07/04/13

TINDAK PIDANA atau STRAFBAARFEIT | Prof.Supanto

TINDAK PIDANA atau STRAFBAARFEIT
sumber : http://Supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/04/17/strafbaarfeit/

Pengertian Strafbaatfeit
Pembentukan undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaatfeit” tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa belanda bererti “sebagian dari kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkbeid” 1), sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk Undang-Undang kita itu tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya ia maksud dengan perkataan “strafbaarfeit”, maka timbulah didalam doktrin sebagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tersebut.
HAZEWINKEL-SURINGA misalnya, mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari “strafbaarfeit” sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah di tolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan di anggap sebagai perilaku yang harus di tiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam nya”. 2)
Para penulis lama seperti Profesor Van Hamel telah merumuskan “strafbaarfeit” itu sebagai “suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain” 3) yang oleh Hazewinkel-Suringa telah di anggap kurang tepat.
Menurut Profesor Pompe, perkataan “strafbaarfeit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjamin nya kepentingan umum” atau sebagai “ de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreader scbuld beeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de bandbaving der rechts orde en de bebartiging van betalgemeen welzijn”. 4)
Sungguhpun demikian beliau pun mengakui bahwa sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat-pendapat secara teoritis. Hal mana akan segera kita sadari apabila kita melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, oleh karena itu di dalam nya dijumpai sejumlah besar “strafbarefeiten”, yang dari rumusan-rumusan nya kita dapat mengetahui bahwa tidak satupun dari “strafbarefeiten”, yakni bersifat “wederrechtelijk”,”aan schuld te wijten” dan “strafbaar” atau bersifat “melanggar hukum”,”telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja” dan “dapat dihukum”.
Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap “strafbaarfeit”, oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normovertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah dengan tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd bet recht” atau bersifat “wederrchtelijk”.
Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Profesor Pompe suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain , karena berslah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Dikatakannya bahwa setiap pembunuhan itu bersifat “wederrechtelijk”, misalnya seseorang yang telah membunuh orang lain karena melakukan suatu pembelaan diri seperti yang dimaksud di dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dikatakan selanjutnya ole Profesor Pompe, bahwa menurut hukum positif kita, suatu “strafbaar feit” itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 5)
Perbedaan yang ada antara teori dengan hukum positif itu sebenarnya hanyalah bersifat semu. Oleh karena itu yang terprnting bagi teori itu adalah, bahwa tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakannya itu memang benar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasrakan sesuatu bentuk “schuld”, yakni dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja , sedang hukum positif kitapun tidak mengenal adanya suatu “schuld” tanpa adanya “wederrechtelijkheid”. Dengan demikian sesuailah sudah apabila pendapat menurut teori dan pendapat menurut hukum posotif kita itu, kita satukan di dalam suatu teori yang berbunyi “geen straf zonder schuld” atau “tidak ada sesuatu hukuman dapat dijatuhkan terhadap seseorang tanpa adanya kesengajaan ataupun ketidaksengajaan”, yang berlaku baik bagi teori maupun bagi hukum positif.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan , bahwa untuk menjatuhkan sesuatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila di situ hanya terdapat suatu “strafbaarfeit” melainkan harus juga ada suatu “strafbaar persoon” atau seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila “strafbaarfeit” yang telah ia lakukan itu tidak bersifat “wederrechtelijk” dan telah ia lakukan baik sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Ini berarti bahwa orang tidak dapat menyebut sesuatu tindakan itu sebagai suatu “strafbaarfeit”, apabila pada tindakan tersebut tidak melekat suatu sifat yang “wederrechtelijk” ataupun tindakan tersebut oleh pelakunya tidak dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Akan tetapi ada pula penulis-penulis yang berpendapat bahwa suatu “strafbaarfeit” itu telah ada, walaupun oleh sesuatu dasar yang meniadakan hukuman ataupun yang biasa juga disebut “starfuitsluitingsgron”,unsur “schuld” dari suatu tindakan tersebut benar-benar telah dirumuskan di dalam undang-undang. Sungguhpun demikian mereka ini sependapat untuk mengatakan bahwa orang tidak lagi dapat berbicara mengenai adanya suatu “strafbaar feit” bilamana unsur “wederrechtelijik” dari sesuatu tindakan yang terlarang itu telah ditiadakan oleh sesuatu strafuitsluitingsgrond. 7)
Profesor Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurut beliau, perkataan “strafbaar” itu berarti “voor straf in aanmerking komend” atau “straf verdienend” yang juga mempunyai arti sebagai “pantas untuk dihukum”, sehingga perkataan “strafbaarfeit” seperti yang telah digunakan oleh pembentuk Undang-Undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan,yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een person strafbaar is”.
Perkataan “eliptis” di atas adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar “eliips” di dalam bahasa belanda yang menurut Profesor Dr. P. Van De Woestijne mempunyai pengertian sebagai “perbuatan menghilangkan sebagian dari suatu kalimat yang dianggap tidak perlu untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat-tepatnya” atau sebagai “de weglating ven een zinsdee, dat voor de juiste begrip van de gedachte niet noodzakelijk wordt geacht”.9) Sebagai contoh telah dikemukakan misalnya perkataan “sini” untuk menggantikan suatu kalimat yang seharusnya berbunyi “datanglah kesini”.
Berkenaan dengan pemberian arti secara eliptis terhadap perkataan “strafbaar feit” seperti itulah, maka untuk selanjutnya kita akan mengetahui bahwa baik undang-undang maupun di dalam pembicaraan sehari-hari, orang telag menggunakan perkataan “strafbaarfeit” itu dalam pengertiaan yang tidak semestinya dimana orang telah mengacaukan penggunaan dari perkataan “strafbaar” yang seharusnya mereka hubungkan dengan “seseorang” dan bukan dengan perkataan “feit” itu sendiri.
Profesor Van Hattum mengatakan, oleh karena dengan perkataan “strafbaarfeit” itu seolah-olah “orang yang dapat dihukum” telah ditiadakan, maka biasanya pada waktu orang menjabarkan sesuatu delik ke dalam unsur-unsurnya, orang terpaku pada unsur-unsur delik seperti yang dirumuskan di dalam Undang-Undang dab melupakan tentang adanya lain-lain syarat yang dapat membuat seseorang dapat dihukum, ataupun yang juga disebut “bijko mende voowaarden voor de strafbaarheid”, termasuk syarat-syarat yang berkenaan dengan pribadi dari pelakunya itu sendiri. 10)
Menurut Profesor Van Hattun, semua syarat yang harus telah terpenuhi sebagai syarat agar seseorang itu dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai unsur-unsur dari delik. 11)
Profesor Simmons telah merumuskan “strafbaarfeit” itu sebagai suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. 12)
Alasan dari Profesor Simons apa sebabnya : “starfbaarfeit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :
a. Untuk adanya suatu strafbaarfeit itu di isyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang-Undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi sumua unsur dari delik seperti yang dirumusakan di dalam Undang-Undang, dan
c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”.13)
Menurut Profesor Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas
itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan suatu peraturan dari Undang-Undang, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti hal nya denagn unsur-unsur yang lain.
Di dalam beberapa rumusan delik, Undang-Undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat “wederrechtelijk”. Apabila sesuatu tindakan itu telah dilakukan dalam keadaan-keadaan, dimana Undang-Undang sendiri telah menentukan akibat hukumnya yakni bawha pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah bahwa sifat “wederrechtelijk” dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh Undang-Undang dan dengan sendrinya orang juga tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu “strafbaarfeit”.
Menurut Profesor Simons, didalam beberapa rumusan delik dapat kita jumpai beberapa persyaratan berupa keadaan-keadaan tertentu yang harus timbul setelah sesuatu tindakan itu dilakukan orang, dimana timbulnya keadaan-keadaan semacam itu bersifat menentukan agar tindakan orang tersebut dapat disebut sebagai tindakan yang dapat dihukum. Timbulnya keadaan-keadaan seperti itu merupakan suatu syarat yang juga disebut “bijkomende voorwaarden van strafbaarbeid” diatas itu harus kita bedakan dengan apa yang disebut “bijkomende voorwaarden voor vervolgbaarbeid” atau “lain-lain syarat agar seorang pelaku itu dapat dituntut”. 14)
Perkataan “bijkomend” di atas itu mempunyai berbagai pengertian yaitu antara lain sebagai “naast de boofdzaak staand” atau “yang terdapat disamping masalah yang pokok” atau sebagai “begeleidend”.15) Atau “yang menyertai”, “hingga perkataan “bijkomende voorwaarden” itu dapat kita terjemahkan dengan perkataan “syarat-syarat penyerta”.
Penerjemah dari perkataan “bijkomende voorwaarden” dengan perkataan “syarat-syarat”, dalam arti syarat-syarat yang menyertai syarat-syarat pokok dari sesuatu delik, menurut hemat saya adalah sudah tepat.
Syarat-syarat poko dari sesuatu delik itu adalah :
a. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik ;
b. Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;
c. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja, dan
d. Pelaku tersebut dapat dihukum. Sedang syarat-syarat penyerta seperti dimaksud di atas itu merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik.

Dengan demikian maka perkataan “bijkomende voorwaarden van strafbaarheid” di
Atas itu dapat kita terjemahkan dengan perkataan “syarat-syarat penyerta untuk membuat seseorang pelaku menjadi dapat dihukum”. Syarat-syarat penyerta tersebut terdiri dari syarat-syarat yang mengharuskan timbulnya keadaan-keadaan tertentu, dimana timbulnya keadaan-keadaan tersebut justru menentukan apakah seorang pelaku itu dapat dihukum atau tidak. Apabila keadaan-keadaan yang diisyaratkan itu kemudian ternyata tidak timbul, makan pelakunya tidaklah dapat dihukum. 16)
Keadaan-keadaan yang diisyaratkan harus timbul agar seseorang itu menjadi dapat dihukum adalah misalnya: “jika kemudian terjadi sesuatu peperangan” di dalam pasal 123 KUHP; “apabila kemudian terjadi suatu perkelahian antara seseorang melawan seseorang “ di dalam pasal 182 KUHP; “jika orang yang perlu mendapat pertolongan itu kemudian meninggal duni” di dalam pasal 531 KUHP dan “apabila perkawinan yang bersangkutan kemudian telah dibatalkan oleh hakim” di dalam pasal 280 KUHP.
Keadaan-keadaan semacam itulah yang ada di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya disebut sebagai “bijkomende voorwaarden van strafbaarheid”.17)
Akan tetapi kita harus berhati-hati agar jangan sampai mengacaukan perkataan “syarat-syarat penyerta” tersebut dengan perkataan “keadaan-keadaan penyerta” sebagai terjemahah dari perkataan “begeleidende omstandigheden”, yang pada hakekatnya bukan merupakan keadaan-keadaan yang “harus timbul kemudian setelah sesuatu tindakan itu dilakukan” melainkan merupakan “keadaan-keadaan yang menyertai sesuatu tindakan pada waktu tindakan tersebut dilakukan orang”.
Profesor Van Hamel ternyata telah tidak bermaksud untuk menyebut keadaan-keadaan seperti dimaksud di atas sebagai “bijkomende voorwaar den van strafbaarheid”, akan teteapi beliau menganggap perkataan yang paling tepat untuk menyebut keadaan-keadaan semacam itu adalah perkataan “bijkomende voorwaarden der strafwaardigheid” atau “syarat-syarat penyerta yang membuat seseorang itu menjadi pantas untuk dihukum. 18)
Alasannya adalah, oleh karena keadaan-keadaan yang timbul kemudian itu tidak dapat “memberikan” ataupun “ meniadakan” sifat dari sesuatu tindakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Akan tetapi pembentuk undang-undang dapat menentukan bahwa pantas atau tidaknya sesuatu tindakan itu dapat dihukum, haruslah digantungkan pada keadaan-keadaan yang kemudian timbul. Apabila keadaan-keadaan tersebut kemudian ternyata tidak timbul, maka sifatnya tindakan tersebut sebagai tindakan yang mengganggu tertib hukum dengan sendirinya juga menjadi tidak ada.
Keadaan-keadaan seperti dimaksud di atas, yaitu sesuai dengan dengan sifatnya yang harus timbul kemudian, oleh profesor POMPE juga telah disebut sebagai “ nakomende omstandigheden” atau “keadaan-keadaan yang datang kemudian” seperti yang sepintas lalu telah dijelaskan di atas. )
Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan perkataan “begeleidende omstandighehen” atau “ keadaan-keadaan yang menyertai sesuatu tindakan itu?
Di dalam beberapa rumusan delik kita dapat menjumpai disebutkannya beberapa syarat tertentu, yaitu misalnya:
a. Bahwa cara melakukan sesuatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu;
b. Bahwa subyek maupun obyek dari sesuatu tindak pidana itu haruslah mempunyai sifat-sifat tertentu, dan
c. Bahwa waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu haruslah sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang menentukan sesuatu tindak pidana itu harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal-pasal 211,285, dan 289 KUHP yakni “memaksa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan menggunakan kekerasan”, di dalam pasal 378 KUHP yakni “dengan menggunakan nama palsu dan lain-lain menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda”. Syarat-syarat yang menentukan bahwa sarana yang telah digunakan untuk melakukan sesuatu tindak pidana itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal 363 ayat 1 angka 5 KUHP yakni “pencurian dengan menggunakan kunci palsu”. Syarat-syarat yang menetukan bahwa subyek dari sesuatu tindak pidana itu harus memiliki sifat-sifat tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal-pasal: 420 ayat 1 angka 1 KUHP yakni “ sebagai seorang hakim”, 307 KUHP yakni “ sebagai seorang ibu”, 426 ayat 1 KUHP yakni “ sebagai seorang penjaga tahanan”, 420 ayat 1 angka 2 KUHP yakni “sebagai sorang jasa”, 530 ayat 1 yakni “ seorang pejabat agama”, 444 KUHP yakni “seorang nakhoda”, 294 ayat 2 angka 1 KUHP yakni “seorang pegawai negeri” dan lain-lain. Syarat-syarat yang menentukan bahwa obyek dari sesuatu tindak pidana itu harus mempunyai sifat-sifat tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal-pasal: 363 ayat 1 angka 1 KUHP yakni “ternak”, 292 KUHP yakni “seorang anak yang belum dewasa”, 293 ayat 1 KUHP yakni “ seorang anak yang belum dewasa yang kelakuannya tidak cacad”, 191 KUHP yakni “bangunan yang gunanya adalah untuk membagi air”, dan lain-lain. Syarat-syarat yang menentukan bahwa waktu atau tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, dapat kita jumpai antara lain dalam pasal-pasal: 167 ayat 1 KUHP yakni “ di dalam suatu tempat kediaman atau di dalam suatu ruangan tertutup”, 124 KUHP yakni “pada waktu perang”, 363 ayat 1 angka-angka 1 dan 2 KUHP yakni “pada waktu terjadi kebakaran” dan lain-lain.
Semua syarat-syarat seperti dimaksud di atas biasanya disebut “begeleidende omstandigheden” atau “vergezellende omstandigheden” atau “keadaan-keadaan penyerta atau keadaan yang menyertai sesuatu tindakan”. )
Keadaan-keadaan di atas juga sering disebut sebagai “essentialia van het dilict”, yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “accidentalia” ),yaitu keadaan-keadaan yang juga menyertai sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang akan tetapi tidak mempunyai arti di dalam hukum pidana.
Contoh dari apa yang disebut “accidentalia” itu adalah misalnya “ nilai dari suatu benda yang telah dicuri” di dalam kejahatan pencurian. Nilai dari benda tersebut bukan merupakan suatu “essentialia dari delik” yang mungkin hanya mempunyai arti bagi hakim yaitu sebagai bahan pertimbangan untuk menetukan berat-ringannya hukuman yang hendak ia jatuhkan.
Penjabaran dari sesuatu tindak pidana ke dalam unsur-unsurnya dan kemahiran untuk menentukan keadaan-keadaan yang dapat dimasukkan sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya dengan penerapan dari hukum acara pidana.
Di atas telah dijelaskan bahwa kita harus membuat perbedaan antara “bijkomende voorwaarden van strafbaarheid” atau “syarat-syarat penyerta untuk membuat seorang pelaku menjadi dapat dihukum” dengan apa yang disebut “bijkomende vooorwarden van vervolgbaarheid” yang dapat kita terjemahkan dengan perkataan “syarat-syarat penyerta untuk membuat seorang pelaku dapat dituntut”.
Yang dimaksud dengan “bijkomende voorwaarden van vervolgbaarheid” itu adalah “syarat-syarat tertentu yang harus telah terpenuhi agar seseorang yang dituduh telah melakukan sesuatu tindak pidana itu dapat dituntut menurut hukum pidana”.
Syarat-syarat semacam itu ada yang dinyatakan secara tegas di dalam sesuatu rumusan delik di dalam Kitab Undang-undang HUkum Pidana, akan tetapi ada pula yang oleh pembentuk undang-undang telah dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Syarat yang dinyatakan secara tegas di dalam ssesuatu rumusan delik di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu misalnya syarat yang dirumuskn di dalam pasal 284 ayat 2 KUHP yang menentukan.
“Tidak dapat dilakukan penuntutan, kecuali ada pengaduan dari suami atau isteri yang terhina, dengan diikuti oleh suatu permohonan perceraian atau perceraian dari meja makan dan tempat tidur yang di dasarkan pada peristiwa tersebut, yaitu di dalam waktu tiga bulan apabila bagi suami-istri itu berlaku pasal 27 B.W.”dan di dalam ayat 5 yang menentukan:
“Apabila bagi suami-isteri itu berlaku pasal 27 B.W. maka pengaduan tersebut tidak akan mempunyai kelanjutan, selama perkawinan mereka belum diputuskan dengan suatu perceraian atau sebelum putusan hakim mengenai perceraian dari meja makan dan tempat tidur itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap”.
Dari ketentuan-ketentuan seperti yang diisyaratkan di dalam pasal 284 ayat 2 dan ayat 5 KUHP di atas itu dapat kita ketahui,walaupun syarat “adanya suatu pengaduan” itu telah terpenuhi dan walaupun di dalam waktu tiga bulan setelah adanya pengaduan itu, pihak yang merasa dirugikan telah mengajukan permohonan kepada hakim perdata agar perkawinan mereka itu diputuskan dengan suatu perceraian, akan tetapi apabila putusan hakim yang memutuskan perkawinan mereka dengan suatu perceraian itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pihak yang diadukan itu belum dapat dituntut menurut hukum pidana di depan pengadilan sebagai tertuduh di dalam suatu perzinahan. Dengan perkataan lain syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam pasal 284 ayat-ayat 2 dan 5 KUHP itu telah “menangguhkan” hak dari penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang secara nyata telah melakukan sesuatu tindak pidana.
Syarat yang dimaksud di atas yang oleh pembentuk undang-undang telah dirumuskan di dalam suatu ketentuan undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana misalnya syarat seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk undang-undang di dalam pasal 268 B.W. yang menentukan antara lain:
“ De liifstraffelijke rechtsvordering wegens het misdrijt van verduistering van staat kan niet worden aangevangen,voor dat het eindvonnis over het geschil van dien staat is uitgesproken”
Yang artinya “Tuntutan menurut hukum acara pidana mengenai kejahatan penggelapan kedudukan itu tidak dapat dimulai sebelum perselisihan mengenai kedudukan tersebut mendapat putusan hakim”.
Jadi apabila seseorang itu telah dituduh membuat kedudukan perdata dari orang lain menjadi tidak jelas, maka orang tersebut belum dapat dituntut ke depan pengadilan karena telah dituduh melakukan kejahatan seperti yang dirumuskan di dalam pasal 277 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum pidana, sebelum perselisihan perdata mengenai kedudukan tersebut mendapat putusan hakim. Dalam hal ini kita juga dapat melihat bahwa syarat seperti yang ditentukan di dalam pasal 268 B.W. itu telah “menangguhkan” hak dari penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan sesuatu tindak pidana.
Syarat-syarat seperti di atas itu di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya disebut sebagai “bijkomende voorwaarden van vervolgbaarheid”. Dan karena syarat syarat seperti di dalam kenyataannya telah “menangguhkan hak untuk melakukan penuntutan” dari penuntut umum, sedang perkataan “ menangguhkan’ itu di dalam bahasa Belanda juga disebut “opschorten” ), maka syarat-syarat semacam itu juga sering disebut sebagai “opschortende voorwaarden van vervolgbaarheid” atau sebagai “ syarat-syarat yang menangguhkan seseorang dapat dituntut”. )
Marilah kini kita kembali pada pembicaraan kita mengenai “strafbaar feit”. Profesor Mr. van der HOEVEN tidak setuju apabila perkataan ‘strafbaar feit” itu harus diterjemahkan dengan perkataan “ perbuatan yang dapat dihukum”,oleh karena dari bunyinya pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dapat dihukum itu hanyalah manusia dan bukan perbuatan. )
Profesor Mr. SATOCHID KARTANEGARA di dalam kuliah-kuliahnya juga telah menyatakan pendapatnya yang sama dengan pendapat dari Profesor Mr. van der HOEVEN tersebut di atas, dan sebagai terjemahan dari perkataan “strafbaar feit” tersebut, almarhum telah menggunakan perkataan “tindak pidana”.
Di dalam kepustakaan kita juga sering menjumpai perkataan-perkataan lain unuk menyebut apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit”, yakni delictum di dalam bahasa Latin, delict di dalam bahasa Belanda, Dellikt di dalam bahasa Jerman, delit di dalam bahasa Perancis ataupun delik di dalam bahasa Indonesia.

ISTILAH PERBUATAN PIDANA
Di muka telah saya katakan, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat di ancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Karena itulah, hemat saya, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam pasal 14 ayat 1 UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk pada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya: matinya orang.
Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak mungkin melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatannya orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam entah karena penyakit, entah karena sudah tua, entah karena tertimpa pohon yang roboh ditiup angin puyuh, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan kelakuan orang lain, di situlah peristiwa tadi menjadi penting bagi hukum pidana.
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dengan tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata yang tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.
Contoh: UU no. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum (pasal 127, 129 dan lain-lain).
Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak akan saya pentingkan, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tapi bukan demikian halnya. Mereka yang memakai istilah: peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya dengan istilah Belanda “ strafbaar feit”? untuk menjawab ini perlu kita ketahui dulu apakah artinya “ strafbaar feit”. Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab:
Van Hamel merumuskan sebagai berikut: strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu dalam pokoknya ternyata:
1e. bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku;
2e. bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.
Mengenai yang pertama, ini berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan pendek sama dengan kelakuan ditambah akibat dan bukan kelakuan saja. Sebetulnya Simons di lain bagian (pag. 157, 6e druk), pada waktu membicarakan tempat, dimana strafbaar feit itu dilakukan, juga mengatakan bahwa strafbaar feit itu bukan kelakuan saja.
Beliau berkata: “Strafbaar feit itu sendiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua, hal itu berbeda juga dengan “perbuatan pidana” sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggung-jawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatannya itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya strafbaar feit. Disitu dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah inggris “criminal act”.
Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum. Dalam Kenny’s outlines of criminal law 1952 pag 13 tentang criminal act atau dalam bahasa latin: actus reus ini diterangkan sebagai berikut: “actus reus may be defined as such result of human conduct, must be distinguished from the conduct which produced the result”.
Kedua, karena criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Hal ini dinyatakan dalam kalimat latin: “Actus non facit reum, nisi mens sit res”. (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld, onhd Schuld keine Strafe).

UNSUR-UNSUR ATAU ELEMEN-ELEMEN PERBUATAN PIDANA
Pada hakekatnya tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir.
Di samping: A) kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya B) hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat.
Contoh-contoh dari yang pertama adalah: hal menjadi pejabat Negara (pegawai negeri) yang diperlukan dalam delik-delik jabatan seperti dalam pasal 413 KUHP dan seterusnya (yang terkenal: 418, 419). Kalau hal menjadinya pejabat Negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan pidana tersebut. Selanjutnya: Hal menjadi ibu dari anak yang dibunuh dalam pasal 396 dan seterusnya. (merugikan para penagih). Contoh: dari golongan kedua adalah misalnya dalam pasal 160 KUHP, Penghasutan harus dilakukan: di tempat umum. Dalam pasal 332 (schaking, melarikan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidak menyetujuinya.
Kadang-kadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu, dijumpai pula adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu pula; misalnya pasal 164, 165: kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana, kalau kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Hal kemudian terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
Pasal 331. keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam bahaya tadi kemudian lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang tertentu seperti dicontohkan di atas dalam buku-buku Belanda dinamakan “Bijkomende voorwaarden van strafbaarheid”, yaitu syarat-syarat tambahan untuk dapat dipidananya (strafbaar) seseorang.

Keadaan-keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan, dinamakan: unsur tambahan, karena alasannya atau rationya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan penggangguan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sanksi pidana.
Sekarang soalnya ialah apakah hal ikhwal tambahan tadi sungguh merupakan elemen atau unsur perbuatan pidana? Banyak penulis Belanda rupanya berpendapat bahwa keadaan tadi merupakan elemen strafbaar feit, sekalipun tambahan.
Meskipun demikian, hemat saya hal tersebut tidak perlu kita oper begitu saja untuk perbuatan pidana, lebih-lebih bahwa di antara mereka yang tidak memandangnya sebagai elemen strafbaar feit adalah misalnya van Hamel, menurut beliau ini, syarat tambahan tadi tidak mengenai strafbaarheid, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang timbulnya kemudian daripada perbuatan, memberi kepadanya sifat dilarangnya perbuatan tersebut. Juga tidak mungkin keadaan yang demikian tadi menghilangkan sifat tersebut. Yang mungkin ialah bagi pembuat undang-undang untuk menentukan bahwa perbuatan yang dilarang tadi menjadi “strafwaardig” yaitu patut dipidana.
Menurut Simons syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai elemen strafbaar feit yang sesungguhnya.
Maka dari itu, bertalian dengan pendapat-pendapat di atas, saya lebih condong untuk memandangnya bukan sebagai elemen perbuatan pidana, tetapi sebagai syarat penuntutan, artinya meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi sudah merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sanksi pidana, jadi untuk menuntut supaya pembuatnya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan tadi. Karenanya, dalam pasal-pasal yang dimaksud seyogyanya bagian rumusan delik yang sesungguhnya adalah syarat penuntutan itu, dikeluarkan dari rumusan tersebut, dan dijadikan ayat atau pasal tersendiri semacam pasal 319 KUHP, yaitu mengenai syarat penuntutan bagi penghinaan.
Kemudia perlu diketahui juga bahwa ada keadaan-keadaan tambahan lain yang timbulnya sesudah dilakukan perbuatan yang tertentu tapi tidak merupakan “bijkomende voorwaarde van strafbaarheid” seperti di atas. Berbeda dengan hal di atas, disini tanpa adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang dapat dituntut untuk dapat dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Tapi dengan adanya keadaan tambahan tadi, ancaman pidana lalu diberatkan.

Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsure unsur yang memberatkan pidana. Contoh: penganiayaan menurut pasal 351 ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana diberatkan menjadi lima tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi tujuh tahun. (pasal 351 ayat 2 dan 3).
Contoh lain adalah pasal 291 ayat 2 dimana diancamkan kepada pelanggar kesusilaan yang tertentu yang mengakibatkan matinya si korban, pidana penjara maksimum lima belas tahun. Lihat pula pasal 333 ayat 3, pasal 213 dihubungkan dengan pasal 211 dan 212 dan lain-lain. Hemat saya ini merupakan unsur perbuatan pidana.

Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti dirumuskan dengan unsur-unsur di atas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Contohnya: dalam merumuskan pemberontakan yang menurut pasal 108 antara lain adalah melawan pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan unsure tersendiri yaitu kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa ditambah kata-kata lagi, perbuatan tersebut sudah wajar pantang dilakukan. Pasal 277 ayat 1 KUHP menentukan bahwa dengan salah satu perbuatan dengan sengaja membikin gelap asal-usul orang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut sudah jelas, tak perlu ditambah apa-apa lagi. Dalam pasal 285 yaitu tentang perkosaan, ditentukan bahwa memaksa seseorang wanita dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh diluar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Juga disini dari rumusan telah ternyata sifat melawan hukumnya perbuatan.
Akan tetapi, adakalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsure-unsur diatas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal 167 KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk kedalam yang dipakai orang lain itu saja dipandang belum cukup menyatakan kepantangannya perbuatan. Harus ditambah dengan unsur: secara melawan hukum. Begitu pula dalam pasal 335 dimana rumusan: memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuattu dengan cara-cara yang tertentu dianggap belum cukup untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, sehingga perlu diadakan elemen melawan hukum tersendiri yaitu dalam kata-kata secara melawan hukum, memaksa dan seterusnya. Juga dalam pasal 406 demikian halnya.

Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang ternyata pada contoh-contoh di atas, menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan. Misalnya dalam pasal 167, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk karena bukan pejabat kepolisian atau kejaksaan. Dalam pasal 335, bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang kepadanya serta tidak melakukan perbuatan apa-apa yang mengakibatkan bahwa pemaksaan patut dilakukan. Dalam pasal 406, yaitu mengenai menghancurkan atau merusak barang, sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal bahwa barang bukan miliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat demikian.

Di samping itu, ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Misalnya dalam pasal 362 KUHP. Disini dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya itu baik, misalnya barang itu di ambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang, karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.
Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung daripada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi merupakan unsur yang subyektif. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian ini dinamakan “subyektif onrechtselement” yaitu unsure melawan hukum yang subyektif.
Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subyektif ini relative belum lama dan pertama timbul di Jerman. Menurut Mezger, hal itu adalah buah usaha orang-orang seperti von Weber Welel, Maurah dan Busch.
Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan diatas, maka yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:
a. kelakuan dan akibat (=perbuatan).
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri.
Akhirnya ditekankan; bahwa meskipun perbuatan pidana pada umunya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif.

CARA UNTUK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan beserta sangsinya yang dimaksud tersebut untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai: mengambil barang orang lain. Tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang lain adalah pencurian, sebab ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang orang lain, maka dalam pasal 362 KUHP di samping unsur-unsur tadi ditambah dengan elemen lain yaitu: dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Jadi rumusan pencurian dalam pasal 362 tadi terdiri atas unsur-unsur:
1. mengambil barang orang lain dan
2. dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Begitu pula misalnya dengan penadahan (heling). Dalam pasal 480 ke-1 dirumuskan dengan unsur-unsur 1, membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk dapat untung, mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan barang dan 2. yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Dalam Pasal 480 ke-2 rumusannya adalah:
1. menarik untung dari hasil sesuatu barang, dan
2. yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Akan tetapi cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur seperti di atas, tidak selalu dapat dilakukan. Ada kalanya hal itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membikin aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.
Contoh-contoh dari cara ini adalah pasal 351 yaitu: penganiayaan dan pasal 297 yaitu perdagangan wanita (vrouwenhandel).
Mengenai penganiayaan, dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi: menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit (pijn) pada orang lain. Tapi mengenai perdagangan wanita, batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum diketemukan. Karena hanya ditentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.
Kebanyakan kali, dala KUHP selain dari menentukan unsur-unsurnya perbuatan yang dilarang, disitu juga diberi kualifikasinya perbuatan. Misalnya dalam pasal 362 dan 480 tadi, di samping penentuan elemen-elemennya, juga ditentukan bahwa kualifikasinya adalah “pencurian” dan “penadahan”.

Bertalian dengan cara yang demikian ini, maka diajukan soal, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus di pandang sebagai singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan disitu, ataukah juga mempunyai arti tersendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga ada dua batasan untuk perbuatan yang dilarang, yaitu batasan menurut unsur-unsurnya dan menurut pengertian yang mum (kualifikasi).
Van Hattum (hlm 119 dan seterusnya) menulis bahwa menurut perkataan dalam Memorie van Toelichting (MvT) tidak ada keragu-raguan, bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi di samping penentuan unsur-unsur adalah sekedar untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja; jadi laksana suatu etiket untuk apa yang terkandung dalam rumusan. Akan tetapi, demikian van Hattum selanjutnya, dalam paktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi. Misalnya dalam putusan Hooge Raad tahun 1927 mengenai penadahan, dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri untuk menarik keuntungan, tak mungkin dikenai pasal tentang penadahan, sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu, semua unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi. Sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain, (begunstigingsmisdrijf), dimana di ambil sebagai dasar, bahwa perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan dan darimana barang itu didapatnya.
Juga dalam teori hal itu menjadi persoalan. Kalau ada orang yang kecurian sesuatu barang, kemudian orang tadi pergi ke tempat loak, melihat barangnya disitu, serta membeli barang di situ, serta membeli barang tadi kembali, apakah orang itu juga dapat dituntut karena pasal 480? Menurut unsur-unsurnya, perbuatannya masuk dalam pasal tersebut, sebab dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan. Tapi bertalian dengan itu ada juga yang menyatakan: bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “membeli” barang tersebut, sebab barang sendiri, sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan. Jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480, sekalipun unsur-unsurnya telah dipenuhi.
Van Hattum mengatakan, bahwa jika pemberian arti tersendiri pada kualifikasi itu didasarkan atas alas an-alasan yang rasionil (masuk akal) ini dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana. Sebab pada hakekatnya penetuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja.
Dalam hal-hal yang khusus, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi berdasar atas alas an-alasan rasionil, dapat mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan-perbuatan yang tidak dimaksudkan. Akan tetapi jangnlah pengertian tersendiri dari kualifikasi itu dugunakan secara “phaenomenologis”, yaitu meskipun perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, tapi tidak dapat dimasukkan dalam kualifikasi, dengan alas an bahwa perbuatan itu “dem Wesem nach” (menurut hakekatnya) memang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut. Jadi tanpa diberi alas an rasional apapun, halnya atas “perasaan” saja.
Contoh: seorang Hilter-jugend merebut bendera dari tangan pemuda katholik (pada zaman nazi). Dikatakan bahwa perbuatan tersebut bukan pencurian, karena pencuri itu bukanlah orang yang mengambil barang orang lain dengan maksud untuk dimlikinya secara melawan hukum, akan tetapi pencuri adalah orang yang “dem Wesen nach Dieb ist” (orang yang menurut hakekatnya adalah pencuri).
Dalam menghadapi pertentangan antara pengertian rumusan delik dalam unsure-unsur yang ditentukan dalam wet dan pengertian kualifikasi ini, hemat saya dapat diterima nasehat seorang penulis Belanda (Vos. Hlm. 36) yang mengatakkan bahwa dalam banyak hal, pertentangan itu dapat diatasi, jika kita berpebdapat bahwa sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material. Apa artinya ini akan diterangkan nanti kalau mengahadapi masalah tersebut.

Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan materiil, dapat disebut pula delik formal dan material.
Berbeda dengan pembedaan delik-delik yang akan disebut 1 2 dimana dalam kenyataannya sifatnya masing-masing memang berbeda, disini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya, tapi hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.
Jadi dalam kenyataan tidak ada perbedaan sifat antara delik formil dan materiil. Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing delik. Karenanya istilah delik formal dan material itu adalah singkatan dari delik yang dirumuskan secara formal atau material. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan. Misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencurian.
Dikatakan ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya: oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang.
Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting.
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 358) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak penting sama sekali.
Perlu diajukan pula pula, bahwa hemat saja ada rumusan-rumusan yang formal-material. Artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya. Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan.
Akibat yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, atau memberi utang maupun menghapuskan piutang, mengingatkan pada rumusan yang material. Meskipun demikian tidak tiap-tiap cara untuk menggerakkan hati orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal di atas. Hanya kalau caranya menggerakan hati itu, memakai nama palsu, martabat menurut pasal 378. disini terang ada rumusan formal.
Mungkin ada orang yang bertanya kalau memang hanya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan. Jawabnya ialah: oleh karena perbedaan perumusan itu di satu pihak mempunyai konsekuensi lain dalam pembuktian; di lain pihak, dan bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat, apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sanksi pidana dirmuskan secara formil atau materiil. Hal ini ternyata dalam sejarahnya pasal 154 KUHP, yang dulunya dirumuskan secara material, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian di ubah menjadi formal.
Dahulu perumusan pasal tersebut adalah: Menimbulkan atau mempermudah timbulnya (opwekken of bevorderen) perasaan permusuhsan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Jadi suatu akibat tertentu yang dilarang (material). Dalam tahun 1918 di ganti dengan dimuka umum mengatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia-Belanda (formal), kalau sudah dibuktikan bahwa terdakwa dimuka umum menyatakan persaan seperti tersebut di atas, sudah cukup untuk adanya perbuatan pidana tadi. Dahulu harus dibuktikan adanya perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah di kalangan penduduk. Kemudian harus dibuktikan bahwa persaan itu disebabkan bahwa perbuatan terdakwa hal-hal mana tentunya sangat sukar.

TEKNIK MERUMUSKAN
Dalam buku II dan III KUHP kita dapat menjumpai beberapa rumusan-rumusan perbuatan beserta sangsinya yang dimaksud untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan, hal ini dilakukan untuk menentukan suatu unsur yang menjadi ciri dari larangan tadi. Misalnya pasal 362, pencurian yang unsur-unsur pokoknya adalah mengambil barang orang lain dan dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Akan tetapi cara untuk menentukan perbuatan yang dilarang menjadi beberapa unsur tidak selalu dapat dilakukan karena hal itu disebabkan oleh penentuan semacam itu belum mungkin atau dianggap kurang baik pada saat membikin aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan, contohnya adalah pasal 351 dan pasal 297.
Dalam KUHP selain dari menentukan unsur-unsurnya perbuatan yang dilarang terdapat juga pemberian kualifikasi perbuatan, misalnya pada pasal 362 di samping penentuan unsurnya juga ditentukan kualifikasinya adalah pencurian.
Menurut Van Hattum bahwa menurut perkataan dalam Memorie van Tpelichting (MvT) tidak ada keragu-raguan dengan maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi di samping penentuan unsur-unsurnya adalah sekedar untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja. Akan tetapi, demikin van Hattum selanjutnya dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi. Apabila pemberian arti tersendiri pada kualifikasi itu didasarkan atas alasan-alasan yang rasional dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana. Sebab pada hakekatnya penentuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja. Dalam hal-hal yang khusus, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi berdasarkan kepada alasan-alasan rasional dapat mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan-perbuatan yang tidak dimaksudkan.
Dalam menhadapi pertentangan antara pengertian rumusan delik dalam unsur-unsurnya yang ditentukan dalam wet dan pengertian kualifikasi, pertentangan itu dapat di atasi apabila kita berpendapat bahwa sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tipa delik serta sifat melawan hukum itu dipandang secara material.
Perumusan delik dapat dilakukan secara formal materiil yang dapat disebut pula delik formal dan material. Berbeda dengan pembedaan delik-delik dimana dalam kenyataannya sifatnya masing-masing memang berbeda, di sini perbedaan tidak mengenal sifat yang sesungguhnya tapi hanya mengenal sifat dalam perumusannya di masing-masing pasal saja.
Jadi dalam kenyataannya tidak ada perbedaan sifat antara delik formil maupun delik materiil. Perbedaan hanya dalam tulisan yaitu bisa dilihat kalau membaca perumusan masing-masing delik. Karenanya istilah delik formal dan materiil itu adalah singkatan dari delik yang dirumuskan secara formal maupun materiil. Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formuleringnya adalah kelakuannya. Sebab kelakuan macam itulah yang pokok untuk dilarang, akibat dari kelakuan itu tidak penting untuk masuk perumusan. Dikatakan pula ada perumusan material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya oleh karena itu akibatnya yang pokok untuk dilarang.

UNSUR-UNSUR ATAU ELEMEN-ELEMEN PERBUATAN PIDANA
Unsur perbuatan pidana adalah kelakuan dan akibat; dan hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Menurut Van Hamel keadaan tertentu yang meyertai perbuatan dibagi dalam 2 golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat. Contoh dari kelakuan dan akibat adalah seperti dalam pasal 413 KUHP dan seterusnya. Sedangkan keadaan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan terdapat dalam pasal 160 KUHP dalam hal penghasutan harus dilakukan ditempat umum. Dan dalam pasal 332, dalam hal melarikan wanita disebut perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orang tuanya tidak menyetujuinya.
Dalam pasal 164 dan 165 disebut bahwa kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Pasal 331, keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika tidak member pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam bahaya tadi kemudian lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang tertentu, dinamakan “Bijkomende woorwaarden van strafbaarheid” yaitu syarat-syarat tambahan untuk dapat dipidananya (stafbaar) seseorang.
Keadaan-keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan, dinamakan unsure tambahan, karena rationya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan penanggungan ketertiban masyarakat, sehingga perlu diadakan sangsi pidana. Menurut van Hamel, syarat tambahan tidak mengenai strafbaarheid, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang timbulnya kemudian daripada perbuatan, member kepadanya sifat dilarangnya perbuatan tersebut. Juga tidak mungkin keadaan yang demikian menghilangkan sifat tersebut. Menurut Simons, syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai elemen strafbaarfeit yang sesungguhnya.
Syarat tambahan dipandang bukan sebagai elemen perbuatan pidana, tapi sebagai syarat penuntutan, artinya meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi sudah merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sanksi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan.
Yang termasuk dalam unsure atau elemen perbuatan pidana adalah :
a. Kelakuan dan akibat (=perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsure melawan hukum yang obyektif
e. Unsure melawan hukum yang subyektif

UNSUR TINDAK PIDANA
Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau ”een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai “een nalaten” yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang)”.
Akan tetapi “strafbaar feit” itu oleh HOGE RAAD juga pernah diartikan bukan sebagai “suatu tindakan” melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu keadaan, yaitu seperti yang dapat kita baca dari arrest tanggal 19 Nopember 1928, N.J. 1928 halaman 1671, W. 11915, di mana HOGE RAAD telah menjumpai sejumlah tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan, di mana seseorang itu harus dipertanggungjawabkan atas timbulnya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan sesuatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang telah melakukan suatu kealpaan, hingga ia harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.
Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP;
5. perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP;
3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijk itu selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.
Pada waktu kita membicarakan masalah “wederrechtelijkheid” telah dijelaskan bahwa dengan membaca beberapa putusan kasasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yakni antara lain M.A. 8 Januari 1966 nomor 42 K/Kr/1965, M.A. 6 Juni 1970 nomor 30 K/Kr/1969 dan M.A. 27 Mei 1972 nomor 72 K/Kr/1970 kita dapat menarik satu kesimpulan, bahwa dewasa ini Mahkamah Agung kita telah mulai menganut apa yang disebut “paham materieele wederrechtelijkheid’.
Menurut paham tersebut, walaupun sesuatu tindakan itu telah memenuhi semua unsur dari sesuatu delik dan walaupun unsur wederrechtelijk itu telah tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur dari delik, akan tetapi tindakan tersebut dapat hilang sifatnya sebagai suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk, bilamana hakim dapat menemukan sesuatu dasar yang meniadakan sifatnya yang wederrechtelijk dari tindakan tersebut, baik berdasarkan sesuatu ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang maupun berdasarkan azas-azas hukum yang bersifat umum dari hukum yang tidak tertulis.
Apa yang kini harus dilakukan oleh seorang hakim apabila unsur wederrechtelijk itu ternyata tidak terbukti di dalam peradilan. Jawabannya tergantung pada kenyataan apakah unsur “wederrechtelijk” tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik atau tidak. Apabila unsur “wederrechtelijk” itu oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu orijspraak atau suatu pembebasan. Apabila unsur ”wederrechtelijk” itu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu “ontslag van alle rechtsvervolging” atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum”.
Apakah penuntut umum itu selalu harus mencantumkan unsur “wederrechtelijk” itu di dalam surat tuduhannya? Jawabannya juga tergantung pada kenyataan apakah unsur ” wederrechtelijk ” itu telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur atau bukan dari delik yang telah dituduhkan terhadap tertuduh. Apabila unsur tersebut dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang dituduhkan, dengan sendirinya unsur itu harus dicantumkan di dalam surat tuduhan dan harus dibuktikan di dalam peradilan. Oleh karena setiap unsur yang dituduhkan itu pada dasarnya harus pula dibuktikan. Dan apabila unsur “wederrechtelijk” itu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang dituduhkan, maka unsur tersebut dengan sendirinya juga tidak perlu dicantumkan di dalam surat tuduhan dan di dalam peradilan juga tidak perlu dibuktikan, oleh karena penuntut umum itu tentunya tidak perlu membuktikan unsur-unsur dari delik yang tidak ia tuduhkan.
Tinggallah kini tugas hakim untuk meneliti tentang kemungkinan adanya sesuatu dasar yang dapat menghilangkan sifat wederrechtelijk dari tindakan yang telah dituduhkan oleh penuntut umum terhadap tertuduh, baik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang maupun berdasarkan azas-azas hukum yang bersifat umum di dalam hukum yang tidak tertulis.
Pada guru besar van BEMMELEN, VRIJ dan A. MULDER telah membuat pembedaan antara apa yang biasa disebut “bestanddelen van het dengan yang juga biasa disebut “elementen van het delict”,
Perkataan “bestanddeel” itu sendiri oleh Dr. C.B. van HAERINGEN telah diartikan sebagai “samenstellend deel” atau “bagian yang dapat membentuk satu keseluruhan” atau “sebagian dari satu keseluruhan”, sedangkan “element” itu telah beliau artikan sebagai “onderdeel” atau “bagian” ataupun juga sebagai “bestanddeell”, yang artinya telah dijelaskan di atas.
Di dalam kuliah-kuliah Profesor Mr. SATOCHID KARTANEGARA mata-mata menggunakan perkataan “unsur” sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut “bestanddeel” dan “element” di atas dan kini kita pun menggunakan perkataan “unsur” dalam arti luas, yakni yang meliputi perkataan-perkataan “bestanddeel” dan “element”. Penggunaan dari perkataan “unsur” di atas bukan disebabkan karena kita telah menjadi bingung karena adanya perkataan-perkataan “bestanddeel” dan “element”‘ di dalam kepustakaan Belanda di mana dua perkataan tersebut sesungguhnya juga diartikan sebagai “unsur”, melainkan karena pembentuk undang sendiri sebenarnya telah memberikan arti kepada perkataan “element” atau “unsur” itu di dalam pengertiannya yang luas, yang meliputi semua bestanddelen dari tindak pidana dan semua persyaratan-persyaratan untuk membuat seseorang itu menjadi dapat dihukum,
Sungguhpun demikian tidak ada salahnya apabila kita sebentar mengikuti ajaran-ajaran dari para guru besar van BEMMELEN, VRIJ dan A. MULDER di atas, oleh karena di dalam ajaran beliau-beliau itu terdapat banyak hal yang perlu kita ketahui.
Yang dimaksud dengan “bestanddelen van het delict” oieh Profesor van BEMMELEN di atas itu adalah bagian-bagian yang terdapat di dalam rumusan delik.
Yang dimaksud dengan “elementen van het delict” itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan di dalam rumusan delik melainkan di dalam Buku ke-1 KUHP atau dapat dijumpai sebagai azas-azas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagai azas-azas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai elemen, yakni:
1. hal dapat dipertanggung jawabkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat terhadap pelakunya;
2. hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan;
3. hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur “kesengajaan” ataupun unsur “ketidaksengajaan”;
4. sifatnya yang melanggar hukum.
Empat elemen dari delik di atas itu masing-masing oleh Profesor van BEMMELEN telah disebut secara berturut-turut sebagai:
1. toerekenbaarheid van het feit;
2. toerekeningsvatbaarheid van de dader;
3. verwijtbaarheid van het feit dan
4. wederrech telijkheid.
Menurut Profesor van BEMMELEN, walaupun elemen-elemen “toerekenbaarheid van het feit” dan “toerekeningsvatbaarheid van de dader” itu oleh pembentuk undang-undang telah tidak pernah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik yang mana pun di dalam undang-undang, akan tetapi elemen-elemen tersebut haruslah dianggap sebagai juga disyaratkan di dalam setiap rumusan delik.
Oleh karena elemen-elemen tersebut tidak pernah dicantumkan sebagai bagian dari delik, maka dengan sendirinya penuntut umum juga tidak perlu mencantumkannya di dalam surat tuduhan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di dalam peradilan.
Apabila hakim berpendapat bahwa tertuduh tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, maka hakim harus membebaskan tertuduh tersebut dari segala tuntutan hukum atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu “ontslag van alle recbtsvervolging”.
Masalah “toerekeningsvatbaarheid” ini akan dibicarakan lebih lanjut secara lebih mendalam dalam pembicaraan mengenai “strafuitsluitingsgronden” atau dalam pembicaraan mengenai “dasar-dasar yang meniadakan hukuman”.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan “verwijtbaarbeid van bet feit” di atas itu?
Elemen “verwijtbaarbeid van bet feit” itu di atas telah saya terjemahkan sebagai “hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat seseorang”. Seseorang itu dapat dikatakan sebagai bersalah telah melakukan sesuatu tindakan atau telah menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, yaitu apabila tindakannya atau perbuatannya menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang itu kan pada suatu “kesengajaan” (opzet atau dolus) ataupun didasarkan pada suatu “ketidaksengajaan” (schuld atau culpa).
Untuk mengetahui apakah sesuatu tindak pidana itu harus dilakukan sengaja atau tidak ataupun harus dilakukan tidak dengan sengaja atau sebaliknya, pada apa yang oleh undang-undang telah disebut sebagai “kejahatan” masalahnya adalah sangat mudah, oleh karena dari rumusan-rumusannya di dalam Buku ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan mudah kita mengetahui apakah sesuatu kejahatan itu harus dilakukan dengan ataupun tidak dengan sengaja.
Dengan demikian maka seseorang itu dapat dikatakan bersalah telah melakukan sesuatu kejahatan, apabila kejahatannya itu telah ia lakukan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Timbul kini sebuah pertanyaan yaitu bilamana seseorang itu dapat dikatakan sebagai bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana yang oleh undang-undang telah disebut sebagai “pelanggaran”, mengingat bahwa di rumusan-rumusannya. di dalam Buku ke-3 Kitab Undang-undang Pidana itu tidak dapat diketahui apakah sesuatu pelanggaran itu lakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja ataupun sebaliknya.
Hingga tahun 1916 HOGE RAAD menganuti suatu paham yang juga sebagai “de leer van het materieele feit” atau “paham mengenai tindakan secara material” di mana HOGE RAAD telah berpendapat, bahwa sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan sesuatu pelanggaran, apabila orang tersebut secara material atau secara nyata telah berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
Pada tahun 1916 yaitu di dalam arrestnya tanggal 14 Pebruari 1916, N.J. 1916 halaman 681, W. 9958 yang juga dikenal sebagai “water en melk arrest” HOGE RAAD telah memutuskan bahwa apabila di dalam suatu pelanggaran itu tidak terbukti tentang adanya sesuatu schuld (dolus atau culpa), maka tertuduh tidak dapat dihukum.
Perkataan “tidak adanya sesuatu schuld” di atas di dalam bahasa Belanda juga sering disebut dengan perkataan “afwezigheid van alle schuld”, yang mula-mula oleh VRIJ telah disingkat dengan singkatan “a.v.a.s.” yang kemudian di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana telah dipakai secara umum sebagai “avas”.
Di dalam kasus semacam itu hakim haruslah membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu “ontslag van alle rechtsvervolging”.
Mengenai elemen “wederrechtelijkheid” itu berkatalah Profesor van BEMMELEN, bahwa elemen tersebut oleh pembentuk undang-undang seringkali telah disebutkan sebagai bagian atau bestanddeel dari suatu delik. Dalam keadaan semacam ini “wederrechtelijkheid” itu tidak lagi merupakan suatu elemen dari delik, melainkan ia telah menjadi suatu bagian dari delik, hingga penuntut umum itu harus mencantumkannya di dalam surat tuduhan dan dengan sendirinya juga harus dibuktikan di dalam peradilan.
Apabila kini kita berusaha untuk membuat suatu ringkasan mengenai ajaran dari Profesor van BEMMELEN di atas dengan membuat suatu perbandingan antara apa yang beliau sebutkan sebagai “bestanddelen van het delict” dengan apa yang beliau sebutkan sebagai “elementen van het delict”, maka kita akan mendaoatkan hal-hal sebagai berikut.
Bestanddelen atau bagian-bagian dari delik itu:
1. terdapat di dalam rumusan dari delik;
2. oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhan;
3. harus dibuktikan di dalam peradilan;
4. bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu weijspraak.
Elementen atau elemen-elemen dari delik itu:
1. tidak terdapat di dalam rumusan dari delik;
2. terdiri dari “toerekenbaarheid van het feit”, “toerekeningsvatbaarheid van de dader”, “verwijtbaarheid van het feit” dan “wederrechtelijkheid”;
3. harus dianggap sebagai juga disyaratkan di dalam setiap rumusan delik;
4. oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan di dalam surat tuduhan dan dengan sendirinyajuga tidak perlu dibuktikan di dalam peradilan;
5. bilamana terdapat keragu-raguan mengenai salah sebuah elemen, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum, atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu ontslog van alle rechtsvervolging.
Dengan catatan bahwa apabila elemen “wederrechtelijk” itu oleh pembentuk undang-undang telah disebutkan secara tegas di dalam rumusan delik, maka “wederrechtelijkheid” tersebut bukan lagi merupakan suatu elemen dari delik, melainkan ia kini merupakan bagian dari delik. Dengan demikian maka “wederrechtelijkheid” itu oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat tuduhannya dan dibuktikan kebenarannya di dalam peradilan.. Dan apabila “wederrechtelijkheid” tersebut kemudian ternyata tidak terbukti, maka hakim harus membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraak.

PENJABARAN TINDAK PIDANA KE DALAM UNSUR-UNSUR
Setelah kita mengetahui tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “strafbaar feit” atau “tindak pidana” dan tentang penjabarannya ke dalam unsur-unsur, marilah kini kita mencoba untuk menjabarkan beberapa tindak pidana yang telah dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan berusaha untuk memberikan arti yang setepat-tepatnya kepada unsur-unsur dari delik-delik tersebut dengan mencoba mengingat-ingat kembali beberapa ajaran yang telah kita pelajari, misalnya mengenai metoda-metoda penafsiran, masalah dolus dan culpa, masalah wederrechtelijkheid dan masalah strafbaar feit ini sendiri.
Kita mengambil sebagai contoh misalnya tindak pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 338 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun” atau “Hij die opzettelijk een ander van het leven berooft, wordt, als schuldig aan doodslag, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijftienjaren”.
Mula-mula kita harus mengetahui tentang “apa yang sebenarnya telah dilarang” oleh ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 338 KUHP itu. Hal ini sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran mengenai “opzet”, justru karena “opzet” tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik.
Ketentuan pidana di dalam pasal 338 KUHP itu ternyata telah melarang orang “untuk menimbulkan suatu akibat”, yakni “hilangnya nyawa orang lain”. Akibat yang terlarang itu di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut suatu “constitutief gevolg” atau suatu “akibat konstitutip”. Sedang delik yang terjadi karena orang telah melanggar larangan untuk menimbulkan sesuatu akibat konstitutip disebut delik material atau materieel delict.
Mengenai unsur “opzet” tersebut, teringatlah kita pada pendapat dari Profesor van HATTUM yang antara lain mengatakan, bahwa “opzet als oogmerk” itu hanya dapat ditujukan kepada tindakan-tindakan, “opzet als wetenschap” itu hanya dapat ditujukan kepada keadaan-keadaan yang menyertai tindakan-tindakan (begeleidende omstandigheden), sedang terhadap sesuatu akibat konstitutip itu orang dapat mempunyai baik “opzet als oogmerk” maupun “opzet als wetenschap”.
Oleh karena “hilangnya nyawa orang lain” itu merupakan suatu “akibat konstitutip” maka “opzet” di dalam rumusan delik menurut pasal 338 KUHP itu dapat ditafsirkan baik sebagai “opzet als oogmerk” maupun sebagai “opzet als wetenschap”.
Sebagai “opzet als oogmerk”, si pelaku haruslah “menghendaki” matinya orang lain, dan sebagai “opzet als wetenschap”, si pelaku haruslah “mengetahui” bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan kematian orang lain.
Apabila kita kini berusaha untuk menjabarkan delik pembunuhan di atas ke dalam unsur-unsurnya dan berusaha untuk menentukan unsur-unsur yang mana merupakan “unsur subyektif” dan unsur-unsur yang merupakan “unsur obyektif”, maka kita akan memperoleh suatu penjabaran sebagai berikut.
Yang merupakan “unsur subyektif” adalah unsur “opzettelijk” atau “dengan sengaja”. Yang merupakan “unsur-unsur obyektif” adalah:
1. unsur “menghilangkan nyawa” dan
2. unsur “nyawa orang lain”.
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur-unsur dari delik pembunuhan seperti yang telah ia rumuskan di dalam pasal 338 KUHP, maka penuntut umum harus mencantumkan semua unsur itu di dalam surat tuduh¬annya. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. dengan sengaja (opzettelijk),
2. menghilangkan (beroven),
3. nyawa (leven) dan
4. orang lain (een ander).
Dengan dicantumkannya keempat unsur di atas di dalam surat tuduhan, maka itu juga berarti bahwa keempat unsur dari delik itu oleh penuntut telah dituduhkan terhadap tertuduh, yakni telah dipenuhi oleh tertuduh. Dan karena keempat unsur itu telah dituduhkan telah dipenuhi oleh tertuduh, maka dengan sendirinya penuntut umum harus membuktikan kebenaran tuduhannya itu di dalam peradilan.
Yang menjadi permasalahan kini adalah tentang bagaimana keempat unsur dari delik pembunuhan yang telah dituduhkan sebagai telah dipenuhi tertuduh itu harus dibuktikannya di dalam peradilan.
Untuk dapat membuktikan dengan setepat-tepatnya keempat unsur telah ia tuduhkan itu, dengan sendirinya ia perlu untuk mengetahui dengan setepat-tepatnya tentang “arti” atau “maksud” dari setiap unsur dari delik yang telah ia tuduhkan.
Sebagai ketentuan, untuk dapat mengetahui dengan setepat-tepatnya tentang “arti” atau “maksud” dari sesuatu perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah disebutkan sebagai suatu unsur dari sesuatu delik di dalam undang-undang itu, penuntut umum berikut hakim dan tertuduh (atau pembelanya) harus berusaha untuk menemukan penjelasannya di dalam undang-undang itu sendiri.
Apabila orang tidak dapat memperoleh penjelasannya di dalam undang-undang, oleh karena undang-undang itu sendiri telah tidak memberikan penjelasannya mengenai perkataan-perkataan yang dimaksud, maka biasanya; orang kemudian melihat ke dalam yurisprudensi, yakni putusan-putusan dari badan-badan peradilan tertinggi kita mengenai berbagai masalah yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk berusaha menemukan petunjuk-petunjuk tentang “arti” atau “maksud” dari perkataan-perkataan dianggap kurang jelas.
Dan baru kemudian setelah orang tidak dapat menemukan sesuatu penjelasan baik di dalam undang-undang maupun di dalam yurisprudensi mengenai perkataan-perkataan yang ia maksud, maka sebagai usaha terakhir pergilah ia ke dalam doktrin untuk mengetahui tentang bagaimana pendapat-pendapat di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai perkataan-perkataan yang dipermasalahkan itu.
Apa yang telah kita lakukan sampai sekarang,.yakni untuk mengetahui arti yang sebenarnya dari perkataan-perkataan seperti “opzet”, “culpa” atau “schuld”, “wederrechtelijk”, “strafbaar feit” dan lain-lainnya itu sesungguhnya telah ditempuh cara-cara sesuai dengan ketentuan di atas.
Dan apabila anda melihat ke dalam kitab pelajaran yang berjudul HUKUM PIDANA INDONESIA, maka sesungguhnya kitab pelajaran tersebut telah disusun demikian rupa oleh para penulis untuk memudahkan mengatasi problema-problema di dalam hukum pidana seperti dimaksud di atas di samping kegunaannya sehari-hari sebagai kitab undang-undang dan sebagai pedoman untuk menerapkan pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan cara yang setepat-tepatnya.
Oleh karena di dalam rumusan delik menurut pasal 338 KUHP di atss itu terdapat perkataan “dengan sengaja” atau “opzettelijk”, maka sesuai dengan ketentuan, perkataan tersebut juga meliputi semua perkataan yang terdapat di belakangnya.
Unsur “dengan sengaja” atau “opzettelijk” itu sendiri sesuai dengan ketentuan haruslah ditafsirkan secara luas, yakni sebagai “opzet als oogmerk” sebagai “opzet bij zekerheidsbewustzijn” dan sebagai “opzet bij mogelijk-heidsbewustzijn”.
Seperti yang telah dikatakan di atas perkataan “opzenelijk” itu jugs meliputi perkataan-perkataan lain yang oleh pembentuk undang-undang telah disebutkan di belakang perkataan “opzettelijk” tersebut Ini berarti bahwa unsur-unsur “menghilangkan” (beroven), “nyawa” (leven) dan unsur “orang lain” (een ander) di dalam pasal 338 KUHP itu juga diliputi oleh unsur “opzet” dan ini juga berarti bahwa di dalam peradilan itu harus dibuktikan:
a. tentang unsur “menghilangkan”, yakni bahwa tertuduh telah “menghendaki” matinya orang lain; (ingat pendapat dari Profesor van HATTUM yang mengatakan bahwa terhadap tindakan-tindakan itu seorang hanya dapat mempunyai suatu “opzet als oogmerk” di mana beliau telah mengartikan “oogmerk” itu sebagai “subjectief doel” atau sebagai “maksud pribadi” .
b. tentang unsur “nyawa”, yakni bahwa tertuduh telah “mengetahui” bahwa yang telah ia kehendaki untuk dihilangkan itu adalah “nyawa”;
c. tentang unsur “orang lain” yakni bahwa tertuduh telah “mengetahui” bahwa yang telah ia kehendaki untuk dihilangkan itu adalah nyawa dari “orang lain”.
Timbul kini suatu pertanyaan yaitu apabila seorang penuntut umum karena berpedoman pada sesuatu rumusan tindak pidana menurut pasal 338 KUHP di mana unsur ”nyawa orang lain” itu hanya disebutkan sebagai “nyawa orang”, kemudian telah tidak mencantumkan unsur “orang lain” itu di dalam surat tuduhannya, apakah yang dapat terjadi sebagai akibat hukumnya?
Menurut Profesor van BEMMELEN, walaupun yang telah dituduhkan oleh penuntut umum, terhadap tertuduh itu seluruhnya dapat dibuktikan, akan tetapi apabila sesuatu unsur dari delik ternyata tidak dicantumkan di dalam surat tuduhan, maka berkatalah Profesor van BEMMELEN tersebut: “In zo’n geval is dus met een strafbaar feit gesteld” atau “Dalam hal semacam itu telah tidak dituduhkan suatu tindak pidana”, maka tertuduh tidak dapat dihukum, hingga hakim harus memutuskan suatu ontslag van alie rechtsvervolging atau hakim harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.
Sudah barang tentu usaha untuk membuktikan adanya “kehendak” dan pengetahuan” dari tertuduh seperti dimaksud di atas itu adalah tidak mudah, oleh karena jarang terjadi bahwa seorang tertuduh itu dengan sukarela telah mempunyai keinginan untuk membantu seorang penuntut umum atau hakim di dalam usahanya untuk membuktikan apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum kepadanya. Dalam hal semacam ini, hakim dapat mengambil kesimpulan dari berbagai keadaan yang telah diketahuinya pada waktu melakukan pemeriksaan terhadap tertuduh, yakni untuk menentukan apakah “kehendak” untuk menghilangkan nyawa dan apakah “pengetahuan” tentang nyawa orang lain yang hendak dihilangkan itu benar-benar terdapat pada diri tertuduh atau tidak.
Demikian itu telah diputuskan oleh HOGE RAAD di dalam arrest-arrestnya, masing-masing tanggal 16 Juli 1894, W. 6536 dan tanggal 23 Juli 1937, 1938 nomor 869.
Di dalam arrestnya tanggal 16 Juli 1894, W. 6536, HOGE RAAD telah memutuskan antara lain bahwa:
“dari kenyataan bahwa tertuduh harus dapat mengetahui, bahwa sebuah tembakan dengan mempergunakan senjata berburu yang dilepaskan dari jarak yang sangat dekat itu kebanyakan telah menyebabkan kematian, maka hakim dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa tertuduh telah “menghendaki” matinya korban”.
Di dalam arrestnya tanggal 23 Juli 1937, 1938 nomor 869, HOGE RAAD telah memutuskan antara lain bahwa:
“Hakim dapat menganggap tertuduh itu “mengetahui” bahwa dengan melakukan suatu penusukan dengan sebilah pisau yang besar terhadap perut korban, ia dapat menyebabkan kematian korban. Dari keadaan-keadaan yang menunjukkan bahwa tertuduh telah melakukan tindakannya dengan sengaja, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tertuduh telah “menghendaki” matinya korban”.
Marilah kini kita beralih kepada sebuah contoh tindak pidana lainnya yang di dalam rumusannya terdapat lebih banyak unsur-unsur daripada yang terdapat di dalam rumusan delik menurut pasal 338 KUHP, yakni misalnya tindak pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 362 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa mengambil sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda terse¬but secara melawan hukum, karena bersalah telah melakukan pencurian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah” atau “Hij die eenig goed dat geheel of ten deele aan een ander toebeboort wegneemt, met bet oogmerk om bet zicb wederrechfelijk toe te eigenen, als schuldigaan diefstal, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf jaren of geldboete van ten boogste negen honderd gulden”.
Apabila rumusan delik di dalam pasal 362 KUHP di atas itu kita jabarkan ke dalam unsur-unsurnya, maka kita akan mendapatkan sebagai unsur subyektif yaitu “maksud untuk menguasai benda yang diambilnya itu secara melawan hukum”, dan sebagai unsur-unsur obyektif masing-masing:
1. mengambil,
2. suatu benda dan
3. yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain.
Yang dilarang dan diancam dengan hukuman di dalam kejahatan pencurian di atas itu adalah “perbuatan mengambil”, yaitu membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya secara mutlak dan nyata dengan maksud “untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum”.
Unsur subyektif “maksud untuk menguasai secara melawan hukum” di atas itu merupakan “tujuan” dari perbuatan mengambil, akan tetapi tidak perlu telah terlaksana pada saat perbuatan yang terlarang itu telah selesai dilakukan oleh pelakunya. Sungguhpun demikian unsur tersebut harus juga dicantumkan bersama-sama dengan unsur-unsur yang lain di dalam surat tuduhan oleh penuntut umum dan harus dibuktikan bahwa tertuduh telah mempunyai maksud seperti itu.
Tujuan dari kejahatan pencurian yang berupa “maksud untuk mengua¬sai benda yang diambil itii secara melawan hukum” di dalam doktrin telah disebut sebagai “bijkomend oogmerk”, “nader oogmerk” ataupun “verder reikend oogmerk”.
Seperti telah dikatakan di atas, ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 362 KUHP itu telah melarang orang untuk melakukan “perbuatan mengambil”. Dan delik yang terjadi oleh karena orang telah melanggar suatu larangan untuk melakukan sesuatu perbuatan itu, di dalam doktrin juga disebut suatu delik formal atau suatu formed delict.
Apabila kini kita melihat ke dalam undang-undang, maka kita akan mengetahui bahwa undang-undang sendiri telah tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan-perkataan “mengambil”, “benda”, “maksud” (oogmerk) “menguasai” (zich toeeigenen) atau “melawan hukum” (wederrechtelijk).
Oleh karena itu kita harus mencari penjelasannya ke dalam yurisprudensi. Dari yurisprudensi dapat kita jumpai berbagai putusan kasasi dari HOGE RAAD yakni sejak arrestnya tanggal 12 Nopember 1894, W. 6578 hingga arrestnya tanggal 25 Maret 1948, 1948 nomor 297 mengenai perkataan-perka¬taan “mengambil”, “benda” dan “kepunyaan orang lain” serta “maksud untuk menguasai secara melawan hukum”.
Sedang mengenai perkataan-perkataan “maksud” atau “oogmerk” dan “melawan hukum” atau “wederrechtelijk” kita terpaksa mencari pengertiannya ke dalam doktrin, oleh karena mengenai dua perkataan tersebut kita kurang mendapat penjelasan di dalam yurisprudensi.
Akan tetapi bagi anda semuanya tentunya kedua perkataan tersebut sudah tidak asing lagi, oleh karena telah kita bicarakan di dalam pembicaraan-pembicaraan terdahulu.
Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai tindak pidana pencurian di atas itu adalah antara lain:
a. unsur “menguasai” atau yang di dalam rumusanr.ya di dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai “zich toeeigenen” itu oleh banyak penterjemah atau oleh banyak penyusun Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diterjemahkan atau disebutkaa sebagai “memiliki”. Penterjemahan atau penyebutan sebagai “menrliki” seperti itu adalah ‘tidak benar, oleh karena di dalam berbagai arrestnya yaitu antara lain di dalam arrest-arrestnya tanggal 26 Maret 1906, W. 8355, tanggal 24 Pebruari 1913, N.J. 1913 halaman 669, W. 9469 dan tanggal 20 Juni 1944, 1944 nomor 589 HOGE RAAD telah memberikan pentafsirannya mengenai perkataan “toeeigenen” itu sebagai “menguasai secara sepihak oleh pemegang sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda trrsebut, bertentangan dengan sifat dari hak, berdasar hak mana benda tersebut berada di bawah kekuasaannya”.
b. bahwa unsur “benda” yang dapat menjadi obyek dari suatu pencurian itu tidak selalu harus berupa benda-benda yang mempunyai nilai, akan tetapi juga benda-benda seperti: karcis k^reta api yang telah terpakai, sebuah anak kunci, sepucuk surat, sepucuk surat keterangan dokter dan lain-lain itu juga dapat menjadi obyek dari kejahatan pencurian. Sedang dari yurisprudensi itu juga dapat kita ketahui, bahwa yang dapat “diambil” itu bukan hanya benda-benda yang berujud dan yang menurut sifatnya dapat dipindahkan, melamkan juga tenaga listrik dan gas yang pada hakekatnya merupakan benda-benda yang tidak berujud.
c. bahwa unsur “maksud untuk menguasai secara melawan hukum” yang di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga sering disebut sebagai “bijkomende oogmerk” atau “nader oogmerk” ataupun sebagai “verder reikend oogmerk” itu sering kali menimbulkan keragu-raguan, yakni tentang apakah unsur tersebut perlu dicantumkan atau tidak di dalam surat tuduhan dan apakah unsur tersebut juga perlu atau tidak untuk dibuktikan di dalam peradilan, mengingat bahwa unsur tersebut tidak perlu terlaksana pada saat perbuatan “mengambil” yang dilarang oleh undang-undang itu telah selesai dilakukan oleh pelakunya. Tentang hal ini perlu dijelaskan, bahwa sungguhpun benar unsur “maksud untuk menguasai secara melawan hukum” itu tidak perlu terlaksana pada saat tertuduh selesai melakukan perbuatannya yang terlarang oleh undang-undang, akan tetapi unsur tersebut harus dicantumkan di dalam surat tuduhan baik sesuai dengan rumusan undang-undang maupun dengan susunan kata-kata yang lain dan harus juga dibuktikan di dalam peradilan, bahwa tertuduh telah bermaksud “untuk menguasai benda yang telah diambilnya itu secara melawan hukum”. Apabila unsur ini tidak terbukti maka dengan sendirinya tertuduh tidak dapat dituduh telah melakukan suatu pencurian dan hakim harus membebaskan tertuduh dari penghukuman atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraak

TENTANG AKIBAT DAN HUBUNGAN KAUSAL
Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil, di situ ada keadaan yang tertentu yang dilarang, misalnya dalam pembunuhan : ada orang yang mati. Untuk dapat menuntut seseorang karena disangka membikin A mati tadi, maka harus dibuktikan bahwa kelakuan orang itu lalu timbul akibat, yaitu matinya A. Atau bahwa kelakuan orang itulah yang menjadi musabab dari matinya A. Dikatakan bahwa antara matinya A dan orang tadi harus ada hubungan kausal. Jadi jika ada hubungan kausal ini dapat ditentukan, maka dapat ditetapkan pula bahwa matinya A itu adalah karena kelakuan orang tadi, sehingga dia dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan karenanya. Juga dapat dikatakan bahwa kelakuan orang tadi menjadi musabab matinya A.
Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil, maka penentuan hubungan kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifisir oleh akibatnya (door het gevolg gequalifiseerde delikten) yaitu di mana karena timbulnya suatu akibat yang tertentu, ancaman pidana terhadap delik tersebut diberatkan. Penganiayaan biasa diancam dengan penjara dua tahun delapan bulan. Tetapi jika penganiayaan tersebut mengakibatkan luka-luka berat pada orang yang dianiaya , maka ancaman diberatkan menjadi lima tahun, dan kalau mengakibatkan mati, maksimumnya sampai tujuh tahun.
Dalam kedua delik-delik diatas, di mana unsur akibat ditentukan dalam rumusan, maka penentuan elemen kelakuan yang menimbulkan akibat tersebut diadakan dengan menggunakan ajaran tentang hubungan kausal. Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi, maka tak dapat ditentukan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan kepadanya.
Ada penulis yang mengatakan (Vos hlm. 74) bahwa juga dalam menghadapi delik dirumuskan secara formal ada kalanya hubungan kausal diperlukan, yaitu apabila elemen kelakuan dan akibat terpisah menurut waktu. Jadi timbulnya akibat yang tertentu baru kemudian daripada saat terjadinya kelakuan. Contoh yang pertama mengenai pemalsuan surat. A hendak menghapuskan suatu perkataan dari dari sesuatu surat penting. Dipakainya obat tertentu yang dengan obat itu saja penghapusan tak dapat dicapai. Tapi kebetulan sebelum A mengerjakan B yang juga bermaksud akan menghilangkan perkataan tadi, terlebih dahulu telah membubuhinya dengan obat lain, yang sendiri juga tak mampu untuk menghapus. Karena kombinasi dari dua obat tadi tercapailah penghapusan. Dikatakan bahwa dalam hal itu juga perlu digunakan hubungan kausal.
Contoh kedua mengenai pencurian gas dengan mengebor lobang di pipa gas tetangga. Lobangnya sendiri adalah terlalu kecil untuk mengeluarkan gas tapi karena sesuatu hal lain gas toh keluar.
Catatan saya terhadap contoh-contoh di atas adalah sebagai berikut :
Mengenai pemalsuan surat, menurut pendapat saya, meskipun tampaknya dirumuskan secara formal, yaitu dengan dipakainya kata kerja memalsu, namun sesungguhnya memalsu ini berarti : membikin palsu, sehingga baru dapat dikatakan ada pemalsuan, jika suratnya lalu lain bunyinya dari mula-mulanya. Karena obat yang digunakan oleh A dengan sendirian tak mampu untuk menghapus perkataan maka perbuatannya merupakan percobaan pemalsuan, kalau biasanya dengan obat itu dapat diadakan penghapusan kata-kata.
Begitu pula dalam contoh pencurian gas. Bukan mengebornya lobang dalam pipa gas tetangga yang merupakan unsur “mengambil”, tetapi menyalurkan gas yang keluar dari lobang tadi untuk kepentingan sendiri tanpa membayar, jadi lebih tepat kalau ditafsirkan ke arah perumusan yang material. Juga di sini kalau sesudah mengebor pipa gas tidak keluar, maka perbuatan baru berupa percobaan pencurian.
TEORI CONDITIO SINE QUA NON
Di atas dikatakan tentang musabab dari suatu keadaan yang dilarang seakan-akan istilah itu sudah mempunyai makna yang tetap. Tapi sesungguhnya bukanlah demikian. Sebab, misalnya jika melihat pelita yang menyala dan ditanyakan apakah yang menjadi musabab dari menyalanya pelita tadi, maka tentunya akan dijawab: karena ada orang yang menyalakannya dengan sebatang korek api yang menyala. Akan tetapi jika direnungkan lebih lanjut, orang tadi tak mungkin dapat menyalakan korek api, kalau lebih dahulu tidak ada orang yang membuat alat yang demikian. Sebaliknya pelita tak mungkin dinyalakan kalau tak ada minyak dan sumbunya. Dan begitulah seterusnya sehingga harus dikatakan bahwa senyatanya, terjadilah suatu keadaan itu sesungguhnya bukan karena musabab saja, melainkan karena adanya suatu rangkaian dari beberapa banyak musabab-musabab, yang jumlahnya tak mungkin ditentukan karena selalu berubah menurut pandangan orang yang akan menentukan itu sendiri.
Maka dari itu ada aliran yang mengatakan bahwa tak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabab dari suatu akibat. Yang mungkin hanyalah menentukan secara negatif yaitu apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab atau hal tersebut menjadi musabab dari akibat itu.
Teori ini dalam hukum pidana diajukan oleh von Buri dan dinamakan teori Condition sine qua non (syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut beliau, musabab adalah tiap-tiap syarat yang tak dapat dibilang untuk timbulnya akibat. Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat (Bedingung) dan musabab. Orang yang mengisi pelita dengan minyak, orang yang membuat korek api, orang yang menanam kapas untuk dibikin sumbu pelita itu misalnya, semua adalah sama nilainya dengan yang menyalakan pelita, sebab sama-sama merupakan syarat atau musabab untuk nyalanya pelita tadi. Orang yang menjual pisau, yang mengasahnya, adalah sama saja dalam menyebabkan matinya si A, seperti halnya si B , yang menusuk si A tadi dengan pisau itu.
Teori ini antara lain dahulu dianut oleh Reichsgericht Jerman, yaitu mahkamah tertinggi Jerman sebelum kalah dalam perang dunia kedua. Dan vo Buri ketika itu adalah presiden dari mahkamah tersebut. Di negeri Belanda penganutnya antara lain adalah van Hamel. Dalam halaman 238, beliau mengatakan lebih kurang sebagai berikut:
“Sepanjang menentukan suatu pengertian secara ilmiah jadi terpisah dan pengertian yang dianut oleh suatu undang-undang maka teori Conditiosine qua non bagi saya adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori-teori lain tidak mempunyai dasar yang pasti dan tegas di dalam menentukan batasnya “musabab” . Untuk digunakan di dalam hukum pidana pasti teori Conditio sine qua non adalah baik,asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang baik, yang dapat mengkorigir atau meregulirnya”. Catatan saya terhadap ucapan diatas ialah bahwa dari kalimat yang terakhir dapat disimpulkan, bahwa bagi van Hamel sesungguhnya teori Conditio sine qua non sendiri masih kurang, tapi kalu dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang baik, bisa menjadi sempurna.
Saya tidak dapat menyetujui jalan pikiran tersebut. Karena dengan menyama-ratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat, meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan musabab. Tidak dapat diterima bahwa orang yang membikin korek api tadi dikatakan menyebabkan nyalanya pelita , sama saja halnya dengan orang yang menyalakan pelita dengan korek api. Juga tidak dapat saya setujui kalau terhadap teori Conditio sine qua non, diadakan batasan sebab terlalu luas, yaitu dengan menggunakan ajaran tentang kesalahan terhadapnya. Pertama karena dalam sistem yang saya anjurkan, kita seyogyanya mengadakan pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawabannya dalam hukum pidana (kesalahan). Ajaran tentang kesalahan kita pakai apabila terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan pidana, padahal hubungan kausal ini justru untuk menentukan apakah terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.
Bagi mereka yang seperti van Hamel, tidak mengadakan pemisahan tersebut, bahkan strafbaar feit adalah dapat dipidananya orang karena perbuatannya cara yang dianjurkan oleh van Hamel tidak menyumpai keberatan. Sebab sekalipun dalam menentukan siapa yang menjadi musabab matinya si A tadi, lingkungan orang yang dipandang berhubungan kausal denagn akibat itu terlalu luas atau tidak, itu tak mengapa. Kemudian toh banyak yang dikeluarkan lagi jika meninjau kesalahan mereka.
Di samping perbedaan pandangan di atas masih ada keberatan lain yaitu bahwa, hubungan kausal tak mungkin dikorigir oleh ajaran tentang kesalahan, sebab yang pertama letaknya dalam lapangan lahir, sedangkan yang belakangan ada dalam lapangan batin. Jadi kalau toh akan mengadakan batasan, hal itu harus di lapangan sein juga.
Karena pandangan van Hamel tersebut tidak mungkin dipakai, apabila menghadapi delik-delik yang dikwalifisir oleh akibatnya, di mana untuk memberi pemberatan pidana tidak diperlukan adanya kesalahan pada terdakwa terhadap timbulnya akibat yang memberatkan tadi, cukup jika secara obyektif dapat ditentukan bahwa akibat timbul karena perbuatannnya. Terhadap keberatan ini dikatakan oleh Van Hamel bahwa delik-delik yang dikualifisir oleh akibatnya itu, sesungguhnya sebagai jenis tersendiri tidak perlu diadakan dalam wet, karena :
1. Adalah keliru mengadakan pemberatan pidana tanpa melihat kesalahan, padahal yang penting dalam hukum pidana modern justru sikap batin terdakwa itu;
2. Jika toh kita masih akan mempertahankan adanya macam atau jenis delik tersebut cukuplah apabila ancaman pidana bagi delik itu ditinggalkan sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana bagi yang lebih berat dari delik biasa apabila ada akibat lain yang timbul daripadanya.

Dengan tidak mengadakan perbedaan antara syarat musabab , maka sekalipun secara teoritis adalah betul, teori Conditio sine qua non tidaklah sesuai dengan praktek, karena dalam pergaulan masyarakat justru diadakan perbedaan antara syarat dan musabab tadi. Juga dapat dikatakan, bahwa apa yang dipandang sebagai musabab oleh teori Conditio sine qua non itu, untuk praktek adalah terlampau luas. Karena itu diadakan batasan dengan mengadakan perbedaan antara mana yang menjadi musabab dan mana yang merupakan syarat belaka.

Dalam mencari batasan antara syarat dan musabab ini ada dua pandangan yang berlainan, yaitu
a) Mereka yang mengadakan batasan secara umum (menggeneralisir) yaitu secara abstrak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat (ante faktum). Pertanyaan mereka adalah : adakah perbuatan yang tertentu itu pada umumnya dapat (mungkin) menimbulkan akibat yang dilarang ? Jika jawabnya “Ya” , maka perbuatan tersebut adalah musabab daripada akibat tadi.
b) Mereka yang mengadakan batasan tersebut secara pandangan khusus (meng-individualisir), tidak meninjau secara abstrak dan umum, tetapi secara konkrit mengenai perkara yang tertentu itu saja. Tiap-tiap kejadian ditinjau sendiri-sendiri untuk menentukan mana yang menjadi musabab dari akibat tadi. Dan karena itu pendirian mereka dengan sendirinya haruslah pada saat sesudah timbul akibat (post faktum).

Golongan a adalah golongan teori-teori yang menggeneralisir dan
golongan b adalah golongan teori-teori yang mengindividualisir .

TEORI YANG MENGGENERALISIR
Yang paling terkenal dalam golongan ini adalah teori adequate, yang diajukan oleh I.von Kries seorang sarjana methemetica Jerman. Menurut teori ini, musabab dadari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Simons, 6e druk hlm. 144 no.4)
Yang menjadi soal sekarang ialah: apakah yang dimaksud dengan jalannya kejadian yang normal itu? Normal bagi siapa? Sebagai contoh: orang melihat diatas panggung tukang sulap memasukkan sapu tangan dalam topi yang terlebih dahulu telah diperlihatkan bawah kosong. Kemudian waktu topi dibuka lagi, sapu tangan tidak ada, yang ada adalah seekor kelinci. Hal tersebut buat orang-orang (anak-anak) yang pengetahuannya terbatas pada apa yang terlihat oleh mereka saja, maka itu adalah kejadian yang tidak normal, kejadian yang ajaib; sedangkan bagi yang mengetahui, bahwa ada dua topi yang sama rupanya, yang satu diisi dengan sapu tangan sedangkan yang lain sudah berisi kelinci, dan topi-topi itu ditukar ketika mengambilnya, maka kejadian tersebut adalah normal sekali.
Ada yang mengatakan (Vos hlm. 79) bahwa menurut von Kries yang dimaksud dengan normal ialah sepanjang terdakwa persoonlijk mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan-keadaan disekitar akibat. Jika ini benar, maka dalam praktek itu berarti, bahwa kelakuan si A yang melukai si B dengan pisau kecil, tetapi karena pisau itu mangandung hasil tetanus, hingga menimbulkan peracunan darah dan B meninggal dunia, itu adalah musabab matinya B, kalau A mengerti akan kemungkinan peracunan darah tersebut; sedangkan itu bukan musabab, kalau dia tidak mengetahuinya.
Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal digolongkan disini, berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum mengenai pangalaman manusia (naar de algemene regeien der menselijke ervaring) patut diadakan kemungkinan, bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat. Selanjutnya diterangkan, bahwa dalam pada itu tidak perlu diambil pendirian terdakwa persoonlijk artinya tidak perlu terkait pada apa yang diketahui atau yang dapat dikira-kira kan olehnya sendiri, tetapi yang ditanyakan hendaklah: jika diperhitungkan semua hal ikhwal yang pada umumnya dapat diketahui dan mengingat apa yang dapat dimengerti dari pengalaman, adakah akibat tersebut dapat diramalkan atau dikira-kirakan timbul dari kelakuan itu? Jika akibat terjadi juga karena hal-hal yamg diluar dugaan dan tidak bersangkutan dengan kelakuan, maka disitu tidak ada hubungan kasual antara kelakuan dan akibat.
Pompe (pg. 81) mengenai hal ini berpendapat sebagai berikut: musabab adalah hal yang cenderung (tendens, strekking) atau yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan akibat didalam keadaan itu. Lebih lanjut diterangkan oleh beliau: strekking itu antara lain dapat ternyata dari schijnlijk-heidnya (dapat dikira-kirakannya) akibat. Untuk menentukan, apakah suatu kelakuan menimbulkan matinya orang hendaknya diselidiki apakah pada saat berbuat itu, dengan mengingat semua keadaan yang ada, matinya orang tadi dapat dikira-kirakan sebagai jalannya keadaan yang normal atau tidak. Contoh yang beliau berikan: jika A melukai B dan B naik taksi pulang ke rumah dan supir di jalan mengantuk, Sehingga taxi jatuh di kali dan B mati tenggelam, maka kelakuan A tadi adalah syarat dan bukannya musabab dari matinya B. sebaliknya, jika matinya B itu karena mempunyai penyakit gula, sehingga luka-luka tadi ada karena adanya penyakit tersebut menimbulkan infeksi peracunan darah yang menyebabkan matinya B, maka kelakuan A tadi adalah musabab dari matinya B, sebab meskipun dari luka-luka kecil itu tidak dapat dikira-kirakan akan menyebabkan matinya B, tetapi pada waktu memperhitungkan “strekking” dari suatu kelakuan haruslah diingat semua hal ikhwal yang ada pada soal melukai tersebut. Adapun apakah A senditi mengira-ngirakan matinya atau seharusnya mengira-ngirakannya, itu adalah soal kesalahan, bukanlah soal kausalitas. Keberatan saya terhadap teori yang menggeneralisir ialah, bahwa mereka dalam mencari batasan antara syarat dan musabab, berfikir secara abstrak dan umum, sehingga dengan demikian sesungguhnya telah lepas diri dari perkara yang konkrit, yang tentu, dan yang penyelesaiannya justru diharapkan dari penentuan batas tersebut.
Hemat saya, di dalam menghadapi sesuatu perkara, untuk memberi keputusan yang tepat, tidak dapat dipakai sebagai dasar, keadaan-keadaan yang abstrak dan umum, tetapi memerlukan penelitian yang rapi terhadap perkara tertentu, yang konkrit dihadapi itu, agar supaya seluruh fakta-fakta, yang mungkin diketahui secara objektif di waktu itu, dan mempunyai pengaruh pada terjadinya akibat, ikut dipertimbangkan dalam penentuan batas antara syarat dan musabab. Lagi pula keberatan saya juga bukan saja tertuju terhadap formuleringnya hubungan antara akibat dan musabab, tetapi terhadap ukurannya untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan yang diformuiir itu. Sebab apakah ukurannya “normal” atau “pengalaman manusia” atau “strekking?” hemat saya dalam istilah-istilah itu ada tersimpul penilaian yang sedikit atau banyak bersifat subjektif, yaitu tergantung kepada orang yang menilainya itu sendiri.
Sebagai misalya: meskipun Pompe menggunakan istilah “strekking” atau “tendens” atau”kekuatan” yang nampaknya adalah pengertian-pengertian objektif, tetapi pada hakekatnya kata- kata itu adalah sama dengan pengertian yang dipakai oleh simons. Dalam keterangan masing-masing, selalu ada faktor yang menunjuk pada jalannya kejadian yang normal. Dan apakah yang dimaksud dengan itu, meskipun kedua penulis tidak membatasi pada pengetahuan terdakwa, tetapi toh selalu mempunyai sifat subyektif (simons: pengetahuan rata-rata orang, de gemiddelde mens, dan jika ragu-ragu diserahkan kepada pendapat hakim).

TEORI YANG MENGINDIVIDUALISIR
Yang terkenal dalam golongan ini adalah teori yang diajukan oleh Birkmeyer beliau mengambil sebagai pangkal bertolak teori Conditio sine qua non. Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak adapt dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya akibat (meist wirksam). Karenanya maka teori ini dinamakan Theory der meist wirksame Bedingung.
Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah : bagaimana dapatnya mengukur kekuatan sesuatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling banyakmembantu pada timbulnya akibat. Birkmeyer sendiri tidak memberikan jawaban atas soal ini.
Beliau hanya memberi contoh-contoh terhadap mana selalu dapat pula diajukan contoh-contoh lain yang justru menunjukkan sebaliknya, sehingga dari situ dapat ternyata bagaimana sukarnya membandingkan-bandingkan kuantitas daripada masing-masing syarat. Apalagi kalau syarat-syarat itu tidak sejenis. Sebagai contoh adalah apa yang diajukan oleh van Hamel: Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Masing-masing kuda sendiri-sendiri tak akan dapat menarik kereta tersebut, tetapi hanya bersamalah mereka baru dapat menggerakkannya. Musabab daripada bergerak itu adalah karena ditarik oleh dua ekor kuda tadi bersama-sama dan bukanlah menjadi musabab kuda yang paling kuat atau yang paling akhir dipasang dimuka kereta.
Keberatan seperti di atas dapat juga diajukan terhadap teori Kohler, yang mengatakan bahwa musabab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Jadi disini soalnya bukan mana yang kuantitatif paling banyak membantu, seperti dalam teori Birkmeyer, tetapi mana yang kualitatif menurut sifatnya, menurut “Arti” nya paling penting untuk timbulnya akibat. Teori ini dikenal dengan nama “Art des Werdens” (sifatnya kejadian).
Dalam golongan ini termasuk pula,”Ubergewichts-theori” yang diajukan oleh Karl Binding.
Menurut teori ini musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat-syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative “menyebabkan sesuatu perubahan adalah sama dengan perubahan daripada keseimbangan antara syarat-syarat yang membantunya, sehingga menjadi lebih berat syarat-syarat yang dikatakan belakangan ini”, demikian Binding.
Apakah artinya : syarat yang pada akhirnya menyebabkan jalannya perubahan menuju ke akibat? Apakah ini berarti seperti tetesan air yang paling akhir yang menyebabkan keluarnya air dari ember? Kirannya tidak, sebab Binding berkata Ursache sind die positivien Bedingunen in ihren ubergewichte uber die negative. Jadi rupanya semua syarat-syaratyang membantu untuk timbulnya akibat adalah musabab, tidak hanya satu syarat saja. Kalau begitu, tidak banyak berbeda dengan teoti Conditio sine qua non. Celaan oleh penulis-penulis Jerman terhadap teori Binding ini adalah karena terlamapu teoritis.
Dalam golongan ini dapat teori tersebut teori yang diajukan oleh Schepper, guru besar hukum pidana R.H.S. Batavia dahulu (Jaarboekje R.H.S. 1927). Hal-hal yang penting dalam pandangan beliau adalah :
(1) Hubungan kausal letaknya lapangan Sein, lapangan lahir, hal mana harus dipisahkan dari pertanggung jawaban yang ada di lapanagan Sollen, lapangan batin.
(2) Musabab adalah kelakuan yang mengadakan factor perubahan dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan memberi arah dalam proses alam menuju kepada akibat yang dilarang.
(3) meskipun ukuran: Faktor perubahan yang menuju kea rah akibat tersebut dalam positifnya dan kepastianya hanya relatif saja, tetapi secara negative sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu bahwa: manakala untuk kejadian itu selain daripada hubungan yang kita dapatkan, masih ada lain kemungkinan untuk menerangkanya (andree verklarings mongeliikheid )yang sama kuatnya atau melebihi dari hubungan yang didapatkan tadi, maka di situlah ternyata, bahwa hubungan yang pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar dari delik.
Pandangan saya mengenai teori Schepper ini, ialah bahwa pertama-tama dapat saya setujui pernyataan beliau, bahwa hubungan kausal letaknya dalam lapangan lahir (SEin0, hubungan mana dapat dialami dengan panca-indra. Dalam lapangan Sollen hubungan kasual tidak berlaku, karena Sollen, keharusan, itu tidak melewati atau dipengaruhi panca-indera, bahkan menuju kepada bathin orang itu sendiri, hal ini adalah penting sekali, sebab kiranya tidak sedikit jumlahnya orang yang baginya hal itu belum jelas.
Dibawah ini diberikan contoh-contoh dalam mana hubungan kasual dicampuradukan dengan hubungan kesalahan: dalam halaman 71-72 dari bukunya Jonkers, setelah menyatakan bahwa untuk delik yang dikualifsir oleh akibat misalnya penganiayaan yang berakibat mati, tidak diperlakukan dolus atau culpa (kesengajaaan atau kealpaan), beliau (Jonkers) menulis bahwa meskipun demikian, jika di situ tidak ada kesalahan sama sekali pada orang yang menganiaya tadi, maka juga tak dapt dipertanggung jawabkan atas matinya orang tersebut. Contohnya yang diajukan A menganiaya B. Di tengah jalan sewaktun hendak pergi ke dokter untuk berobat, B mendapat kecelakaan sehingga menemui ajalnya, kata Jonkers: “Sekalipun antara penganiayaan dan matinya B kita terima adanya hubungan kausal, tetapi toh matinya B tak dapat kita pertanggungjawabkan pada A oleh karena A tidak mempunyai kesalahan sama sekali”.
Jika ucapan ini kita pegang, maka ini bertentangan dengan apa yang dikatakan pertama-tama, yaitu bahwa delik-delik yang dikualifisir oleh akibatnya, diman ada suatu keadaan yang obyektif memberatkan, tidak diperlukan kesalhan terhadap timbulnya akibat tadi, baik yang berbentuk dolus maupun culpa. Ucapan yang bertentangan tadi dimungkinkan karena Jonkers mencampuradukan kausal dan hubungan bathin yang merupakan kesalahan.
Untuk mempertanggung-jawabkan matinya B bukanlah kesalahan yang harus ada pada A, tetapi hubungan kausal antara penganiayaan dan matinya B. Dan jika matinya itu ditentukan akibat dari kecelakaan, maka hubungan kausal tersebut tidak mungkin ada. Contoh yang lain adalah putusan Landraad Tulungagung 1939 (T.150 pag 454) mengenai pasal 360 KUHP. Karena kealpaanya menyebabkan orang lain menderita luka-luka. Duduknya perkara adalah sebagai berikut: Seorang bapak yang sedang toune meninggalkan senapan dalam oto dengan anaknya. Maksudnya, sesudah keluar kantor lalu akan berburu. Tetapi anak di waktu bapak bekerja , main-main dengan senapan dan akan menembak burung, tetapi mengenai orang yang ada dekat situ. Landraad memidana si Bapak melanggar pasal 360 KUHP dan denda Rp.20,-…
Pertimbangan hakim antara lain adalah “Bahwa dengan mengajak anaknya dalam perjalanan dinas dan jika ada kesempatan untuk mengikuti berburu, terdakwa adalah sangat kurang hati-hati ( grovelijk onvoorzichtig); dan bahwa terdakwa lalu meninggalkan senapan dalam oto beserta peluru-pelurunya di mana anak ini juga ada, sikap tersebut adalah sangat teledor (grovelijk nalatig), oleh karena terdakwa dapat dan seharusnya menduga, bahwa anak akan menembak dengan senapan. Mengingat kurang fahamnya si anak untuk menembak, maka dapat dikira-kirakan akan timbul kecelakaan oleh karenanya”.
Catatan saya dalam hal ini: Disini hanya tentang hubungan kesalahan saja yang dipertimbangkan. Hubungan kausal antara kelakuan bapak dan kula-lukanya orang yang tertembak itu belum diajukan dan hemat saya hubungan tidaklah ada.
Lain halnya dengan putusan Landraad Poerworedjo 1993. (T. 139 pag. 140). Dalam putusan ini jelas dibedakan antara hubungan kausal dan hubungan kesalahan. Duduknya perkara adalah sebagai berikut :
Perempuan S sakit gila. Yang berkewajiban mengurusnya adalah A dan B. Pada suatu ketika A tidur dan B tidak ada disitu, S keluar rumah dan membakar rumah tetangga A dan B dituntut, karena mealanggar pasal 188 sub 1, yaitu karena kealpaannya menimbulkan bahaya kebakaran. Pertimbangan Landraad untuk adanya kesalahan, dalam hal ini : Een culpoos nalaten, (tidak berbuat sesuatu karena kealpaannya) dipihak terdakwa-terdakwa, terlebih dahulu harus ada hubungan kausal yang langsung antara keteledoran mereka itu dengan timbulnya kebakaran. Dalam perkara ini, hubungan kausal ini tidak ada. Tidurnya si A dan tidak adanya si B di tempat S toh toh tidak dapat dipandang sebagai musabab dari kebakaran yang ditimbulkan oleh S, tetapi dengan keadaan tersebut S hanya mendapat kesempatan dan kebetulan kesempatan itu digunakan S untuk keluar dari rumah dan membakar rumah tetangga. Karena itu kelakuan terdakwa-terdakwa hanya merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan terjadinya akibat tadi, bukanlah merupakan musabab. Dan karena itu terdakwa-terdakawa tidak dapat dipidana.
Juga benar hemat saya adalah putusan politie rechter Bandung 1933 (T. 138 pag 119). Disini seorang bapak membolehkan anaknya belajar naik sepeda motor di jalan umum. Anak menabrak seseorang hingga luka-luka berat. Bapak dituntut melanggar pasal 360 KUHP, oleh karena menurut O.M.(Kejaksaan) ada hubungan kausal antara kelakuan bapak, yaitu mengizinkan belajar di jalan umum, dengan akibat tabrakan tersebut. Sebaaliknya hakim mengatakan, bahwa kelakuan bapak itu bukanlah musabab, tetapi hanya suatu syarat untuk dapat terjadinya tabrakan yang mengakibatkan luka-lukanya seorang tadi, O.M. menyandarkan pendapatnya diatas putusan Raad van justitie Medan 1926, yang dikuatkan oleh H.G.H. Disitu dianggap, bahwa orang yang mengajar seorang juffrouw mengendarai mobil dan duduk di sampingnya, dapat dipertanggung-jawabkan atas tabrakan yang kemudian terjadi.
Tetapi polisi Rechter berpendapat, bahwa hal tersebut tidak dapat disamakan, karena disitu dipandang, bahwa si guru tadi turut mengendarakan (mede besturen) mobil.
Hal yang kedua dari pandangan Schepper yang dapat saya setujui ialah formuleringnya mengenai musabab, yaitu bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan factor perubahan kejurusan akibat artinya bahwa dengan adanya syarat itu kompleks keadaan lalu berubah dan perubahan itu menuju kearah akibat. Di sini tampak pengaruh Binding, hal mana dapat saya setujui karena formulering demikian itu adalah lebih nyata, lebih mudah dimengerti daripada formulering teori-teori yang menginduvidualisir lainnya, sebab yang kita butuhkan dengan memakai sesuatu teori hubungan kausal ialah, bahwa akibat yang terlarang itu dapat kita hubungkan dengan sesuatu kelakuan orang sedemikian rupa, sehingga ditinjau dari sudut lahir dan secara obyektif, dapat dikatakan bahwa karena adanya kelakuan itulah maka akibat lalu terjadi. Dan dalam formulering Schepper di atas, sifat tau macamnya hubungan itu cukup dapat dimengerti.
Sekarang, yang menjadi soal ialah apakah ukurannya bagi saya untuk menetukan bahwa suatu kelakuan mengadakan perubahan yang menuju kea rah akibat? Hemat saya, ukurannya tidak lain daripada akal atau logika. Dengan lain perkataan: suatu kelakuan dapat ditentukan sebagai musabab dari suatu akibat jika dengan adanya kelakuan tadi dan mengingat kompleks keadaan yang setalah terjadinya akibat ( post faktum ) ternyata ada di situ, menurut logika menurut akal dapat dipastiakan bahwa keadaan lalu berubah menuju kepada timbulnya akibat.
Soalnya sekarang lalu : logika atau akal siapakah yang harus diambil sebagai pedoman? Disini tidak bias diturut logika atau akal yang subjektif yaitu kepunyaan terdakwaatau kepunyaan seseorang yang dipandang menjadi “ de gemiddeldemen sh “ ataupun kepunyaan hakim yang mengadili perkara tersebut, bahkan harus logika atau akan yang objektif, yaitu yang tercapai oleh ilmu pangetahuan alam pada masa itu, karena yang akan ditentukan adalah hubungan dalam alam kenyataan yang dapat diambil dengan panca-indra.
Juga hakim juga berpegang pada kenyataan ini. Jika dalam suatu perkara pembunuhan misalnya karena tembakan. Meskipun baginya tidak ragu-ragu bahwa peluru yang membikin mati itu berasal dari pistol yang telah dibuktikan ditembakkan oleh terdakwa, namun ia harus meminta pendapat seorang ahli tentang hal itu, yang dengan pengetahuannya yang objektif mengenai bagian dari ilmu alam tersebut, akan membuktikan bahwa peluru yang melukai badan itu adalah betul-betul peluru yang keluar dari pistol terdakwa.
Bagaimanakah kalau menurut ilmu pangetahuan yang objektif tidak didapat kata sepakat? Misalnya ada ahli yang mengatakan “ ya “, Teyapi ada pula yang mengatakan “ tidak”. Jadi masih terjadi perselisihan paham apakah ada hubungan kausal atau tidak. Dalam hal ini berlakulah punt ke -3 dari pandangan Prof. Schepper di atas, yaitu : jika secara positif tidak dapat dipastikan adanya hubungan kausal antara kelakuan dan akibat, maka secara negative dapat ditentukan oleh hakim, bahwa hubungan kausal itu tidak ada. Contoh-contoh tentang hal ini: Dalam kaca 92, noot 58, Prof. Schepper menceritakan tentang pnganiayaan yang berakibat mayinya orang yang dianiaya karena limpanya pecah ( milt scheuring ).
Dahulu dikalangan kedokteran yang tertentu ada anggapan bahwa kepecahan limpa itu mungkin dengan sendirinya ( spontan ), sehingga dipandang tidak ada hubungan kausal dengan penaniayaan yang tejadi beberapa waktu sebelumnya. Hal ini ( dalam kalangan kedokteran ) menimbulkan suatu panas diantara para dokter, ketika di India pada tahun 1920 ada seorang kulit putih mengaiaya pribumi yang kemudian meninggal karena pecah limpanya, dibebaskan dari pidana karena dianggap pecahnya limpa itu spontan. Jadi tidak ada hubungannya dengan penaniayaan. Ini menyebabkan terjadinya penyelidikan di beberapa negarayang kemudian hasilnya adalah : kepecahan limpa secara spontan adalah sangat diragukan. Tentu ada suatu tekanan dari luar.
Juga ada disebut oleh Prof. Schepper Putusan H.G.H tahun 1921 ( T. 117 pag 283 ) : S dituduh menganiaya kuli yang mengakibatkan matinya kuli itu karena penumpahan darah didalam ( inwendige bloeding ) disebabkan karena pecah limpanya. R.v.J menetapkan bahwa antara penganiayaan ( ditendang ) dan matinya kuli tidak ada hubungan kausal sehingga terdakwa hanya dipidana karena penganiayaan enteng, denda Rp 100,-
Off v.J. minta revisie. Pendapat H.G.H : Pemeriksaan kurang cukup. Supaya diadakan laporan ahli tentang pertanyaan – pertanyaan :
1. mungkinkah, bahwa limpa kuli itu tidak lalu pecah seketika dapat tendangan, tetapi baru kemudian?
2. mungkinkah, jika limpa pecah seketika dapat tendangan, kuli kemudian kuli dapat berdiri, berjalan, dan bekerja kembali?
Kedua pertanyaan ini dengan mengingat keadaan limpa pada waktu diadakan pembukaan mayat ( lijk-schouwing ).
Bahwa dalam hubungan kausal diperlukan adanya hubungan logika bahkan dapat dipersamakan, dalam karangan Prof. Schepper tadi tidak ternyata. Hal ini dapat kita baca dalam Verzamelde Werken dari Prof.Mr.Leo Polak jl. I. III pag. 1949 dimana ditulis sebagai berikut : “Dan akhirnya dalam pengertian kausal, hubungan antara musabah dan akibat hamper tak dapat dibedakan dari hubungan logika, hal mana dalam sejarah bahasa dan pikiran manusia selalu dipersamakan. Sebagaimana konklusi disimpulkan dari praemissen, mengalir daripadanya atau termaktub didalamnya, demikian pula dari musabah sisimpulkan akibat, yang mengalir daripada-nya atau tersimpul didalamnya. Untuk “akibat” dalam pengertian logika atau dalam pengertian kausal, dalam banyak bahasa dinyatakan dengan perkataan yang sama.
Apakah yang saya ajukan ini juga pandangan Schepper? Hal ini tidak begitu terang, sebab perkataan yang dipakai beliau adalah : obyektief feitelijk verband. “Dan yang dimaksud dengan ini ialah” : causal of daarnee op een lijn te stellen verband (hubungan kausal atau hubungan yang dapat disamakan dengan itu; pag. 83). “Feitelijk verband” dapat kita artikan: Hubungan yang ada dalam kenyataan. “Obyektief feitelijk verband” adalah hubungan lahir yang dapat ditentukan secara obyektif dan ini menurut Schepper meliputi: hubungan kausal dalam arti sesungguhnya dan hubungan kausal dalam arti yang tidak sesungguhnya, yakni yang dapat dipersamakan dengan hubungan kausal tadi. Contoh Schepper tentang hubungan kausal yang sesungguhnya adalah orang menembak atau menusuk orang lain sampai mati. Di sini menembak dan menusuk itu adalah factor yang positif memberi arah (positief richting gevende factor) di dalam proses kejadian yang menuju kearah matinya si korban. Contoh dari hubungan yang dapat dipersamakan dengan hubungan kausal:
(1) orang yang menimbulkan bahaya banjir dengan membuka pintu air.
(2) Penjinak binatang buas yang memasukkan orang lain ke dalam kerangkenya bersama-sama dengan dia sendiri, tetapi kemudian keluar sehingga orang tadi diterkam oleh binatang buas.
“Kelakuan kedua orang ini” kata Schepper “bukanlah suatu element, suatu unsur dalam proses kejadian, yakni datangnya bahaya banjir dan diterkamnya orang oleh binatang buas, tetapi adalah faktor perubahan yang menyebabkan berubahnya keseimbangan keadaan kearah akibat yang merupakan delik, sehingga tidaklah kausal dalam arti sesungguhnya. Sungguhpun demikian, antara kelakuan mereka dan akibat-akibat tadi terang ada hubungan nyata, ada feitelijk verbandnya sehingga akibat-akibatnya tadi secara obyektif dapat dianggap berhubungan dengan kelakuan tersebut”.
Hemat saya hubungan obyektif yang ada disitu tak lain dan tak bukan adalah hubungan logika, oleh karena sesuai benar dengan jalannya logika, bahwa apabila pintu air dibuka, air yang dulunya tertahan oleh pintu tadi lalu mengalir ke tempat yang rendah, sehingga merupakan bahaya banjir. Juga sesuai dengan logika pula bahwa dalam hal binatang buas ditinggal dalam kerangkeng dengan orang asing baginya, pastilah orang itu akan diterkamnya.

TEORI OBJEKTIF NACHTRAGLICHE PROGNOSE
Di atas saya katakan, bahwa teori adequat von Kries dan juga teori menggeneralisir lainnya, sedikit atau banyak dalam menentukan ukuran untuk adanya hubungan kausal adalah kurang obyektif, masih kecampuran pandangan subyektif (pengetahuan terdakwa). Oleh karena itu pandangannya dinamakan subyektif prognose (peramalan yang subyektif). Di samping ini ada teori adequat yang berpendirian atas peramalan obyektif, yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadinya akibat (obyektif nachtraliche prognose). Yang menganjurkan ini adalah Rumelin (lihat Simons pag. 145 nt.3 vos pag. 79 van Hattum pag.195).
Menurut Rumelin dalam menentukan apakah suatu kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah: Apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan timbul dari kelakuan itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat dikatakan pula bahwa teori Rumelin ini tergolong teori yang mengindividualisir, sehingga perbedaan antara hari ini dengan teori yang saya ajukan di atas adalah mengenai: Ukuran apakah yang dipakai untuk meramalkan akan timbunya akibat dari kelakuan yang tertentu, (dalam formulering saya istilahnya bukan meramalkan tetapi menetapkan mesti timbulnya akibat). Jika yang dipakai untuk ukuran itu adalah juga logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang obyektif, maka keberatan saya ialah hanya tentang istilah “meramalkan” itu saja.
Van Hattum dalam pag. 197 mengatakan bahwa: dalam praktek mengenai kejahatan-kejahatan yang disamping hubungan kausal juga mengharuskan adanya kesalahan (hubungan batin) secara praktis tidak ada perbedaan apakah kita mengikuti Von Kries (subyective prognose) atau Rumelin (obyektive nachtragliche prognose). Sebagai contoh adalah:
Juru rawat yang telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat lagi pada pasien, toh memberikan obat lagi, tetapi sebelum itu diluar pengetahuannya ada orang lain yang memberikan racun dalam obat itu, hingga si sakit lalu mati. Menurut von Kries karena terdakwa tidak mengetahui, bahwa ada orang yang memberikan racun kedalam obat yang biasa diberikan pada si sakit maka hal peracunan itu tidak dimasukkan dalam pertimbangan. Sehingga pertanyaan lalu berbunyi: Apakah pemberian obat yang biasa pada si sakit itu meskipun telah dilarang oleh dokter adalah adequat untuk matinya si sakit. Jawabannya tentu “tidak adequat” sehingga tidak ada hubungan kausal anatara perbuatan juru rawat dan matinya si sakit.
Menurut Rumelin hal peracunan itu dimasukkan dalam pertimbangan sebab ini obyektif ada, walaupun tidak diketahui oleh juru rawat itu, sehingga tentu saja perbuatan juru rawat itu dapat dikatakan menjadi penyebab daripada matinya si sakit tadi. Tetapi pada waktu mempertimbangkan kesalahannya, karena juru rawat tidak tahu tentang hal tersebut, maka ia tidak mempunyai kesalahan atas matinya si sakit, sehingga tidak dapat pula dipidana. Perbedaan antara von Kries dan Rumelin akan ada apabila untuk pemidanaan tidak diperlukan adanya kesalahan seperti pada delik-delik yang dikualifisir oleh akibatnya. Sebagai contoh misalnya: Putusan R.B. (rechtbank) Amsterdam 1933, yakni mengenai seorang suami yang memukul istrinya dengan sandal (pantoffel) di bagian kepala. Istrinya itu mati. Setelah R.B. memeriksa pantoffel tersebut dan ternyata adalah pantoffel itu adalah biasa saja, maka R.B. mengatakan bahwa melemparkan dengan kekerasan dan dengan kekuatan yang besar pantoffel yang mempunyai zool dan hak pada kepala si korban itu tidaklah “geschikt” dan tidak “voorbestemd” untuk menyebabkan matinya si korban. Karena itu maka si suami hanya dipidana karena penganiayaan biasa.
Hof Amsterdam berpendapat lain mengenai hal ini. Setelah dilakukan pemeriksaan ahli pada tengkorak si korban ternyata bahwa tengkorak itu adalah “eierschedel”. Hal ini masuk dalam pertimbangan Hof, sehingga pernyataan berbunyi: Apakah melemparkan pantoffel dengan keras dan dengan kekuatan yang besar dengan jarak yang pendek pada kepala seseorang yang mempunyai “eierschedel” adalah adequat kausal bagi matinya orang itu? Diantara dua kejadian ini dipandang oleh Hof ada hubungan yang adequat kausal sehingga ditentukan bahwa lemparan itu adalah adequat dan voorbestemd untuk menyebabkan matinya orang tadi.

TEORI RELEVANSI
Berlainan dengan penulis-penulis Belanda yang sekarang pada umumnya menurut teori adequat (Hazewinkel, van Hattum, Pompe), prof. Langemeyer mengikuti teori yang dinamakan teori relevansi (Noyon Langemever Sedral, pag. 43 dan seterusnya). Teori ini juga diikuti oleh Mezger (pag. 56).
Menurut teori ini, tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, seperti teori yang menggeneralisir dan yang mengindividualisir, tetapi dimulai dengan menginterpretir rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Jadi jika pada teori-teori yang menggeneraisir dan yang mengindividualisir pertanyaan yang pokok ialah: Adakah kelakuan ini menjadi musabab dari akibat yang dilarang? Maka pada teori relevansi soalnya ialah: Pada waktu undang-undang menentukan rumusan delik itu, kelakuan-kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang?
Dari pertanyaan pokok ini maka hemat saya boleh dikatakan bahwa teori relevansi bukanlah lagi suatu teori mengenai hubungan kausal, tetapi mengenai penafsiran undang-undang, suatu teori mengenai interpretasi belaka. Dalam pada itu tentu saja kelakuan yang relevant tadi harus menjadi conditio sine qua non dalam proses timbulnya akibat. Jadi dalam hal ini teori relevansi juga berpegangan pada teori van Buri, sama saja halna seperti teori-teori yang menggeneralisir, dan yang mengindividualisir. Oleh karena pemilihan antara syarat-syarat yang relevant itu didasarkan atas rumusan delik, jadi abastrak dan umum, maka ini mendekati teori-teori yang menggeneralisir. Langemeyer mengatakan tentang cara bekerjanya teori ini yang mengandung anggapan adanya hubungan kausal maka kiranya istilah-istilah itu bukan petunjuk pada hubungan kausal saja, tetapi juga menunjuk pada syarat-syarat lain untuk mempertanggungjawabkan orang atas akibat-akibatnya. Apakah syarat-syarat lain itu, harus ditentukan mengingat arti taalkundig yang precies dari kata-kata yang menurut maksud pertanggung-jawab (ratio der verantwoordelijkheid) dalam wet yang tertentu.
Mezger mengatakan: “Teori relevansi mengadakan perbedaan antara pengertian kausal dan pengertian Haftung (pertanggung-jawab). Dalam soal kausal teori tersebut berpegang pada makna kausal secara ilmu yang umum. Akan tetapi soal pertanggung jawaban ditentukan semata-mata menurut pandangan dalam hukum pidana, yakni menurut maksudnya rumusan delik masing-masing pada ketika itu.
Di bawah ini saya sajikan contoh-contoh yang disebut oleh Langemeyer, agar dengan demikian lebih jelas ke arah mana pikiran teori relevansi itu. Pada kaca 47 dan seterusnya ada contoh tentang penganiayaan yang berakibat matinya orang yang dianiaya. Berhubung dengan perkataan dalam rumusan delik “den dood ten gevolge hebben” maka kelakuan-kelakuan apakah yang dibayangkan oleh pembuat undang-undang? Jawab Langemeyer: “pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat menurut strekkingnya delik-deliknyasemacam ini, hendaknya dibataskan pada akibat-akibat yang kiranya ada besar kemungkinannya terjadi pada penganiayaan. Adapun “waarschijnlijk”nya akibat ini tidak perlu diteliti pada tiap-tiap perkara in concreto, apakh terdakwa sendiri juga mengetahui tentang hal tersebut. Seterusnya dikatakan oleh Langemeyer: dengan mengadakan penganiayaan itu, wet-gever berpendirian, bahwa terdakwa seharusnya menduga-duga (voorzien) akihat yang naar waarschijnlijkheid akan timbul dari padanya. Sebaliknya akibat yang tidak waarschijnlijk (yakni misalnya berhubung dengan keadaan jasmani yang (dianiaya.) dalam delik-delik itu tidaklah relevan. Misalnya jika vang di¬aniaya mati di rumah sakit, karena ada kebakaran di situ, maka matinya itu tidak dipertanggung-jawabkan pada orang yang menganiaya, sebab penganiayaan itu memperbesar kemungkinan untuk dirawat di rumah sakit, tetapi tinggalnya di rumah sakit itu tidaklah memperbesar kemungkinan matinya karena vers¬tikking of brand (keasapan atau kebakaran).
Dalam hal perampasan kemerdekaan yang berakibat matiny,a yang dirampas kemerdekaannya itu (pasal 333 ayat 3), di situ tidak begitu nyata maksud daripada pembuat undang-¬undang yang relevan itu mati karena apa. Karena itu tidak dapat diadakan jawaban secara umum, haruslah ditinjau keadaannya satu persatu. Jika misalnya matinya orang yang ditawan itu karena penyakit menular yang tidak dapat diduga-dugakan oleh orang yang menawan atau pada umumnya orang yang ber¬hati-hati, maka matinya orang. yang ditawan tadi tidak relevan dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada yang menawan.
Catatan saya mengenai ini adalah, bahwa saya berpendapat lain. Bagi saya ialah: bagaimanakah keadaan senyatanya setelah terjadi akibat (Post factum). Apakah matinya betul-betul disebabkan karena penyakit menular yang ternyata ada di tempat tawanan? Jika demikian, maka ada hubungan kausal antara perbuatan penawanan dan matinya orang yang ditawan, sehingga si penawan harus bertanggung-jawab tentang hal itu. Terlepas dari pendirian yang berlainan ini, kesempatan seperti yang saya ajukan ini dapat dicapai pula apabila juga berpikir seperti itu dalam hal penganiayaan (merusak pada keadaan konstitusi yang dianiaya). Di sini orang yang ditawan dihapus¬kan segala keleluasaannya, untuk memelihara peri-kehidupan¬nya. Oleh karena itu segala akibat yang menimpa pada peri kehidupannya adalah menjadi tanggung-jawab orang yang menawan baik yang dapat diduga-duga terlebih dahulumaupun yang tidak.
Dalam ucapan-ucapan Langemeyer di atas, mengingat istilah seperti: “waarschijnkheid”, harus dapat diduga-dugakan oleh orang yang berhati-hati, dan pendirian anti faktuum, ini mengingatkankita pada teori-teori yang meng-generalisir (teori-adequat). Oleh. karena itu kalangan-kalangan tertentu ada yang mengecap teori-relevansi ini sebagai teori adequat dengan nama-lain:
Atas tuduhan ini Mezger berkata: “Pada umumnya kita membatasi syarat Haftung terhadap suatu akibat, pada syarat–syarat yang pada umumnya menurut pengalaman terkhusus (geeignet) dapat menimbulkan akibat seperti halnya dengan teori adequat. Akan tetapi dengan ini tidak berarti, bahwa teori relevarsi adalah suatu teori adequat dengan lain nama saja, oleh karena teori adequat tidak mengindahkan maksud rumusan delik, seperti teori relevansi. liemat saya, jawaban Mezger ini adalah lemah sekali dan mengingat pandangan Langemeyer dalam contoh menganiaya dan menawan orang yang berakibat matinya oleh orang di atas sama sekali tidak ternyata apa yang dapat ditentukan dari maksud rumusan delik, bahkan semata-mata akibat yang dipandang relevan itu ditentukan menurut teori adequat.
Wilnelm Sauer (Algemeine Strafrechtslehre, 1949, pag 73) mengatakan bahava “Teori relevansi itu adalah suatu macam konstruksi yang lain daripada teori lain-lainnya tetapi yang memberatkan dengan tiada gunanya pada penyusunan yang sistematis.

HUBUNGAN KAUSAL KELAKUAN NEGATIF
Apa yang dikatakan di atas adalah mengenai kelakuan yang positif (berbuat sesuatu). Bagaimana sekarang mengenai kelakuan yang negatif? Apakah mungkin suatu tingkah laku yang negatif dikatakan menimbulkan suatu akibat yang terlarang?
Pertanyaan ini ada yang menjawab dengan: tidak mungkin. Bagaimana dari sesuatu kekosongan akan mungkin timbul sesuatu? Hoe kan uit niets onstaan? demikianlah dikatakan oleh mereka yang tidak memungkinkan adanya hubungan kausal dari kelakuan yang negatif. Demikian pula pendapat dari Schepper. Yang dalam pagina 83 mengatakan: “Bahwa antara nalaten dan akibat tidak ada hubungan kausal, itu sudah dapat disimpulkan dari sifat negatifnya tingkah laku itu sendiri. Nalaten bukanlah natuur feit, bukanlah hasil dari pada pandangan semata-rnata jgee.i product van bloote waar¬neming), akan tetapi hasil daripada pikiran yang membanding¬-banding dan menghubung-hubungkan, dengan pendek kata: adalah suatu konstruksi juridis. Hubungan kausal hanya mempu¬nyai arti yang indirek (tidak langsung) bagi nalaten; yaitu bahwa berlangsungnya proses dalam kompleks kejadian dan arti potensi (dari kelakuan yang diharuskan terhadap berlang-sungnya proses dalam kompleks kejadian itu, harus dapat di-mengerti dahulu, sebelum tidak adanya kelakuan yang diharus¬kan itu dapat dinamakan nalaten.
Dan pada kaca 84 ada dituliS demikian:
“Sepanjang mengenai kelakuan negatif, diperlukan adanya -hubungan obyektif, maka ini harus ada lebih dulu, sebelum dikatakan ada nalaten, atau dengan lain perkataan: suatu tingkah laku yang dinamakan nalaten di dalamnya sudah mencukupi hubungan lahir yang diperlukan antara keadaan-keadaan yang menjadi dasarnya feiten kompteks,
Hemat saya, dari yang dikutipkan di atas ternyatalah bahwa Schepper tidak mengakui adanya hubungan kausal daripada kelakuan negatif, dan itu didasarkan atas dua alasan yang hemat saya sesungguhnya masing-masing tidak ada hu¬bungannya satu sama lain, yaitu:
Pertama: dikatakannya bahwa tidak mungkinnya hubung¬an kausal nalaten itu sudah tersimpul dalam sifat negatifnya kelakuan itu sendiri (ini terpengaruh oleh uit niets kan nooit iets ontstaan).
Kedua: Nalaten itu adalah suatu pengertian juridis, bukan suatu pengertian yang berdasar atas pengalaman panca indera semata-mata. Maka dari itu tidak mungkin ada hubungan kausal dari itu (sebab hubungan kausal hanya dalam Lapangan “sein”). Hubungan kausal hanya mempunyai arti yang tidak langsung bagi nalaten, yaitu sebelum dapat dikatakan adan nalaten, maka dalam kompleks kejadian hubungan yang pon¬tensiil diperlukan antara kelakuan yang negatif dan akibat dalam arti: kalau di situ ada kelakuan yang positif tentu akibat tidak timbul harus sudah dapat dimengerti lebih dahulu.
Jadi Schepper mengadakan perbedaan antara kelakuan yang negatif saja, dengan kelakuan negatif yang juridis dapat dinamakan nalaten. Yang dimaksudkan ialah kelakuan ne¬gatif yang bersifat melawan hukum. Hemat saya pembedaan ini tidak perlu, sebab hanya akan memuramkan pokok perso¬alan saja. Yang menjadi persoalan ialah kelakuan negatif saja. Dan soalnya ialah: Apakah akibat yang dilarang itu dapat di¬katakan timbul dari adanya tidak berbuat sesuatu atau tidak. Jika jawaban “ya”, jadi jika menurut logika karena adanya “tidak berbuat sesuatu” itu maka akibat mungkin timbul, situlah ada hubungan kausal antara kelakuan negatif dan akibat.
Adapun mengenai pertanyaan: “Apakah kelakuan neg;atif dari orang yang tcrtentu itu bersifat melawan hukum yaitu apakah ia mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu itu dan kewajiban mana diabaikannya, itu dapat dipecahkan kemudian.
Jadi dari keberatan Schepper yang kedua ini dapat disimpulkan bahwa beliau keberatan untuk mengakui adanya hubungan kausal antara nalaten dan akibat, tetapi tidak me-nyangkal bahwa antara suatu kelakuan negatif dan suatu akibat hubungan itu mungkin ada. Ini ternyata dari ucapannya. “harus dimengerti dahulu”.
Adapun keberatan beliau yang pertama: tidak mungkin adanya hubungan kausal sudah termaktub dalam sifat negatif¬nya kelakuan itu sendiri, hemat saya perlu kita ingat bahwa:
1. hubungan kausal dalam hukum pidana adalah logika.
2. oleh karena itu soalnya bukanlah apakah dari suatu ke-kasongan mungkin timbul sesuatu, tetapi: apakah sesuatu itu mungkin timbul karena ada yang mengalang-alangi?
Prof. Simons (6e druk, pag. 152) berpendapat sebagai berikut: Sudah barang tentu terjadinya akibat yang merupakan delik itu karena adanya suatu kelakuan atau hal ikhwal di luar kelakuan negatif. Jika yang dianggap ada hubungan kausalnya itu hanya apabila akibat ditimbulkan oleh musabab (Schepper menamakannya een positief element) maka tentunya hubungan kausal dengan suatu kelakuan negatif sukar diterima. Tetapi bagi hukum tidak ada alasan yang mengharuskan adanya penger¬tian sesempit itu. Jika dengan diadakan kelakuan positif sebagai ganti dari kelakuan negatif, timbulnya akibat dapat dihindar¬kan, maka mengenai kelakuan negatif tadi juga dapat dikatakan pada hubungan kausal, sebagaimana halnya dengan kelakuan positif yang menimbuikan akibat. Bahwa dalam kelakuan negatif, sesungguhnya yang mengerjakan atau menjadikan akibat adalah fakfor lain, itu tidak menjadi halangan; sebab dalam kelakuan positif-pun ada ikut bekerja faktor-faktor lain, meskipun demikian kepada kelakuan positif itu sendiri di¬katakan merrpunyai sifat kausal. Tidak rnenghindarkan suatu akibat, dimana kelakuan positif akan menghindarkannya, dapat dikatakan sebagai menimbulkan akibat itu, hal rnana sesuai dengan pemakaian bahasa sehari-hari, yang tentu saja tidak diabaikan oleh pembentuk undang-undang.
Mezger (pas. 63) mendasarkan adanya hubungan. kausal mengenai kelakuan negatif sebagai berikut:
Atas keberatan: bagaimana dapat timbul akibat dari suatu kekosongan, dapat dijawab, bahwa dalam hukum pidana kela¬kuan negatif itu tidak berarti semata-mata tidak berbuat (kekosongan), tetapi selalu berarti tidak berbuat sesuatu yang ter¬tentu (kein einfachas nichts tunsondern ein: etwas nichts tun). Karena itu kelakuan negatif adalah kausal berhubungan dengan suatu akibat, apabila sesuatu yang tertentu itu dapat meng¬hindarkan timbulnya akibat tersebut. Maka dari itu suatu Para¬lellitat (keadaan, yang sejajar) antara hubungan kausal dari ke¬lakuan positif dan hubungan kausal dari kelakuan negatif. Di dalam kedua-duanya hubungan diadakan oleh perjalaran berpikir yang hypothesis (dianggap sebagai benar), sehingga merupakan “Urteil” (pernilaian) bahwa di situ ada hubungan kausal. Adalah keliru untuk mengira demikian Mezger selanjutnya bahwa hubungan kausal dalam kelakuan positif seluruhnya largsung bersandar atas “Realitat” (kenyataan), sedangkan hubungan kausal dalam kelakuan negatif adalah suatu Gedanken-operation) ciptaan dalam akal belaka). Baik dalam hubungan yang pertama, maupun yang kedua susunan logis mengenai pengertian hubungan kausal adalah sama”.
Catatan saya mengenai ucapan Mezger ini, dikuatkan pula dengan apa yang telah dikutip dari Leo Polak, dapat di¬tentukan bahwa dalam hukum pidana, hubungan kausal adalah sama dengan hubungan logika. Dan ukurannya logika itu ialah: logika yang dicapai dalam ilmu pengetahuan alam yang obyektif
Jika pokok ini telah diakui dan “obyektif feitelijk ver¬band” dari Schepper di atas tidak mungkin berarti lain daripada: hubungan logika yang obyektif, maka hemat saya Sche¬pper tidak konsekuen untuk di satu pihak mengatakan: ada hubungan kausal di dalam cohtoh-contoh membuka pintu air dan meninggalkan orang. datam kerangkebg binatang buas di atas sedangkan di lain pihak mengenai kelakuan negatif tidak suka mengakui adanya hubungan tersebut. Sebab di dalam kedua-duanya pihak itu, sifatnya kelakuan berhubung dengan timbulnya akibat adalah sama, yaitu dalam kedua-duanya pihak, kelakuan tidak merupakan positif element dalam jalannlya proses keadaan.
Pada umumnya dapat dikatakan banwa hubungan kausal mengenai kelakuan negatif telah diakui (Pompe pag. 85, Vos pag. 82, Jonkers pag. 67. van Hattum pag. 232, Hazewinkel Suringa pag. 75.

APAKAH MUNGKIN LEBIH DARI SATU KELAKUAN YANG MENJADI MUSABAB DARI SUATU AKIBAT ?
Menurut teori conditio sine qua non tentu mungkin sekali, karena tiap-tiap syarat adalah musabab dari akibat tersebut. Sebaliknya menurut teori-teori yang dengan nyata-nyata hanya memilih satu syarat yang menjadi musabab, soal tersebut tentunya harus dijawab dengan: tidak mungkin, ini adalah mengenai teori dari Birkmeyer (musabab adalah der meist wirksame Bedingung); juga teori dari Kohler (musabab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat; art der Werdens).
Dalam teori Binding, apabila tidak diartikan bahwa Ursache adalah syarat positif yang terakhir yang mendorong ke-adaan sampai timbulnya akibat, adalah mungkin sekali ada lebih dari satu kelakuan yang merupakan musabab (Ursache sind die positiven Bedingung dan sebagainya).
Bagaiamana dalam teori-teori yang menggeneralisir?
Hemat saya, dalam rumusan Simons, yang mengatakan bahwa musabab adalah tiap-tiap keiakuan yang menurut garis-garis umum mengenai pengalaman manusia patut diadakan ke-mungkinan, bahwa karena kelakuan itu sendiridapat ditimbul-kan akibat, tidaklah mungkin ada lebih dari satu kelakuan.
Dalam rumusan Pompe, mengingat ukuran yang mengandung kekuatan atau mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat, kiranya juga tidak mungkin.
Pada umumnya, dalam teori adequat di mana yang men¬jadi ukuran untuk merupakan musabab bagi sesuatu akibat ialah peninjauan apakah kelakuan yang tertentu itu, dengan mengingat keadaan di sekelilingnya, pantas, patut atau adequat untuk menimbulkan akibat tersebut, hemat saya tidak mungkin bahwa lebih dari satu kelakuan yang menimbulkan akibat.
Dalam uraian Schepper di atas, soal ini (no. 3 18 di muka) mendapat perhatian. Tetapi jika kita mengingat ukuran beliau untuk adanya musabab (dan yang saya setujui) yaitu apabila syarat itu merupakan faktor perubahan yang menunjuk ke arah akibat, maki adalah mungkin sekaii bahwa faktor itu timbul oleh karena adanya lebih dari satu kelakuan. Sebagai contoh adalah sebagai berikut:
Di rumah ada tamu, karena itu piring-piring yang bagus dikeluarkan untuk dihidangkan sop dengan itu. Ketika anak yang disuruh oleh ibu supaya dikatakan pada koki makan lekas disiapkan, cepat-cepat lari ke belakang. Sampai di pintu tengah persis di pintu koki yang sedang membawa sop itu tabrakan dengan anak sehingga tempat sop jatuh dan pecah. Pecahnya tempat sop adalah karena kelakuan dua orang tadi.
Jika kenyataan ini tidak diakui, maka mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang agak janggal, misalnya putusan H.G. Ned.-Indie 1940 (T. 152, 369).
Duduknya perkara sebagai berikut:
Di Jembatan Ciomas yang letaknya di jalan dari Bandung ke Jakarta terjadi tabrakan antara sepeda motor dengan orang yang berjalan kaki. Mengingat keadaan-keadaan ketika itu, yaitu lebarnya jembatan ada 4 m, tidak ada kendaraan lain, sedangkan yang ada hanyalah orang jalan kaki di pinggir kiri, yang sama jurusannya dengan sepeda motor itu, maka sepatut-nya kalau sepeda motor itu meneruskan perjalanan melewati jembatan tersebut dengan tidak mengurangi kecepatannya (yang tidak begitu cepat) dan tidak memberi tanda-tanda klaksonnya. Waktu sepeda motor sudah masuk jembatan, tiba-tiba orang yang berjalan kaki tadi membelok ke tengah sehingga terjadilah tabrakan, yang mengakibatkan matinya orang desa tersebut.
Polite rechter Batavia karena didakwa melanggar pasal 359 KUHP. (karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain).
Polite rechter Batavia, meskipun tidak dengan nyata-nyata diterangkan seperti dalam putusan Ldr. Poerworedjo, hemat saya implicate dalam ucapannya: ”bahwa hal-hal yang didakwakan pada terdakwa sudah terbukti, sehingga harus ditinjau apakah hal-hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa karena kealpaannnya”, mengakui adanya hubungan kausal antara tingkah lakunya pengendara sepeda motor itu dengan matinya orang yang ditabrak. Meskipun demikian, oleh karena menurut Politie rechter pada terdakwa tidak ada kealpaannnya, sehingga tidak mempunyai kesalahan, dalam hatinya orang desa tadi, maka diputuskan dilepas dari segala tuntutan.
Off. van Justitie minta revisie pada H.G.H. dan H.G.H. berpendapat bahwa hubungan kausal antara kelakuan pengendara sepeda motor dengan matinya korban itu tidak ada.of Kata Hof: “Hof tidak memandang terbukti bahwa tabrakan yang berakibat matinya orang yang ditabrak itu adalah akibat dari dari atau mempunyai musabab pada kelakuan yang dituduhkan, sehingga musababnya dalam pemeriksaan tersebut tetap belum jelas. (onopgehelderd is gebleven).
Catatan saya mengenaihal ini adalah :
(1) Dalam pertimbangan Hof ternyata jelas bahwa untuk penjatuhan pidana menurut pasal 359 diperlukan dua hubungan, yaitu hubungan kausal dan hubungan kesalahan. Hubungan yang pertama tidak ada. Karena itu, hubungan yang kedua tidak perlu dipertimbangkan. Ini baik.
(2) Yang kurang memuaskan ialah musabab dari tabrakan dan kemudian matinya orang dikatakan ”onopgehelderd is gebleven”. Hemat saya, musabab tabrakan dan seterusnya itu ialah kelakuan dua orang tadi, yakni si pengendara sepeda motor dan orang yang berjalan kaki bersama-sama. Orang yang mati tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tinggal lagi pengendara sepeda motor.
Apakah ia mempunyai kesalahan?
Hemat saya, tidaklah mempunyai kesalahan, sebab tidak dapat diharapkan dari seorang pengendara sepeda motor dalam keadaan seperti yang ada dalam perkara ini, mengurangi kecepatan sepeda motornya dan membunyikan klaksonnya.
Contoh lain dari praktek pengadilan bahwa lebih dari satu kelakuan yang menjadi musabab dari matinya orang ialah: Perkara yang memuat dalam T. 147 pag. 115. Ini mengenai ketentuan (beschikking) R.v.J. Semarang., yang membatalkan ketentuan Ldr. Blora (1937) dalam mana dinyatakan bahwa Ldr. menolak permintaan jaksa untuk mengadili perkara dimuka sidang pengadilan oleh karena tidak cukup alasannya (geen voldoende termen tot vervolging van verdachte). Sebaliknya menurut R.v.J ada cukup alasan. Duduknya perkara adalah sebagai berikut:
Di jalan raya di dekat pasar Cepu terjadi tabrakan antara mobil dan sepeda motor. Pengendara sepeda motor D terpelanting karena tabrakan tersebut dan jatuh diatas rel kereta api yang ada dekat jalan itu. Ketika itu kereta api lalu pula di situ, sehingga D tergilas dan kemudian meninggal dunia karena luka-lukanya. Pengendara mobil T dituntut berdasar pasal 359 KUHP (karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain).
Ldr. berpendapat, bahwa meskipun tabarakan itu terjadi karena kesalahan T yaitu karena kecepatan melebihi yang dibolehkan, tabrakan terjadi dibagian jalan yang bukan diperuntukkan baginya, padahal remnyapun tidak beres, tetapi matinya D itu disebabkan karena tergilas oleh kereta api. Antara tergilasnya D dan tabrakan tidak ada hubungan kausal. Karena itu matinya D tidak disebabkan karena kesalahan terdakwa, sehingga tidak alasan untuk menuntut terdakwa di muka sidang pengadilan.
Menurut Ldr. kelakuan T hanya merupakan syarat saja untuk matinya D, bukan musabab, sebab menurut ajaran kausal yang berlaku, hanya itulah yang menjadi musabab, yang pada umumnya mampu atau patut menimbulkan akibat tersebut (teori adequat).
R.v.J. sebaliknya berpendapat bahwa meskipun harus diakui bahwa matinya D karena tergilas kereta api ini adalah akibat langsung (onmiddelijk en rechtsreek gevolg) dari tabrakan yang menyebabkan jatuhnya D tersebut, oleh karena dengan tidak adanya tabrakan tersebut, penggilasan oleh ke¬reta api tak akan terjadi (teori conditio sine qua non). Karena itu ketentuan Ldr. Blora dibatalkar, dan diperintahkan untuk memeriksa perkara itu karena melanggar pasal 359 KUHP.
Catatan saya mengenai hal ini adalah:
Matinya D itu disebabkan karena kelakuan T dan masinis kereta api bahwa sesungguhnya juga karena kelakuan D sendiri. jadi lebih dari seorang.
Dengan mengadakan kemungkinan bahwa lebih dari ke-lakuan satu orang menjadi musabab sesuatu akibat dari yang dilarang, maka dalam menghadapi perkara, pengupasan hubungan kausal dan selanjutnya hingga pada pengenaan pidana dapat lebih memuaskan. Jika kelakuan dari 3 orang di atas misalnya yang menjadi musabab daripada matinya salah satu daripada-nya, maka lalu dapat dikatakan bahwa akibat mati itu adalah disebabkan karena perbuatannya masing-masing daripada mereka. Sekarang yang harus ditinjau ialah perbuatan siapa yang bersifat melawan hukum. Daiam hal ini. siapa di antara tiga orang itu yang melanggar aturan-aturan lalulintas.
Di dalam buku van Hattum (pag. 206) mengenai soal apakah lebih dari satu orang dapat menyebabkan timbulnya akibat yang dilanggar, diuraikannya dengan judul: “Causal verband en tussenkomende gedragingen van derden” (hubungan kausal berhubung dengan kelakuan orang lain). Sebagai contoh diajukannya putusan H.M.G. Ned, 1921 yang terkenal dengan nama: Slagkwikpihpjes arrest (putusan mengenai pipa peledak gn.nat tangan). Duduk perkaranya adalah sebagai berikut: “JSeorang perwira tentara Belanda yang sedang belajar di sekolah granat tangan, karena kekeliruannya membawa pulang beberapa batang pjpa peledak granat. Benda-benda ini sangat berbahaya karena mudah meledak. Sesampai di kamarnya, benda-benda tersebut ditaruh di dalam vas bunga di atas tempat api.
Kemudian terlupa hingga perwira itu pincah tempat lain. Anak perempuan dari hospita (Ibu pondokan) perwiratersebut pada saat lain karena mereka juga akan pindah, waktu akan mengambil vas tadi, melihat pipa-pipa tersebut, lalu dikeluar-kannya dan ditaruhkan di atas temook di atas tempat api. (schoorsteenmantel).
Bagaimana kemudian terjadinya dengan pipa-pipa itu tidak dapat diterangkan lagi. Tiba-tiba salah satu dari pipa-pipa tersebut sudah pindah ke kamar lain dan dipakai sebagai penahan jendela yang penahan aslinya tidak ada. Bebe¬rapa waktu kemudian datanglah beberapa tukang yang disuruh memperbaiki pintu-pintu dan jendela-jendela yang rusak. Salah satu di antara mereka melihat penahan jendela yang aneh itu, lalu mengambilnya dan meraba-raba. Tiba-tiba benda itu me¬ledak sehingga melukai dua orang di antaranya. Perwira ter¬sebut dituntut, tetapi H.M.G. memutuskan bahwa: Meskipun kelakuan perwira itu dipandang sebagai sangat sembrono dan membahayakan, terdakwa harus dibebaskan karena tidak dapat dibuktikan, bahwa kecelakaan tadi adalah akibat langsung (onmiddelijk en dadeiijk gevolg) dari kelakuannya.
Menurut pandangan H.M.G. yang menentukan di sin! ialah kelakuan dari anak hospita, sebab ada petunjuk-petunjuk yang memberikan alasan untuk anggapan bahwa anak pe¬rempuan tadi mengerti tentang sifat berbahayanya pipa-pipa itu. Karena hal ini tidak mendapat penjelasan dalam perkara ter¬sebut maka diberi putusan yang menguntungkan terdakwa (ten voordele van verdacthte).
Menurut van Hattum putusan tersebut adalah keliru sebab perkara ini tak bisa digunakan istilah “onmiddelijk en dadeiijk gevolg” (akibat langsung seperti yang dikatakan dalam pasal 1248 B.W. mengenai pembayaran kerugian karena tidak menepati perjanjian). Ongkos kerugian dan bunga terhadap kerugian yang diderita schuldeiser, dan pengganti laba, kecuali jika tidak menepati janji itu disebabkan karena itikad jahad (arglisu).
Pasal 1248: Sekalipun perjanjian tidak ditepati karena itikad jahad, maka penggantian ongkos-ongkos kerugian dan bunga-bunga terhadap kerugian yang diderita oleh shuldeiser dan pengganti laba hanya mengenai apa yang terjadi akibat langsung saja dari tidak ditepatinya janji tadi. Selanjutnya dikatakan oleh van Hattum: Yang harus ditanyakan ialah, apakah kelakuan tersebut adequat sebab merupakan hal yang sangat memperbesar bahaya akan terjadinya kecelakaan. Dan jika anak dari hospita itu cukup menginsyafi tentang berbahayanya pipa-pipa tersebut, maka boleh juga keteledorannya itu diuji tentang ada atau tidaknya hubungan kausal. Dan karena kelakuannya juga adequat kausal dengan akibat tersebut maka mungkin pula dia mendapat pemidanaan. Saya tidak menemukan alasan satupun demikian van Hattum apa sebabnya maka tidak kedua-duanya, yaitu perwira dan anak hospita yang bersalah melanggar pasal 360 KUHP?
Catatan saya mengenai ini: Jadi menurut pandangan van Hattum mungkin sekali lebih dari satu kelakuan menjadi musabab dari satu akibat.

TENTANG ISTILAH ”AKIBAT LANGSUNG”
Dalam putusan H.M.G. diatas dan juga dalam ketentuan R.v.J. Semarang, untuk mengatakan, bahwa ada hubungan kausal antara sesuatu kelakuan dan akibat yang merupakan delik, dipakai istilah ”akibat langsung”, yakni istilah yang dipakai dalam praktek peradilan di Ned-Indie. Dengan demikian di situ lalu tidak ternyata yang dianut itu ajaran kausal yang mana, karena tidak diberikan ukuran untuk adanya akibat langsung, sehingga terserah kepada kebijaksanaan hakim masing-masing untuk menentukannya.
Kemudian 1933 berubah mengikuti teori adquat, diganti ”voorzienbaar en waarschijnlijk gevelog”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar