http://nurazizah22.blogspot.com/2012/12/rukun-syarat-dan-sebab-mewarisi.html
“ RUKUN, SYARAT DAN SEBAB MEWARISI”
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangaterat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hokum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab- sebab dalam waris mewarisi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun- rukun mewarisi?
2. Bagaimana orang bisa mendapatkan warisan?
3. Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 RUKUN –RUKUN MEWARISI
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut hukum islam , rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
- Muwarrits (Pewaris)
- Warits (Ahli waris)
- Mauruts (harta waris)
I.1.1 Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan pengalihannya kepada para ahli waris.
1.Muwarrits atau pewaris
Pewaris/muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, yang harta pening-galannya berhak dimiliki oleh ahli warisnya (M Mawardi Muzamil, 1981: 18)
Sedangkan menurut KHI, Muwarrits (pewaris) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 huruf b )
Pasal 171 b KHI :
”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.
I.1.2 Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam , warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits[1].
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
I.1.3 Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta pseninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
§ Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai;
§ Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian;
§ Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege);
§ Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)
II.2 SYARAT-SYARAT MEWARISI
Menurut hukum islam , masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
- Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
- Hidupnya warits (ahli waris).
- Mengetahui status kewarisan[2].
Adapun dalam kompilasi hukum islam (KHI), syarat-syarat mewarisi terdapat dalam pasal 171 huruf b.
II.2.1 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris)
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia. Adapun kematian muwarrits dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Mati haqiqy (mati sejati)
Yaitu hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya yang dapat di buktikan dengan panca indra atau dapat di buktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim)
Yaitu kematian yang disebabkab adanya vonnis dari hakim, walaupun pada hakekatnya ada kemungkinan seseorang tersebut masih hidup atau dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Contoh vonis kematian seseorang, padahal ada kemungkinan orang tersebut masih hidup ialah vonis kematian terhadap mafqud yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup atau matinya[3].
c. Mati taqdiry (menurut dugaan)
Yaitu kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. contohnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat saja, sebab kematian tersebut bisa juga di sebabkan oleh faktor-faktor yang lain.
II.2.2 Hidupnya warits (ahli waris)
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris[4]. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
Adapun masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan syarat hidupnya ahli waris ialah mengenai mafqud, anak dalam kandungan, dan keadaan mati bebarengan (mati secara bersamaan)[5].
Masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seseorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika muwarrits meninggal dunia. Jika terjadi kasus seperti ini, maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqud tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih hidup. Bila di kemudian hari sebelum habis waktu maksimal untuk menunggu ternyata si mafqud datang atau hadir dalam keadaan hidup, maka bagian waris yang telah disediakan untuk si mafqud tersebut di berikan kepadanya. Jika dalam tenggang waktu yang telah ditentukan ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia dapat diduga telah mati, maka bagiannya tersebut di bagi di antara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan furudh mereka masing-masing.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwarrits dalam keadaan mengandung ketika muwarrits meninggal dunia.dalam kasus seperti ini maka penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan pada saat kelahiran anak tersebut.oleh sebab itu maka pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah mati secara bersamaan, hal ini terjadi jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi mati secara bersamaan. Misalnya seorang bapak dan anaknya tenggelam atau terbakar bersama-sama, sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu, dalam kasus ini mereka tidak boleh saling mewarisi, dan salah seorang dari mereka tidak boleh memiliki tirkah yang lainnya. Maka, yang berhak untuk memiliki tirkah tersebut adalah ahli waris masing-masing yang masih hidup. hal ini sesuai dengan yang di isyaratkan oleh fuqaha bahwa : tidak saling waris antara dua orang yang mati tenggelam atau terbakar atau sama-sama tertimpa reruntuhan. Demikianlah ketentuan dari hukum islam.
II.2.3 Mengetahui status kewarisan.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya. sehingga seorang hakim dapat menerapkan hukum sesuai dengan semestinya. Dalam pembagian harta warisan itu berbeda-beda sesuai dengan jihat warisan dan status derajat kekerabatannya. Dengan demikian, tidak cukup kita berkata : “sesungguhnya orang itu termasuk saudara orang yang mati”, tetapi harus di ketahui juga apakah ia saudara sekandung, saudara seayah atau seibu, karena masing- masing saudara tersebut mempunyai bagian tersendiri, sebagian mereka ada yang mendapatkan waris sebagai ash-habul furudl, ada yang sebagian golongan ashabah dan sebagian lagi ada yang mahjub (tidak mendapatkan warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak)[6].
II.3 SEBAB-SEBAB MEWARISI
Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuian , pertolongan, pelayanan,pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).
Mereka-mereka tersebut diatas mempunyai hak dan dapat mewarisi, karena mempunyai sebab-sebab yang mengikatnya. Menurut mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3[7], sebab-sebab itu adalah :
o Hubungan perkawinan
o Hubungan kekerabatan
o Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
II.3.1 Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan adalah suami-istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan aqad perkawinan secara sah, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.
Perkawinan yang menjadi sebab mewarisi memerlukan 2 syarat :
a. Akad perkawinan itu sah menurut syariat, baik kedua suami istri itu telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan :
· Keumuman ayat-ayat mawarits, dan
· Tindakan rasulullah SAW bahwa beliau;
“telah memutuskan kewarisan Barwa’ Binti Wasyiq. Suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan maskawinnya”.
Putusan rasulullah ini menunjukan bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan dianggap sah tidak semata-mata tergantung kepada telah terlaksana hubungan suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh suami, tetapi tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.
b. Ikatan perkawinan antara suami istri itu masih utuh atau di anggap masih utuh
Suatu perkawinan dianggap masih utuh bila perkawinan itu telah diputuskan dengan Talaq Raja’iy, tetapi masa iddah Raja’i bagi seorang istri belum selesai maka perkawinan tersebut dianggap masih utuh.
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali[8]. Dengan demikian hak suami istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Lain halnya dengan talak bain yang membawa akibat putusnya ikatan perkawinan sejak talaq dijatuhkan[9].
II.3.3 hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang. [10]
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
- Adanya hubungan kekerabatan (nasab);
- Adanya hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,
“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
II.3.3 Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.[11] Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
§ Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
§ Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
§ Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat atau wasiat.
2. seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi yaitu:
§ Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.
§ Hidupnya warits (ahli waris).
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.
§ Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia,haruslah jelas hubungan antara keduannya, seperti hubungan suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi penghalang untuk mewarisi.
3. Hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris ada 3 yaitu:
§ Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi Sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Quran, al-hadis, ijma’ dan sumber hukum lainnya,
§ Hubungan Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
§ Hubungan memerdekakan budak (Wala’) dalam pengertian syariat adalah : kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak dan kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain
Daftar Pustaka
Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti,1999)
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif,1975)
Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro, 1995)
Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)
Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
AW. Widjaja, Hukum Waris Indonesia, (Bandung : PT.Citra aditya Bakti, 1991)
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,1995)
[1] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) , 36
[2] Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, ( Bandung : CV diponegoro, 1995), 49
[3] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 80.
[4]Rachmad Budiono, pembaruan hukum kewarisan islam di indonesia, ( Bandung : PT. Citra aditya bakti, 1999), 10
[5] Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung :PT Refika Aditama, 2002) , 5
[6] Ibid
[7] Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), 62
[8] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, ( Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), 115
[9] ibid
[10] Ibid, halaman 116
[11] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 37
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar