16/04/13

Materi Hukum Jaminan | Ibu Noor Saptanti,SH,MH

BATAL DEMI HUKUM KUASA MENJUAL YANG DIBUAT KETIKA OBJEK YANG DIJUAL DALAM JAMINAN BANK

Dalam praktek Notaris/PPAT saat ini ada satu tindakkan hukum yang dapat dikategorikan ”kesalahan kolektif yang disadari” yaitu mengenai penerapan pengetahuan keilmuan dan kemampuan untuk menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan Perjanjian Kredit beserta jaminannya, antara lain harus kita ketahui dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah atau UUHT.

SALAH SATU CIRI HAK TANGGUNGAN .
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya,
yaitu dengan cara :
Menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT).
Penjualan objek Hak Tanggungan secara dibawah tangan, jika dengan cara tersebut akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UUHT).
Memberikan kemungkinan penggunaan Parate Eksekusi seperti yang diatur dalam Pasal 244 HIR dan 258 Rbg (Pasal 26 juncto Pasal 14 UUHT).

Ciri Hak Tanggungan yang tersebut tersebut di atas dalam praktek pemberian jaminan sering disimpangi, yaitu sudah tahu dan pasti bahwa objek sudah dalam jaminan bank dan (akan) dibebani Hak Tanggungan, yang berarti hak kebendaan tersebut sudah ada pada Kreditur, dan Debitur sudah tidak punyak hak apapun lagi, yang seharusnya menurut hukum jika terjadi Debitor Cidera janji atau Wanprestasi, prosedur hukumnya yatitu dijual melalui Lelang, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUHT. Tata cara atau prosedur seperti ini merupakan perintah UUHT, dan tidak perlu dicarikan terbosan (hukum) lain untuk melakukan penyimpangan, dengan dibuatkan akta Kuasa Untuk Menjual.

Dalam kalimat yang lain yaitu pada praktek, ketika Notaris/PPAT melakukan semua tindakkan hukum yang berkaitan dengan Perjanjian Kredit atau Pinjam Meminjam Uang dengan Jaminan atau Pengakuan Hutang, antara lain sebagai PPAT membuat akta APHT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat ataupun dibuat hanya dalam bentuk SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) saja.

Ada satu tindakkan Notaris, entah saran Notaris (atau kesadaran Notaris/PPAT) kepada Bank atau permintaan Bank yang dikabulkan oleh Notaris, yaitu dibuat Akta Kuasa Menjual dari Pemilik (Debitur) kepada Bank (Kreditur atau yang ditunjuk oleh Bank), dengan alasan jika Debitur Wanprestasi, maka prosedur lelang (Pelelangan Umum) yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT dapat dihindari atau tidak dilakukan oleh Bank, padahal menurut ketentuan seperti itu sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 ayat (4) UUHT janji atau tindakkan hukum seperti itu Batal Demi Hukum .

Hal ini tidak disadari oleh Notaris dan Bank. Bank melakukan tindakkan seperti itu dengan alasan alasan ”jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika Debitur membayar utangnya lancar. Apapun alasannya tidak dapat dibenarkan menurut UUHT.

Sebenarnya jika Debitur setelah dipastikan Wanprestasi, boleh saja tidak melalui prosedur lelang, dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual, setelah dipastikan Debitur Wanprestasi, dapat ditempuh berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUHT., yaitu :

1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, untuk menjual dibawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak.
2. Penjualan dilakukan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak dilakukan pemberitahuan oleh pemberi/pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan.
3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar di daerah yang bersangkutan.
4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.

Agar praktek seperti itu tidak dilakukan oleh Bank, seharusnya Bank Indonesia (BI) yang berwenang melakukan pengawasan kepada semua Bank di Indonesia menegur dan menertibkan bank-bank yang melakukan tindakkan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan 20 UUHT, jika tetap dilakukan, maka indikasi ada praktek pemberian jaminan yang tidak sehat dan melanggar UUHT,

Demikian pula untuk para Notaris, tidak perlu menyarankan dan memenuhi permintaan Bank seperti itu, karena sudah tahu akta kuasa menjual (jika akta Notaris) ataupun dibawah tangan yang didaftar atau dilegalisasi seperti itu maka Batal Demi Hukum, jadi hal tersebut secara hukum dianggap tidak pernah ada, dan juga kepada para PPAT tidak perlu melayani pembuatan akta jual beli yang kuasa untuk menjual dalam keadaan seperti tersebut di atas, karena didasarkan pada akta yang batal demi hukum, maka akta jual belinyapun tidak berlaku atau noneksis.

Bahwa terminologi akta batal demi hukum, maka akta yang bersangkutan ataupun tindakkan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi sejak awal. Dapat kita bayangkan saat ini juga, jika ada pihak ketiga yang mengetahui dan memahami hal tersebut, karena wanprestasi, tanah yang menjadi jaminan atas hutangnya dijual oleh bank berdasarkan kuasa (atau kuasa kepada karyawan bank), dan oleh PPAT ditindak lanjuti dengan akta PPAT, untuk hal ini dapat diajukan gugatan kepada Notaris, PPAT dan Bank karena melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan pada akta atau tindakkan hukum yang telah batal demi hukum.

Alasan lain yang perlu diperhatikan, bahwa niat awal dari Debitur adalah meminjam uang dengan jaminan, jika wanprestasi, maka jaminan tersebut dapat dijual melalui pelelangan. Tapi oleh kreditur dijual tidak melalui lelang, tapi dijual berdasarkan kuasa tadi. Berbeda niat awal sudah dapat dijadikan dasar untuk membatalkan tindakkan hukum yang dilakukan oleh Bank dan Notaris PPAT tersebut.

Bahwa meminta kepada para Notaris agar kompak untuk tidak melakukan dan tidak melayani tindakkan hukum seperti tersebut di atas karena permintaan Bank, sangat sulit untuk dilakukan karena isi hati dan kepala tiap Notaris sudah pasti berbeda, meskipun sama-sama Pejabat Umum. Jika ada Bank yang meminta permintaan seperti itu, dan Notaris yang bersangkutan tidak melayaninya, maka Bank akan menghentikan kerjasamanya dan pindah ke Notaris lain, dan akan meminta Notaris lainnya agar mau diajak kerjasama dan sama-sama bekerja untuk melanggar UUHT. Jika terjadi seperti itu apa yang harus dilakukan ? Apakah kita harus meminjam kalimat syair lagu ”Ya.....sudahlah...”. Apakah kita harus permisive ?

SELAMAT BERKARYA
noor saptanti,sh,mh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar