi.
a. Contoh Kepala Akta perjanjian di bawah tangan :
Pada hari ini, ............tanggal..bertempat di..............
b. Contoh kepala Akta Notaris :
- Pada hari ini, ................................................................
- hadir di hadapan saya, ......................... Notaris di ................
dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini dan telah saya, Notaris, kenal.
3.KOMPARISI :
a.Pengertian :
Yang dimaksud dengan komparisi ialah bagian dari perjanjian yang menyebutkan mengenai identitas dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
b. Komparisi harus menerangkan :
1). Nama, alamat orang yang bertindak.
2).Kedudukan orang tersebut dalam melakukan tindakan hukum dalam perjanjian, yaitu :
i.Untuk diri sendiri, ataukah
ii.Sebagai kuasa, ataukah
iii. Dalam jabatannya sebagai pengurus dari suatu badan hukum atau suatu badan bukan badan hukum, sehingga dengan demikian bertindak untuk dan atas, nama badan tersebut.
3).Dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada orang tersebut.
Dasar hukum memberikan penjelasan dan penegasan bahwa pihak yang berkomparan benar-benar berwenang bertindak untuk dan atas nama orang atau badan usaha yang diwakilinya dalam perjanjian. Dasar kewenangan untuk bertindak dapat berupa surat kuasa apabila yang bersangkutan bertindak selaku kuasa, atau akta pendirian atau anggaran dasar suatu badan usaha apabila yang bersangkutan bertindak mewakili badan usaha tersebut.
Dasar kewenangan merupakan hal penting dalam pembuatan komparisi, dalam arti jika bank tidak mengetahui dasar kewenangan orang tersebut untuk bertindak, maka dapat menimbulkan risiko bagi bank dimana terbuka kemungkinan bagi pihak lain untuk menuntut pembatalan perjanjian.
c. Pedoman Pembuatan Komparisi Perjanjian
Komparisi perjanjian untuk pihak bank dapat dibuat lengkap dengan menyebutkan dasar kewenangannya, maupun secara singkat dengan tanpa menyebutkan dasar kewenangannya untuk bertindak.
1). Komparisi dalam Bahasa Indonesia
a). Komparisi Pihak Bank
Yang bertandatangan dibawah ini;
"..................., Pemimpin Cabang............ PT .........., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut berdasarkan Surat Kuasa Direksi .......... tanggal ............... no. ... yang dibuat dihadapan ........ notaris di ...... dan Akta Penegasan Wewenang dan Kuasa tanggal ............................. No......, yang dibuat dihadapan................................................., notaris di ............., dengan demikian berdasarkan Anggaran Dasar perseroan beserta perubahan-perubahannya yang terakhir diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal........ no..... dan Tambahan Berita Negara no....... berwenang bertindak untuk dan atas nama PT .........., berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta, dengan alamat ................., untuk selanjutnya disebut:............,.."
Komparisi singkat
"..............., Pemimpin Cabang PT. Bank .........., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut, dengan demikian berwenang bertindak untuk dan atas nama PT. Bank .........., berkedudukan dan berkantor pusat di Pekanbaru, dengan alamat ...... selanjutnya disebut KREDITUR"
b).Komparisi Pihak Kedua
Komparisi Pihak Kedua, untuk menghindari risiko yang mungkin timbul, dibuat secara lengkap dengan menyebutkan dasar kewenangannya. Penyesuaian redaksi komparisi Pihak Kedua dapat dilakukan sepanjang dasar kewenangan tetap disebutkan.
(1). Untuk perorangan
(a). Untuk diri sendiri
............... bertempat tinggal di........... jalan ......... nomor.....,..., dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama sendiri selanjutnya disebut sebagai:
..................
(b). Selaku kuasa:
.......................... bertempat tinggal di ................................. jalan ................ nomor ...................... berdasarkan Surat Kuasa nomor ....... tanggal................. bertindak selaku kuasa dari dan karenanya untuk dan atas nama .................. bertempat tinggal di......... jalan .......... nomor ........ selanjutnya disebut sebagai:
..........................*)
(c). Berbentuk Toko (Perusahaan Dagang/Usaha Dagang) :
..................... bertempat tinggal di .................. jalan ..................... nomor ............. dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri dan berusaha dengan nama .............. yang beralamat .................... jalan .................. nomor .................. selanjutnya disebut sebagai DEBITUR.
(2). Badan Usaha atau Badan Hukum:
i. Perseroan Komanditer (CV) :
1. .................................................... bertempat tinggal di.................... jalan ................. nomor ................... dalam jabatannya sebagai................
2 . ............. bertempat tinggal di ..........jalan .......... Nomor dalam jabatannya sebagai ..........
3. ....... dst.
dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut diatas dari dan sebagai demikian untuk dan atas nama serta sah mewakili Perseroan Komanditer "CV ..,...." berkedudukan di .......... yang Anggaran Dasarnya dimuat dalam akta tanggal .......... nomor .... yang dibuat oleh dan dihadapan ......... Notaris di ..........,., untuk selanjutnya disebut :
ii. Firma :
1. ............ bertempat tinggal di ........... jalan ........ nomor …..... dalam jabatannya sebagai ......
2 . ....... . ..., bertempat tinggal di .........jalan .......... nomor .... dalam jabatannya sebagai ......
3. ....... dst.
dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut diatas dengan persetujuan tertulis dari ....... sebagai pesero Firma dan ........ sebagai pesero Firma "Fa. ............" sebagaimana tersebut dalam surat persetujuan dibawah tangan tanggal........ nomor .... yang dilampirkan dalam perjanjian........ **) ini, dan karenanya berdasarkan pasal .... ayat .... dari Anggaran Dasarnya berwenang bertindak untuk dan atas nama serta sah mewakili Perseroan Firma "Fa.....,..." berkedudukan di ......... yang Anggaran Dasarnya dimuat dalam akta tanggal ........... nomor ... yang dibuat oleh dan dihadapan ..... Notaris di ........ untuk selanjutnya disebut :
iii. Perseroan Terbatas (PT)
1. .................... bertempat tinggal di ......... jalan .............. nomor ......dalam jabatannya sebagai ........................
2. ..................... bertempat tinggal di ......... jalan.............. nomor ......dalam jabatannya sebagai .........................
3. ........................ dst.
dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut diatas dan dan demikian untuk dan atas nama serta sah mewakili Perseroan Terbatas PT. ...................'' berkedudukan di............... yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal.........ayat ...... dan Anggaran Dasamya yang dimuat dalam Akta tanggal ..........nomor...... yang dibuat oleh dan dihadapan ...................Notaris di ...... dan telah diumumkan dalam Berita Negara RI No. ..... tanggal .................. dan Tambahan Berita Negara No ...... dan selanjutnya disebut :
iv. Yayasan :
1. .................. bertempat tinggal di ............ jalan................. nomor..... dalam jabatannya sebagai ..............................
2. .................. bertempat tinggal di ......... jalan………...... nomor.... dalam jabatannya sebagai…………………….
3. .................. dst.
dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut di atas, sebagai demikian bersama-bersama merupakan pengurus harian Yayasan dan sebagai demikian untuk dan atas nama Yayasan "Yayasan …......." berkedudukan di............ dengan alamat di jalan ........ nomor ....... dan sesuai dengan ketentuan Pasal ..... ayat .... dari Anggaran Dasarnya yang dimuat dalam akta tanggal ..... Nomor dibuat di hadapan ......Notaris di ...... yang telah didaftarkan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ..... tanggal ......... dengan nomor ......dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal ....... nomor ......Tambahan Berita Negara nomor **) dan untuk melakukan perbuatan hukum dalam Perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari Badan Pengurus Yayasan tersebut sebagaimana temyata dari Surat Persetujuan tanggal ..... nomor... yang dilampirkan dalam Perjanjian ini
v. Koperasi
................ bertempat tinggal di .......... jalan .......... Nomor.......... dalam hal ini bertindak sebagai Ketua dan sebagai demikian bertindak untuk dan atas nama Badan Usaha Koperasi "Koperasi .........." berkedudukan di ....... yang Anggaran Dasarnya telah mendapat mendapat pengesahan dari Departemen Koperasi tanggal ......... nomor ........Kantor Wilayah Departemen Koperasi di ........ selanjutnya disebut: ——————— ......................*) ————-———
4. SEBAB (PREMISSE)
Bagian yang menjawab pertanyaan apa sebab perjanjian itu dibuat. (psl 1320 bw menyatakan salah satu sahnya perjanjian adalah adanya sebab yg tidak bertentangan dgn uu, ketertiban umum & kesusilaan).
a.Premisse adalah keterangan pendahuluan dari para penghadap mengenai latar belakang diadakannya suatu perjanjian.
Contoh premisse :
"Kedua belah pihak terlebih dahulu menerangkan sebagai berikut :
- Bahwa Debitur telah mengajukan permohonan kredit kepada Bank untuk modal usaha pembudidayaan perikanannya.
- Bahwa Bank bersedia untuk memberikan fasilitas kredit Pengusaha Kecil kepada Debitur.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kedua belah pihak sepakat mengadakan Perjanjian Kredit Modal Usaha Penguaha Kecil berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :"
b. Premisse dalam suatu perjanjian tidak mutlak harus ada. Jika dalam suatu perjanjian tidak ada premisse, maka sesudah komparisi para pihak mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mengenai suatu perjanjian yang dituangkan dalam pasal-pasal.
5. ISI PERJANJIAN KREDIT(SYARAT-SYARAT):
Berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh para pihak dan dituangkan dalam bentuk pasal-pasal.
Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam membuat perjanjian dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Unsur Essentialia.
Yang dimaksud dengan unsur essentialia dalam isi perjanjian adalah unsur yang mutlak harus ada dan harus dimuat dalam isi perjanjian agar perjanjian tersebut sah.
Salah satu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian adalah obyek perjanjian.
Obyek perjanjian tersebut disyaratkan harus sesuatu yang pasti atau dapat dipastikan. Obyek perjanjian yang merupakan isi dari perjanjian tersebut sangat tergantung kepada jenis perjanjian, misalnya :
Unsur essensial dari Perjanjian Kredit adalah jumlah maksimum kredit.
Dengan demikian obyek dari suatu Perjanjian Kredit paling sedikit harus mengatur mengenai jumlah maksimum kredit.
b.Unsur Naturalia.
Yang dimaksud dengan unsur naturalia adalah unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, tetapi dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian, karena sudah melekat pada suatu perjanjian, Pencantuman unsur naturalia pada perjanjian dimaksudkan sebagai penegasan tentang adanya hak dan kewajiban para pihak.
Contoh :
Pada Perjanjian Kredit, meskipun tidak diperjanjikan bahwa segala kebendaan milik penerima kredit menjadi jaminan atas pinjamannya, akan tetapi unsur tersebut senantiasa melekat pada Perjanjian Kredit.
c.Unsur Accidentalia
Yang dimaksud dengan unsur accidentalia adalah unsur tambahan yang telah disepakati oleh para pihak. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan.
Apabila unsur ini tidak secara tegas diperjanjikan, maka kedua pihak tidak terikat oleh hal tersebut.
Contoh :
- Pada Perjanjian Kredit, misalnya : pengaturan mengenai besarnya suku bunga kredit, biaya-baiya, jenis pengikatan jaminan, asuransi.
- Pemilihan domisili.
- Cara penyelesaian perselisihan, dsb.
6. PENUTUP AKTA:
a. Akta dibawah tangan :
Pada akta dibawah tangan, sebagai penutup dicantumkan hal-hal sebagai berikut :
i. Kapan dan dimana perjanjian itu dibuat dan ditanda-tangani
ii. Kapan perjanjian mulai berlaku.
iii. Dibuat dalam rangkap berapa.
b. Akta Notariil :
Memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat, keterangan mengenai saksi, di hadapan siapa akta dibuat, tentang pembacaan dan penanda tanganan dari akta itu.
Pada akta yang dibuat secara notariil, sebagai penutup dari akta adalah sebagai berikut :
- Demikianlah akta ini .................................................. (dat.)
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di ........pada hari dan ianggal yang disebutkan pada awal/kepala akta ini dengan dihadiri oleh ............ dan......... bertempat tinggal di ............ sebagai saksi-saksi.
- Segera setelah akta ini saya notaris bacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi, maka seketika ditandatangani akta ini oleh (para) penghadap, saksi saksi dan saya, notaris.
- Dilangsungkan dengan .............................
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:46:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: SISTEMATIKA PERJANJIAN KREDIT
Reaksi:
KEBIJAKAN BARU BANK INDONESIA DALAM MEMBATASI KPR DAN KKB
Bank Indonesia (BI) menyatakan, aturan Loan To Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Down Payment (DP) Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sudah disiapkan sejak lama.
Bank sentral menilai saat ini adalah momen yang tepat dalam penerapannya. Kalau dilihat kecepatan perkembangan ekonomi, kemungkinan perlambatan itu ada. Tapi, bagaimana pun juga harus ada keberanian untuk dimulai sekarang.
Kalau pun pertumbuhan kredit secara keseluruhan terus berlangsung, namun untuk kredit konsumsi bisa diperlambat pertumbuhannya melalui aturan tersebut. Dalam beleid baru, aturannya adalah DP untuk motor 25% dan mobil 30%, sementara untuk mobil keperluan produktif 20%.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau Down Payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit, dan ditetapkan maksimal 70%. Ruang lingkup KPR yang dimaksud meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari tujuh puluh meter persegi.
Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.
Penjelasan untuk keperluan produktf sesuai pengaturan Surat Edaran, adalah bila memenuhi salah satu syarat yakni merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, atau diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimiliki.
Penetapan uang muka yang lebih rendah untuk kendaraan bermotor yang bersifat produktif bertujuan untuk mewujudkan keberpihakan pada pihak-pihak yang memanfaatkan kredit kendaraan bermotor yang secara resmi digunakan untuk kegiatan produktif namun tetap mempertimbangkan aspek prudensial.
Terhitung sejak penetapan ketentuan, BI memberikan masa transisi ketentuan selama tiga bulan. Waktu tersebut dianggap memadai bagi bank untuk melakukan penyesuaian Standard Operating Procedures (SOP), sosialisasi serta penyesuaian pelaporan ke BI. Setelah masa transisi, seluruh KPR dan KKB harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengenaan sanksi diberikan kepada bank yang melanggar ketentuan tersebut di atas berupa pengenaan sanksi adminsitratif sebagaimana tertuang dalam PBI No. 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 mengenai Penerapan manajemen Risiko.
Hakikatnya BI memang ingin mendorong pertumbuhan kredit, tapi untuk pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumtif diharapkan dapat lebih lambat, pertimbangan lain adalah agar pemberian kredit tidak dilakukan tanpa down payment yang jelas. Itulah mendasari lahirnya Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Besaran LTV yang ditetapkan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa angka itu tidak jauh dari praktik di lapangan selama ini serta membandingkan dengan kelaziman yang berlaku di negara-negara lain.
Gayung bersambut, ternyata Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga menyepakati aturan mengenai pembatasan kredit itu dan akan mengeluarkan kebijakan serupa bagi lembaga keuangan. Jadi substansi aturan baru ini lebih bagus lagi karena sama-sama ditujukan bagi lembaga perbankan dan pembiayaan,
Sejauh ini pertumbuhan kredit konsumtif, yaitu KPR dan KKB pada 2011 adalah sekitar 33%, atau lebih besar dibanding pertumbuhan kredit keseluruhan yang hanya sebesar 24-25%. BI berkilah, dampak pengaturan ini besar, tapi hanya memperlambat. Selain untuk mengurangi kredit konsumtif, keputusan tersebut juga ditujukan untuk memperlambat impor kendaraan bermotor.
Masalahnya yang dihadapi sekarang adalah pertumbuhan impor lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekspor sehingga perlu untuk memperlambat impor. Dalam konteks ini, sebenarnya mobil dan motor pun diimpor walaupun kemudian dirakit di Indonesia. Jadi BI optimis pembatasan KPR dan KKB tidak akan berdampak besar pada perhitungan konsumsi rumah tangga yang dijadikan pemerintah sebagai motor pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012.
Bagaimana respon pelaku industry terhadap peraturan yang baru itu? Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, ada baiknya masalah penentuan DP kredit kendaraan bermotor ada diserahkan ke perusahaan pembiayaan (multifinance).
Hal ini dilakukan karena mengenai masalah ini pihak perusahaan pembiayaan jauh lebih mengerti mengenai kondisi konsumen. Berdasarkan pengalaman mereka, perusahaan pembiayaan jauh lebih pintar. Bila bercermin dari pengalaman saat konsumen membeli kendaraan dan ketika ditawarkan DP yang bersangkutan tidak menawar, justru konsumen seperti ini yang berbahaya dan berpotensi terjadinya kredit macet karena tak mampu membayar.
Karena itu, melihat kondisi ini ketentuan penetapan DP minimum 30% oleh BI tidak diberlakukan. Karena berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), kredit bermasalah (NPL)-nya telah menurun ke level 1,3%.
Perbankan menilai kebijakan BI ini memang bagus karena dimaksudkan untuk menekan NPL dan potensi bubble di kredit konsumtif. Karena dengan demikian kualitas kredit dapat dijaga dengan baik.
Masyarakat konsumen tentu tidak akan keberatan dengan beleid baru BI ini karena spiritnya bagus yakni melindungi kepentingan debitur konsumtif. Seleksi alam juga terjadi karena calon debitur yang berkemampuan finansial pasa-pasan tidak akan sembrono mengajukan kredit. Jadi yang mengajukan kredit konsumtif memang yang benar-benar berkualitas baik.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:43:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: KEBIJAKAN BARU BANK INDONESIA DALAM MEMBATASI KPR DAN KKB
Reaksi:
SEKILAS HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan
HAK TANGGUNGAN pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Penggunaan Hak tanggungan, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian siapa yang bisa dikatakan sebagai pemegang hak tanggungan atau subjek hak tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang dimaksud sebagai Pemberi hak tanggungan ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sedangkan yang pemegang Hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa menjadi objek hak tanggungan hanyalah
Hak Milik (Pasal 25 UUPA),
Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA),
Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).
Kemudian apabila ditinjau dari Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT) menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.
Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah
Membuat kedudukan seorang kreditor menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya (“droit de preference”);
Mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (“droit de suite”);
Dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak yang berkepentingan ketika memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;
memnyederhanakan pelaksanaannya eksekusi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yakni :
Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Akta Pembebanan Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan
Akta Pemberian Hak Tanggungan ("APHT") mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren) (lihat ps.1 (1) Undang-undang No.4 Tahun 1996 atau "UUHT"). Jadi, Pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.
Tanah sebagai obyek Hak Tanggungan dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal itu dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasl karya, dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain (bila benda-benda itu milik pihak lain, yang bersangkutan/pemilik harus ikut menandatangani APHT).
Pembebanan Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu:
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kotamadya/ Kabupaten).
Sertipikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat titel eksekutorial dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
Tata cara pembebanan Hak Tanggungan dimulai dengan tahap pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan setempat.
Pada asasnya pemberi Hak Tanggungan (debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya (daerah kerjanya adalah per kecamatan yang meliputi kelurahan atau desa letak bidang tanah hak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan). Didalam APHT disebutkan syarat-syarat spesialitas (sebagaimana disebutkan diatas), jumlah pinjaman, penunjukan objek Hak Tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan (ps.11 (2) UUHT) oleh kreditor dan debitort, termasuk janji Roya Partial (ps.2 (2) UUHT) dan janji penjualan objek Hak Tanggungan di bawah tangan (ps.20 UUHT).
Untuk kepentingan kreditor, dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu Sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT.
Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya piutang yang dijamin, sebagai konsekuensi sifat accessoir Hak Tanggungan.
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan, yang dinyatakan dengan akta, yang diberikan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli obyek Hak tanggungan,
Hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan, misal adalah HGB 30 tahun tidak diperpanjang maka berakhirnya masa HGB menyebabkan berakhirnya juga Hak tanggungan.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:41:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: SEKILAS HAK TANGGUNGAN
Reaksi:
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KREDIT SINDIKASI
Kredit sindikasi biasanya diberikan untuk proyek-proyek yang membutuhkan dana besar misalnya untuk proyek pembangunan jalan Tol, dalam hal ini Bank yang ditawarkan untuk memberikan kredit kepada calon peminjam mencari Bank-bank lain untuk ikut serta dalam pembiayaan tersebut.
Dalam setiap pemberian kredit sindikasi di dalamnya terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu :
DEBITUR/PEMINJAM
Debitur/peminjam dalam kredit sindikasi sangat memperhatikan dan mengutamakan mengenai kemudahan proses peminjaman, cepat, fleksibel dan ekonomis. Namun di lain pihak, Debitur berkepentingan memelihara dan memperbaiki credit standingnya. Di samping itu, Debitur bertanggung jawab menyediakan semua informasi yang dibutuhkan oleh pimpinan atau manajer sindikasi.
BANK-BANK PESERTA
Bank-bank peserta sebagai pihak yang memberikan kredit meminta agar semua kriteria dan ketentuan - ketentuan dalam kredit sindikasi harus dipenuhi seperti hal nya dalam proses kredit langsung.
Kriteria atau persyaratan tersebut antara lain menyangkut masalah :
Kelayakan Debitur/peminjam
Tingkat bunga kredit yang bersaing
Pembayaran kembali.
Bank- bank peserta dalam hal ini biasanya sangat tergantung dari integritas dan reputasi manajer sindikasi dalam usaha kredit sindikasi.
MANAJER SINDIKASI
Manajer sindikasi atau sering disebut syndicat leader mempunyai 4 (empat) macam fungsi yang terpisah dalam suatu usaha kredit sindikasi yang di kenal dengan “4 S” yaitu :
Sourcing
Structuring
Selling
Servicing
Sindikasi manajer disini di samping menjalankan fungsi broker atau agen, ia juga sebagai peserta aktif. Oleh karena itu fungsi manajer dalam kredit sindikasi memiliki tanggung jawab yang cukup luas dibandingkan hanya sebagai perantara saja. Manajer sindikasi harus memberikan loyalitas yang sama baik kepada peminjam maupun kepada bank-bank peserta dan harus menyeimbangkan kepentingan kedua belah pihak. Yang bertindak sebagai manajer sindikasi biasanya juga dari kalangan bank-bank besar.
Selanjutnya, peminjam dan bank-bank peserta harus benar-benar menganalisis kemampuan dan pengalaman atau keahlian spesialisasi manajer sindikasi dalam bidang industri tertentu, misalnya, perkapalan, real estate, air craft, elektronik, farmasi, dan industri keuangan.
Tentang peminjam yang menghadapi masalah, manajer yang mengerti dan yang mengikuti situasi dan permasalah kemudian menyampaikan dan menjelaskan kepada bank-bank peserta lainnya. Demikian sebaliknya, bank-bank peserta dapat menanyakan pada manajer mengenai keadaan dan sector industri usaha peminjam dalam rangka mengambil langkah untuk mengurangi kemungkinan timbulnya kerugian.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan bank di samping sebagai kelompok manajemen juga akan membantu peran dan fungsi manajer sindikasi, khususnya bagi kredit sindikasi dalam jumlah besar.
PROSES KREDIT SINDIKASI
Sebagaimana telah disebutkan, fungsi manajer sindikasi yang dikenal dengan fungsi “4S” secara langsung menggambarkan proses kredit sindikasi sebagai berikut:
Sourcing the loan
Sourcing the loan menyangkut suatu proses pengenalan dan penilaian calon nasabah yang sedang membutuhkan pinjaman, kemudian membuat penawaran yang kemungkinanya dapat diterima atau disetujui calon peminjam yang bersangkutan. Oleh karena itu, sourcing the loan pada dasarnya merupakan tugas dan fungsi menejer sindikasi untuk mencari seorang calon peminjam yang cocok untuk suatu sindikasi dan pada saat menemukanya, biasanya bukan ia sendiri saja yang mengajukan penawaran kepada calon peminjam tapi biasanya terdiri dari beberapa pihak sehingga peminjam akan memilih tawaran sindikasi yang menurutnya lebih baik dan menguntungkan, dalam arti persyaratan yang lunak dan murah. Seandainya ia akan memenangkan penawaranya tersebut menejer sindikasi harus dapat benar-benar dapat melaksanakan proses sindikasi ini sampai berhasil, karena akan mempertaruhkan nama dan kedudukanya. Kegagalan dalam pelaksanaan sindikasi ini dapat menjatuhkan reputasi menejer sindikasi dalam pasar sindikasi.
Salah satu tugas yang paling sulit bagi menejemen sindikasi adalah menyangkut tingkat bunga pinjaman dalam melakukan pemasaranya. Karena itu harus bias meyakinkan anggota sindikasi yang potensial bahwa tingkat yang ditawarkan tersebut merupakan angka yang cukup wajar. Penentuan tingkat bunga harus dapat menyeimbangkan kepentingan debitur dan preditur dalam hal spread. Peminjm umumnya menginginkan spread yang kecil, sementara anggota sindikasi mengharapkan spread yang lebih besar.
Structuring the loan
Structuring the loan menyangkut masaah penentuan syarat-syarat kredit yang disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat yaitu peminjam dengan bank-bank peserta yang merupakan kerangka atau struktur kredit sindikasi. Menstruktur suatu pinjaman merupakan pekerjaan yang cukup kompleks bagi manajer sindikasi karena harus mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak. Masalah yang perlu diterapkan dalam melakukan struktur pinjaman antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut :
Cara pembayaran kembali termasuk persetujuan tenggang waktu atau grace period, jangka waktu yang persekot (pre-payment)
Pricing yaitu penetapan tingkat bunga pinjaman. Untuk kredit sindikasi yang bersifat internasional biasanya digunakan prime rate, libor, atau sibor sebagai base rate dan ditambah dengan spread. Besar kecilnya spread tersebut biasanya dipengaruhi oleh keadaan kelayakan kredit peminjam.
Dalam kredit sindikasi dikenal 2 macam fee yaitu :
- Commitment fee, dibayarkan pertahun terhadap kredit yang tidak tertarik atau dicairkan oleh peminjam.
- Management fee, adalah jumlah biaya dibayarkan oleh peminjam kepada manajer sindikasi atau kelompok manajemen. Pembayaran tersebut dilakukan pada saat perjanjian kredit ditanda tangani.
Dokumentasi
Untuk melaksanakan kegiatan menstruktur kredit ini terdapat 3 (tiga) dokumentasi pokok yang disediakan oleh kelompok manajemen yaitu :
1) Teleks penawaran
Teleks ini merupakan dokumen dasar yang dikirimkan oleh menejer sindikasi kepada calon-calon peserta yang memuat secara singkat mengenai bentuk pinjaman meliputi anatara lain:
- nama peminjam
- jumlah kredit
- jatuh tempo
- tingkat bunga pinjaman
- jadwal pembayaran kembali
- commitment fee
- tujuan kredit
- persekot
- informasi-informasi yang diperlukan lainya
2) Memorandum informasi
Memorandum informasi ini pada dasarnya merupakan suatu brosur yang memuat penjelasan mengenai keadaan kredit dan peminjam termasuk seperti hal-hal yang disebutkan dalam teleks penawaran di atas. Di samping itu, juga meliputi masalah-masalah yang menyangkut :
- sejarah, latar belakang dan rincian data keuangan peminjam
- tujuan pinjaman atau proyek
- proyeksi arus dana
- statistic dan laporan mengenai negara, bila peminjam adalah pemerintah (negara)
loan agreement, yaitu kontrak atau perjanjian antara debitur dengan pihak kreditur.
selling the loan
selling the loan adalah menawarkan suatu pinjaman yang telah distruktur secara lengkap (fully structured loan) kepada kelompok kredit yang akan membentuk sindikat pinjaman kepada peminjam tertentu. Penawaran suatu loan dilakukan dengan mengirimkan telex kepada sejumlah bank-bank yang besar.
Tugas menejer sindikasi selanjutunya memberikan informasi atau penjelasan-penjelasan tambahan mengenai kredit tersebut kepada bank peminat yang memberikan respons atas penawaran tersebut.
Penjualan atau penawaran kredit sindikasi di pasar uang internasional terutama di London dilakukan dengan 2 cara yaitu sebagai berikut :
Best-effort syndicate
Yaitu apabila menejer sindikasi telah berusaha menjual kredit tersebut kepda kelompok kreditur dengan persyaratan dan ketentuan yang dianggap cukup wajar, namun apabila penjualan kredit tersebut tidak berhasil, maka penawaran kredit sindikasi tersebut di tarik dari pasar dan selanjutnya peminjam harus mencari kebutuhan danaya sendiri. Menejer sindikasi dalam hal ini kemungkinan kurang mampu dan kurang memiliki pengalaman atau reputasi yang cukup meyakinkan bagi kelompok kreditur.
Firm-commitment syndicate
Yaitu suatu cara di mana menejer indikasi memberikan komitmen kepada peminjam untuk mengatur sejumlah tertentu pinjaman dengan syarat tertentu. Kemudian apabila penawaran sindikasi tersebut mengalami kegagalan dalam arti tidak ada kreditur yang berminat, maka menejer sindikat dalam hal ini tang akan bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan kredit yang telah disepakati jumlahnya kepada peminjam.
Club syndicate
Yaitu suatu sindikat yang ditur oleh kelompok terbatas suatu bank yang mana masing-masing bank dalam kelompok memilki bagian tertentu dari total sindikasi. Biasanya jenis sindikasi seperti ini jumlahnya tidak besar dan kelompok bank tersebut dapat meyakinkan peminjam untuk dapat segera memperoleh kredit yang dibutuhkan.
Serciving the loan
Serciving the loan merupakan tanggung jawab agent bank yang mungkin dirangkap oleh menejer sindikasi anggota kelompok dari bank-bank peserta lainya. Tugas agent bank ini pada dasarnya mempelancar jalnya proses kredit sindikasi tersebut yang meliputi aspek opeasioanalnya. Tugas dan tanggung jawab agent bank tersebut antara lain meliputri hal-hal sebagai berikut :
a. Penetapan tingkat bunga kredit. Tingkat bunga sindikasi tersebut dapat digunakan system mengambang.
b. Menagih dan mengumpulkan hasil bunga
c. Membayar dan menerima poko pinjaman
d. Melakukan negosiasi ulang yang menyangkut ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit misalnya syarat-syarat pembayaran cicilan.
e. Memelihara huungan baik dan dekat dengan peminjm untuk memperoleh informasi akhir mengenai keadaan keuangan debitur
f. Memberikan informasi kepada semua peserta sindikasi bila terjadi suatu perubahan yang cukup penting atas pinjaman tersebut.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:36:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KREDIT SINDIKASI
Reaksi:
PERATURAN BANK INDONESIA NO. 13/2/PBI/2011 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
PERATURAN BANK INDONESIA NO. 13/2/PBI/2011 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/2/PBI/2011
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank semakin meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan;
bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank memberikan dampak yang sangat besar terhadap eksposur risiko yang dihadapi oleh bank sehingga diperlukan upaya-upaya untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank;
bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif (ex-ante) maupun kuratif (ex-post);
bahwa upaya yang bersifat ex-ante dapat ditempuh dengan mematuhi berbagai kaidah perbankan yang berlaku untuk mengurangi atau memperkecil risiko kegiatan usaha bank;
bahwa untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud pada huruf d diperlukan peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang ada pada Bank sehingga potensi risiko kegiatan usaha bank dapat diantisipasi lebih dini;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diperlukan pengaturan mengenai fungsi kepatuhan Bank Umum dan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director);
Mengingat:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN
FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1.Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk didalamnya kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia.
3.Dewan Komisaris:
a.bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
b.bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah;
c.bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
4.Direksi:
a.bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas;
b.bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah;
c.bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian;
d.bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing.
5.Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
6.Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, serta memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
7.Risiko Kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
8.Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 2
(1)Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank.
(2)Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi Kepatuhan Bank.
(3)Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Fungsi Kepatuhan.
BAB II
FUNGSI KEPATUHAN BANK
Pasal 3
Fungsi Kepatuhan Bank meliputi tindakan untuk:
a.mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank;
b.mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank;
c.memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan
d.memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
Pasal 4
(1)Bank wajib memiliki Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan membentuk satuan kerja kepatuhan.
(2)Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh satuan kerja kepatuhan.
Pasal 5
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan pada Bank Umum Syariah dan/atau Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib berkoordinasi dengan Dewan Pengawas Syariah terkait pelaksanaan Fungsi Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah.
Pasal 6
(1)Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap Fungsi Kepatuhan, dengan:
a.mengevaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank paling kurang 2 (dua) kali dalam satu tahun;
b.memberikan saran-saran dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank.
(2)Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Dewan Komisaris menyampaikan saran-saran dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
BAB III
DIREKTUR YANG MEMBAWAHKAN FUNGSI KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 7
(1)Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan independensi.
(2)Direktur Utama dan/atau Wakil Direktur Utama dilarang merangkap jabatan sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(3)Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang membawahkan fungsi-fungsi:
a.bisnis dan operasional;
b.manajemen risiko yang melakukan pengambilan keputusan pada kegiatan usaha Bank;
c.treasury;
d.keuangan dan akuntansi;
e.logistik dan pengadaan barang/jasa;
f.teknologi informasi; dan
g.audit intern.
Pasal 8
Calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memiliki integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri
Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan
Pasal 9
(1)Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah.
(2)Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan tidak dapat menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut maka pelaksanaan tugas yang bersangkutan wajib digantikan sementara oleh Direktur lain sampai dengan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat menjalankan tugas jabatannya kembali.
(3)Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya, maka Bank wajib segera mengangkat pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(4)Selama dalam proses penggantian Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menunjuk atau menugaskan salah satu Direktur lainnya untuk sementara melaksanakan tugas Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(5)Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik karena berhalangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maupun berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
(6)Dalam hal Direktur lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada, maka jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat dirangkap sementara oleh Direktur lainnya yang membawahkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(7)Penggantian sementara jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan
Pasal 10
(1)Tugas dan tanggung jawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, paling kurang mencakup:
a.merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan Bank;
b.mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi;
c.menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank;
d.memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
e.meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank;
f.melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tidak menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g.melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.
(2)Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak dan kewajiban Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagai anggota Direksi Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, apabila untuk perbuatan-perbuatan tertentu tersebut diperlukan keputusan dari seluruh anggota Direksi Bank.
Pasal 11
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris, paling kurang secara triwulanan.
BAB IV
SATUAN KERJA KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 12
(1)Satuan kerja kepatuhan harus independen.
(2)Pejabat dan staf di satuan kerja kepatuhan dilarang ditempatkan pada posisi menghadapi conflict of interestdalam melaksanakan tanggung jawab Fungsi Kepatuhan.
(3)Satuan kerja kepatuhan pada Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib didukung oleh personil yang mempunyai pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah.
Pasal 13
Kriteria kepala satuan kerja kepatuhan:
a.memenuhi persyaratan independensi;
b.menguasai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.tidak melaksanakan tugas lainnya di luar Fungsi Kepatuhan; dan
d.memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan mengembangkan Budaya Kepatuhan (compliance culture).
Pasal 14
Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan
Pasal 15
Dalam rangka melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan paling kurang mencakup:
a.membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang organisasi;
b.melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring, dan pengendalian terhadap Risiko Kepatuhan dengan mengacu pada peraturan Bank Indonesia mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum;
c.menilai dan mengevaluasi efektivitas, kecukupan, dan kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.melakukan review dan/atau merekomendasikan pengkinian dan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank agar sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
e.melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
f.melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugasnya, meliputi:
a.Rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam rencana bisnis Bank;
b.Laporan kepatuhan; dan
c.Laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menurut Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan telah menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bagian dari tugas Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f.
Pasal 17
(1)Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, wajib ditandatangani oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, dan disampaikan kepada Bank Indonesia secara semesteran dan diterima Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dengan tembusan kepada Dewan Komisaris dan Direktur Utama.
(2)Laporan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kalinya wajib disampaikan untuk periode pelaporan Juli sampai dengan Desember 2011.
(3)Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan.
(4)Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan tersebut belum diterima Bank Indonesia hingga akhir batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya penyimpangan.
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 18
(1)Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditujukan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat.
(2)Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan Pasal 16 ditujukan kepada:
a.Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b.Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4 Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a.teguran tertulis;
b.penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
c.larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
d.pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e.pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota Koperasi (RAT) mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan
f.pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 20
(1)Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan.
(2)Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Bank Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Sejak tanggal ditetapkannya ketentuan ini, Bank wajib melakukan penyesuaian mengacu pada ketentuan ini paling lambat sampai dengan tanggal 31 Agustus 2011.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 September 2011.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIAPATRIALIS AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 6
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/2/PBI/2011
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
I.UMUM
Kegiatan usaha bank terus mengalami perubahan dan peningkatan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi dan integrasi pasar keuangan, sehingga kompleksitas kegiatannya semakin tinggi. Kompleksitas kegiatan usaha bank yang semakin meningkat tersebut mengakibatkan tantangan dan eksposur risiko yang dihadapi juga semakin besar.
Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha bank yang semakin besar, maka diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi risiko tersebut.
Upaya-upaya tersebut dapat bersifat ex-ante maupun ex-post. Upaya yang bersifat ex-ante sangat diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi risiko kegiatan usaha bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan dalam pengelolaan Risiko Kepatuhan.
Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan dapat meminimalisir dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan ke depan tidak hanya melihat suatu kejadian yang bersifat ex-ante melainkan juga harus mampu mengelola Risiko Kepatuhan agar sejalan dengan penerapan manajemen risiko yang telah berjalan di bank secara keseluruhan.
Selama ini pengaturan mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan maupun direktur kepatuhan belum memadai dan masih menjadi satu dengan pengaturan fungsi audit intern, sehingga terkesan bahwa pengaturan peran dan Fungsi Kepatuhan maupun direktur kepatuhan merupakan bagian dari fungsi audit intern.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianggap perlu adanya pengaturan tersendiri yang lebih luas dan spesifik mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang terpisah dari ketentuan tentang fungsi audit intern. Di samping itu, pengaturan ini nantinya diharapkan akan mengubah peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan menjadi lebih forward looking dan lebih sensitif terhadap dinamika perubahan yang terjadi. Dengan demikian, terjadi transformasi mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan menuju ke arah yang lebih strategis dan lebih berperan dalam mendukung kinerja bank yang lebih baik.
II.PASAL DEMI PASALPasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Khusus bagi Kantor Cabang Bank Asing, pelaksanaan pengawasan terhadap Fungsi Kepatuhan disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang bersangkutan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tindakan mengelola Risiko Kepatuhan dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace bagi Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan fungsi bisnis atau fungsi operasional antara lain meliputi kegiatan penghimpunan dan/atau penyaluran dana dan kegiatan keagenan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 8
Penilaian kriteria calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dalam pasal ini mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test) dan ketentuan mengenai pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Alih Pengetahuan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan tugas jabatannya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat sementara seperti cuti, sakit, dan dinas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, dan/atau cacat mental atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Pengangkatan pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kebijakan kepatuhan” adalah prinsip-prinsip yang akan dipergunakan untuk menyusun sistem, prosedur, dan pedoman internal dalam rangka harmonisasi antara kepentingan komersial Bank dengan ketaatan peraturan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Termasuk sebagai tindakan pencegahan antara lain memberikan pendapat yang berbeda/dissenting opinion apabila terdapat kebijakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanggungjawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dalam melakukan tindakan pencegahan terbatas pada kewenangan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
Huruf g
Yang dimaksud tugas-tugas lain yang terkait dengan fungsi kepatuhan antara lain adalah memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia maupun otoritas pengawas lainnya yang berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perbuatan-perbuatan tertentu” adalah perbuatan-perbuatan yang terkait dengancorporate actions antara lain merger, konsolidasi, akuisisi, right issue, dan initial public offering (IPO).
Pasal 11
Bagi kantor cabang bank asing, laporan disampaikan kepada pemimpin kantor cabang bank asing dengan tembusan kepada pihak yang berwenang mengawasi kantor cabang bank asing, sesuai dengan struktur organisasi Bank.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “satuan kerja kepatuhan harus independen” adalah satuan kerja kepatuhan harus dibentuk secara tersendiri dan bebas dari pengaruh satuan kerja lainnya, serta mempunyai akses langsung pada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
Satuan kerja kepatuhan dibentuk di kantor pusat Bank, namun melaksanakan Fungsi Kepatuhan di seluruh jaringan kantor Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace bagi Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 14
Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan mengacu pada ketentuan pelaporan bagi Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah.
Pasal 15
Huruf a
Langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan antara lain pembuatan sistem, program, kerangka pikir (frame work), compliance charter, kode etik kepatuhan (compliance code of conduct), atau kebijakan kepatuhan (compliance policy).
Huruf b
Dalam rangka melakukan proses pengelolaan Risiko Kepatuhan, satuan kerja kepatuhan berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko.
Huruf c
Terkait dengan tugas dan tanggungjawab butir c ini, satuan kerja kepatuhan dapat melakukan antara lain:
1.menilai rancangan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur baru;
2.berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur berdasarkan informasi yang diperoleh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tugas-tugas lain meliputi antara lain:
1.Memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang;
2.Melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai Bank mengenai hal-hal yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan terutama mengenai ketentuan yang berlaku;
3.Bertindak sebagai contact person untuk permasalahan kepatuhan Bank bagi pihak internal maupun eksternal.
Pasal 16
Huruf a
Laporan rencana kerja kepatuhan paling kurang terdiri dari:
a.rencana evaluasi pedoman internal; dan
b.rencana kegiatan untuk mendorong dan/atau memelihara Budaya Kepatuhan, termasuk rencana sosialisasi ketentuan.
Tata cara penyampaian rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam rencana bisnis Bank dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Rencana Bisnis Bank.
Huruf b
Laporan kepatuhan paling kurang terdiri dari:
a.pelaksanaan tugas Fungsi Kepatuhan;
b.Risiko Kepatuhan yang dihadapi;
c.potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan akan dihadapi ke depan; dan
d.mitigasi Risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan.
Laporan kepatuhan tersebut disajikan secara komparatif dalam 2 (dua) periode laporan.
Huruf c
Laporan khusus Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku paling kurang meliputi:
a.nama Direksi beserta bidang tugasnya;
b.tanggal pengambilan kebijakan atau keputusan kegiatan;
c.aktivitas penyimpangan yang dilakukan;
d.ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-undangan yang dilanggar; dan
e.dampak yang ditimbulkan untuk jangka pendek dan menengah baik secara financial, gangguan terhadap kelangsungan usaha, maupun penurunan reputasi Bank.
Pasal 17
Ayat (1)
Apabila batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur maka laporan wajib disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Contoh:
Untuk laporan periode Januari sampai dengan Juni 2011, laporan paling lambat disampaikan tanggal 29 Juli 2011 karena tanggal 31 Juli 2011 jatuh pada hari Minggu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contohnya laporan periode Juli sampai dengan Desember 2011, batas akhir waktu penyampaian laporan adalah 31 Januari 2012.
Laporan tersebut dinyatakan terlambat disampaikan apabila diterima di Bank Indonesia pada tanggal 1 sampai dengan 28 Februari 2012.
Ayat (4)
Laporan dinyatakan tidak disampaikan apabila sampai dengan tanggal 28 Februari 2012 laporan tidak diterima Bank Indonesia atau diterima Bank Indonesia setelah tanggal 28 Februari 2012.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengenaan sanksi kewajiban membayar tersebut tidak menghapus kewajiban yang bersangkutan untuk menyampaikan laporan.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5187
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:34:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: PERATURAN BANK INDONESIA NO. 13/2/PBI/2011 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
Reaksi:
ASAS KOLEGIAL DIREKSI BANK KAITANNYA DENGAN PIDANA PERBANKAN
Asas kolegial Direksi Bank kaitannya dengan Pidana Perbankan
Dengan diundangkannya UU Perseroan Terbatas (PT) yaitu UU No. 40 Tahun 2007, dalam UU tersebut mengatur tentang pertanggungjawaban direksi perseroan secara kolegial. Sistem perwakilan kolegial berarti tiap-tiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan dan berbuat untuk dan atas nama perseroan sehingga tindakan salah satu direksi merupakan tanggung jawab bersama Direksi lainnya.
Penanganan kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan (tipibank) dalam suatu bank yang berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), perlu dipahami oleh penegak hukum mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organ PT, sehingga batasan tanggung jawab di dalam suatu perbuatan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana perbankan (tipibank) dapat dipahami secara tepat dan memudahkan di dalam menentukan para pelaku dugaan tipibank.
Ada perbedaan pandangan para penegak hukum terkait penerapan hukum di dalam penanganan suatu kasus, misalnya dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, dengan beberapa direktur di dalamnya, asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya akan kontradiktif dengan asas kolegial dalam hukum perusahaan yang termaktub dalam UU No.40. tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Bagi ahli hukum pidana kecenderungan bahwa hanya pelaku yang secara langsung melakukan “kesalahan” yang akan dipidana dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum perusahaan, secara jelas dan tegas, setiap pihak memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat dimungkinkan bahwa karena kewenangannya, suatu pihak, misalnya direksi, harus bertanggung jawab atas nama PT. dalam suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan.
Perlu dicermati azas dalam hukum pidana bahwa pemidanaan didasarkan kepada adanya unsur kesalahan, yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:30:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: ASAS KOLEGIAL DIREKSI BANK KAITANNYA DENGAN PIDANA PERBANKAN
Reaksi:
TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR)
Tugas direktur kepatuhan (compliance director)
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. : 13/ 2 /PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bagi Bank Umum, diatur tugas yang cukup berat untuk Direktur Kepatuhan.
Dalam pasal 10 PBI tersebut diatur tugas dan tanggung jawab sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut :
Merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan Bank;
Mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi;
Menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank;
Memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank;
Melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tidak menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang‐undangan yang berlaku;
Melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.
Berdasarkanpasal 10 PBI tersebut di atas peranan Direktur Kepatuhan adalah sangat substansial, hal ini karena Direktur Kepatuhan harus berperan aktif dalam mengantisipasi dan memonitor kepatuhan (compliance) terhadap berbagai ketentuan dan peraturan sebagai rambu-rambu kehati-hatian yang telah ditetapkan. Istilahnya adalah Direktur Kepatuhan dituntut untuk pre-emptive sekaligus waspada, karena tugasnya bukan lagi ex post, namun ex ante, meyakinkan kepatuhan Bank atas ketentuan dan mengantisipasi segala implikasi dari suatu keputusan di level Direksi.
Good Corporate Governance, risk management dan internal control menjadi prinsip-prinsip dasar acuan seorang Direktur Kepatuhan dalam melaksanakan tugas.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), tugas dan keberadaan Direktur Kepatuhan dalam memonitor compliance bank terhadap berbagai ketentuan dan peraturan, merupakan bagian dari Pilar IV Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilar IV tersebut bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance perbankan, kualitas manajemen risiko, dan kemampuan operasional manajemen.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:27:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: TUGAS DIREKTUR KEPATUHAN (COMPLIANCE DIRECTOR)
Reaksi:
Ketentuan BMPK
Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank menerapkan prinsip kehati-hatian penyaluran kredit dan melakukan penyebaran portofolio penyediaan dana terutama dengan pembatasan penyediaan dana dengan persentase tertentu terhadap pihak terkait maupun pihak yang tidak terkait dengan memperhatikan keadaan modal bank. Hal inilah yang lebih dikenal dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/ 2005 yang telah diubah dengan PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Umum Pemberian Kredit Bank Umum. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/14/PBI/DPNP tertanggal 18 April 2005.
Bank juga diwajibkan menerapkan manajemen risiko terutama manajemen risiko terhadap penyediaan dana kredit kepada pihak terkait maupun terhadap peminjam yang memiliki eksposur besar. Bentuk penyediaan dana lainnya yang dilakukan oleh bank adalah melalui surat berharga dalam bentuk surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau bentuk lain yang lazim diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. Jenis penyediaan dana yang lain adalah penempatan bank pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, dan sertifikat deposito. Surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif kredit, transaksi rekening administratif dan potential future credit exposure dari suatu perjanjian yang bersifat derivatif, jika surat berharga tersebut termasuk dalam penyertaan modal maupun dalam penyertaan modal sementara adalah dalah satu komponen dalam penghitungan BMPK.
Berdasarkan PBI tentang BMPK maka batas penyediaan dana bank dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:
Pertama, seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank. Bank juga tidak boleh memberikan penyediaan dana kepada pihak terkait tanpa persetujuan dewan komisaris bank. Bank tidak boleh membeli aktiva berkualitas rendah dari pihak terkait. Jika kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait menurun menjadi kurang lancar, diragukan, atau macet maka bank wajib menempuh penyelesaian dengan cara pelunasan kredit selambat-lambatnya 60 hari sejak turunnya kualitas penyediaan dana.
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah perseorangan, perusahaan atau badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan bank secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan yang dimaksud dapat berupa hubungan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, hubungan keuangan, dan juga hubungan keluarga.
Kedua, BMPK bagi peminjam yang tidak terkait dengan bank. Untuk kategori ini, peminjam individu BMPK yang berlaku paling tinggi adalah 20% dari modal bank, sedangkan untuk peminjam kelompok BMPK tertinggi adalah 25 % dari modal bank.
Bank wajib memberikan laporan kepada BI bila terjadi pelanggaran/pelampauan BMPK. Hal ini harus dipatuhi agar BI dapat dengan segera mengambil langkah-langkah penyelesaian agar kesehatan bank bersangkutan tidak dibahayakan.
Pelampauan BMPK ini dapat disebabkan beberapa hal, misalnya terjadi karena :
Penurunan modal bank, ketika modal bank menurun maka besaran persentase kredit terhadap modal pasti akan naik.
Perubahan nilai tukar,
Penggabungan usaha serta perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam.
Ketika terjadi pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun action plan yang memuat langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukan bank dan melaporkan action plan tersebut kepada BI.
Ada beberapa penyediaan dana yang mendapat pengecualian dari ketentuan BMPK, misalnya antara lain :
Penyediaan dana untuk pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah Indonesia, maupun surat berharga yang diterbitkan BI. Hal ini adalah wajar mengingat kedua surat berharga tersebut memiliki likuiditas yang tinggi sehingga tidak membahayakan ketika bank melakukan penempatan pada bank kedua instrumen tersebut.
Penyediaan dana bank dalam bentuk penyertaan modal kepada bank lain dalam rangka konsolidasi perbankan (ini merupakan salah satu insentif yang diberikan BI agar bank yang jumlah modal minimumnya kurang segera melakukan merger) yang sifatnya hanya sementara.
Diposkan oleh Tejabuwana di 6:23:00 PM Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Ketentuan BMPK
Reaksi:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar